Paling Disayang

Aku ingin lebih tahu tentang dirinya. Sebenarnya berkali-kali aku mencoba menyapanya baik siang maupun malam, tetapi setiap aku berkeinginan seperti itu pasti dilempari suara yang memekakkan telingaku. Dia mengeluarkan suara bising dan melompat-lompat layaknya cacing kepanasan. Pernah aku berhasil berbicara dengannya dan mengutarakan maksudku, dia menyahut tetapi hanya sekali pada hari itu dan melihatku saja dia bersuara nyaring seperti itu.

Mungkin ada yang salah dengan sikapku padanya, ataukah aku menakutkan baginya. Mustahil bila aku yang dikatakan paling tampan di komplek ini terlihat menyeramkan dan tidak sedap dipandang. Bahkan para manusia tidak pernah merasa takut dan selalu mengusap punggung maupun kepalaku, terutama majikan manusiaku. Lantas salahku seperti apa?

Pernah suatu hari ketika majikanku meletakkannya di bawah, dan mempermudah bagiku untuk mendekatinya, tetapi niat baikku malah dianggap gangguan dan majikanku membuat jarak lebih jauh dari aku dan dia, dengan meletakkan di sebuah dahan pohon. Aku penasaran dengan perbedaanku dengannya, menurut sepengetahuanku tidak berbeda, yaitu kita disukai majikan yang sama dan diberi makan. Namun sepertinya majikanku lebih menyukainya.

Memang tidak sepenuhnya aku merasa seperti itu, selalu berpikir kita selalu sama dalam banyak hal. Kupikir dia yang paling sengsara dengan kondisinya sekarang. Terpenjara di tempat seperti itu dan beraktifitas selalu di sana, kecuali mengeluarkan suara bising dan melompat-lompat layaknya cacing kepanasan terus. Aku yang selalu di luar kandang dan bebas pergi kemanapun yang aku mau, mempunyai perasaan kasihan terhadapnya.

Ingin rasanya aku mempermudah bebannya, namun niat baikku dia balas dengan teriakan, terutama majikan yang selalu menjauhkannya dariku. Aku masih tidak menyerah dan ingin membujuknya untuk berbicara lalu menjadikannya teman. Mungkin aku terlalu naif untuk sekedar mengajaknya ngobrol ataupun menjadikannya teman, karena binatang lain pasti sudah berteman dengannya, seperti cicak dan nyamuk.

Namun hari ini terlihat sangat berbeda seperti sebelumnya. Dia diletakkan di bawah dan tidak terlihat majikanku untuk mengambilnya atau berusaha menjauhkan jarak diantara kita. Akhirnya aku bisa berduaan dengannya, walaupun aku yakin ekspresinya tidak akan berubah ketika melihatku.

"Haii Burung." aku memulai percakapan.

"Kyaaaaa kumohon jangan mendekat, pergi kau kucing!"

Dia menjerit sama seperti hari hari sebelumnya dan kata-katanya tidak pernah berubah. Aku mencoba mencairkan suasana dengan menjaga jarak cukup jauh tetapi meyakinkan suaraku akan sampai padanya.

"Maaf aku tidak bermaksud -"

"Kumohon menjauuhhhh!"

Aku menghela napas, mungkin dia bisa mengetahui bahwa aku sudah capai dia terus mengulangi perkataannya berhari-hari yang lalu. Seperti tidak ada kata-kata yang lain. Aku mencoba tersenyum lebih manis, sama halnya ketika aku tersenyum dengan majikanku. Kali ini pasti dia akan tergoda denganku, apalagi majikan tidak ada di rumah.

Namun dia tetap tidak bisa diam, sepertinya perlakuan sopanku selama ini disalah artikan baginya, seperti terdengar sebuah ancaman halus dari kucing komplek sepertiku.

"Majikan kita tidak ada di rumah. Dengan siapa kau berteriak sekarang." aku sedikit mengeraskan suaraku, tetapi perkataanku seperti sedikit mengancamnya.

"Kaulah. Sekarang jangan ganggu aku!" Ujarnya.

"Kau benar juga." aku teringat bahwa dia berteriak padaku dan bukan ke majikan.

Walaupun dia sulit menerima keberadaanku, tetap saja aku tidak menyerah untuk mengajaknya berbicara. Apalagi dia ternyata membalas semua perkataanku sekarang, mungkin karena majikan yang selalu memisahkan, belum lagi dia berteriak sedikit saja majikan sudah datang. Sekarang dia terus berteriak lebih kencang tetapi akhirnya sedikit tenang.

"Apa kau sudah selesai dan mau berbicara padaku?" Ujarku seakan mengejeknya karena majikan tidak menghalangi lagi.

"Baiklah, apa maumu kucing." dia terdengar mengancam."Urungkan niatmu karena dagingku tidak enak. Seperti penuh bulu dan berminyak."

Pada akhirnya setelah sekian lama dia tidak berbicara banyak padaku, hari ini dia mau mendengarku. Perkataannya sedikit aneh tetapi aku tetap menjaga jarak agar dia tidak berteriak lagi. Aku memposisikan diriku berbaring di lantai yang dingin dan melemaskan kakiku, suatu hal yang biasa aku lakukan ketika berjumpa dengan manusia, dan mereka mengelus perutku. Aku mencoba berbicara santai dengannya, walaupun berbeda jika dia dikurung sementara aku bebas.

"Maaf saja ya. Aku beritahu jika makanan keras itu jauh lebih enak dari daging." aku membicarakan makanan yang selalu diberikan oleh majikan. Sebenarnya aku suka daging tetapi sering menyangkut di sela-sela gigi, aku merasa terganggu mengenai itu.

"Makanan keras seperti apa?" Ujarnya terlihat penasaran. "Apa kau mencoba menipuku? "

Dia kelihatannya meragukan makananku. Tiba-tiba saja aku mendapatkan ide. Aku berdiri dan melemaskan punggungku sembari menguap, aku pikir waktunya santai sudah berakhir. Aku masuk ke dalam rumah majikan.

Tidak jauh di sana sebuah mangkuk yang biasanya berisi makananku, majikan selalu memberiku makan di tempat itu. Aku mengambil makanan itu sedikit dengan menggantungnya di mulutku, lumayan mudah untuk memperlihatkan kepadanya makananku yang enak. Beberapa langkah aku sudah keluar dari rumah majikan dan menghampiri burung itu.

Aku mencoba memasukkan makananku ke dalam kurungannya, dan nyatanya berhasil masuk walaupun harus terlepas dari bibirku, aku berharap dia mengerti makanan yang aku sukai bukanlah daging.

"Apa yang kau lakukan?"

"Menunjukkan makananku, silahkan dicicipi." tawarku.

"Kau mau mencoba menipuku. Selanjutnya adalah dagingku, iyakan."

Nampaknya dia masih bersikeras bahwa aku akan memakannya setelah memperlihatkan padanya makanan itu. Dia sangat keras kepala dari yang aku harapkan.

"Terserah kau saja."

Aku kembali menjaga jarak dan berbaring ke tempat tadi. Aku masih berharap dia mencicipi sedikit makanan itu dan mengatakan rasanya enak. Seperti itulah yang ada di dalam pikiranku. Dia menatapnya cukup lama, tetapi sesekali menendang makanan itu menggunakan kaki kurusnya.

"Heii, sebaiknya di makan segera sebelum semut datang."

Aku memperingatkan padanya dengan sebuah serangga pengganggu, yaitu semut. Ketika aku meninggalkan makananku, mereka selalu datang dan mengganggu seperti menggigitku, walaupun cukup mengherankan ketika mereka tidak ingin menyentuh kapur yang diberikan majikanku. Semenjak diberi kapur di sekeliling makananku, semut tidak pernah muncul lagi di sekitar atau di dalam rumah. Mungkin mereka memang takut kapur.

Di kurungan itu tidak kurasakan Sisa kapur sedikitpun, dan aku khawatir makanan itu akan di serang oleh semut pengganggu itu. Dia masih menatap makanan itu kemudian mengabaikannya seakan tidak ada apapun di situ.

"Apa benar kau selalu makan ini, sepertinya tidak meyakinkan."

"Majikan selalu memberi itu. Kalau aku kurang puas masih ada manusia lain yang memberiku makan." aku sedikit menyombongkan diri dengan kebebasanku. Sebenarnya tidak seharusnya seperti itu, mengingat kondisi dia dikurung.

"Sepertinya kau terlalu nyaman ya."

Aku tidak tahu dia sedih ataupun tersenyum. Perbedaan raut wajah dan bibir sangat berbeda denganku, bisa diartikan dia memiliki sesuatu yang keras di bibirnya sementara aku tidak, mungkin itulah penyebabnya dia sulit untuk tersenyum.

"Kenapa kau tidak keluar dari kurungan itu."

"Kalau aku mau sudah dari dulu aku bebas."

Semua binatang pasti ingin merasakan kebebasan, aku jadi merasa kasihan terhadapnya. Aku memberanikan diri untuk menghampirinya lebih dekat, secara perlahan berjalan ke arahnya. Namun dia terlihat tidak berteriak seperti dahulu lagi, aku merasa sudah banyak perubahan ketika berbincang dengannya hari ini dengan cukup lama. Mungkinkah dia sudah memahami keberadaanku.

"Hmm, kurungan ini kokoh juga." Aku mengetuk-ngetuk bagian pinggiran kurungan itu, untuk seukuran kayu cukup sulit bagiku menggoresnya ataupun mencoba membuka.

"Tentu saja, buatan manusia itu sangatlah hebat." ujarnya kedengaran pasrah dengan kepintaran manusia.

"Aku punya seorang teman, mungkin dia mengetahui cara mengeluarkanmu."

"Benarkah, kau tidak berbohong?"

Aku mengeluarkan senyum yang aku kuasai ketika bertemu manusia. "Tentu saja, setelah membukanya kita bisa mengobrol lagi dengan bebas."

"Aku menantikan itu." balasnya.

Aku tidak tahu dia senang ataukah sedih, tetapi aku harus mengeluarkannya dari penderitaan. "Baiklah, aku akan mencari temanku itu."

Aku bergegas pergi dan mencari teman yang kumaksud. Mengenai keberadaannya tentu saja aku mengetahuinya, cukup dengan mencium aromanya aku sudah menemukan keberadaannya dan persis selalu di tempat yang sama.

"Apakah kau tidak letih melihat burung itu dari sini?" Ujarku.

"Sepertinya kau terlalu banyak berbicara dengan burung itu. Apa yang dikatakannya?"

Wajahnya selalu terlihat menyeramkan seakan mengintimidasi siapapun yang berdekatan dengannya. Syukurlah aku tidak terlalu takut karena ukuranku jauh lebih besar dari kucing sepertinya maupun yang lain.

"Biasa, dan dia ingin merasakan kebebasan. Apakah kamu bisa melakukannya?"

"Maksudmu apa, aku tidak mengerti."

Aku tertawa ketika mendengar ucapannya. Mungkin aku merasa dia terlalu bodoh atau memang tidak mengerti maksudku. Tetapi melihat wajahnya yang menyeramkan itu terlihat semakin lucu, dan jauh dari kata garang. Seperti memperlihatkan mata yang semakin membulat dan lucu. Membuatku semakin tertawa.

"Bebaskan dia dari penderitaan. Majikanku tidak ada di rumah dan sekarang kesempatan emas bagimu." aku mengutarakan maksudku yang sebenarnya. Mungkin beberapa kata cukup memberinya dorongan untuk ke sana.

"Baiklah. Apakah kau tidak ikut merasakannya?"

"Tidak, aku sudah kenyang dengan makanan itu."

"Dasar kucing manja."

Dia meledekku, tetapi aku tidak menghiraukannya dan terus memerhatikannya dari kejauhan. Aku mendengar dan melihat burung itu sama seperti dulu lagi, mungkin dia menyadari kucing yang seharusnya dia takuti. Aku juga tidak menyangka temanku bisa membuka kurungan itu dengan mudah dan menangkap burung itu dengan taringnya. Ternyata dia cukup pintar dari yang terlihat. Aku melihat dia membawa burung itu ke arahku.

"Kenapa kau tidak memakannya di sana?" Ujarku.

"Kupikir kamu mau."

"Kau bodoh ya, aku tidak suka mentah."

Aku merasa jijik padanya, dengan bibir belumuran cairan berwarna merah seperti itu. Kupikir kucing ini sudah lebih dari sekedar kucing gila.

"Me... Mengapa?"

Ternyata gigitan itu tidak cukup untuk membunuhnya. Dia masih mengeluarkan sepatah kata walaupun tersendat-sendat dengan kerokongannya yang hampir hancur oleh taring. Dia terlihat masih bersemangat untuk berbicara sedikit terhadapku.

"Membuktikan siapa yang paling disayang."

Pada akhirnya aku mengutarakan tujuanku yang sebenarnya. Jikalau dia tahu bahwa keberadaannya selama ini meresahkanku dengan suara bising dan majikan yang terlalu menghabiskan waktu padanya. Membuatku iri pada saat itu. Sayangnya dia hanya seekor burung tidak tahu apapun kebenarannya.

"Ka... Kau."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top