Chapter 10 [Bocah Pembawa Salib]
Alexander terbangun ketika merasakan hangat sinar matahari mengenai permukaan kulit wajahnya. Netra itu menyipit, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang memberikan sambutan kecil padanya. Bangkit terduduk, Alexander memandang sekeliling dengan wajah yang bingung. Dia terbangun di sebuah kamar yang terlihat familiar, namun dia tidak yakin dengan tempat di mana ia berada saat ini.
Alexander menyibakkan selimut yang menutupi kakinya. Dan dengan kaki telanjangnya, dia berjalan menuju pintu. Saat hendak membuka pintu, pergerakan Alexander terhenti ketika melihat ujung lengan kemeja putihnya terdapat noda merah menyerupai darah.
Alexander menarik tangannya dan sejenak memperhatikan tangannya sendiri, hingga pandangannya menemukan bahwa kemeja putih yang ia kenakan di balik jas hitamnya terdapat bercak darah yang cukup banyak. Dia terlihat bingung.
"Apa yang terjadi?"
Tak mampu memberikan jawaban atas pertanyaannya sendiri, Alexander lantas membuka pintu. Berinisiatif untuk mencari tahu di mana saat ini ia berada. Dan pergerakannya kembali terhenti ketika ia menemukan sosok yang sangat familiar menghentikan langkah tepat di hadapannya.
Senyuman hangat itu, tatapan tulus di balik kaca mata yang membingkai wajah keriput itu. Alexander mengenalnya dengan baik, Alexander mengingatnya dengan sangat baik. Christopher Lim.
"A-ayah?" suara itu terdengar gugup.
"Kau sudah bangun, Alexander?"
Alexander tak mampu menjawab ketika kebingungan telah menguasainya. Memandang ke sekeliling, ia baru menyadari bahwa tempat tak asing itu adalah rumah lamanya.
Alexander kemudian bergumam, "kenapa ... kenapa aku ada di sini?"
"Kita harus bicara, Alexander. Ikutlah dengan ayah."
Christopher melangkahkan kakinya. Dan Alexander yang masih berada dalam kebingungan lantas mengikuti langkah sang ayah, hingga keduanya berakhir di ruang makan yang berada di lantai dasar. Keduanya kemudian duduk berseberangan. Namun saat itu Alexander kembali memandang sekeliling, merasa tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini hingga suara Christopher berhasil kembali menarik perhatian.
"Kenapa kau mundur?"
Alexander menatap penuh tanya. "Apa maksud Ayah?"
"Apa yang kau takutkan?"
"A-apa maksud Ayah?"
Christopher tersenyum lembut. "Bagi mereka, kita adalah makhluk rendahan. Tapi bukan berarti derajat mereka lebih tinggi dari pada kita."
"Apa yang sedang Ayah bicarakan?"
"Kau belum mengerti juga?"
"Apa aku sedang bermimpi?"
Christopher kembali tersenyum dengan cara yang sama. "Kau sudah berdiri di tempat yang benar. Kuatkan pijakanmu, dan tutuplah jalan di belakangmu."
Pandangan Alexander terjatuh pada meja. Dia pun bergumam dengan sangat ragu, "aku—"
"Pergilah," suara tenang Christopher yang kembali menarik perhatian Alexander.
Mengangkat wajahnya, Alexander kembali memandang sang ayah.
"Ke mana?"
"Kau tahu jalan mana yang harus kau lewati. Sekarang pergilah."
Alexander ragu, hatinya terasa berat untuk pergi. Namun kaki itu memaksanya untuk bangkit dan berjalan menuju sebuah pintu. Tangan yang menyentuh gagang pintu itu sejenak menghentikan pergerakannya. Memandang kembali sang ayah yang tersenyum hangat, Alexander membuka pintu di hadapannya yang kemudian membimbingnya untuk memasuki ruangan lain.
"In nómine Pátris et Fílii et
Spíritus Sáncti. Amen."
(Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin)
Alexander menoleh ke samping kiri ketika suara familiar itu menyapa pendengarannya, dan saat itu sesuatu berhasil menyentak batinnya. Seorang Pastor berbalik ke arahnya dengan membawa seulas senyum hangat yang ditujukan untuknya.
"P-pastor Gabriel?" gumam Alexander. Menatap bingung pada tempat saat ini ia berada, dan dia tahu bahwa saat ini dia berada di dalam Gereja.
"Kau terlambat lagi, Pastor Michael."
Michael : Dibaca Mikael.
Netra Alexander mengerjap, menatap tak percaya pada Pastor Gabriel yang berjalan mendekatinya.
"Pastor Michael?" gumam Alexander.
Senyum itu kembali mengembang di wajah Pastor Gabriel ketika keduanya sudah saling berhadapan.
Sang Pastor kembali menegur, "bagaimana acaranya?"
Alexander kembali dibuat bingung. "Apa yang sedang Pastor bicarakan?"
"Reuni SMA-mu, bukankah kau mengatakan akan pergi ke sana?"
Alexander sejenak terdiam, mencoba memahami apa yang saat ini terjadi. Kembali memandang sekitar, Alexander yang mulai bisa menggunakan logikanya pun menyadari bahwa saat ini ia tengah berada di dunia ilusi. Entah siapa yang membawanya ke tempat itu.
Alexander kemudian berucap dalam hati, "reuni SMA? Kapan itu terjadi? Aku tidak bisa mengingatnya."
"Kau memikirkan sesuatu lagi, Alexander?"
Alexander kembali menjatuhkan pandangannya pada Pastor Gabriel dan batin itu kembali tersentak ketika melihat Pastor Gabriel yang sebelumnya menggunakan pakaian berwarna hitam, kini berganti menjadi pakaian serba putih yang biasa digunakan untuk acara yang sangat penting.
"Sudah waktunya untuk pergi. Aku harap kau tidak melarikan diri lagi seperti dulu."
Perkataan itu membawa kembali ingatan lama Alexander. Kembali memandang sekeliling, Alexander menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri.
Dia berucap dalam hati, "benar, ini adalah hari itu. Aku mengingatnya ... hari di mana aku melarikan diri saat pembaptisan. Tapi ... kenapa aku di sini?"
"Bahkan pendosa sekalipun memiliki kesempatan untuk sampai di surga setelah mereka mengakui dosa-dosa yang telah mereka perbuatan."
Alexander kembali memandang Pastor Gabriel. "Apa maksud Pastor?"
Pastor Gabriel tersenyum. "Apa yang sedang kau cari, Alexander?"
Alexander menggeleng ragu.
"Lalu, apa yang kau takuti?"
Alexander menjatuhkan pandangannya ke samping. Sejujurnya, dia merasakan ketakutan dalam hatinya. Namun ia tidak tahu apa yang tengah ia takuti.
"Confiteor Deo omnipotenti ..." (Aku mengaku kepada Tuhan yang maha kuasa)
Batin Alexander kembali tersentak, membimbing pandangannya untuk kembali memandang Pastor Gabriel yang mengucapkan kalimat yang tentunya sudah ia mengerti.
"... beatae Mariae semper Virgini ..." (Kepada St. Maria tetap perawan)
"Tuan Lim," suara lain mencoba mengacaukan konsentrasi Alexander terhadap apa yang kini diucapkan oleh Pastor Gabriel.
"... beato Michaeli Archangelo ..." (Kepada Malaikat Agung St. Mikael)
"Tuan Lim!" suara itu kembali terdengar dan lebih keras.
Namun mulut Alexander turut melanjutkan kalimat Pastor Gabriel.
" ... beato Joanni Baptistae—" Kepada St. Yohanes pembaptis)
"Tuan Lim!"
Batin Alexander tersentak ketika pintu Gereja terbuka. Dan ketika pandangannya mengarah pada pintu, cahaya yang sangat terang berhasil membutakan matanya. Hanya dalam hitungan detik, mata itu kembali terbuka dengan napas berat yang memburu.
"Tuan Lim," teguran dari suara familiar itu tertangkap oleh pendengaran Alexander.
Mengarahkan pandangannya ke sumber suara, Alexander menemukan Reygan berdiri di sisi ranjang dengan wajah yang terlihat khawatir. Terlihat bingung, Alexander memandang sekeliling dan menemukan dirinya sudah berada di tempat yang berbeda dengan keadaan yang berbeda pula.
"Tuan Lim, kau bisa mendengarku?"
Alexander bergumam sebagai jawaban sebelum kembali memandang Reygan.
"Di mana?" gumam Alexander.
"Di klinik. Bagaimana keadaanmu?"
Alexander hendak bangkit, namun saat itu rasa sakit yang luar biasa langsung menumbangkannya dengan wajah yang tampak kesakitan.
"Bahumu cedera, lebih baik kau tetap berbaring."
Alexander masih tampak linglung. Namun Reygan juga masih bingung meski ia sangat bersyukur bahwa Alexander tidak mengalami luka yang serius. Namun dilihat dari lokasi Alexander terjatuh, seharusnya Alexander mendapatkan luka yang serius. Bukan hanya sekedar cedera ringan pada bahu dan juga kaki bagian kiri.
Dibandingkan dengan luka dalam, Alexander mengalami luka luar yang cukup parah. Di mana beberapa bagian tubuhnya terkena serpihan kaca, tak terkecuali dengan bagian wajahnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Alexander kemudian.
Reygan yang tidak ingin membuat kondisi Alexander memburuk, lantas memilih untuk tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Alexander.
"Jangan terlalu dipikirkan. Sembuhkan dirimu terlebih dulu."
Alexander menatap langit-langit ruangan dengan membawa helaan napasnya yang terdengar begitu dalam. Separuh kesadarannya masih tertinggal di alam mimpi, dan itulah sebabnya dia menjadi linglung karena belum bisa membedakan mana kenyataan dan mana ilusi.
Selesai ditulis : 29.10.2020
Dipublikasikan : 30.10.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top