Wojtek, The Soldier

Bayangan kematian ibu masih setia tertayang di depan mata. Kala itu aku duduk di pangkuannya. Tangan-tangan berkuku tajam miliknya mengelus kepalaku lembut, sama sekali tak ada tanda-tanda. Kemudian ia ambruk, bersimbah darah. Aku melihat manusia-manusia yang memegang senjata laras panjang mendekati kami. Saat itu tubuhku terlalu kecil untuk mencegah mereka dari menyeret-nyeret jasad ibuku keluar dari hutan.

Aku masih dapat melihat kaki besar ibu yang tertinggal di tikungan pepohonan lebat, ketika aku merasa tubuhku terangkat dari tanah dan terkurung dalam buaian seorang manusia. Mungkin ia akan menjadikanku santapan makan malam, aku tak bisa memastikan.

Manusia itu adalah seorang bocah Kurdi yang ternyata tidak berniat memakanku. Mungkin ia merasa iba karena aku terus menangis dalam gendongannya. Bocah itu membawaku keluar dari hutan, membiarkanku berdiri di sampingnya sepanjang hari, mendengarkan riuh kehidupan di kota. Bisakah aku memanggilnya ayah? Aku tak ingat berapa lama ia membiarkanku mengikutinya kemanapun ia pergi.

Sampai ketika hari ini tiba. Kami duduk menunggu—entah menunggu apa—di sebuah stasiun kereta api. Bocah itu bercerita padaku bahwa kami sedang berada di Hamadan, sebuah kawasan di Iran. Sebagai seekor beruang yang pintar, aku tetap diam saja ketika bocah itu berdiri dan berbicara dengan seorang pria berseragam yang bertubuh tegap. Perbincangan itu tidak berlangsung lama, sang pria menyerahkan sebuah amplop kepada si bocah Kurdi yang berdiri di sampingku. Bocah itu menoleh kepadaku, tersenyum, mengelus puncak kepalaku pelan sebelum menggendongku.

Aku kira ia akan membawaku kembali pulang ke rumahnya. Tetapi, nyatanya ia hanya menggendongku sejenak sebelum membiarkanku diambil oleh pria berseragam itu. Aku nyaris akan memberontak marah, tapi pria itu langsung membawaku naik ke atas kereta. Mendudukkanku di atas kursi sebuah kompartemen dalam kereta, menatapku dengan sejuta kemungkinan. Mendadak aku ingin menjadi cepat dewasa agar aku bisa memakannya. Hanya saja, aku tak bisa menjamin apakah aku bisa sampai di usia dewasa jika malam ini aku menjadi salah satu menu makannya. Aku menoleh ke arah jendela ketika kereta beranjak pergi, dan menemukan bocah Kurdi itu masih berdiri di peron, melambai-lambaikan tangan padaku.

***

Pria yang membawaku pergi naik kereta hari itu adalah Letnan Anatol Tarnowiecki. Ia membawaku ke sebuah Kamp Pengungsi Polandia, di sebuah tempat yang dekat dengan Teheran. Tiga bulan aku berada di tengah orang-orang itu, sementara aku menjadi satu-satunya makhluk berbulu coklat di sana. Tetapi aku diasuh oleh Irena, seorang perempuan muda yang sangat baik, dia menyayangiku sama seperti ibuku. Menyedihkannya, aku juga tidak tinggal bersama Irena lagi setelah tiga bulan. Aku tidak tahu mengapa tidak ada yang betah tinggal bersamaku. Aku tidak mengerti mengapa mereka semua berusaha menyingkirkanku dari kehidupan mereka setelah aku terlanjur merasa disayangi.

Maka di sinilah aku, berada di tengah-tengah sekompi prajurit yang kemudian memberiku nama Wojtek. Bersama mereka aku dilatih banyak hal. Bergulat, melakukan saluir saat bertemu komandan, menjadi bagian dari pasukan Kompi 22. Aku resmi menjadi prajurit.

Di awal kedatanganku, aku memiliki masalah dalam menelan makanan. Sampai aku lupa bagaimana rasanya madu yang sering diberikan oleh ibuku semasa aku dalam buaiannya. Namun prajurit-prajurit ini begitu memanjakanku, sehingga sekarang aku punya minuman favorit selain madu: Aku suka bir.

“Wojtek tidak bisa ikut berkampanye di Italia, maskot dan hewan peliharaan dilarang.” Aku sedang duduk sambil meneguk sebotol bir tatkala mendengar Henryk—salah seorang anggota prajurit—membicarakanku.

“Kita mungkin akan meninggalkannya di camp, atau menjualnya ke seseorang?” Prajurit lain menyahut. Aku tidak mengenali suara prajurit itu, tapi gagasannya terdengar jahat.

“Tidak mungkin kita melakukan itu! Dia sudah seperti keluarga kita sendiri,” Henryk menyangkal usul yang diajukan oleh lawan bicaranya tersebut.

“Wojtek cuma hewan biasa, jangan berlebihan!”

“Wojtek bukan hewan biasa, dia prajurit!”

Tak peduli Henryk membelaku atau tidak. Tapi prajurit yang satunya memang benar. Aku hanyalah seekor hewan. Seekor hewan yatim piatu yang terombang-ambing di tengah hiruk pikuk manusia. Ibuku mati oleh timah panas yang terhunjam di jantungnya, lalu, mengapa kini aku justru berharap bisa menjadi bagian dari manusia-manusia keji yang juga memiliki timah panas di balik saku rompinya?

Semua ini menyakitkan, harapan yang mereka tumbuhkan di hatiku telah membuat diriku menjadi lupa, tentang bagaimana orang-orang sebelum mereka telah menjual dan membuangku. Kini, aku tak lebih hanya seekor hewan maskot yang terancam dibuang.

Pikiranku begitu kalut, hingga sampai malam, aku tak beranjak dari dudukku. Tanpa sadar telah menghabiskan dua peti bir. Botol-botol kosong pecah berserakan, aroma bir memenuhi ruangan, seperti hatiku yang pecah berantakan, beserta dengan aroma duka yang merambah setiap inci ruang dalam kepalaku. Tak ada satu prajurit pun datang mengunjungiku malam itu. Siapa yang peduli pada seekor beruang mabuk yang akan mereka buang keesokan harinya?

Tak ada yang peduli. Tidak juga Henryk. Seperti bocah Kurdi dan Irena, ia pun akan lekas melupakan eksistensiku.

Pagi berikutnya, aku meninggalkan bar. Melepaskan rompi yang mereka pakaikan di tubuhku—merobeknya dengan cakarku, bergegas meninggalkan barak. Toh aku akan dibuang. Mengapa tidak, aku yang meninggalkan mereka. Daripada mereka yang meninggalkanku. Setidaknya aku tidak perlu merasa terlalu dikhianati.

Namun, sebelum aku melewati pagar kawat yang dipasang di sekitar barak, Henryk menahanku. “Mau ke mana, Woj?”

“Mau meninggalkan kalian.” Ya, seandainya Henryk mengerti perkataanku. Tapi seperti kata seorang prajurit kemarin, aku hanyalah seekor hewan biasa.

“Hei, Woj, ini bukan waktunya jalan-jalan. Kau harus ikut kami berlayar ke Itali!”

Aku terperangah. Dan sepertinya Henryk menyadari itu, karena ia tiba-tiba berkata lagi. “Jangan menatapku seperti itu. Semalam kami berusaha mencari solusi dari permasalahanmu. Dan komandan memutuskan kau akan direkrut menjadi anggota Angkatan Darat Polandia Korps II. Aku dan Dymitr yang akan mengasuhmu! Kau senang?” katanya seraya menarik tanganku agar kembali mengikutinya ke barak.

Aku tak tahu harus merasa senang karena kini resmi menjadi bagian dari mereka, atau tetap bersedih karena kata-kata hanya hewan yang dilontarkan salah seorang prajurit kemarin benar-benar melukai harga diriku sebagai seorang prajurit. Woj, kau harus sadar diri!

***

Dalam pertempuran Monte Cassino, tugasku adalah memindahkan peti amunisi ke dalam truk atau hanya sekadar menumpuk peti-peti itu satu sama lain. Menurutku pekerjaan itu sama sekali tidak membuatku terlibat secara langsung dalam peperangan. Sebenarnya, aku ingin memegang senjata dan ikut menembaki musuh. Namun, cakar-cakarku yang terlalu besar untuk menarik pelatuk senjata mungkin menjadi pertimbangan mengapa aku tidak diletakkan di barisan depan pertempuran.

Anehnya, pekerjaanku itu membuatku dipromosikan ke pangkat kopral. Kopral Wojtek ... yah, tidak terlalu buruk. Meski tidak menembakkan peluru, setidaknya aku sering membawa-bawa peluru artileri itu. Henryk dan Dymitr seringkali menyisipkan sebotol bir dalam perjalananku membawa peti amunisi. Mereka memang pengasuh yang baik.

Namun, itu semua adalah masa lalu. Pasca perang dunia II berakhir, aku dan anggota kompi 22 yang lain dipindahkan ke Berwickshire, Skotlandia. Menetap di suatu desa yang saat itu cukup hijau untuk bisa kusebut rumah. Dengan jalan-jalan setapak yang di kanan-kirinya penuh dengan petak-petak pertanian, lapangan hijau, langit biru. Aku mendapatkan kembali rumahku yang penuh ketenangan dan tanpa suara tembakan yang menghantui hari-hariku.

Hari-hari penuh cobaan itu sudah lewat. Tetapi aku masih tidak bisa menjadi beruang normal yang menghisap madu sepanjang hari. Warga sipil lokal dan pers terus mendatangiku. Dan itu berlangsung hingga akhir hayatku. Bahkan setelah demobilisasi pada tahun 1947, aku dipindahkan ke sebuah kebun binatang di Edinburgh. Aku tak lagi berada di sekitar teman-teman prajuritku. Mereka hanya datang berkunjung sesekali, untuk sekedar mengajakku bergelut dan memberiku sebotol bir atau sebungkus rokok untuk kumakan.

Aku tak tahu apakah bocah Kurdi yang dulu menjualku pada Letnan Anatol masih mengingatku, atau apakah Irena pernah merindukanku. Lalu aku sadari, mereka tidak pernah membuangku. Mereka hanya menginginkan kehidupanku berjalan dengan lebih baik.

***

S E L E S A I

Nb: Wojtek ini beneran anggota angkatan darat Polandia. Dan dia beneran suka minum bir dan makan rokok. Coba saja searching di google, trims.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top