🦋Pembalasan Diaz🦋
Bukan karena harta, aku ingin mendekatinya. Namun, karena hati ini yang ingin mengubahnya untuk menjadi sosok yang amat dekat dengan surga-Nya
****
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema
Happy reading jangan lupa vote
Wajah Diaz sudah panas dingin tidak karuan, berdekatan dengan perempuan saja jarang malah harus dihadapkan pada situasi yang akan mencoreng nama baiknya.
“Cukup, jangan lakukan itu!” pekik Diaz ketakutan setengah mati. Ia memalingkan sambil menutup wajahnya agar tidak melihat Rindi melakukan hal gila.
“Oke, berarti setuju menemani acara besok?” Rindi tersenyum penuh kemenangan, hatinya bersorak. Lagi-lagi keberuntungan berpihak pada dirinya, akan ia buktikan jika bisa mendapatkan laki-laki pengganti Arif walaupun hanya sandiwara saja.
“I-iya, iya,” sahut Diaz pasrah karena terpojok walaupun dalam hatinya menolak habis-habisan.
“Terima kasih,” sorak Rindi sambil mengitari ruangan kecil di rumah ini. Pelan-pelan Diaz merenggangkan jari yang menutup wajahnya, ia melihat kelakuan Rindi seperti anak kecil, dalam hati hanya bisa istigfar karena dipertemukan dengan makhluk seperti ini. Diaz memilih duduk sambil menetralisir denyut jantung yang sudah tak beraturan.
“Serius?” tanya Rindi tak percaya, gadis itu berlutut di depan Diaz yang sedang duduk. Denyut nadi yang sudah kembali normal tiba-tiba kembali lagi sepeti tadi. Terpaksa Diaz menggeser duduknya sambil mengelus dada.
Deheman lirih menggantikan jawaban dari pertanyaan Rindi sehingga mata yang masih bengkak karena menangis itu sekarang berbinar saking bahagianya.
“Jangan bahagia dulu, ada syaratnya,” cibir Diaz dengan penuh semangat.
“Apa?”
“Saat acara kamu harus menurut sama saya.”
“Kirain apa,” dengus Rindi sambil duduk kembali di samping Diaz. Ia lalu melancarkan aksinya kembali dengan membuka resleting sweater yang masih melekat di tubuhnya.
“HEI, APA YANG KAMU LAKUKAN!” pekik Diaz yang sudah kembali terkejut sampai berdiri di atas kursi. Kedua tangan hampir menutup wajahnya tetapi keburu sweater itu dilepas oleh Rindi.
“Di sini panas, tidak ada AC,” sahut Rindi mengibaskan tangannya padahal sweater itu sudah tergeletak di sampingnya. Diaz mengusap dada dengan sangat lega, ia sudah berpikiran tidak-tidak karena gadis itu ternyata masih memakai kaos lengan panjang. Hati Diaz semakin dongkol, padahal ia sudah menyanggupi permintaan Rindi.
“Astaghfirullah, aku sudah dijebak,” batin Diaz menangis.
Sedangkan Rindi melanjutkan makan sambil menahan senyum karena rencananya berhasil membuat Diaz bertekuk lutut. Ia mengambil sesendok nasi beserta lauk kemudian diarahkan ke mulut Diaz. Sontak laki-laki itu kembali terkejut. Bersama dengan Rindi jantungnya bakal sering sakit.
“Apa-apaan lagi?”
“Latihan biar besok enggak kaku,” tukas Rindi yang terus mengarahkan sendok ke mulut Diaz yang sudah berapa kali mengelak.
“Harus latihan, ya?” tanya Diaz parno.
“Iya, biar Arif panas.”
Diaz terpaksa menerima suapan dari Rindi dari pada ditodong sendok terus menerus. “Satu suap saja, saya bukan anak kecil.”
Diaz yang masih khusyuk dengan doa selepas Dhuha tiba-tiba dikejutkan langkah seseorang yang sudah masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam sama sekali. Tirai pintu kamar yang terbuka tetap memperlihatkan siapa yang datang tetapi Diaz tetap khusyuk menggulir tiap butir tasbih di tangannya. Hampir sepuluh menit tetap menyelesaikan dzikir dan doa dengan mengabaikan Rindi yang sedang berjalan kian kemari.
“Dua jam lagi kan acaranya?” tanya Diaz sambil melihat jam dinding.
“Iya tapi kan setidaknya kita siap-siap dulu,” jawab Rindi dengan wajah yang sangat panik. Ia meraih lengan Diaz dan menarik untuk secepatnya pergi tetapi Diaz berhasil melepaskan pegangan tangan Rindi.
“Tunggu sebentar. Saya tidak mungkin berpakaian seperti ini,” tunjuk Diaz sambil memperlihatkan baju takwa dan sarung lengkap peci yang masih melekat di tubuhnya.
“Tidak apa-apa, aku sudah menyiapkan semuanya di rumah.”
Rindi kembali menarik Diaz dengan paksa untung laki-laki itu bisa meraih ponsel dan dompet untuk ikut dibawa. Di dalam mobil mewah Rindi, Diaz seperti orang asing yang masuk ke dalam kehidupan baru. Rindi sibuk dengan ponselnya. Dua bodyguard duduk di depan dan kadang memberikan tatapan ngeri pada Diaz.
“Ayok turun sudah ditunggu sama asisten aku, kita tidak ada waktu lagi!” seru Rindi memaksa Diaz untuk segera naik ke lantai atas. Diaz sendiri sempat menunduk dan tersenyum pada orang tua Rindi yang sedang duduk di ruang utama rumah ini. Sementara itu Baskoro hanya diam saja tak ada respons. Sebenarnya ia tidak menyukai laki-laki yang dibawa Rindi tetapi demi melihat anaknya bahagia ia mengesampingkan egonya.
Di ruangan yang lumayan luas terdapat meja rias besar dan lemari kaca yang berisi puluhan baju laki-laki dan perempuan yang tergantung rapi di setiap kaca. Seorang laki-laki dan perempuan menyambut sambil menunduk ke arah mereka berdua yang baru datang.
“Billy pilihan baju yang cocok untuk laki-laki ini. Dea tolong rias wajah saya secantik mungkin!” seru Rindi yang sudah duduk di depan meja yang di depannya terdapat cermin dan beberapa lampu menyala terang.
Billy yang ditunjuk oleh Rindi langsung sigap menyuruh orang yang baru datang itu untuk memilih kemeja batik panjang yang sesuai dengan bentuk tubuh Sedangkan Diaz sendiri masih ragu untuk memilih, bagaimana tidak kualitas kemeja batik itu untuk kalangan atas, beda sama yang biasa dikenakan di sekolah, itu pun kadang hadiah pemberian wali murid. Pilihan tertuju pada batik warna cokelat dengan motif sederhana tetapi terlihat elegan. Rindi memang tak tanggung-tanggung. Ia juga menyuruh Billy untuk memangkas rambut Diaz agar sedikit rapi.
“Yakin pakai baju seperti ini?” tanya Diaz sambil terus memperhatikan Rindi yang sudah rapi. Gadis itu berputar di depan Diaz sambil mengacungkan jempol.
“Saya tak mau kamu memakai baju seperti ini. Ganti.”
Rindi dan dua orang lain di sini terbelalak kaget. Menurut mereka ini adalah penampilan yang sudah terbaik dan semaksimal mungkin. Kebaya modern dipadu padankan rok span batik di atas lutut sehingga menampakkan kaki jenjang Rindi.
“Cari yang lebih sopan.”
Diaz sendiri yang turun tangan mencarikan baju yang sesuai untuk Rindi. Pilihan jatuh pada gaun panjang berbahan satin dengan warna cokelat senada dengan baju yang dipakai olehnya.
“Ak-aku tidak harus pakai ini, kan?” tanya Rindi bingung setengah mati. Gaun itu sekarang sudah ada di tangannya.
“Mbak tolong carikan kerudung yang warnanya masuk dengan baju ini,” pesan Diaz kepada perias perempuan
“WHAT?” seru Rindi kaget setengah mati. Baju kedodoran seperti ini saja sudah membuatnya kegerahan ditambah kerudung. Ia mendekat ke arah Diaz sambil melihat manik matanya, entah rencana apa yang dipikirkan laki-laki itu.
“Kerudung? Untuk apa?”
“Kamu mau terlihat beda, kan?”
“Tapi tidak juga harus pakai kerudung? Aku berdandan secantik ini juga nanti Arif bakal menyesal telah meninggalkan aku?”
“Kamu sudah berjanji akan mengikuti permintaan saya jika menyanggupi untuk hadir ke acara itu.”
Rindi semakin terpojok, baru tahu kalau ternyata Diaz mempunyai rencana lain. Ia mengira laki-laki itu meminta dibelikan sesuatu sebagai imbalan, tidak ada permintaan aneh seperti ini. Sekarang, asistennya sudah berdiri di samping sambil menyerahkan sebuah kerudung pashmina cokelat, tentu saja milik mamah.
“Aku tidak mau kepanasan, aku juga tidak akan terlihat seperti tua kalau memakai itu, kan?”
“Dicoba dulu nanti kamu tahu keajaibannya.”
Rindi terpaksa mengalah mencoba memakai baju itu yang menurutnya sangat aneh, belum kerudung yang nantinya menutupi rambutnya yang sudah tertata rapi. Hampir setengah jam berganti pakaian dan dirias kembali, gadis itu sekarang mematut di depan cermin besar. Ia sampai tak mengenali diri sendiri tentang perubahan dalam penampilannya seakan seperti orang lain yang menyatu dengan tubuhnya.
“Cantik.”
Rindi menatap ke belakang, calon pendampingnya juga sudah berdiri dengan gagah. Billy sempat memoles bekas luka di sana agar tak terlihat, belum rambut yang dirapikan membuat guru itu sedikit muda tak seperti biasanya.
“Apakah Arif nanti akan menyesal melihat aku seperti ini?” tanyanya ragu.
“Kamu sendiri yang akan menyesal karena sejauh ini tak menutupi kecantikan kamu malah diumbar agar orang lain terpikat.”
Rindi merenungi setiap kata yang diucapkan Diaz, sudah berapa materi yang ia keluarkan agar Arif selalu kepincut dan tidak tertarik dengan perempuan lain, nyatanya sekarang sudah terjadi hal yang ditakutkannya. Mereka berdua menuruni tangga, Diaz memilih jalan di belakang Rindi yang tampak kewalahan karena gaun yang dipakai menutupi mata kakinya sehingga terpaksa dituntun oleh asisten perempuan. Di bawah sana orang tua Rindi tak menyangka dengan apa yang dilihat. Mamah tak bisa berkata-kata dan terus memandangi anak perempuannya yang sangat berbeda. Sedangkan Baskoro masih saja diam seribu bahasa.
Rindi dan Diaz berjalan beriringan, satu bodygyard membukakan pintu untuk mereka dan satu lagi berdiri di belakang mereka . Diaz mempersilahkan Rindi untuk naik mobil terlebih dahulu. Ide gila tiba-tiba muncul di otaknya ketika Rindi hendak masuk ke mobil.
“Sudah siapkah menjadi calon istri Diaz Putra Dewanto?”
Rindi menghentikan langkahnya karena tak percaya dengan apa yang ia dengar dan telinganya mendadak tuli dibarengi wajah yang sudah memerah.
꧁ᬊ᭄𒆜 '''Insyaallah Jodoh''' 𒆜ᬊ᭄꧂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top