Biarkan Kami

Masih terasa dalam nyatanya dekapan sang induk. Menempel dia di sana, di dada. Hanya pasrah mengikuti gerak ke sana-kemari. Sambil sesekali memperhatikan lengan panjang itu yang luwes bergelantung dari satucabang ke cabang lain, telinganya menyimak; merekam apa yang diisyaratkan sang induk. Pohon mana yang menghasilkan buah. Tumbuhan yang harus dihindari. Serta tempatmendapat air tanpa ke sungai. Dia berusaha mengingat bahkan dari pelajaran dasar bertahan hidup, bahwa hanya sang induk yang dia miliki. Meski hidup dalam kelompok kecil, bukan berarti tubuh yang lain bersedia menggendong. Jadi mereka harus selalu bersama. Namun, suara sekeras petir menyentak, dia hanya mampu berteriak. Dan pergi, tidak hanya meninggalkan sang induk yang telentang, tetapi juga ilmu yang sudah tertanam.

Tubuh kecilnya kini duduk sendiri di dahan terendah. Tanpa badan sang induk untuk bergelayut. Tanpa elus pelan di bulu kemerahannya. Tanpa dekap dan balas tatap dari sepasang mata bulat berwarna hitam, persis miliknya. Tanpa itu semua, dia menoleh untuk ke sekian kali.Menyorot lurus celah antara pohon-pohon. Berusaha memicing agar lebih fokus. Namun, sosok yang lebih tinggi darinya dengan bulumerah kecokelatan di sekujur tubuhdan sepasang kaki pendek yang tertunduk, lagi-lagi tidakterdeteksi.Seperti yang pernah diceritakan, mungkin sang induk sudah terbang ke langit.

Arah tatapnya menjadi ke atas. Memperhatikan gerak daun-daun yang diembus angin. Petir itu tidak dari langit. Tidak seperti kilat yang mengantarkan guntur ketika hujan. Mereka sedang meminum air yang terkumpul dilubang-lubang, di antara cabangpohon di bawah sengat matahari yang menembus sela daun-daun, ketika gemuruh pertama terdengar. Belum sempat dia melompat ke dekapan sang induk, suara yang memekakkan telinga kembali menggema. Dia membeku sesaat, menatap sang induk yang limbung. Dan terdengar lagi. Berkali-kali hingga jauh dia membawa diri. Itu terakhir kali dia digendong.

Dia kemudian menunduk, merasa getaran di perut semakin menjadi. Kepala bulatnya terangkat, celingukan. Sejauh yang bisa dipandang hanya deretan pohon. Dulu, sang induk membawa dia berkelana. Mengajarinya mencungkil beberapa buah yang memiliki kulit keras atau bagian pohon yang menyimpan nektar. Sekarang, jangankan menggendong, baru didekati saja dia sudah ditolak.

Penolakan itu masih terasa kuat, walaupun sudah beberapa malam terlewati. Awalnya, dia merasa sang induk kembali dan keberadaan sosok di dekapan itu tidak membuatnya mundur. Dengan usaha berkali-kali dia mencoba meraih cabang pohon terdekat, siap bergelayut ke pohon di seberang. Usaha pertama tidak dapat digapai. Usaha kedua dia nyaris terjatuh. Namun, dia melihat itu; tatapan dari sepasang mata bulat hitam dan belai lembut. Maka, dengan tekad dan bayangan sang induk dia berhasil mengayun, mendarat beberapa langkah dari mereka yang berbagi kasih. Butuh beberapa detik baginya untuk menyeimbangkan diri. Butuh beberapa detik lagi setelahnya, untuk tahu bahwa itu bukan induknya. Induknya tidak akan pergi begitu saja ketika didekati. Dan induknya tidak akan menggendong anak lain. Induknya sudah terbang

Dia kembali menengadah. Andai lengan panjangnya bisa dikepak seperti milik burung, mungkin dia bisa meminta sang induk kembali. Dia berjanji akan mengingat semua yang diajarkan dan tidak pergi sendiri jika petir datang. Dia akan selalu berada dalam dekap induknya sampai waktu perpisahan tiba. Sampai dia cukup matang untuk mencari makan sendiri dan memiliki anak yang akan dia asuh seperti sang induk membesarkannya. Namun, dia memandang bergantian lengannya, mengangkat sedikit, dan melihat langit lagi. Kedua lengannya hanya bisa untuk bergelantungan, bukan terbang.

Siang sudah akan pergidan dia harus beranjak. Tidak perlu usaha berkali-kali lagi dia sudah bisa bergelantungan, agak mirip induknya. Melalui induk dan anak yang pernah didekati, dia jadi tahu ada hamparan pohon di bukit bawah. Pohon-pohon itu tidak seperti di dalam hutan yang harus menggunakan ranting agar bisa menemukan bagian yang dapat dimakan—selama beberapa hari ini kulit pohon serta daun-daunan yang dia kunyah—tetapi hanya perlu memanjat sedikit dan mengambil buah yang tersedia. Saban hari dia hanya memperhatikan karena tidak ada yang mau mengajak. Dia tidak memiliki induk. Namun, hari ini dia ingin mencicipi meski sekali.

Mengumpulkan seluruh keberanian, dia memasuki tempat yang sering didatangi kawanannya. Dibanding di hutan, di sini lebih terang karena sinar matahari mampu merembet bahkan di seluruh jalan setapak. Mungkin karena daun dari pohon-pohon di sekitarnya tidak rapat dan lebat, tetapi lebar dan seperti memayungi. Tidak adacabang yang bisa digelayuti. Juga, tidak ada akar yang mencuat. Sejauh matanya memandang, keinginan memiliki sayap dan menjemput induknya semakin kuat. Ini adalah surga. Banyak buah yang menggantung di dahan pohon. Meski ada beberapa yang sudah menguasai dan sedang lahap menyantap, dia mungkin bisa ikut menikmati.

Dia melangkah dengan dua kaki dan badan yang agak membungkuk. Langkahnya memang kurang mantap, tetapi pilihannya sudah dekat. Hampir dia menyentuh batang pohon ketika suara desisan terdengar. Menyadari siapa yang melarang, dia menyingkir perlahan. Induk yang pernah dia sangka induknya berdiri di sisi lain pohon. Menatapnya dengan mulut tinggi yang memamerkan gigi. Induk dan induk-induk lain yang tengah makan memang mirip induknya. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang mau mengulurkan buah untuk dia kunyah.

Tidak ada satu pun.

Dia sendiri.

Dan keinginan terbang semakin kuat.

Dia rindu dekapan dan tatapan sang induk. Ingin kembali bergelayut. Di sini bukan tempatnya. Di hutan pun mungkin bukan rumahnya. Tanpa sang induk tidak ada yang memberinya makan dan perlindungan.

Dia berbalik. Berniat menyantap kulit pohon lagi. Namun, baru beberapa langkah gemuruh itu terdengar. Kepalanya langsung mendongak. Memicing matanya menantang silau matahari. Bukan. Suara itu bukan dari langit. Petir yang bukan dari langit.

Dan sesuatu menghantam lengan kirinya.Menimbulkan denyutan yang teramat nyeri.Dia langsung menjerit. Suaranya melengking, terselip di antara lengkingan yang lain. Pesta hari itu berakhir. Mereka menyelamatkan diri, tetapi dia terjatuh di sana, beberapa langkah dari induk dan anak yang tergeletak tidak berdaya.

Otot-ototnya masih mampu bergerak. Namun, luka di lengan kiri membuat dia hanya menjerit tanpa perlawanan, ketika sepasang tangan mengangkat tubuhnya. Dia ingat pernah melihat makhluk-makhluk itu. Saat di mana induknya terbang, makhluk itu ada. Berdiri sempurna dengan dua kaki. Tidak memiliki bulu dan mengacungkan ranting panjang yang kokoh. Dari ranting itu, petir keluar merobohkan induknya, dan sekarang lengan kirinya.

Dia masih sadar. Dalam keadaan tidak bisa memberontak, tubuhnya dilempar ke sebuah tempat. Dia belum pernah dimasukkan ke tempat seperti ini. Sempit. Ruang geraknya sangat terbatas. Dan salah satu makhluk yang membawanya terus menyodokkan ranting petir itu melalui celah yang ada.

Dia semakin meringkuk dan mencoba menghindar dari ujung ranting yang keras itu. Makhluk-makhluk yang tidak memiliki bulu sepertinya ini sungguh mengerikan. Mereka terus berteriak. Beberapa bahkan mengisap sesuatu yang mengeluarkan api di ujung, lalu asap bergumul keluar dari mulut.Dan sekarang, sisi kurungannya diketuk-ketuk.

Dia mulai mengingat salah satu ajaran induknya. Hindari mereka yang tidak memiliki bulu dan mampu berlari cepat dengan kedua kaki. Mereka bukan penghuni hutan, tetapi mampu melakukan apa pun. Tidak memiliki belas kasih seperti ular dan bisa melumpuhkan lebih cepat dibanding macan. Walaupun mereka memiliki fisik yang sama dengannya, tetapi membuntuti induk yang sudah memiliki anak jauh lebih aman.Namun, membuntuti induk mana pun untuk mendapatkan makanan yang banyak mungkin juga pilihan yang salah. Dia tertangkap. Paling tidak masih bisa membuka mata. Tidak seperti induk dan anak tadi yang dibiarkan terkapar. Dia anggap itu sebagai keberuntungan.

Dia memang ingin terbang ke tempat induknya. Ingin memberi tahu kalau ada tempat yang menyediakan banyak makanan, tetapi dijaga makhluk-makhluk menyeramkan. Dia juga ingin mengadu tentang lengan kirinya yang terkena petir. Yang masih berdenyut nyeri hingga sekarang. Dan lebih dari itu, dia ingin bergelayut di dada sang induk. Memperhatikan lagi lengan panjang itu yang luwes meraih cabang-cabang pohon. Namun, sebelum itu dia ingin memakan sesuatu. Perutnya masih kosong. Dia masih kelaparan.

Dia hanya mampu melihat mereka yang meneguk sesuatudan mengunyah sesuatu. Dia ingin meminta. Dan ketika ujung ranting pembawapetir itu mengarah ke dadanya, dia bisa melihat sang induk menanti di sana, dilangit.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top