Chapter 13 [Ilusi Yang Menyakitkan]

    Reygan dan Alexander saat ini duduk berhadapan di ruang kerja Reygan. Tampak rasa bersalah di wajah Alexander. Jika dia sampai terlambat, mungkin ia tak lagi bisa terlibat pembicaraan dengan si dokter.

    "Maaf, harusnya aku tidak pergi begitu saja," sebuah ungkapan penyesalan mengawali pembicaraan keduanya.

    "Aku berniat meminta bantuan pada orang lain, kau tidak perlu terlibat lagi dalam masalah ini."

    "Aku tidak bisa berhenti sampai di sini."

    "Kalau begitu tunjukkan jalannya padaku. Aku akan menjemput putraku di Lembah kematian."

    "Kau tidak bisa pergi ke sana."

    "Aku akan menerima semua resikonya."

    "Kau hanya akan mengantar nyawa jika pergi ke sana."

    Pandangan Reygan jatuh pada meja seiring dengan helaan napasnya yang berat. Hanya sekilas dan ia kembali memandang sang lawan bicara.

    "Kalau begitu katakan apa rencanamu, kita sudah kehabisan waktu."

    "Aku yang akan pergi."

    Reygan menatap ragu. "Dengan kondisimu yang seperti itu?"

    "Jangan menganggapku remeh. Jika kau ingin membantu, pergilah ke Gereja dan berdoa."

    Alexander beranjak dan hendak meninggalkan Reygan, namun langkah itu terhenti ketika mendengar suara Reygan di balik punggungnya.

    "Kembalilah dengan selamat."

    "Aku tidak akan menjanjikan apapun padamu," balas Alexander yang kemudian melanjutkan langkahnya.

    Meninggalkan Reygan, Alexander bergegas menuju lantai dua dan menetapkan ruang tengah sebagai tempat tujuannya. Kembali menemui sisa kekacauan di sana, Alexander berdiri di tengah lingkaran dan berdiam diri sejenak.

    Selang beberapa detik, satu lututnya mengarah pada lantai bersamaan dengan ia yang mengambil korek api dari saku jasnya. Alexander kemudian menyalakan salah satu lilin yang masih berdiri. Menyingkap salah satu ujung jasnya dan mengambil sebuah belati yang terselip di pinggangnya, sejenak Alexander memandang belati di tangannya. Mencoba menghilangkan sisa keraguan dalam hatinya.

    Namun saat itu getar ponsel yang berada di dalam saku jasnya berhasil mengalihkan perhatiannya. Menggunakan tangan kiri, Alexander mengambil ponselnya dan melihat nama Nathan Domani sebagai identitas sang pemanggil.

    Terlihat mempertimbangkan sesuatu, pada detik ke lima Alexander memutuskan untuk menolak panggilan tersebut dan menggeletakkan ponselnya di lantai. Kembali fokus pada apa yang menjadi tujuan awalnya.

    Tangan kiri Alexander kemudian terangkat dan ia tempatkan tepat di atas lilin yang menyala, begitupun tangan yang memegang belati yang turut terangkat. Tangan kiri Alexander lantas menggenggam sisi tajam belati itu.

    Sempat terdiam beberapa saat sebelum batin itu berucap, "aku akan pergi, ayah."

    Alexander melukai telapak tangan kirinya yang kemudian mengepal, dan dengan cepat darah itu keluar dari genggaman tangannya. Menetes dan mengenai api kecil di bawah tangannya. Bertepatan saat itu, mulut Alexander menggumamkan sesuatu dengan cepat.

    Pada hitungan ke sepuluh, angin kecil tiba-tiba berhembus dan membuat lilin kecil itu mati. Perlahan Alexander menoleh ke samping kanan, menyambut kegelapan yang dengan cepat menelannya. Menyisakan angin yang berhembus tenang di ruang kosong dengan bercak darah yang tertinggal pada salah satu lilin yang hanya menyisakan asap kecil yang lantas memudar hanya dalam hitungan detik.

    Panggilan dari orang yang sama masuk ke ponsel Alexander, namun sayangnya tak akan ada orang yang menjawab ataupun menolak panggilan itu. Sedangkan di luar ruangan, Reygan berdiri di depan pintu. Memutuskan untuk menemui Alexander setelah melihat pria itu menuju lantai atas sebelumnya.

    Tanpa mengetuk pintu, Reygan membuka pintu tersebut dan berdiri di ambang pintu ketika tak menemukan siapapun di sana. Dia hendak pergi, namun suara getar ponsel Alexander berhasil menarik perhatiannya.

    Reygan masuk dan mendakati ponsel yang tergeletak di lantai. Namun tepat saat ia sampai di sana, ponsel itu sudah mati. Reygan mengambil ponsel itu, namun pandangannya justru menangkap darah pada salah satu lilin yang masih basah. Netra Reygan membulat.

    Menegakkan tubuhnya, Reygan memandang sekeliling dan meyakini bahwa Alexander baru saja berada di ruangan itu.

    "Tuan Lim," sebuah panggilan bernada khawatir, terasingkan oleh udara senyap tanpa kehidupan.

INSIGHT

    Kelopaknya mata Alexander terbuka. Mendapati dirinya di alam bebas yang tampak tak asing. Namun ia yakin bahwa itu bukanlah kediaman Reygan, meski seharusnya saat ini ia berada di kediaman Reygan. Tempat di mana ia berada sebelumnya, karena Lembah kematian tempat di mana saat ini ia berada hanyalah cerminan dari dunia manusia. Namun Alexander merasa bingung karena justru ia berada di tempat lain.

    Memandang sekeliling, tak ada yang bisa Alexander temui selain hanya pepohonan yang menjulang tinggi. Mengakhiri kebingungannya, Alexander kemudian mengambil langkah pertamanya dan selanjutnya menuju ke arah utara. Tak memiliki arah tujuan dan hanya mengikuti kata hatinya yang meyakini jalan yang harus ia tuju.

    Tak begitu jauh berjalan dari tempat sebelumnya, Alexander menemukan sebuah bangunan yang tak jauh dari tempatnya. Alexander lantas mempercepat langkahnya ketika ia meyakini bahwa itu adalah kediaman Reygan. Namun ketika telah sampai di ujung halaman, Alexander justru menghentikan langkahnya dengan tatapan tertegun ketika bukan rumah Reygan yang ia dapati, melainkan bangunan lain yang sangat familiar dalam ingatannya. Rumah lamanya yang ia tinggali bersama kedua orang tua dan kakak laki-lakinya.

    Perasaannya mulai tak tenang, namun tak ada jalan mundur baginya. Hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk menuju rumah itu dengan menanggung semua resiko yang akan ia hadapi setelah. Namun baru beberapa langkah ia ambil, dan dia kembali berhenti ketika melihat pintu rumah itu terbuka dari dalam.

    Alexander terkejut ketika melihat sosok pemuda yang sangat familiar berdiri di ambang pintu dan tersenyum hangat ke arahnya.

    "Aslan?" gumam Alexander. Merasa tak percaya jika yang dihadapkan padanya saat itu adalah kakaknya sendiri.

    "Anak nakal, apa yang kau lakukan di situ?" tegur Aslan.

    Alexander yang masih bingung justru tak menjawab teguran yang jelas-jelas ditujukan padanya.

    Aslan kemudian berbicara lebih lantang, ditujukan pada orang yang berada di dalam rumah, "Ibu ... anak nakal Ibu sudah pulang. Lihatlah penampilannya, dia pasti baru saja berburu kelinci di hutan."

    Perkataan itu membawa kembali ingatan Alexander akan apa yang pernah terjadi di masa lalu. Mungkinkah saat ini ia sedang berada di masa lalunya?

    Aslan turun ke halaman dan menghampiri Alexander. Memberikan pukulan besar pada batin Alexander hingga kesedihan serta penyesalan itu kembali terlihat dalam sorot mata Alexander.

    "Kenapa melihatku seperti itu? Jangan kurang ajar pada kakakmu," tegur Aslan ketika sudah berada di hadapan Alexander.

    Dengan suara gemetar Alexander berucap, "Aslan ... kenapa?"

    Aslan mendecak sembari menggelengkan kepala. "Lihatlah penampilanmu, aku tidak yakin jika kau adalah adikku ... harus berapa kali kukatakan, berhenti berburu kelinci. Memangnya kau bangsa serigala?"

    Alexander tak mampu menjawab ketika apa yang ia hadapi saat ini berhasil kembali melukai hatinya. Menjatuhkan pandangannya ke samping guna meyakinkan diri bahwa semua hanyalah ilusi, perhatiannya dengan cepat teralihkan ketika Aslan tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dan membawanya menuju rumah.

    "Ayo, biarkan ibu memarahimu."

    Alexander tak memberontak. Dan justru dalam kesakitan yang kembali menyergapnya itu, ia terus memperhatikan wajah sang kakak yang sangat ia rindukan dan bahkan hampir ia lupakan.

    Memasuki rumah, Aslan membawa Alexander ke ruang makan. Di mana di sana Alexander menemukan kedua orang tuanya yang sudah menunggu di meja makan.

    "Kau sudah datang? Kemarilah, kita makan bersama," ibu Alexander berdiri dan memberikan sambutan.

    Alexander kemudian duduk di tempat yang ditujukan Aslan untuknya dan setelahnya ibu Alexander mulai mengambil piring mereka satu persatu, mengisinya dengan nasi dan juga beberapa lauk. Sebuah acara makan keluarga yang sederhana dan penuh kehangatan. Alexander memperhatikan setiap wajah yang saat ini tertawa dengan sangat riang meski tak ada candaan yang terlontar. Dan saat itu batin Alexander mulai memberontak.

    Alexander menunduk dalam, kemudian kedua tangannya mencengkram kepala. Mencoba mengembalikan akal sehatnya yang sempat menghilang ketika kesedihan berhasil mengambil alih kendali atas tubuhnya.

    Batin itu berucap untuk meyakinkan dirinya sendiri, "tidak, ini hanyalah ilusi. Mereka bukan keluargaku, ini hanyalah tipu muslihat ... sadarlah Alexander, kau tidak harus mengikuti permainan mereka."

    "Alexander, kau tidak ingin makan?" suara berat pria dewasa itu yang kemudian membuat Alexander kembali mengangkat wajahnya.

    Alexander tampak terkejut ketika melihat kedua orang tuanya sudah berdiri di sampingnya dengan membawa pisau di tangan masing-masing. Dan seulas senyum miring di wajah kedua orang itu berhasil memberikan keyakinan pada Alexander bahwa ia berada dalam bahaya.

    "Kalian bukan keluargaku."

    Aslan yang berada di sisi lain menyahut, "hampir. Kau akan menjadi bagian dari kami ... secepatnya."

    Alexander menoleh ke tempat Aslan, dan bersaman dengan itu Aslan mengangkat sebuah guci yang terbuat dari keramik. Hendak menggunakannya untuk memukul kepala Alexander.

    Netra Alexander membulat. Dengan cepat ia naik ke atas meja dan berguling ke sisi lain bersamaan dengan guci yang hancur setelah menghantam meja. Detak jantung Alexander berpacu ketika ketiga orang terdekatnya itu mulai menyerangnya secara brutal sembari menggeram layaknya hewan buas.

    Ketika ketiga orang itu menaiki meja, Alexander pergi ke sisi sebelumnya melalui bawah meja. Dan setelahnya ia menggulingkan meja itu untuk menghalangi ketiga orang itu. Namun saat itu Aslan melemparkan pisau dan berhasil mengenai bahunya.

    Tubuh Alexander tersentak. Dan ketika ia kehilangan fokus selama beberapa detik, saat itu tubuh Aslan melayang ke arahnya. Mendapatkan kerah kemejanya dan menyudutkannya pada dinding.

    Kali ini Alexander melihat wajah asli dari sosok yang saat ini memojokkannya. Bukan lagi wajah kakaknya yang ia temui, melainkan wajah asing yang tampak mengerikan. Begitupun dengan kedua orang tuanya yang turut datang mendekat.

    Merasa semakin kesulitan untuk bernapas, tangan kiri Alexander berusaha mengambil belati di balik punggungnya. Dan setelah mendapatkan belati tersebut, ia langsung menggunakannya untuk menyerang sosok di hadapannya dan berhasil membuat garis luka yang berpusat dari sudut bibir mengarah ke bagian wajah.

    Sosok itu lantas melepaskan Alexander dan meraung kesakitan. Sementara dua sosok lainnya tampak marah dan hendak menyerang Alexander. Saat itulah Alexander melihat sebuah pintu tidak jauh dari tempatnya.

    "Ini hanyalah dunia ilusi, semua yang berada di sini adalah gambaran dari sebuah pemikiran. Tidak ada jalan keluar jika kita tidak pernah mempercayainya."

    Ingatan Alexander kembali mengulang perkataan yang pernah Nathan Domani ucapkan padanya. Dan karena kalimat itulah Alexander memutuskan untuk membuat jalan bagi dirinya sendiri.

    Alexander bangkit. Meraih sebuah kursi yang kemudian ia lemparkan ke arah dua sosok yang hendak menghampirinya, setidaknya itu cukup berguna untuk menghadang kedua sosok itu. Alexander kemudian berlari menuju pintu dan segera keluar dari tempat itu.

    Menutup pintu yang sempat ia buka, napas Alexander terdengar memburu. Namun tempat di mana ia berada saat ini sempat membuatnya tertegun selama beberapa detik. Menjauh dari pintu, Alexander memperhatikan tempat ia berada. Dan tidak salah lagi bahwa saat ini ia berada di rumah Reygan.

    Tak ada lagi keraguan yang terlihat dalam sorot matanya. Alexander menatap ke lantai atas dan berucap dalam hati, "aku hanya perlu menemukan tempat di mana anak itu menghilang."

    Detik itu juga, pendengaran Alexander mendengar alunan piano dari lantai atas. Tanpa buang waktu lagi Alexander segera bergegas ke lantai atas, namun tanpa ia sadari bahwa bocah yang sebelumnya menyerang Reygan mengikuti langkahnya.

    Memasuki ruang tengah, Alexander menemukan Ethan tengah bermain piano. Alexander menghampiri bocah itu dan menarik salah satu tangan bocah itu. Menghentikan permainan piano dengan nada yang berulang-ulang itu.

    "Kita pulang sekarang, Ethan."

    "Paman ini ... siapa?" perkataan yang terucap tanpa semangat, membuat wajah pucat itu semakin terlihat meyedihkan.

    "Ayahmu sudah menunggu, sekarang ikutlah dengan paman."

    "Ayah?" pemuda itu tampak linglung.

    Alexander menarik lembut tangan bocah itu hingga berdiri. "Apapun yang terjadi, jangan pernah melepaskan tangan paman."

    Alexander kemudian membawa Ethan keluar. Namun niatannya itu terhalangi oleh pintu yang tiba-tiba terbuka dari luar secara perlahan.

    "Lama tidak bertemu, Alexander."

    Seulas senyum miring menyentak batin Alexander.

Selesai ditulis : 02.11.2020
Dipublikasikan : 02.11.2020

   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top