Bagian dua
(Versi Revisi)
Angin sore itu menerbangkan rambut Adara yang tergerai indah. Senyumnya mengembang seiring suara Difan yang terus terdengar di telinga. Ia mengedarkan pandangannya ke sisi jalan, sembari melihat lalu lalang para pejalan kaki di sore itu.
Udara Bandung sore hari terasa sejuk. Sesekali gadis yang duduk di jok belakang motor itu meringis, sebab terpaan angin yang terasa menusuk kulit.
"Yang, mampir ke kafe bentar yuk," ajaknya tiba-tiba. Difan hanya menjawab dengan anggukan, kemudian memelankan sepeda motornya saat kafe langganan mereka sudah terlihat.
Suasana kafe tidak terlalu ramai saat mereka turun dari motor besar Difan. Lumayan tenang dan cocok untuk orang yang ingin menyendiri. Difan menggandeng tangan Adara, menuntun gadis itu menuju pintu masuk.
Mereka memilih duduk pada bangku di pojok kanan, tepat di samping jendela besar yang langsung menghadap ke jalanan. Spot favorit mereka saat mengunjungi tempat ini.
"Hari ini mau makan apa, Tuan Puteri?" tanya Difan seraya menyodorkan buku menu di depannya pada gadis yang memilih duduk pada sofa di seberangnya.
Adara meraih buku menu bersampul hitam yang Difan sodorkan, membukanya kemudian membolak-balik buku tersebut dengan kening berkerut, terlihat berpikir.
"Hmm, makan nasi goreng seafood sekali ini aja gak bakal bikin berat badan aku naik kan, Yang?" tanyanya meminta pendapat. Jari lentik itu masih setia membolak-balik buku menu.
Difan memutar bola matanya dengan malas. Mulai lagi. Setiap makan bersama, berat badan pasti dibawa-bawa. Kadang Difan heran sendiri dengan kebiasaan cewek yang satu ini. Makan ya tinggal makan. Soal berat badan mah urusan belakangan. Lagi pula satu porsi nasi goreng seafood tidak akan mbuat berat badan naik tiba-tiba 'kan? Kecuali kalau satu truk setiap hari.
"Jangan nyiksa diri, Yang. Kalau mau, makan aja. Jangan ditahan. Kamu gak bakal gemuk kalau makan perhitungan gitu."
Gadis itu tampak berpikir, "Oke deh. Nasi goreng seafood sama lemon tea," putus gadis itu seraya menyodorkan kembali buku menu itu pada Difan. Pria itu kemudian mengagguk pasrah. Kan, lihat saja. Ujung-ujungnya pesan itu juga.
"Mbak!" panggilnya pada seorang pelayan kafe yang berdiri di depan meja kasir.
Pelayan itu menoleh, lantas berjalan menghampiri meja mereka.
"Mau pesan apa, Mas?" tanya pelayan itu dengan sopan.
"Nasi goreng seafood satu porsi, nasi goreng biasa satu porsi, sama lemon tea dua," sebut Difan kemudian dicatat pelayan di depannya.
"Itu saja?" tanya pelayan itu memastikan. Difan menatap ke arah Adara, mencoba bertanya lewat tatapan mata yang langsung dijawab gadis itu dengan anggukan.
"Itu aja dulu," ujar Difan.
"Mohon tunggu sebentar, ya." Pelayan tersebut kemudian berlalu meninggalkan meja mereka.
Sepeninggal si pelayan, Difan menatap Adara dengan dagu berpangku tangan. Ia menatap takjub gadis di depannya. Ia heran, selera makanan Adara cenderung merakyat. Apapun yang Difan sodorkan, sebenarnya ia tak pernah protes jika diluar jadwal dietnya.
Awal pacaran, Difan mengira gadis ini sama dengan kebanyakan anak orang kaya lainnya. Makan di tempat berbintang, belanjaan barang branded dan lain sebagainya yang terdengar berkelas. Tapi nyatanya ia tak begitu. Makan di mana saja gadis itu iya iya saja. Menurutnya, pakai barang apa saja asal nyaman. Dan hal inilah yang membuat Difan tidak pernah merasa kewalahan saat jalan dengannya. Karena sifat ini jugalah yang membuat Difan sampai saat ini masih percaya diri bersanding dengan gadis ini.
"Fan, aku keliatan gendut gak sih?" tanya Adara memecah keheningan.
Difan yang fokusnya memang tertuju pada gadis itu mengernyit. "Kenapa?"
"Aku kelihatan gendut gak sih?" ulang gadisnya.
Difan menaikkan sebelah alis. Ia menggaruk hidungnya yang tiba-tiba gatal, "Aku harus jawab apa?" tanyanya.
Setiap kali ditanyai begitu, Difan selalu merasa horor sendiri. Tidak ada jawaban dari pertanyaan gadis itu. Bahasan yang umumnya menjadi permasalahan utama bagi seorang wanita, malah menjadi pertanyaan menjebak untuk Difan. Makanya ia bertanya harus menjawab apa.
"Jawab jujur aja. Aku gak suka dibohongin," tukas Adara.
Pria itu menyandarkan punggungnya, menatap Adara dengan raut menelisik. "Jangan, ah. Entar kalo aku jujur kamu marah. Aku gak biasa dimarahin," ujarnya kemudian, dibarengi dengan cengiran.
Raut Adara berubah masam. Tangannya ia lipat di atas perut dengan pipi menggembung lucu. "Jawab aja!"
"Eng ... walaupun kamu gendut, kamu tetap cantik kok, Yang. Tambah bohay malah aku suka," ujar Difan yang seketika membuat Adara menegakkan badannya.
"Jadi ... intinya aku gendut?" tanyanya dengan tatapan tak terima.
"Aku gak bilang gitu loh, ya."
"Difan, serius! Entar kalo aku gendut kamu ninggalin aku lagi," desaknya dengan intonasi yang terdengar sendu.
Difan terkekeh kecil. "Aku serius. Lagian aku gak bakalan ninggalin kamu kok. Aku gak suka cewek cungkring. Mending sama kamu ... bohay," ujarnya dengan kedua tangan meliuk di udara.
"Becanda mulu," desis gadis di depannya disertai delikan tajam.
Belum sempat Difan membalas ucapan Adara, seorang pelayan datang dengan membawa pesanan mereka. Membuat mereka terdiam sejenak sambil memperhatikan pelayan tersebut menata pesanan di atas meja.
"Selamat menikmati," ujar pelayan tersebut.
"Terima kasih," ujar Difan dan Adara secara bersamaan.
Setelahnya, pelayan itu meninggalkan mereka menikmati makanan dalam diam.
Sempat hening beberapa saat, karena kini dua sejoli itu terlihat lebih tertarik pada makanan di depannya. Teringat sesuatu, Difan kembali membuka suara.
"Eh, Yang?"
Adara yang tengah memasukan nasi goreng ke dalam mulutnya menatap sekilas, kemudian kembali pokus pada nasi goreng dengan udang crispy di depannya. Kentara sekali kalau makanan di depannya lebih menarik daripada Difan.
"Ingat gak, minggu depan annivarsary kita yang ke dua loh," mulai Difan. Kali ini berhasil menarik perhatian kekasihnya.
"Kapan? Aku kok gak ingat," ujar gadis itu dengan kening berkerut.
Difan mendengus kemudian memanyunkan bibir. Membuat Adara yang melihatnya malah memutar bola mata jengah.
"Jijik, Fan," kritiknya.
Mata Difan berubah melotot. Meracau dalam hati atas sikap keterlaluan gadis di depannya. Sesaat kemudian, tatapannya kembali meneduh, "Ya udah, lupain. Tadi sih, aku niatnya mau ngajak kamu liburan bareng."
Mendengar itu, senyum Adera merekah seketika. Tatapannya jadi berbinar penuh harap pada pria yang kini menampilkan smirk menyebalkannya. Sendok di tangannya terlepas, kemudian meraih sebelah tangan bebas Difan.
"Serius, Yang? Waaah, aku ingat kok. Tanggal dua puluh tujuh minggu depan, 'kan?" soraknya dengan semangat.
Difan menahan senyumannya. Sementara Adara terus menggoyangkan lengannya hingga membuat gelas di atas meja sedikit tersenggol. Untung saja lemon tea yang tinggal setengah itu tidak tumpah.
"Ups, hampir saja," lirih gadis itu.
"Udah, ah. Tadi katanya lupa. Giliran liburan aja langsung inget. Emang dasar aniv-nya gak penting buat kamu," ujar Difan kemudian menarik tangannya dari genggaman Adara.
"Ih, gak gitu, Yang. Aku barusan emang lupa kok, Cius," sanggah Adara dengan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya hingga membentuk huruf V. "Jadi kita mau ke mana?" lanjutnya saat melihat Difan hanya menganggukan kepala.
"Mendaki," jawab Difan pendek.
Mendengar itu, Adara yang sedang menyeruput minumnya tersedak. Mendaki? yang benar saja!
"Hah? Mau ke mana?"
"Mendaki, Yang. Besok aku tunjukin ke kamu indahnya kota Lembang dari ketinggian 1.587 mdpl," jelas Difan di sela-sela kunyahannya.
Adara menggeleng. Ia tidak suka mendaki. Panas dan buang-buang tenaga saja. Untuk apa perawatannya selama ini jika ujung-ujungnya harus berpanas-panasan? Difan ini ada-ada saja. Memangnya tidak ada tempat liburan lain apa selain ke gunung.
"Ke mall aja gak mau? Temenin aku nonton?" tawarnya, yang dibalas gelengan kepala oleh Difan. "Fan, ke gunung panas tahu. Udah gitu berdebu. Kulit aku ntar kusam, terus ini ... rambutku jadi lepek," jelasnya dengan gerakan tangan menyisir rambut yang beberapa saat lalu dikrimbat.
"Mendaki doang, Yang. Lembang juga gak panas. Asri, sejuk jadi gak usah khawatir kalo kulit kamu bakalan kusam. Lagian walaupun kamu kusam, aku tetap sayang kok," terang Difan diakhiri dengan guyonan.
Adara semakin mengerucutkan bibir. Mau nolak, tapi sayang liburan bersama pria di depannya ini akan sia-sia. Kebetulan minggu depan juga ia free dan berhubung papanya sedang tidak di rumah. "Gak panas?" Ia kembali memastikan.
Difan mengagguk, namun setelahnya menggeleng.
"Jawaban macam apa itu?!" seru Adara membuat Difan terkekeh.
"Lagian mana ada orang mendaki gak panas-panasan," ujarnya.
"Kamu gak konsisten banget, sih. Tadi katanya gak panas. Yang benar yang mana?"
"Yang benar tuh, aku bakalan gendong kamu kalo seandainya nanti kamu capek," jawab Difan dengan senyum jahil.
Adara merengut dengan bibir yang dicabikan. Bukannya blushing atau malu-malu seperti kebanyakan cewek saat digoda, emosi Adara justru tersulut. Ia sudah kebal dengan gombalan receh Difan. Ia malah sering naik darah karena jawaban Difan yang kadang tak pernah serius. Kebanyakan bercanda, hingga tak tau sikon. Adara menghela udara seringan mungkin, kemudian menatap Difan dengan jengah. Jangan sampai cewek ini hilang kendali kemudian mencakarnya.
"Mau dicolok?" tanyanya garang seraya mengarahkan ujung garpu di tangannya ke arah wajah Difan.
Bukannya takut, Difan malah semakin tergelak. "Aku anggap itu sebagai jawaban 'iya'," ujarnya seraya bangkit dari duduknya. "Aku ke kasir dulu," lanjutnya kemudian melangkah menjauh dari Adara yang kini semakin menekuk wajahnya.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top