Permintaan Ketiga

Banyak yang tidak tahu kalau kami bukan makhluk biasa. Apalagi manusia, mereka hanya tahu kalau kami punya sembilan nyawa. Tapi selain itu, mereka tidak tahu apa-apa.

Keempat kakiku melangkah di sepanjang koridor bangunan yang masih dipenuhi banyak anak-anak. Mereka menyebutnya sekolah. Setelah tadi diusir seorang manusia dari tempat yang mereka sebut kantin, aku coba mencari makanan di lain tempat. Mungkin saja aku menemukan sesuatu yang lezat.

Tapi sepertinya bukan itu yang kutemukan.

Baru saja aku berbelok ke kanan, ada seorang anak yang menunjukku sambil berseru, "Heh, itu kucingnya! Tangkep cepetan!" Lantas setelah itu, dua temannya datang. Tiga anak itu kemudian berlari dan mengejarku.

Aku terkejut dan berlari sekencang yang kubisa. Ah! Aku paling tidak suka seperti ini—dijadikan mainan dan bahan candaan mereka. Ini kali ketiga aku bertemu dengan anak-anak itu, dan pasti tujuan mereka menangkapku masih sama. Sebenarnya bisa saja aku membalas mereka, tapi aku tidak mau melakukannya dan harus bersikap seperti kucing biasanya.

"Brian, kamu hadang di sana! Vano di sana! Cepet!" perintah salah seorang dari mereka yang kutahu bernama Fian. Dialah otak dari semua ini sejak candaan mereka dimulai.

Kaki-kaki kecilku terus berlari, meghindar dan kabur dari kepungan mereka. Lima kali aku lolos, tapi usaha keenamku ketika hendak kabur akhirnya gagal juga. Mereka menangkapku, lalu menggendongku paksa dan membawaku ke kelas mereka untuk menakut-nakuti salah satu teman mereka yang takut kucing. Aku terus berontak minta dibebaskan, tapi cengkeraman Vano—yang menggendongku—kencang sekali, lebih kencang dari cengkeraman sebelumnya.

Lagi. Revan yang melihatku digendongan Vano pun langsung menjerit ketakutan dan berontak minta dilepaskan dari cengkeraman teman-teman yang menahannya. Vano tidak tanggung-tanggung menakuti Revan. Dia langsung melemparkanku tepat ke wajah Revan. Tentu saja hal itu membuat Revan benar-benar ketakutan. Tanpa diduga tangannya lepas dari cengkeraman teman-temannya dan refleks langsung memukulku kencang. Aku terbanting beberapa kali di lantai dan berujung menabrak tembok kelas.Aku yang tadi mengeong keras pun berangsur pelan dan samar. Sekujur tubuhku sakit, sungguh.

Biasanya akan ada yang menolongku dan tidak membiarkanku terluka seperti ini. Tapi sepertinya nasibku tidak beruntung sekarang. Anak itu tidak kelihatan di kelas sejak tadi. Anak-anak yang lain? Percuma, sebagian hanya menegur tanpa peduli menolong, sebagian lagi tak acuh karena mengira hal seperti ini sudah lumrah buat mereka.

"Woi!"

Suara itu yang kunantikan sejak tadi. Ah, syukurlah ....

Aku yang sudah tidak tahan lagi—tadi kepalaku terbentur cukup keras sehingga terasa sangat pusing—berusaha melihat sosok itu dengan sisa tenaga. Dia kaget melihat keadaanku dan langsung mengambik tindakan. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi karena sudah tidak kuat menahan.

***

Aku mengerjap beberapa kali dan memandang sekitar. Tempat ini asing, sepertinya bukan di sekolah. Lantas di mana?

Aku masih meringkuk lemas. Tapi, hei! Aku meringkuk di atas kasur? Kuangkat kepalaku sedikit dan menoleh ke belakang. Aku langsung kaget melihat sosok yang menyelamatkanku tidur di sampingku.

"Meong!"jeritku. Masalahnya aku ini kucing perempuan, sedangkan dia ... laki-laki.

Dia langsung terbangun sebab jeritanku yang mungkin mengagetkannya. Aku juga langsung bersembunyi di kolong meja belajarnya dan meringkuk alih-alih takut. Lalu, pelan-pelan dia mendekat dan menyuruhku keluar.

"Nggak pa-pa, Cing. Sini keluar," katanya sambil menjentikkan jarinya beberapa kali. Aku memandangnya dengan tatapan takut, perlahan mengikuti instruksinya. Tangannya seperti siap mengelusku ketika aku mulai melangkah keluar. Aku mengendus sejenak, kemudian menyundulkan kepalaku ke telapak tangannya. Dia senang, langsung mengelusku lembut.

"Kayaknya kamu udah bertuan, kan, Cing? Kucing sebagus ini nggak mungkin berkeliaran di sekolahan kayak kucing biasa." Dia berlalu sambil mengatakan tadi, kemudian kembali dengan membawa mangkuk kecil dan menaruhnya di depanku. Itu makanan kucing. Tanpa perlu mengendus dua kali, aku langsung melahapnya mengingat perutku sudah lapar entah sejak kapan.

"Namaku Saaih,"ucapnya di sela aku makan. "Maaf, tadi aku telat nyelametin kamu dari Fian dan kawan-kawan. Aku liat luar tubuhmu nggak pa-pa, tapi kalo kamu sampe pingsan gitu berarti parah ya? Aduh, maaf ya," lanjutnya.

Aku diam sejenak mendengarnya. Apa aku harus menjawab pertanyaannya? Mengingat dia sudah menolongku tiga kali, mungkin dia bisa dipercaya untuk menjaga rahasiaku. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku berucap, "Terima kasih atas pertolonganmu tadi. Ya, tadi itu cukup parah, kepalaku saja masih terasa pusing sampai sekarang."

Reaksi Saaih mendengarku berkata adalah hal lumrah untuk kulihat. Dia sampai mundur beberapa langkah seiring aku mendekat.

"Jangan takut," kataku setelah naik ke atas meja belajarnya. Sejenak aku menjilat kakiku dan mengusap wajahku dengan itu.

"Kucing ... bisa ngomong?"tanyanya tanpa mengurangi rasa terkejut. Dia mencubit pipinya. "Eh, beneran bukan mimpi?"

Aku tersenyum mendengarnya. "Bukan, Saaih. Ini nyata," ucapku.

"Tapi, siapa kamu sebenarnya?" tanya Saaih lagi.

Ditanya seperti itu, aku menjelaskan siapa diriku secara singkat kepadanya. Saaih mendengarkan dengan seksama.

"Maka dari itu, karena kamu sudah menolongku tiga kali, maka aku akan membalasnya tiga kali pula. Tergantung bagaimana kamu memintanya," kataku sambil menutup penjelasan.

"Maksudmu?" tanya Saaih.

"Bila kamu meminta untuk hal yang baik, maka hal itu akan terjadi. Tapi bila kamu meminta untuk hal yang jelek, maka imbasnya kamu sendiri yang kena. Kamu harus mengingat ini baik-baik, sebab aku hanya memberi satu peringatan setelah ini," jelasku.

Saaih terdiam, lalu mengangguk tanda paham. "Aku akan mengingatnya baik-baik."

Sebagai jawaban, aku tersenyum.

"Ya sudah, aku mau lanjut tidur. Sudah malam, kamu tidurlah," katanya. Tapi, tiba-tiba tindakannya membuatku kaget setengah mati. Dia menempelkan hidungnya di kepalaku dan menggeleng beberapa kali. Hal itu membuat kepalaku terasa geli karenanya.

"Kamu kucing yang manis," katanya sebelum pergi ke kasur.

Aku tertegun mendengarnya.

***

Selama ini Saaih meminta padaku hal-hal yang baik. Dua dari tiga sudah dia gunakan, maka kesempatannya tinggal satu kali saja. Sudah enam bulan sejak bersamanya, dia belum mengucapkan permintaannya.

Ketika aku datang ke kamarnya lewat jendela—itu ide Saaih karena aku tak bisa terus-terusan tinggal di rumahnya—aku melihat Saaih duduk menunduk di atas kasurnya. Aku heran, ada apa? Aku langsung melompat turun dan menghampirinya.

"Saaih," panggilku. Dia tidak menyahut sama sekali. "Kamu kenapa?"

"Ferlya, aku masih punya satu permintaan, kan?" tanyanya dengan suara berat dan menahan napas yang menggebu.

"Ya," jawabku. Tapi aku merasakan hal yang tidak enak. "Saaih, jangan kamu gunakan untuk hal yang buruk," kataku berusaha mengingatkan.

Dia akhirnya mendongak, menatapku remeh. Lantas tertawa dan berkata, "Aku ingat itu, Ferlya. Tapi aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Ferlya, aku minta ... keluargaku terbunuh semua sebab kecelakaan."

"Saaih!" Aku mengingatkannya untuk yang terakhir kali. "Kamu tidak bisa meminta seperti itu! Nanti kamu yang kena sendiri!" bentakku.

"Aku sudah tidak peduli lagi, Ferlya! Aku sudah muak dengan keluargaku! Aku sudah berusaha menuruti perintah mereka untuk ini-itu, untuk jadi yang nomor satu. Tapi, ketika mereka kecewa denganku yang mendapat peringkat dua, mereka menyisihkanku! Aku tidak kuat lagi dengan kekangan mereka! Bunuh saja mereka berdua!"

Ucapan Saaih menyayat hatiku. Setelah dia mengucap kalimat terakhir, seberkas cahaya merahlangsung memenuhi kamarnya. Oh, tidak. Permintaannya sedang dalam proses.

Keluarga Saaih sedang ada di luar tanpa dirinya. Dia bilang mereka sedang dalam perjalanan ke rumah neneknya untuk berlibur. Saaih mungkin sudah lumayan membaik sekarang. Amarahnya sudah berkurang.

"Ferlya, aku mau ke warung dulu. Mau beli es," katanya kemudian melangkah gontai keluar kamar. Aku ingin sekali mencegahnya karena aku tahu apa yang akan terjadi padanya. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak.

Takdirnya memang harus terjadi karena permintaannya.

Taklama kemudian, terdengar suara teriakan dan dentuman yang keras. Aku tahu ituSaaih. Tapi aku hanya bisa menutup telinga dan menahan air mata agar tidakkeluar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top