Cinta Terlarang

Terik mentari menemaniku mencari sesuap makanan untuk bertahan hidup di dunia yang kejam ini. Sudah berbulan-bulan lamanya aku hidup sendiri, setelah ibu dan saudara-saudaraku pergi entah ke mana. Dan sejak hari itu aku mulai belajar, mengais makanan dari tempat sampah atau meminta-minta pada manusia berhati baik yang mau menyisihkan sedikit makanannya untukku.

Manusia menyebutku sebagai kucing liar. Aku tidak suka sebutan itu, aku lebih suka disebut sebagai kucing jalanan. Karena aku tidak liar, aku hanya seorang kucing pengelana yang mencoba untuk bertahan hidup di jalanan.

Akhir-akhir ini aku cukup beruntung. Setelah sekian lama aku berkelana ke seluruh penjuru kota, akhirnya aku memiliki tempat untuk tinggal. Di sebuah komplek tempat tinggal para manusia, ada sebuah rumah kecil yang tepat berada di ujung jalan. Di sini setiap matahari terbit dan matahari akan terbenam, manusia saling bergantian menempati tempat ini. Dan mereka sering berjalan mengelilingi komplek.

Di tempat kecil ini, aku sering sekali diberi sesuap makanan sisa dari mereka makan atau terkadang mereka sengaja menyisihkan sedikit makanannya untukku. Tapi tetap saja aku tidak puas, kadang-kadang aku masih sering berkeliling. Mencari makanan sisa yang di buang oleh para manusia di komplek ini.

Namun sayang, manusia di komplek ini jarang membuang makanan sisa. Hal itu membuatku harus bersabar, menanti manusia di rumah kecil menyisakan makanannya.

Hari demi hari berlalu, aku semakin nyaman berada di komplek ini. Beberapa kucing jalanan yang sudah lama sering lalu lalang di komplek ini mulai akrab denganku. Kadang kita sering berbagi makanan yang diberikan padaku. Kadang juga mereka membawakanku hasil buruan mereka seperti tikus, cicak, kadang pula mereka memberiku seekor kadal.

"Eh, Bro." Saat ini aku sedang menikmati tulang ayam bersama salah satu kucing jalanan bernama Bro.

"Ada apa, Yaw?" Bro menoleh ke arahku setelah menelan tulang yang habis ia kunyah.

Oh, aku melupakan sesuatu. Kucing jalanan dan manusia penghuni rumah kecil ini sering memanggilku Miaw.

"Gue nih pingin banget ngasih sesuatu sama manusia-manusia di sini. Sebagai tanda terima kasih, lah. Lo ada ide?" Bro terlihat berpikir mendengar pertanyaanku.

"Biasanya nih, ya. Manusia itu 'kan suka makan. Nah, gimana kalo lo kasih mereka makanan aja. Tapi jangan yang biasa-biasa. Yang enakan dikit gitu."

"Makanan apa?"

"Lo liat rumah ke dua dari ujung komplek sebelah sana?" Aku mengangguk. "Nah, di sana ada burung kenari. Kayanya cocok tuh. Daripada lo ngasih kadal atau tikus. Enggak elit banget, sumpah."

"Oke gue coba nanti." Bro lalu pergi setelah makanan dihadapannya habis. Dan sialnya, karena asyik memikirkan hadiah untuk para manusia ini, jatah makananku habis dimakan si Bro. Sialan juga kucing coklat buluk temanku ini.

Setelah beberapa hari memantau rumah di mana tempat burung kenari itu berada. Akhirnya hari ini aku memutuskan untung berburu.

Namun, sebelum aku sampai ke rumah burung kenari itu, sesosok betina cantik tiba-tiba melintas di hadapanku. Ia tengah dibawa jalan-jalan oleh manusia. Tali yang mengikat lehernya terlihat sangat anggun. Ekornya melambai-lambai mengikuti setiap langkah keempat kakinya.

Betina cantik itu benar-benar mengalihkan duniaku. Mengganggu makanku, karena setiap aku akan menyantap makanan yang diberikan manusia, di benakku selalu terbayang paras cantiknya. Dan karena hal itu, jatah makanku selalu habis dimakan si Bro. Betina cantik juga selalu mengganggu tidurku, karena setiap aku memejamkan mata, selalu terdengar langkah anggunnya di telingaku.

Oh Tuhan, inikah yang namanya jatuh cinta? Tapi apalah dayaku yang hanya seekor kucing jalanan.

"Cinta tidak mengenal kasta, usia, maupun jenis!" Sekelebat ucapan kakek kucing saat aku kecil dulu melintas di benakku. Aku harus berusaha meraih cinta si betina cantik.

Hari demi hari kulalui dengan terus mencari keberadaan rumah si betina cantik. Bahkan sampai aku melupakan makan karena sangat ingin bertemu dengannya lagi. Karena kemarin aku terlalu terpesona, sehingga aku lupa mengikutinya. Padahal kalau hari itu aku mengikuti ke mana ia pulang, aku pasti tidak akan kebingungan berhari-hari seperti ini.

"Lo kenapa, sih, Yaw?" tanya si Bro yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku. Aku mempercepat langkahku, enggan menanggapi pertanyaan si Bro yang bisa saja merusak moodku. Sudah cukup jatah makananku yang dia ambil, betina cantikku jangan sampai ia ambil juga. Si Bro malah mensejajarkan langkahnya denganku.

"Eh, temen nanya tuh dijawab!" ucapnya lagi sambil terus mengikutiku.

"Gue lagi nyari sesuatu," jawabku seadanya.

"Nyari sesuatu sampai lo lupa makan?" Aku tidak menanggapi ucapannya dan terus melangkah.

Si Bro terus menggerutu di sebelahku, hingga akhirnya aku terdiam di sebuah rumah besar. Betina cantik itu, ada di dalam sana. Ia sedang berjemur di teriknya matahari pagi. Bulu-bulu halusnya yang indah terlihat basah, sepertinya ia baru saja selesai dimandikan oleh majikannya.

Aku mendekati rumah itu, tapi tidak dengan si Bro. Wajahnya terlihat ketakutan lalu pergi berlari menjauhi rumah itu.

"Hai cantik," sapaku saat berada tepat di balik pagar rumah tempat ia tinggal.

Bukan jawaban darinya yang aku dapat, tapi sebuah gonggongan yang cukup kencang yang nyaris merusak gendang telingaku.

"Ngapain lo di sana? Mau nyolong, ya?!" Kulihat seekor anjing mendekat ke arahku.

"Eh, biasa aja sih. Jangan ngegas, anjing!" ucapku yang membuat anjing dihadapanku berubah menjadi murung. Wajahnya cemberut seperti merasakan sakit hati yang sangat dalam.

"Ih, kasar. Enggak suka gue!" Kulihat matanya mulai berkaca-kaca.

Aku membelalakan mata, tak kusangka seekor anjing berwajah sangar sepertinya bisa alay seperti ini.

"Emang lo itu anjing. Kata siapa lo dugong!" Anjing dihadapanku tersadar, dan mulai memelototiku.

"Eh, iya, ya. Gue emang anjing. Daripada lo. Kucing item, pesek, idup lagi!"

"Mainnya fisik ih. Pundung aku, mah!" Aku menunduk sedih, tidak terima dihina seperti ini oleh seekor anjing dihadapan betina yang kusukai.

"Bulu lo itu emang pesek, woy! Ngaca makanya, punya cermin ...." Anjing itu menjeda ucapannya. "Eh lo kan kucing jalanan, mana punya rumah."

"Ah, udah sih, ngapain juga kita ngedebatin hal yang enggak perlu kayak gini."

"Ya udah, sana pergi, lo!" Aku mengalah lalu pergi meninggalkan rumah si betina cantik

Namun saat akan pergi, aku mengedipkan sebelah mataku ke arah betina cantik itu. Sekilas kulihat, wajahnya merona menerima kedipan mataku.

Setelah hari itu. Aku semakin intens mendatangi rumah si betina cantik, dan beruntungnya aku tidak melihat si anjing galak. Nama betina cantik itu adalah Yumi, nama yang cantik, bukan? Sama seperti parasnya.

Aku sudah sering menyatakan cintaku kepadanya, namun ia selalu menolakku dengan alasan kita beda jenis.

Ya, aku akui. Ia adalah betina cantik yang dirawat tiap hari. Makan dari uang manusia dengan makanan yang terlihat sangat lezat. Padahal menurutku, tulang ayam sisa dari manusia yang memberiku makan lebih lezat. Ia juga dimandikan hampir setiap hari, sementara aku, hanya dengan menjilati bagian tubuhku yang kotor saja sudah cukup.

Sore ini kulihat Yumi tengah berjalan-jalan dengan manusia, tak lupa tali yang mengikat lehernya masih terlihat sangat cocok dipakai olehnya. Ekornya melambai-lambai mengikuti alunan langkahnya yang anggun.

Aku terus mengikutinya dari seberang jalan. Tak sedikit pun pandanganku lepas dari dirinya. Oh Tuhan, mengapa engkau ciptakan makhluk terindah ini? Apakah betina yang berjalan di seberang sana adalah jodohku yang engkau sedikan untukku?

Entah ada dorongan dari mana, aku berani mendekatinya. Menyebrangi jalanan komplek yang tidak terlalu ramai oleh kendaraan. Namun, karena mataku terus fokus pada Yumi, tidak kusadari sebuah motor melaju kencang lalu menghempaskan tubuh mungilku yang terpelanting cukup jauh dari posisiku sebelumnya.

Samar-samar kuliah Yumi mendekatiku bersama manusia yang berjalan-jalan dengannya. Si Bro dengan lompatan jauhnya tiba di sebelahku. Wajah Yumi terlihat sendu saat menatap tubuhku yang bersimbah darah. Tapi tidak dengan si Bro, ia terlihat santai sambil mengelus-elus tubuhku dengancakarnya.

"Yumi, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Mungkin kamu bosan mendengarnya. Aku benar-benar sangat mencintaimu, lebih dari apapun. Lebih dari siapapun. Bahkan ikan tongkol terlezat di dunia pun kuhiraukan." Kulihat sedikit air mata turun dari pelupuk mata Yumi.

"Yumi, kamu cantik. Namun sayang pejantan yang mencintaimu bukanlah seekor binatang yang sepertimu. Aku hanyalah kucing jalanan, yang mengais sampah demi sesuap makan, atau mengeong pada manusia agar mereka mengasihaniku dan memberiku sedikit dari apa yang mereka makan. Berbeda jauh denganmu, yang makan dari uang manusia. Yang hidup tanpa harus takut terkena hujan atau kepanasan. Walau begitu, aku tetap mencintaimu." Napasku tercekat, mataku semakin berat untuk dibuka.

"Maafkan aku Miaw, aku tidak bisa membalas cintamu. Bukan karena kamu kucing jalanan. Bukan juga karena kamu kucing hitam, buluk, pesek dan nyaris mati. Tapi, kita berbeda Miaw. Aku seekor anjing dan kamu seekor kucing." Kurasakan lembab di pipiku, sepertinya Yumi sedang menjilatinya.

Ya Tuhan, mengapa engkau tumbuhkan cinta di hatiku kepadanya. Jika aku tidak bisa memilikinya, maka cabutlah nyawaku sekarang.

Perlahan, kesadaranku pulih. Kulihat ekor Yumi melambai, menjauhiku.

"Tuhan, mengapa aku belum mati!" Aku berteriak kencang yang langsung dihadiahi tamparan oleh si Bro yang sejak tadi berada di sebelahku.

"Kita punya nyawa sembilan ,bego!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top