About Life

Bagi Mou, hidup adalah perjalanan. Tempat kaki menapak, memanen kebahagiaan.

Seperti biasa,rutinitas pagi yang dilakukan Mou masih sama; berbenah. Buang air kecil dan besar, mengusap bagian bulu yang kusut, lalu menepuk pelan –mengusir debu yang menempel di sana. Menjadi pengembara sejak berusia empat bulan, telah melatihnya menjadi sosok yang mandiri. Jika kebanyakan kaumnya hanya berhela-hela di rumah –menunggu makanan, maka Mou justru sebaliknya. Dia akan mencari makanannya sendiri, tanpa mengemis belas kasih kaum lain.

Selama ini Mou merasa cukup dengan dirinya sendiri. Menjelajah guna mencari makan dan tempat berteduh untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya. Hanya seperti itu dan membiarkan semuanya berjalan apa adanya; hidup dan tetap hidup. Sampai di suatu pagi Mou terbangun dengan perasaan hampa untuk pertama kalinya. Awalnya Mou tidak mengerti tentang hatinya yang merasa kosongsecara tiba-tiba. Padahal, saat itu ia baru saja ditendang pemilik toko baru saja melemparinya dengan batu sebab berdiri di depan pintu masuk, karna terlalu fokus mengamati kaumnya yang lewat bergerombolan–beberapa di antaranya terlihat seperti pasangan kekasih, saling melempar canda, lalu tertawa lepas setelahnya. Benar-benar membutnya iri. Dia juga ingin merasakannya. Maka, diubahnya tujuan perjalannya; mencari teman atau lebih tepatnya tawa yang serupa dengan mereka.

Moumenatap sekeliling, sembari berfikir jalur mana yang akan dia tempuh kali ini. Setelah menimbang beberapa kali, Mou pun mulai melangkahkan kakinya ke arah jalan setapak dengan pepohonan yang berjejer di sampingnya. Keputusan sedikit konyol sebab semua tau jika jalur tersebut akan menuju ke hutan belantara –tempat yang tidak cocok untuk jenis Affeinpinscher sepetinya. Tubuh mungil serta bulu lebat dapat menarik hewan pemangsa yang hidup di sana agar menikmati dagingnya.

Waktu berlalu, tak terasa Mou telah berada di tengah hutan. Sinar matahari tidak bisa lagi menembus lebatnya pepohonan. Suara hewan-hewan yang saling bersahutan membuat bulu belakangnya berdiri –takut. Meski begitu, Mou tidak berhenti.Dia terus saja melangkah kan lebih dalam. Hewan pertama yang dijumpainya adalah seekor ular berwarna hijau –sama persis dengan batang pohon tempatnya melilitkan tubuh.Mou mendekat, mencoba menyapa. Pun jika bisa, sekalian saja mendekatkan diri. Sayangnya, terlalu terbiasa sendiri membuat Mou tidak tau jika tidak semua makhluk hidup dapat dengan langsung menerimanya pada sapa pertama. Maka, hal yang terjadi setelahnya adalah si ular yang menyembunyikan kepalanya di antara lipatan tubuh –mengabaiakan Mou. Bahkan, sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata.

Mou menarik nafas, lalu menghembuskannya perlahan. Percobaaan pertama, dan itu ... gagal. Dia tidak marah. Namun, rasa sesak tetap saja hinggap dalam dadanya. Mou melanjutkan langkahnya. Mou mengkokohkan tekatnya, pertemuan selanjutnya haruslah berhasil. Maka disepanjang jalan Mou disibukkan dengan pemilihan kalimat yang tetap agar tidak ada lagi penolakan.

"Hey, kamu!" suara panggilan menghentikan langkah Mou. Pandangannya diarahkan ke atas pohon pisang di sebelah kiri, beberapa meter darinya. Di atas sana, seekor monyet berbulu abu-abu terlihat asik memakan pisang yang –kemungkinan—baru saja dipetik dari pohon itu, sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Mou mengernyit bingung. Tadi jelas sekali dia dipanggil, sekarang malah diabaikan. Ah, mungkin monyet itu ingin dia menyapa balik. Dan, mengalirlah ucapan yang menjadi pilihan dari perdebatan otak dan hatinya tadi.

"Hai." Mou melirik monyet si monyet, menunggu respon. Tidak ada jawaban. Si monyet justru terlihat semakin menikmati pisangnya. Mou mendesah kecewa. Jika tau akan seperti ini, lebih baik Mou tak usah berhenti, apalagi menyapa tadi. Diabaikan itu sakit!

Mou memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya. Percuma dia menunggu jika terus diabaikan. Lebih baik mencari yang lain. Toh, masih ada banyak hewan di sini, bukan hanya si monyet angkuh itu.

Mou berhenti. Perutnya telah memulai demo di dalam sana ternyata. Dengan berat hati, Mou menepi. Pohon mangga dengan dedaunan rindang pada setiap rantingnya, menjadi pilihan Mou beristirahat. Ditekuk keempat kakinya, lalu berbaringlah dia di situ. Lelah, lapar, dan lemas membuat Mou terlelap dengan cepat, tak sadar jika nyawanya berada dalam bahaya. Si raja hutan berdiri di antara semak di belakang Mou; tatapannya tajam, sesekali menjulurkan lidah –membuat gerakan membasahi bibir, petanda daging Mou sangat menggoda di matanya. Perlahan namun pasti, si raja hutan mulai mendekati tempat Mou. Beberapa menit menegangkat sebelum Mou dimangsa, terdengar suara sesuatu jatuh dari atas pohon mangga menimpa singa diikuti beberapa dedaunan. Sementara Mou langsung terjaga karna mendengar keributan. Matanya melebar, di depannya kini berdiri monyet angkuh dengan senyum menyebalkan andalannya, dan seekor singa tak sadarkan diri. Mou dan monyet saling melempar pandang; Mou dengan pandangan bertanya, sementara monyet dengan pandangan bingungnya. Keduanya tetap seperti itu beberapa saat, sampai suara tembakan terdengar nyaring. Hewan-hewan berbondong-bondong berlari ke arah mereka. Ekspresi mereka sama; takut.

Monyet yang mengerti, langsung menatap ke arah Mou, "Cepat lari!" teriaknya. "M-mereka datang lagi!"

Mou menaikan alisnya, "Siapa?"

"M-mereka ... para pemburu itu ...." ucapannya tertahan ketika para pemburu itu telah berada di depan mereka. Monyet melompat ke depan wajah pemburu itu, sambil berseru, "Larilah! Selamatkan dirimu!"

Tanda bahaya langsung muncul di kepala Mou. Maka, tanpa berfikir lagi, Mou segera berlari mengikuti arah hewan-hewan tadi berlari –meninggalkan si monyet menghadang pemburu.

Perasaan takut mendorong Mou berlari dua kali lebih cepat dari bisanya. Setelah dirasa cukup jauh, Mou pun berhenti di antara semak-semak. Dia diam, sambil mencoba mengatur pernafasan dengan menjulurkan lidah –membiarkan lendir dari mulutnya keluar dari sana, lalu jatuh ke tanah. Rasa khawatir muncul bersamaan dengan rasa bersalah karna telah meninggalkan monyet berjuang sendirian melawan pemburu. Seharusnya dia tetap di sana, membantu si monyet. Namun, nasi telah menjadi bubur. Toh, tetap berada di sana pun percuma. Dia tidak dapat membantu, malah akan menambah beban monyet karna harus melindunginya juga.

"Psstt ..."

Mou mengernyit. Telinganya seperti mendengar suara berbisik.

"Psstt ... Sebelah sini."

Suara itu terdengar lagi. Kali ini Mou mulai menggerakkan kepalanya mencari. Yap, itu dia. Seekor tikus keluar dari lubang kecil di balik semak. Tanpa malu, tikus itu langsung datang kepadanya, dan bersembunyi di balik tubuhnya.

"Pasti pemburu itu datang lagi," ucap tikus, memulai pembicaraan.

Mou mengernyit, "Ya. Kau tahu dari mana?"

"Hewan-hewan besar berlarian kemari tadi. Aku sampai harus bersembunyi di dalam lubang karna takut terinjak." Tikus keluar dari belakang tubuh Mou, berpindah duduk di depan. "Wajar, sih. Semua hewan yang pernah tertangkap tidak pernah kembali lagi ke sini."

"Karna?"

Tikus terlihat mangembuskan nafas panjang, lalu menjawab, "Mereka semua ... Mati."

Singkat, padat, dan jelas. Namun, mampu menghentikan fungsi otak Mou.

"Kecuali—"

"Aku harus pergi!"

Dan yang terjadi setelahnya adalah Mou yang melajukan keempat kakinya membelah hutan. Sebisa mungkin mencari jalan tercepat menuju tempat di mana dia meninggalkan monyet bergelut dengan pemburu itu. Dia tidak akan membiarkan monyet itu dibawa pergi ... Tidak!

Mou sontak menghentikan kakinya saat tiba di tempat tadi. Matanya melebar tidak percaya menatap pemandangan di depannya. Monyet tadi telah dipakaikan daster pink lucu yang yang amat pas di tubuh si monyet. Sementara si pemburu terlihat tertawa ketika melihat si monyet berhasil menaiki sepeda buatan –yang dapat ditebak adalah hasil tangan si pemburu sendiri, sambil sesekali menyuapi si monyet dengan pisang.

"Hey, mungil!" ucap si monyet, menyadari kehadiran Mou.

"B-bagaimana bisa? B-bukannya—"

Monyet tertawa, lalu menghampiri Mou yang terlihat bingung. "Jadi, begini ... Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku masih hidup dan belum dibawa,'kan?"

Mou mengangguk, "Tentu saja. Tadi kata tikus semua hewan yang ditangkap pemburu tidak akan selamat."

"Hahahaha ... Kau jangan percaya. Itu salah, namun juga benar di saat bersamaan," jawab si monyet.

"Maksudmu?"

Si monyet tersenyum tipis, "Memang benar jika semua hewan yang telah tertangkap akan mati. Namun dia salah—"

"Jangan mendekat padanya!"

Ucapan monyet terpotong akibat suara seseorang yang terdengar familier di telinga Mou. Mou berbalik, dan benar dugaannya. Si tikus telah berdiri di belakang keduanya dengan nafas memburu –petanda dia berlari ke tempat ini.

"Maksudmu apa tikus?! Monyet arogan ini adalah temanku. Ya ... Setidaknya, aku menganggapnya begitu. Jadi, tidak mungkin aku menjauhinya!"

Mou mulai kesal. Ayolah, si monyet itu teman pertamanya. Hal yang telah menjadi keinginnannya sejak lama.

"Biarkan aku yang menjelaskannya!" Monyet mangambil tempat di tengah. "Sebelumnya biarkan aku mengajukan pertanyaan kepadamu." Monyet menunjuk Mou tepat di depan wajahnya, "Sejak kapan aku menjadi temanmu? Aku tidak ingin mempunyai teman sepertimu yang—"

Dorr!

"—bodoh."

Mata Mou melotot dengan mulut sedikit menganga, diikuti tubuhnya jatuh menghujam tanah dengan darah yang berjejer di sekitar dada. Melihat itu, tikus langsung berbalik melarikan diri, tapi—

Dorr!

"Dan memiliki mulut ember sepertimu."

Si monyet tersenyum, merasa puas dengan hasil kerjanya. Setelahnya, si monyet berlari kembali ke tempat di pemburu, sembari memasukan pistol tadi di dalam kantung daster —tempat penyimpanannya di saat si empunya mebutuhkannya, seperti tadi.

Monyet dan pemburu berlalu. Di ujung jalan, si monyet menatap dua mayat hasil tangannya secara bergantian, "Pertemanan adalah omong kosong."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top