Chapter 08 [Sesuatu Yang Baru]
Reygan keluar dari rumah ketika tak menemukan Alexander saat ia terbangun setelah tertidur di ruang kerjanya semalam. Reygan segera turun ke halaman, tertegun ketika tak mendapati mobilnya. Apakah Alexander sudah menipunya?
Reygan segera kembali ke dalam rumah. Mengambil ponselnya di atas meja kerjanya dan menghubungi Alexander. Dan tak menunggu waktu lama hingga Alexander menjawab panggilannya.
"Apa maksudnya ini?" tegur Reygan dengan nada menuntut.
"Oh, Dokter Munaf. Tunggu sebentar, aku sudah sampai."
Alexander langsung mematikan telepon, dan Reygan yang mendengar suara mobil memasuki halaman rumahnya lantas bergegas keluar. Reygan turun ke halaman ketika melihat Alexander turun dari mobilnya. Dan bukannya segera menghampiri Reygan untuk memberikan klarifikasi, Alexander justru membuka bagasi dan mengeluarkan dua buah kardus tertutup.
"Kenapa kau menggunakan mobilku tanpa izin?" tegur Reygan yang harus lebih dulu menegur tamunya yang benar-benar tidak tahu diri.
Alexander dengan santainya menutup bagasi dan menjawab, "Dokter masih tidur, aku tidak tega membangunkan Dokter. Apa kau berpikir bahwa aku telah mencuri mobilmu?"
"Lain kali jangan bersikap seperti ini."
Reygan memutuskan untuk tidak mempermasalahkan hal itu lagi karena mobil dan tamunya sudah kembali. Pandangan Reygan kemudian terjatuh pada dua kardus di hadapan mereka.
"Apa itu?"
"Sesuatu yang penting," jawab Alexander disertai seulas senyum tipis. "Bisa tolong bawakan yang satunya."
Alexander kemudian mengangkat kardus itu dan membawanya masuk ke rumah. Begitupun dengan Reygan yang berjalan di belakangnya.
"Apa rencanamu?" tegur Reygan ketika ia mengikuti Alexander yang menaiki anak tangga menuju lantai atas.
"Bernegosiasi."
"Dengan siapa dan untuk apa?"
"Tentu saja untuk putramu. Jika kita bisa meminta baik-baik, kenapa harus melakukan kekerasan?"
Reygan menghela napas pelan sembari menggelengkan kepalanya. Merasa terlalu sulit untuk memahami ucapan Alexander.
Keduanya kemudian memasuki ruang tengah. Dan Reygan hanya bisa memperhatikan saat Alexander mengeluarkan lilin dengan berbagai ukuran dan dalam jumlah banyak dari dalam kardus yang sebelumnya dibawa oleh pria itu.
"Apa yang akan kau lakukan dengan semua lilin itu?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya padamu, jadi lihat saja apa yang akan terjadi nanti."
Alexander menyusun lilin-lilin tersebut membuat sebuah lingkaran dengan menyisakan ruang kosong di bagian tengah. Merasa tak bisa memberikan bantuan, Reygan lantas memutuskan untuk meninggalkan Alexander.
"Aku akan ke bawah untuk membuat sarapan."
"Itu kabar bagus, tolong jangan membuat makanan pedas."
Alexander tersenyum lebar sebagai pengantar untuk kepergian Reygan. Dan setelahnya Alexander kembali mempersiapkan tempat untuk ritual yang akan ia lakukan nanti malam. Sebenarnya itu bukanlah gaya Alexander. Jika kebanyakan para pemburu hantu menggunakan alat pendeteksi hantu untuk memastikan apakah tempat itu berhantu atau tidak, Alexander melakukan semuanya tanpa membawa alat apapun. Karena percaya atau tidak, dia bisa merasakan kehadiran makhluk lain di sekitarnya.
Selesai dengan lilin. Alexander menaburkan bubuk putih mengikuti garis lingkaran di sepanjang lilin yang sudah tertata rapi. Dan setelah selesai, ia menegakkan tubuhnya dengan segenggam bubuk putih yang tersisa di tangannya. Pandangan itu lantas terjatuh pada piano di dekat jendela.
"Aku tidak pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya, tapi mari kita coba."
Alexander melemparkan bubuk putih di tangannya ke arah piano itu dan setelahnya meninggalkan ruangan itu. Saat menuruni anak tangga, panggilan masuk ke ponsel Alexander. Dahi Alexander sedikit mengernyit ketika melihat nama yang sangat familiar di layar ponselnya. Tak memiliki alasan untuk menolak panggilan dari rekannya itu, Alexander kemudian menerimanya.
"Vladimir, ada apa lagi?"
"Kau di mana?" suara yang terdengar sangat malas.
"Aku sedang berlibur, ada apa?"
"Bisa kita bertemu?"
"Ada apa?"
"Jawab saja."
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena aku sedang berlibur. Jika kau kesepian, temui saja yang lain. Jangan menggangguku, kau mengerti?"
Alexander memutuskan sambungan secara sepihak dan bergegas menuju dapur. Sudut bibir Alexander terangkat ketika melihat bahwa Reygan benar-benar menyiapkan sarapan. Mendekat ke meja, Alexander mengambil obat di dalam sakunya dan langsung memasukkannya ke dalam mulut tanpa sepengetahuan Reygan. Dia kemudian mengambil segelas air putih dengan pandangan yang tak lepas dari sosok Reygan.
Reygan sedikit terkejut ketika menyadari kehadiran Alexander di sana. "Kau sudah selesai?"
Alexander bergumam sembari mengangguk.
"Kalau begitu duduklah dan sarapan."
Keduanya kemudian duduk berhadapan, namun hanya Alexander lah yang menyentuh makanan di atas meja ketika Reygan lebih memilih untuk berdiam diri.
"Kau tidak makan?" tegur Alexander, merasa sedikit canggung ketika sang tuan rumah tidak ikut makan.
"Nanti saja ... apa yang akan kau lakukan setelah ini?"
"Menunggu sampai malam tiba," jawaban yang terdengar acuh.
"Kenapa?"
"Karena pintu masuk ke dunia lain hanya terbuka saat malam hari sampai menjelang subuh."
"Kau ... akan pergi ke sana?" Reygan terdengar sangat berhati-hati.
"Tidak semua orang bisa pergi ke sana. Seperti manusia yang berkuasa di dunia nyata. Di Lembah kematian, manusia tidak memiliki kuasa apapun karena tempat itu tidak diciptakan untuk manusia."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"
"Membuat mereka datang menemui kita. Dan setelahnya kita meminta baik-baik agar mereka mengembalikan putramu."
Reygan menatap ragu. "Apakah kau yakin bahwa ini akan berhasil."
"Aku mengenal iblis itu lebih baik dari manusia lain. Tapi tidak ada jaminan jika kali ini aku akan berhasil membawa putramu."
Reygan terlihat cemas setelah tak mendapatkan kepastian dari Alexander. Reygan kemudian memutuskan untuk pergi dan berdiam diri di ruang kerjanya. Kembali terlibat perdebatan dengan mantan istrinya melalui sambungan telepon. Sedangkan Alexander tetap melanjutkan sarapannya. Terlihat tak peduli meski ia berpikir sangat keras untuk mencari jalan keluar.
INSIGHT
Setelah selesai sarapan, Alexander menghampiri Reygan dan menemukan sang dokter dalam keadaan yang patut untuk dipertanyakan. Alexander lantas berdehem guna menarik perhatian sang tuan rumah.
"Kau sudah selesai?"
"Terima kasih untuk sarapannya."
"Bukan masalah."
Alexander kemudian bersandar pada lemari kecil yang berada tidak jauh dari tempat Reygan.
Terlihat begitu ragu, Alexander kemudian melontarkan sebuah pertanyaan, "boleh aku bertanya?"
"Katakan."
"Di mana istrimu? Sejak semalam aku tidak melihat siapapun di rumah ini selain kita berdua."
"Kami sudah bercerai."
Alexander sedikit terkejut. "Oh, maaf. Harusnya aku tidak menanyakan hal itu."
"Bukan masalah ... tapi, tidak adakah hal lain yang bisa kulakukan?"
"Bisa kau tunjukkan foto putramu?"
Reygan meraih bingkai foto di sisi meja. Alexander yang melihat hal itu lantas mendekat dan duduk berseberangan dengan Reygan yang kemudian memberikan bingkai foto itu padanya.
Alexander melihat sosok bocah di dalam foto tersebut dan bergumam, "dia anak yang manis. Mengingatkanku pada Julian saja."
"Kau sudah memiliki anak?"
"Sepuluh," jawaban yang terdengar acuh dan membuat lawan bicaranya tertegun.
Sudah bisa menebak reaksi yang akan diberikan oleh Reygan. Alexander lantas mempertemukan pandangannya dengan sang dokter.
"Aku serius, aku memiliki sepuluh anak."
"Itu terdengar tidak masuk akal."
Alexander tersenyum lebar. "Aku membesarkan mereka di Gereja yang dibangun di atas tanah peninggalan orang tuaku."
Reygan kemudian mengerti maksud dari ucapan Alexander. "Kau memiliki sebuah panti asuhan?"
"Tidak. Aku membesarkan mereka sebagai anak-anakku, dan lagi pula ... Gereja yang kutempati tidak memiliki seorang Imam."
Dahi Reygan mengernyit. "Kenapa bisa seperti itu?"
"Aku tinggal di pemukiman dengan mayoritas penganut ajaran Protestan."
"Dan kau menganut ajaran Katolik?"
Alexander mengangguk. "Benar, itulah alasannya. Bagaimana denganmu?"
"Katolik."
"Woah ... kebetulan sekali."
Merasa cukup untuk membahas kehidupan pribadi mereka, Reygan mengembalikan topik pembicaraan ke semula.
"Kau mengatakan bahwa manusia hanya bisa bertahan sampai empat puluh hari di sana."
"Benar."
Putraku sudah menghilang sejak tiga puluh dua hari yang lalu."
"Itu berarti waktu yang kita miliki tinggal delapan hari."
"Kenapa? Kenapa kau terlihat begitu tenang?"
"Jika aku terburu-buru, aku akan kalah. Tunggu saja nanti malam, pastikan kau tetap terjaga dan menyaksikan semuanya."
Selesai ditulis : 21.10.2020
Dipublikasikan : 28.10.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top