My Name is Dino
Segerombolan semut pekerja berbaris memanjang dari satu titik ke titik yang lain. Mengangkut makanan-makanan yang baru saja mereka dapatkan dengan tubuh mungil mereka.
Tak kenal lelah, karena itulah salah satu karakteristik dari semut.
Sungguh perjuangan yang sangat bisa untuk ditiru.
Namun ... seekor semut memilih berpisah dari rombongan, menuju ke tepi sungai dengan kaki-kaki kecilnya yang begitu lincah, Ia menatap hamparan sungai yang begitu tenang.
Sebut saja, namanya Dino.
Semut pekerja yang baru saja berusia tiga minggu. Sejak bisa mengenal dunia, ia telah dituntut untuk mencari dan mengangkat persediaan makanan yang bisa mencapai 10 kali dari berat tubuhnya. Ah, semut memang memiliki kelebihan itu. Seperti kekuatan super yang seringkali disebut dan diinginkan oleh manusia. 10-50 kali dari berat tubuhnya, itu hal yang wajar bagi semut karena otot-otot yang mereka punya.
Dino bukan semut yang malas, bukan juga semut yang suka menyendiri karena berpisah dengan segerombolannya.
Namun, keingintahuannya tentang dunia, serta makhluk lain dengan tubuh yang besar selalu saja membuatnya termenung.
Mengapa saya diciptakan begitu kecil?
Mengapa tak besar seperti gajah?
Tidak tinggi seperti jerapah?
Tidak cantik seperti kelinci?
Tidak imut seperti panda?
Dan tidak gagah seperti raja rimba? Ah, ini tak adil.
Dino terus menerus melemparkan keluhannya yang entah untuk siapa, yang ia tahu ... ia hanya ingin mengeluarkan seluruh pertanyaannya pada dunia. Mengeluarkan seluruh desis-desis ketidakadilan yang telah tertimbun sejak lama dibenaknya.
Keadaan sekitarnya sangat tenang, angin bertiup dengan sepoi-sepoi, air laut bergelombang dengan pelan.
Sepertinya penghuni rimba sedang tertidur. Batin Dino, sebab ia tak melihat dan mendengar getaran-getaran pergerakan ataupun suara bising dari hewan lain.
Menutup matanya, Dino merasakan bisa rehat untuk sejenak. Desiran angin sungai yang sejuk, menerpa tubuhnya. Ia melangkah perlahan, hingga sebuah dimensi membawanya kesuatu tempat. Dunia yang sangat berbeda, namun terasa nyata.
.
.
.
Perlahan...
Perlahan...
Dan perlahan...
Mata itu terbuka dengan pelan.
Dan akhirnya terbuka seluruhnya.
"Tidak mungkin!" ucap Dino, ia heran melihat pemandangan disekitar.Kini, jalan raya penuh dengan para binatang seperti Singa, Harimau, Kelinci, Jerapahserta Panda. Para binatang itu, sedang mengendarai kendaraannya. Mereka mengemudi, layaknya manusia.
"Ini, apa?" Dino menggelengkan kepalanya, ia masih tak bisa menemukan kebenaran dari apa yang ia lihat. "Lalu, bagaimana dan dimana manusia-manusia itu?" lagi-lagi Dino terus berbicara pada diri sendiri.
Ia menelusuri sepanjang jalan raya, para hewan benar-benar bertingkah layaknya manusia. Mereka bekerja, mengemudi, serta bersekolah. Dino melihat berbagai macam gedung yang menjulang tinggi, mobil-mobil mewah yang dikemudikan oleh singa, jerapah, harimau, dan lain-lain. Serta, para pekerja.
Nah, itu koloninya. Dari kejauhan, ia berusaha memanggil, namun tak didengar. Dino pun menghampirinya. Akhirnya Dino bisa bertemu dengan Bimo, temannya. Bimo disebut juga semut pekerja, sama seperti Dino.
"Hey, Bimo. Apa yang kau lakukan?" tanya Dino, namun ia mendapatkan sebuah jitakan di kepalanya.
"Dari mana saja kau Din? Bukannya bekerja, malah menghilang!"
Dino masih tak paham, "Ini peradaban apa Bim?"
"Tentu saja peradaban hewan, apa karena menghilang seminggu, kau malah lupa ingatan, Din?"
Dino menggeleng, "Lalu, bagaimana dengan peradaban manusia?"
Bimo nampak berfikir, "Itu sudah seribu tahun yang lalu sejak peradaban hewan mengambil alih. Udah, sana. Kerja!" Dino tergeser dari posisi tenpatnya berdiri, dipaksa menuju ke ruang kerja. Para koloni semut, bekerja untuk ratu mereka di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bisnis. Jika di dunia manusia, Dino bekerja sebagai orang-orang kantoran.
Binatang-binatang yang dilihat Dino disini, berjalan layaknya manusia. Mereka berdiri, bukan merangkak. Begitupun dengan Dino, ia juga berdiri ... dan berjalan seperti manusia.
Apa benar, peradaban manusia tergantikan?
Tak bisa diam ditempat, berhadapan dengan benda asing yang menyala seperti komputer,Dino memilih kabur. Keingintahuannya, membuatnya ingin menjelajah ke tempat lain. Sepertinya, ini benar-benar menyenangkan.
.
.
.
"Wah, gudang makanan!" Kakinya melangkah menuju tempat yang bernama hypermart. Perutnya lapar sekali, mungkin ia bisa mendapatkan makanan jika pergi kesana.
Sesak, Dino tak tahu mengapa tempat yang ia pijaki sekarang sangat-sangat mewah. Biasanya, ia menyimpan makanan di suatu tempat yang gelap dan tersembunyi. Namun sekarang, beraneka makanan di pajang diatas rak-rak yang begitu banyak. Dino bisa melihat para kelinci, tikus, kucing, anjing dan hewan lainnya membawa sebuah keranjang dengan makanan yang sudah dibelinya.
"Eh, Wira!" Dino memanggil seekor kumbang yang sedang memilah-milah roti. Kumbang itu bingung, roti apa yang akan diambilnya.
"Dino?"
"Apakah menyenangkan hidup disiniWir?" Dino menghampiri Wira.
"Tentu saja, tapi bukankan ini hal yang biasa?"
Ah, Dino lupa. Hanya dirinyalah salah satunya hewan yang merangkak cepat melewati pembatas waktu. Meskipun nihil, namun teman-temandan koloninya disini tetap sama. Semua mengenalnya, dan bagi mereka ... hal ini, hal yang biasa.
"Gua beli ini, bayarin yah!" Dino menepuk pundak Wira, ia tahu dan cepat memahami keadaan sekitar. Setelah berbelanja, para hewan membayar hasil belanjaan mereka. Sayangnya, Dino tak memiliki alat bayar yang mereka punya itu. Alhasil, tanpa menimbulkan kecurigaan, Wira lah yang membayar sekaleng minuman bersoda dan sandwich yang diambil Dino.
Menyenangkan sekali hidup disini.
Makan pun,ga perlu susah-susah nyari.
Nyembunyiin di tempat yang jelek, dan diperlakukan tak adil oleh hewan lainnya.
Apakah bisa tinggal disini selamanya? Dino menyedot sekaleng minuman bersoda dan melangkahkan kakinya ringan menuju ke tempat menarik lain.
Burung-burung terbang secara bergerombol menuju ke sebarang arah. Perasaan tidak enak apa ini?
Dino mengabaikannya.
BUUUUUUUUUUM!
BBUUMM!
BUM!
BUM!
Seperti layaknya transisi, dunia hewan yang tentram akhirnya mati dalam sejenak oleh ledakan-ledakan bom yang mengandung zat-zat beracun. Hewan-hewan hanya berlarian tanpa tahu cara mengatasinya, kekacauan itupun akhirnya menyulut api dan membakar semuanya.
.
.
.
"Dino?"
"Oy!"
"Oyyy!"
Bimo menjegal kaki kecil itu, Dino dibuat terbaring secara paksa karena tak bisa menopang tubuhnya.
"Eh? Kok bisa?"
"Apa kok bisa?"
Dino memandang sekeliling,
"Anu ... tadi ...."
"Apaan?"
Menatap kebingunan Bimo, ia mengalihkan topik. "Lo ga kerja?"
"Ini lagi kerja semut goblok, lo aja yang ngayal dari tadi!"
"Ngayal?"
Apakah dimensi itu hanyalah khayalan?
Apakah itu akan terjadi?
Suatu saat?
Dunia yang dikuasai oleh hewan dan peradaban manusia punah. Apakah akan datang?
"Masih mau lanjut ngayal?" sahut Bimo, suara meningkat satu oktaf kali ini.
"Eh, nggak."
"Tuh, makanannya diangkut. Jangan ngayal doang."
"Okey." Dino melaksanakan pekerjaannya sebagai semut pekerja, lupakan soal Bimo yang bekerja di suatu gedung yang tinggi dan mewah. Lupakan singa, harimau, jerapah yang mengendarai mobil keren dan lupakan tempat penyimpanan makanan yang luar biasa. Ia lebih tenang, dan lebih suka berada di dunia sekarang ini. Tenang, dan tidak memusingkan.
Dan yang lebih penting, iamasih hidup.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top