Kesadaran 6
Ada satu kata yang dapat mewakili suasana di antara aku dan Will di dalam bus ini: canggung.
Sejak naik bus, Will terus memandang ke luar jendela tanpa berkata apa pun. Aku tidak enak hati mengganggunya di kala seperti itu. Dia sepertiku yang senang memperhatikan keadaan di luar saat aku sendiri. Oho! Satu poin untuk persamaan—tapi, aku jadi tidak diacuhkannya!
Untuk mengalihkan perhatian, aku akhirnya melihat sekeliling. Namun, kursi-kursi yang berjajar menghalangi pemandangan. Aku jadi harus mengintip dari balik punggung kursi yang tinggi agar bisa menengok ke depan atau ke belakang.
Lutut di atas tempat duduk. Tangan mencengkeram sandaran. Mata fokus ke depan. Sopir bus kami adalah seorang pria tua paruh baya dengan perut buncit yang kalau bus ini melewati pembatas kecepatan—alias polisi tidur—perutnya akan melompat ke atas bergoyang-goyang. Bagaimana aku tahu? Karena saat masuk tadi aku sempat melihatnya. Benar-benar seperti ibu hamil sembilan bulan yang mengandung anak kembar tiga. Dari belakang sini, yang kelihatan hanya kepala bertopi biru dengan rambut-rambut putih yang sedikit mencuat.
Di sudut lain tepatnya di belakang sana, hanya ada tiga orang laki-laki dewasa yang sedang tidur atau bermain ponsel. Mereka—
"Kau benar-benar tidak ada kerjaan, ya?" tegur Will menghentikan observasiku.
"Salahmu sendiri diam dan terlihat tidak mau diajak mengobrol." Kuhentikan proses meneliti sekitar dan kembali duduk normal dengan tangan terlipat di depan dada.
Cowok itu menggeleng pasrah. Dia lantas berdiri dan menyuruhku menyingkir. "Kita sudah sampai?" tanyaku seraya menuruti perkataannya.
"Hampir," balas Will. Di pemberhentian berikutnya, kami turun.
Tulisan "Perumahan Pisces" yang melengkung bertengger gagah dengan warna keperakan. Di bawahnya, dua jalur untuk masuk dan keluar dipisahkan oleh taman dengan bunga berwarna-warni dan tanaman hias yang sepertinya cukup mahal. Pohon-pohon cemara besar menaungi mereka dan sebuah kantor satpam. Di sebelah bangunan itu ada sebuah denah berlatar biru bergaris-garis putih dengan legenda yang berisi blok-blok dan tempat-tempat penting seperti warung atau taman di bagian bawahnya.
Rumah-rumah bermodel sama berjajar. Hal yang membedakan hanyalah cat tembok atau tanaman yang ada di depannya. Kira-kira butuh waktu lima menit sebelum aku mati kebosanan melihat semua itu. Untunglah kami sudah sampai di rumah Will, Blok A nomor 50.
Will menggeser pagar yang menutup ke samping. Tidak ada suara yang dihasilkan seperti pagar itu melayang. Aku jadi takut kalau ada maling yang masuk karena tidak akan terdeteksi, tetapi rasa khawatirku sirna begitu aku melihat kamera CCTV bulat berwarna putih di ujung dekat kolam. Mungkin aku bakal menemukan sistem keamanan lain kalau lebih jeli.
Rumput-rumput menyapa di pinggir jalan setapak sampai ke pinggiran kolam yang kusebut sebelumnya. Ada ikan-ikan koi berwarna-warni berenang lincah di sana. Mereka kabur ketika aku ingin melihat lebih dekat. Riak air yang dihasilkan membuat daun-daun teratai di atasnya bergoyang-goyang.
"Mereka takut pada orang baru," kata Will. "Coba kau tekan tombol di dekat lampu yang ada di tengah kolam." Dia menunjuk ke sebuah tiang berlentera hitam yang sedang padam di tengah "pulau" mini, dihubungkan dengan jembatan kecil yang hanya muat satu orang.
Aku mencari-cari tombol yang Will maksud. setelah kutemukan, aku langsung menekannya. Empat batang besi yang mirip perosotan muncul dari keempat sisi. Pelet-pelet ikan berbentuk kapsul kecokelatan meluncur dan langsung jatuh ke atas kolam. Ikan-ikan langsung bermunculan kembali dan berebut makanan dengan sangar.
"Woah, keren!"
"Ayo, Sa. Kita ke sini bukan untuk memberi makan ikan."
Will mengajakku ke dalam. Ruang tamu Will tampak sederhana sekaligus elegan dalam waktu yang bersamaan. Sofa-sofa empuk berwarna hitam dengan satu sampai tiga dudukan melingkari meja dengan kaki-kaki melengkung. Ada meja-meja berukuran lebih kecil di antara sofa-sofa itu. Vas dengan bunga sedap malam menghias di atasnya.
Di bagian dinding bercat putih dekat sofa panjang, bertengger foto keluarga Will kecil dan kedua orang tuanya—mungkin. Di sebelahnya, Will remaja dan seorang wanita berdiri berdampingan.
"Sa," panggil Will yang baru kusadari menghilang dan kembali lagi dengan seorang wanita paruh baya yang serupa dengan foto yang kulihat sebelumnya. "Ini mamaku."
"Halo, Dik Asa," sapa mamanya Will. Sekarang aku tahu dari mana mata sayu Will berasal.
"Halo, mama Will," balasku. Aku mencium tangannya sopan. Beliau tertawa ringan seolah perkataanku adalah sebuah lelucon.
"Willy jarang sekali membawa teman ke rumah. Jadi, Mama sangat senang sekali ketika kamu datang. Kamu makan di sini, ya. Mama akan siapkan." Mamanya Will melengos pergi. Will sendiri tampak memerah.
"Kau kenapa?" tanyaku ketika mamanya sudah tidak terlihat.
"Tidak apa," jawab Will. "Aku mau ganti baju. Kau duduklah dulu."
Sesuai perkataan Will, aku pun duduk di salah satu sofa panjang. Lima menit kemudian, Will datang dengan pakaian yang lain; kaus oblong putih dan celana panjang hitam. Dia lantas duduk di salah satu sofa kecil lalu menghadapku.
"Mama masih masak. Kita bisa lanjutkan sinkronisasi selagi menunggu," ujar Will sambil melipat tangan dan menumpangkan satu kakinya ke atas paha.
"Ah, okey." Aku mengembuskan napas perlahan, berpikir apa yang akan kutanyakan. "Apa hobimu?"
"Membaca. Kau?"
"Main video game." Rasanya energiku terkuras. Satu lagi perbedaan. "Genre film yang kau suka? Aku aksi, fantasi."
"Horor, thriller." Beda lagi.
"Warna favorit? Biru, hijau."
"Biru, putih."
"Ah, akhirnya! Setidaknya kita suka warna biru." Aku berteriak girang lalu bungkam karena baru sadar ini di rumah orang lain.
"Itu tidak cukup. Lagi pula biru itu terlalu umum—"
"Cukup, cukup. Aku tidak ingin kau mengacaukannya." Kurentangkan tangan di depan seperti menghalau agar Will berhenti mengoceh yang tidak perlu.
Kami melanjutkannya sampai terkumpul tiga perbedaan lagi dan nol persamaan tambahan. Rasanya kami bisa melakukan ini sampai malam dan tidak ada kemajuan yang berarti. Di tengah kami mencari hal-hal yang lain untuk dicari persamaannya—tapi kebanyakan malah perbedaan, mama Will memanggil.
"Saatnya makan, Anak-anak!" panggilnya dari dapur.
Will langsung mengajakku ke arah suara dan mendapati meja makan bundar yang sudah terhampar berbagai macam makanan. Sepertinya lauk-pauk yang ada terlalu banyak walaupun untuk dua orang—mengingat foto Will dan mamanya yang terpajang di depan tadi. Kelihatannya mama Will sengaja memasak lebih karena ada aku. Bayangkan saja, ada ayam goreng, tempe goreng, telur dadar goreng, ikan goreng, sayur kangkung, dan sambal. Menurutku itu terlalu banyak dan bervariasi dibandingkan denganku yang hanya makan dengan satu lauk.
"Ayo, Dik Asa. Ambil sendiri nasinya supaya puas," kata mama Will sambil menyodorkan piring kaca transparan. Aku menerimanya dengan canggung.
Aku hanya mengambil satu potong ayam bagian dada dan dua potong tempe goreng. Ditambah sedikit sambal karena aku ingin ada sedikit sensasi menggigit. Mama Will yang duduk di seberangku tertawa pelan.
"Kamu mirip Willy waktu kecil. Sukanya makan yang kering-kering," katanya. Aku ikut tertawa kecil, karena tahu ada persamaan lain walaupun tidak signifikan.
"Mama ...." Will yang duduk di sebelahnya tampak memerah lagi.
Kami makan dengan khidmat. Sesekali mama Will bertanya bagaimana kami bisa berteman baik. Tidak mungkin aku bilang kami berhubungan karena ada kaitannya dengan Oneironaut, maka kubilang, "Kami ada kerja kelompok. Jadi sering bersama dan akhirnya dekat."
"Senangnya. Mama sampai khawatir Will tidak punya teman karena dia kurang bisa bersosialisasi."
"Mama ...." Will menggerung. Ada nada malu dalam ucapannya. Aku hanya tersenyum simpul menanggapinya.
Sepuluh menit kemudian, kami selesai. Mama Will bersikeras untuk mencuci semua piring agar kami dapat melanjutkan "kerja kelompok". Aku tidak bisa membantah perintah orang yang lebih tua apalagi seorang ibu. Lagi pula, Will sudah menarikku agar kami bisa melanjutkan sinkronisasinya.
"Kita lanjut di kamarku," kata Will sambil mengajakku ke salah satu kamar dengan tulisan "Ketuk dulu sebelum masuk".
Setibanya di dalam, Will langsung mengempaskan diri dengan posisi tengkurap di atas kasur. Dia menggeliat sebentar sebelum akhirnya telentang. Cowok itu menatap langit-langit berwarna putih dengan lampu neon melingkar yang padam. "Tidak ada yang lebih baik selain memahami musuh sebaik mungkin untuk mengalahkan mereka. Termasuk di dalamnya mengetahui kebiasaan dan gaya hidup mereka," ujarnya tanpa mengalihkan pandang.
"Tapi aku ke sini bukan untuk mengalahkanmu dalam hal apa pun," sahutku sambil melihat-lihat isi kamar Will yang bercat biru langit. Ada lemari pakaian pendek di dekat kasur tipe single bed—di ujungnya, tas selempang tersampir—yang sedang ditiduri Will. Gitar biru tua yang menggantung di dinding dekat ujung kasur. Buku-buku yang tertata rapi di atas lemari. Tempat sampah dekat pintu masuk, dan karpet bundar di antara kasur dan lemari. Kamar tidak terasa gelap karena adanya jendela terbuka di dekat kasur yang mengantarkan sinar matahari masuk dan menyinari seluruh ruangan.
"Itu cuma peribahasa," timpal Will sambil duduk dan bersila. "Sekarang kau tahu apa yang kusuka tanpa harus banyak bicara."
Aku melihat kumpulan buku dari yang tipis sampai yang tebal. Kebanyakan adalah kumpulan novel. "Kenapa kau masih suka versi cetak?" Aku mengambil salah satu buku bersampul biru dan membolak-balikannya. Yang kutahu kebanyakan buku-buku yang beredar sekarang berbentuk buku elektronik untuk menghemat biaya produksi.
"Aku suka karena mereka berada dalam wujud yang sesungguhnya."
Aku mengangguk saja karena tidak terlalu paham maksudnya. Bagiku yang penting isinya, tidak peduli bagaimanapun bentuknya.
"Will!" Aku berseru ketika mendapati buku kumpulan lagu yang kulihat berisi salah satu lagu legendaris yang dijadikan musik latar di game favoritku. "Kau bisa memainkan himne ini dengan gitarmu?" Kutunjuk not-not balok yang berjajar meliuk-liuk dengan judul "Himne Sang Dewi".
Will mengambil bukunya dan menekuri not itu dengan saksama. Dia lantas mengambil gitar yang tergantung dan mulai memetik perlahan.
Nada-nada mulai mengalun seiring jari-jari Will yang bergerak ritmis. Suara cemprengku keluar menyanyikan setiap bait dalam bahasa Alaf yang mati-matian kuhafal agar bisa kunyanyikan saat aku memainkan game-nya. Setelah mencapai bait pertengahan, Will ikut bernyanyi. Suara tenornya berpadu dengan suaraku. Kami bernyanyi sampai akhir kemudian mengulanginya hingga tidak sadar suara kami seakan menyatu.
Ini dia. Sinkronisasi!
Seolah merasakan apa yang kurasakan, jemari Will berhenti. Matanya yang hitam menemukan mataku. Kami saling memandang takjub sebelum akhirnya tertawa bersama. Tawa Will sangat ringan seperti mamanya. Kedua ujung bibirnya terangkat sempurna sampai membuat matanya terpejam. Tawa yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
"Apakah itu cukup?" tanyaku takut-takut.
Will menyimpan gitarnya di pinggiran kasur. Dia melihatku dengan tatapan yang lebih lembut. "Aku harap begitu," katanya sembari jatuh telentang.
"Tapi, untuk memastikan agar koneksi kita lebih kuat,"—Will terduduk, tubuhnya condong ke depan—"aku juga harus tahu bagaimana kamarmu—"
"Harus, ya?"
"Kenapa?" tanya Will. Keningnya mengerut tidak suka.
"Tidak apa-apa," jawabku.
"Aku akan menginap."
"Apa—"
"Menurut teori, sinkronisasi akan lebih kuat ketika dua gelombang otak saling berdekatan."
"Somnium tidak pernah bilang begitu."
Will melirikku tajam seperti yang biasa dia lakukan. "Kau mau ini berhasil atau tidak?"
"Tentu saja mau!"
"Kalau begitu, kita akan coba malam ini. Aku akan bilang pada Mama."
Will langsung beranjak keluar. Aku lebih memilih diam di tempat dan menunggu cowok itu kembali.
Saling memahami. Saling mengerti. Kita berasal dari satu kesadaran yang sama.
Di tengah aku sedang melamunkan apa yang sebenarnya kulakukan selama ini dengan Will, dia datang.
"Astaga," katanya sambil mengacak rambut.
"Kenapa, Will?"
"Aku kira Mama akan melarangku. Tapi, malah sebaliknya, Mama sangat antusias. Mama bahkan sedang membuatkan makanan dan camilan sekarang."
Will tidak menghiraukanku yang menatapnya bingung. Dia mengambil beberapa pakaian dari dalam lemari kemudian memasukkannya ke dalam tas selempang yang sering digunakan ke sekolah.
"Will," panggilku. Orang yang dipanggil hanya bergumam. "Kenapa kau mau membantuku sampai sejauh ini?"
Tangan Will yang sedang sibuk memasukkan pakaian berhenti. "Kenapa? Kau tidak suka?" tanya Will seperti tersinggung.
"Tentu saja tidak! Aku sangat berterima kasih kau bersedia membantu."
"Ya, sudah," ucapnya sambil melanjutkan yang belum selesai. Dia kemudian pergi lagi dan kembali membawa sikat gigi dan handuk. "Ayo, Sa."
"Sekarang?"
"Besok!"
"Oke, oke. Ayo."
Aku bangkit dari tempat tidur dan mengikuti Will ke dapur untuk menemui mamanya. Mama Will sedang memasukkan beberapa lauk seperti ayam goreng dan tempe goreng ke dalam kotak bekal. Dua stoples berisi kue kering terbungkus rapi dengan pita.
"Sebentar, sebentar," ujar mama Will sambil memasukkan semua itu ke dalam tote bag. "Kalian belajar yang betul, ya." Kami mengangguk.
"Aku berangkat dulu, Ma," salam Will sambil mencium tangan kanan mamanya. Aku mengikuti.
"Terima kasih, mama Will."
Setelah berpamitan, kami berangkat ke rumahku.
...
Tidak ada percakapan yang berarti ketika di dalam bus. Seperti sebelumnya Will melihat ke jalanan ketika kami naik dan membiarkanku berkutat dengan pikiran sendiri. Ketika dia menyadari kalau aku ingin diajak bicara karena melihatnya terus dengan intens, barulah cowok itu bersuara.
"Oke, maaf," mulainya. "Aku mengabaikanmu lagi. Aku hanya kebiasaan."
"Kebiasaan?"
"Kau tahu ... saat di bus adalah ketika aku dapat benar-benar menjernihkan pikiran."
"Aku juga sering!"
"Senang mendengarnya." Will tersenyum simpul. Aku tertawa.
~~oOo~~
A/N
Synchronisation!
Pertanyaan untuk bagian ini: Dengan teman, kalian lebih sering berantem atau akurnya?
***
Diterbitkan: 08/05/2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top