Chapter 03 [Melodi Pertama]
Pagi itu ketika Reygan tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan, Ethan keluar dari kamarnya dan hendak menuju tangga yang terhubung dengan lantai dasar. Namun langkah bocah itu terhenti ketika hendak melewati sebuah ruangan yang berada di antara kamarnya dengan kamar sang ayah. Karena kemarin suasana hatinya tidak begitu baik, Ethan belum sempat melihat-lihat rumah barunya.
Merasa tertarik dengan apa yang berada di dalam ruangan itu, Ethan lantas mendekati pintu dan membukanya secara perlahan. Pintu lantas terbuka lebar, namun hal itu belum cukup untuk membuat Ethan mengetahui bagaimana keadaan ruangan itu.
Ethan mengambil dua langkah ke dalam dan menemukan ruangan yang tampak kosong dengan hanya buku yang tertata dengan rapi di rak buku yang terdapat di sudut ruangan serta sebuah piano yang berada di dekat jendela.
Tanpa menutup pintu Ethan melangkahkan kakinya menuju piano yang tampak sangat usang tersebut. Langkah Ethan kemudian terhenti tepat di depan piano, dan saat itu Ethan tahu seberapa usangnya piano tersebut. Di mana beberapa tuts sudah menghilang. Namun tidak ada debu yang terlihat di sana.
Tangan kanan Ethan terulur ke depan. Dengan ragu jemari tangannya menyentuh piano tersebut dan perlahan menekan beberapa tuts hingga menciptakan sebuah irama. Ethan berpikir bahwa piano itu sudah rusak, namun nyatanya piano itu masih berfungsi.
Reygan yang saat itu tengah menyiapkan sarapan di dapur sejenak menghentikan pergerakannya. Memandang ke lantai atas, merasa sedikit heran ketika mendengar suara piano. Karena sebelumnya dia sudah memeriksa piano itu yang memang tidak bisa lagi digunakan. Memilih mengabaikan, Reygan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Setelah menu sarapan mereka siap di atas meja, Reygan menuju lantai atas untuk memanggil Ethan. Membuka pintu ruang tengah dengan perlahan, Reygan menemukan putranya berdiri di depan piano dan tengah memainkan piano tersebut menggunakan satu tangan.
Reygan tersenyum tipis dan lantas menegur, "Ethan."
Pergerakan tangan Ethan terhenti. Bocah itu menoleh ke arah pintu.
"Turunlah dan kita sarapan bersama."
Ethan tak menjawab dan langsung berjalan menghampiri Reygan. Ketika Ethan melewati tempatnya, Reygan sekilas mengusap puncak kepala bocah itu. Reygan kemudian kembali memandang piano di dalam ruangan sebelum menutup pintu dan menyusul Ethan.
Keduanya duduk berhadapan di meja makan dan memulai sarapan mereka yang selalu penuh dengan ketenangan, namun terlihat canggung untuk hubungan antara ayah dan anak. Seperti hari-hari sebelumnya, Reygan harus memulai pembicaraan dan berusaha terus mempertahankan komunikasi meski Ethan kerap menolak untuk menyahutinya.
"Kau menyukai pianonya?"
Seperti dugaan sang ayah, Ethan terlihat tak peduli.
Reygan kembali berbicara, "ayah lihat piano itu sudah rusak. Jika kau mau, ayah akan membelikan yang baru. Bagaimana menurutmu?"
Ethan menyahut dengan kalimat pendek, "aku tidak ingin."
"Baiklah ... lalu, apa yang kau inginkan? Katakan pada ayah dan ayah akan segera membawakannya untukmu."
Ethan berhenti makan. Bocah itu lantas memandang ayahnya dan berucap, "belikan aku sepeda."
Sebelah alis Reygan terangkat. "Sepeda?"
Ethan mengangguk.
"Ah ... baiklah, ayah akan segera membelikannya untukmu. Hari ini ayah akan melihat klinik, kau mau ikut dengan ayah?"
Ethan mengangguk. Reygan lantas mengulurkan tangannya untuk memberikan usakan singkat pada puncak kepala putranya.
"Habiskan sarapanmu."
INSIGHT
"Seberapa sering sakit kepalamu kambuh?" tanya seorang wanita berseragam dokter yang saat ini duduk berhadapan dengan Alexander di dalam ruangannya.
Alexander sendiri terlihat seperti biasa, tampak santai dan menyahut dengan acuh, "sering sekali."
"Berapa kali dalam sehari?"
Ekor mata Alexander bergerak ke atas, tampak mempertimbangkan sesuatu dengan jemari yang bergerak seakan tengah menghitung sesuatu. Dan tentunya hal itu membuat wanita di hadapannya menatap tanpa minat. Meski sudah sering menghadapi sifat Alexander yang tidak bisa diajak bicara serius, dokter wanita itu masih kerap jengah dengan sikap Alexander.
"Tuan Lim," tegur wanita itu.
Alexander kembali memandang dan memberikan jawaban dengan wajah penuh pertimbangan, "tiga jam sekali."
Wanita itu menatap ragu, "kau yakin tidak salah menghitung?"
"Aku bukan orang bodoh. Sejak pertemuan kita bulan lalu, kepalaku justru sering sakit. Dokter yakin tidak memberiku obat yang salah?" kalimat terakhir yang terucap seperti sebuah tuduhan.
Wanita itu menatap jengah dan berujar dengan malas, "bukan obatnya yang salah, tapi kaulah yang bermasalah."
Alexander tersenyum tak percaya. "Bagaimana bisa seorang dokter memutuskan apakah aku bersalah atau tidak?"
"Lupakan," wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja. Menginginkan pembicaraan yang serius dengan pasiennya. "Dengarkan aku baik-baik, Tuan Lim. Kau sudah berada dalam keadaan yang membutuhkan penanganan serius. Aku sarankan agar kau berhenti sejenak dari perkerjaanmu, Tuan Lim."
Alexander kembali tersenyum tak percaya. "Omong kosong macam apa itu? Jika aku tidak bekerja, akan kuberi makan apa anak-anakku?"
Sebelah alis wanita itu terangkat. "Kau memiliki anak?"
"Sepuluh."
Dahi wanita itu mengernyit. "Bukankah sebelumnya kau mengatakan bahwa kau tidak memiliki anak?"
"Apakah aku pernah mengatakan hal itu?" pertanyaan balik yang membuat sang lawan bicara enggan untuk menyahut.
Wanita itu kembali berbicara dengan lebih tenang. "Kali ini saja dengarkan aku baik-baik, ini juga demi kebaikanmu … sebaiknya Tuan Lim menerima saranku waktu itu."
"Dokter terlalu banyak memberi saran, saran mana yang Dokter maksud?"
"Terapi hipnotis. Kita akan mengetahui penyebab yang sebenarnya dari kondisimu saat ini melalui terapi hipnotis."
Alexander terlihat tak berminat. "Bukankah itu berarti Dokter akan menyelami alam bawah sadarku?"
"Bukan aku, tapi Tuan Lim sendiri yang akan melakukannya. Aku hanya akan berperan sebagai pembimbing."
"Eih … tetap saja. Bagaimana jika nanti aku tidak bisa bangun?"
"Hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Jadi, mari kita lakukan demi kesepuluh anakmu."
Alexander menatap ragu. "Lupakan, Dokter tidak tahu pekerjaanku. Jika mereka datang untuk membalas dendam padaku saat aku tidur, habislah aku."
"Apakah Tuan Lim seorang penagih hutang?" tanya wanita itu, tanpa ada minat yang terlihat di wajahnya.
Alexander tertawa ringan. "Apakah penampilanku terlihat seperti penagih hutang?"
"Tuan Lim, aku benar-benar serius," wanita itu tampak tak lagi memiliki solusi untuk masalah Alexander. "Terlepas dari benar atau tidaknya tentang apa yang kau katakan. Mari, kita sembuhkan dirimu terlebih dulu sebelum semuanya bertambah parah … aku tidak bisa membantu jika Tuan Lim terus menolak."
Garis senyum di wajah Alexander menghilang, namun bukan berarti dia memutuskan untuk menjadi pria sejati berhati dingin.
"Berikan saja aku obat yang benar."
"Semua obat-obatan yang Tuan Lim minum hanya memberikan ketenangan sesaat. Justru karena ketergantungan Tuan Lim pada obat-obatan inilah yang semakin memperburuk kondisi Tuan Lim … pikirkan baik-baik. Tuan Lim masih muda, Tuan Lim masih memiliki banyak waktu untuk lebih mencintai diri sendiri."
"Tidak bisakah aku mencintai seorang wanita saja?"
Helaan napas panjang wanita itu menjadi akhir dari pertemuan keduanya hari itu. Alexander keluar dari ruangan itu dan berjalan pergi meninggalkan bagian psikologi.
"Bicaranya ngawur sekali," gumam Alexander dalam perjalanannya.
Selesai ditulis : 07.10.2020
Dipublikasikan : 20.10.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top