Bagian dua puluh
Pra-Move On!
Happy reading :')
***
Difan kali ini terlihat lebih banyak diam. Wajahnya terlihat linglung dan lelah. Baru tadi pagi Abrian perang mulut dengannya karena kondisi kamar pria itu terlihat bak kapal pecah. Tapi kali ini, suasana di antara mereka menjadi sedikit hening. Beruntung suara klakson kendaraan yang berbunyi di tengah kemacetan kota Bandung di siang itu sedikit membuat suasana di antara mereka tidak terlalu mencekam. Hingga Abrian yang duduk di jok depan pun merasa risih dengan suasana di antara mereka karena terus dalam keadaan diam. Ia membiarkan Difan bergelut dengan pikirannya sendiri.
"Yan, gue mau berubah," ujarnya tiba-tiba.
Abrian yang tengah fokus mengendarai, menatap bingung pria di belakangnya melalui kaca spion. Dari sana, ia bisa melihat raut wajah sungguh-sungguh dari Difan.
"Serius lo?" Ia kembali memastikan.
Abrian melihat dari kaca spion kalau Difan menganggukkan kepalanya pelan. Terdengar hembusan napas berat dari mantan pacar Adara itu.
"Gue serius. Dan kali ini, insyaallah lilahita'ala. Gue sungguh-sungguh karena Allah," ujarnya yang seketika membuat seulas senyum tipis tersungging di wajah Abrian.
"Alhamdulillah. Gue seneng akhirnya hidayah itu berhasil masuk ke relung hati lo," ujar Abrian bahagia.
Difan mengagguk. Entah mengapa setelah mengatakan keinginannya pada Abrian, sesuatu di dalam hatinya terasa berdesir. Rasanya jauh lebih menyenangkan dari jatuh cinta.
Tak butuh waktu lama bagi Difan untuk memutuskan apa yang menjadi keinginannya saat ini. Dalam diamnya tadi pun, ia banyak melihat dirinya di masa lalu. Merenungi apa yang pernah ia perbuat di masa fasiknya. Ia sadar betul kalau dulu dirinya benar-benar berada dalam masa berbalik muka. Sholat tepat waktu yang selalu ibunya bilang adalah amalan yang sebenarnya berupa keridhoan Allah selalu ia lalaikan. Bahkan jika sedang berada di luar rumah tanpa Abrian, sholat kadang ia tinggalkan dengan alasan tak ada waktu. Tapi ketika membayangkan bagaimana kesungguhannya dalam mendaki gunung, ia langsung mengernyih.
"Jadi, gue harus berubah mulai dari mana?" tanya Difan pada pria yang kini membelokkan motor tua merahnya di gang kompleks perumahan Difan. "Apa gue harus langsung jadi kalem kaya lo, terus pake baju koko kaya gini terus?" imbuhnya yang malah membuat Abrian terkikik.
"Fan," panggilnya. "Yang diubah itu bukan hanya penampilan saja. Ada yang lebih penting dari itu," ujarnya.
Difan diam menyimak.
"Lo tahu, ada banyak yang harus lo relakan saat lo memutuskan untuk hijrah. Yakin lo benar-benar siap?" ujar Abrian yang mendapat anggukan mantap dari Difan.
"Gue bukanlah orang yang lebih baik dari lo, Fan. Kita pernah sama-sama jauh dari Allah. Tapi ada hati yang peka terhadap ketukan Allah, dan ada hati yang sedikit lambat dalam menanggapi apa yang Allah kirim." Abrian berujar seraya menghembuskan napas yang terdengar lelah.
Motor skuter tua mereka sampai di depan gerbang rumah Difan. Difan turun lebih dulu sebelum Abrian sempat memarkirkan motornya dengan baik. Pria berkoko putih itu berjalan menaiki undakan tangga menuju teras. Ia kemudian duduk dengan posisi menyandarkan punggungnya pada sandara kursi yang terbuat dari kayu dengan tampang sedikit lelah.
Setelah memarkir motor skuternya dengan baik di bawah pohon mangga yang rindang, Abrian berjalan menyusul Difan dan memilih duduk pada salah satu kursi kosong di samping pria berdarah sunda itu.
"Jadi, mulai dari mana gue harus berubah?" Difan mengulang pertanyaan pertamanya.
Abrian terkekeh pelan. Ternyata sahabatnya ini benar-benar niat ingin berubah.
"Satu hal yang harus lo rubah terlebih dahulu," ujarnya memulai. Difan menunggu kelanjutan ucapannya dengan tak sabaran. Terlihat dari tangannya yang mengepal geregetan di atas paha. Gereget dengan Abrian yang suka sekali memenggantung kalimatnya.
"Perbaiki niat karena Allah, dan mulai perbaiki shalat wajib. Karena lo tahu, apapun yang diniatkan karena Allah ta'ala, insyaallah semua akan dimudahkan. Dan shalat, kenapa gue nyuruh lo buat perbaiki shalat terlebih dahulu, karena shalat merupakan tiang agama. Kalau mau agama kita kokoh, maka kita harus membangun tiangnya terlebih dahulu," jelasnya diakhiri senyum meneduhkan khasnya.
Difan ikut tersenyum dan mengiringi kalimat Abrian dengan anggukkan mantap. Abrian kemudian menepuk pundaknya beberapa kali dengan pelan. Dari sana, ia memberikan dukungan penuh atas apa yang Difan niatkan.
"Gue balik dulu. Udah mau sore," pamit Abrian. "Titip salam buat tante, ya?" ujarnya sebelum akhirnya bangkit dari duduknya.
Difan mengangguk kemudian bersalaman ala mereka dengan Abrian. "Hati-hati lo. Jangan ngebut-ngebut," peringat Difan yang malah membuat Abrian terkekeh.
Setelah motor merah tua kesayangan Abrian keluar dari gerbang, Difan kemudian membalikkan badanya. Ada fokus hidup yang harus ia jalani sekarang. Membangun cinta yang sempat pudar pada Rabbnya. Move on, kini hanya sebatas kata yang berhasil membuatnya kembali pada Allah. Difan telah bertekad untuk berhenti memulai apa yang sempat membuatnya sampai pada titik ini. Titik awal dirinya move on.
***
Difan memasuki kamar bernuansa abu-abu dengan langit-langit yang dicat dengan warna putih itu bersama dengan semangkuk mi instan dan segelas bijigur kopi di atas nampan. Dua jenis makanan favoritnya itu siap menenemani malam tersibuknya kali ini.
Ia berjalan menuju meja yang dipenuhi dengan tumpukan kertas hvs di samping jendela. Sebelum mulai bertempur, pria berjambul yang kala itu mengenakan celana pendek selutut berwarna khakinya menyempatkan diri menyetel alarm pada ponselnya, agar subuh nanti ia bisa bangun tepat waktu.
Pukul empat waktu Indonesia Bagian Barat. Siap.
Setelah itu, ia membuka laptopnya dan mulai tenggelam dalam tumpukan tugas yang sempat tertunda ia kerjakan karena faktor dari penyakit malas. Aih, penyakit yang satu ini harus Difan bantai mulai dari sekarang.
Struktur beton, mekanika tanah, trowongan.
Difan mengembuskan napas berat saat melihat list tugas yang diberikan Gendis siang tadi. Dan yang paling memberatkannya, semua tugas ini deadline pengumpulannya adalah besok siang.
"Ya Allah cobaan macam apa ini?" ujarnya prustasi. "Astaghfirullah, gue gak boleh ngeluh. Radifan Mahesa yang gagah perkasa ini kan harus tegar," semangatnya kemudian.
Tanpa babibu lagi, ia mulai membuka lembaran demi lembaran buku tebal yang dipinjamnya di perpustakaan kampus minggu lalu. Dalam waktu tiga jam lebih, mata kuliah yang sempat membuatnya berniat ingin pindah jurusan selesai ia kerjakan.
"Tinggal buat sampulnya," ujar Difan. Matanya bergantian menatap buku dan laptop di depannya. Tangan kekarnya bahkan begitu lincah menari di atas papan keyboard. Bayangkan saja bagaimana tampannya Difan saat ini. Jika ia botak, mungkin posisi duduknya persis terlihat seperti Prof. Ibrahim, dosen mata kuliah mekanika tekniknya.
Tepat setelah makalah tentang trowongan selesai ia kerjakan, jarum pendek pada jam dinding di atas pintu kamar mandinya mengarah ke angka satu lebih tiga puluhan menit. Difan menghembuskan napasnya dengan lega. Ternyata begini rasanya menyelesaikam tugas dengan jerih payah sendiri. Capek, mata berat dan berair, pinggang dan leher terasa encok. Pantas saja Gendis tak ingin upah yang sedikit ketika Difan menyuruh membuatkannya makalah.
Difan meregangkan otot-ototnya sesaat, kemudian membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja. Sudah waktunya untuk mengistirahatkan otak.
Setelah sedikit mengibas-ngibas seprainya, ia langsung merebahkan tubuhnya dengan posisi terlentang. Aih, rasanya wenak tenan. Tak butuh waktu lama, beberapa menit setelah memejamkan matanya pria yang malam itu tampak lelah kini sudah berpetualang ke alam mimpi. Berharap esok hari bisa memulai hari dengan hal-hal yang positif.
***
"Hemm ... hiyaaaa'."
Difan menggeliat pelan. Lamat-lamat ia mendengar suara kokok ayam yang bertengger pada dahan pohon mangga di depan rumah. Ia menatap ponsel yang dicharger di atas nakas. Ia sama sekali belum mendengar alram yang semalam disetelnya berbunyi. Dengan gerakan pelan, ia kembali menarik selimut tebal yang ia kenakan.
"Difan!" Suara teriakan dengan gedoran di pintu sedikit mengusik tidur Difan. Namun meski begitu, ia masih enggan untuk bangkit.
"Difan, bangun!" Ibu Tia yang gereget dengan kelakuan anak bujangnya. Ia semakin menggedor pintu dengan keras.
Difan kembali menggeliat. Ketika ia hendak kembali menarik selimutnya, suara menggelegar di balik pintu kamar membuatnya bangkit seketika.
"Tangi ora! Tangi! Ora tangi tek siram!"
"Iya, Bu. Difan udah bangun," sahutnya dengan suara parau.
Ia kemudian mengucek matanya dengan pelan. Suara gedoran di depan pintu sudah tak terdengar. Setelah kesadarannya terkumpul, ia menelisik sekeliling kamarnya. Matanya kemudian menatap jam dinding. Meski penglihatannya agak buram, ia masih bisa melihat dengan jelas arah jarum jam di dinding.
"Astaga!"
Dengan secepat kilat, ia bangkit dari duduknya kemudian langsung melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Ia membasuh wajahnya dengan sedikit tergesa namun masih bisa membasahinya dengan rata. Setelah semua rukun wudhu ia jalankan, ia kemudian keluar dan segera menggelar sajadahnya terlebih dahulu sebelum akhirnya mengenakan sarung yang dibelikan ibunya lebaran kemarin.
Setelah selesai sholat dan melakukan dzikir serta do'a sebentar, hal pertama yang Difan cek adalah alarm yang telah ia setel di ponselnya.
"Belum bunyi ternyata," gumamnya.
Ia mengela napas dengan kasar. "Dasar idiot," rutuknya pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia menyetel alarm di jam 04.00 p.m. Pantas saja tidak berbunyi. Ah, awal perubahannya gagal total.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top