Kesadaran 27

Perseteruan itu tidak berlangsung lama, tetapi menuntun pada sesuatu yang lebih genting.

Aku dan Will hanya bisa melihat pertarungan Kak Mindy dan Kak Danny. Lebih tepatnya saling berpelukan dalam ketakutan di pojok ruangan dekat pintu keluar yang terlindung dengan sofa karena akan bahaya bila kami malah merepotkan dan terkena salah satu serangan, baik itu tinju ataupun serangan listrik. Lagi pula, ini adalah salah satu momen langka di mana kakak sepupu Will itu bisa bertarung dengan kakakku, setidaknya itu kata Kak Mindy sebelum dia melancarkan serangannya yang bertubi-tubi!

Kakakku meninju, Kak Mindy mengelak. Kakak sepupu Will yang lebih cepat itu lantas menyerang balik dengan stun gun. Kak Danny mengejang ketika benda itu mengenai lengan dan dadanya. Gerakannya melambat sebelum akhirnya jatuh.

"Cih, payah," cibir Kak Mindy.

Namun, hal berbahaya terjadi ketika Kak Danny bangkit kembali dan memukul Kak Mindy di perut. Penolong kami terempas menabrak tembok belakang diiringi erangan yang tertahan.

"Kak Mindy!" pekikku. Will lantas memukul belakang kepalaku cepat. Aku baru sadar dengan kesalahan yang baru kubuat. Di tempatnya, Kak Danny serta-merta menatap kami nyalang dengan mata merah seperti predator menemukan mangsa. Sial. Jantungku berdegup tak keruan. Keringat dingin bercucuran lebih banyak. Aku semakin bergetar di pelukan Will.

Kak Mindy menghentikan kakakku tepat waktu. Dia menggabruk Kak Danny sampai telentang, lantas menyetrumkan lagi stun gun ke leher Kakak sampai dia menjerit. Namun, Kak Danny bisa menyingkirkan lawan yang menindih tubuhnya. Kak Mindy terguling lantas kakakku balik menindih. Tangannya siap meninju ketika Kak Mindy dengan sigap menyetrum Kakak lagi sampai terkapar.

Dengan tangan gemetar, Kak Danny berusaha menggapai Kak Mindy yang kini telah duduk terengah di sampingnya, tetapi aliran listrik sepertinya keburu membuat kakakku lemas. Tangannya terkulai.

"Kak Danny!" teriakku panik sambil melepaskan diri dari pelukan Will, berniat menghampiri satu-satunya keluargaku itu.

Akan tetapi, Kak Mindy merentangkan satu tangannya menghentikanku. "Tunggu," pintanya. Dia kemudian menyentuh dahi Kak Danny dengan jempol, jari telunjuk, dan jari tengah seraya memejam.

Mata Kak Danny yang semula semerah darah sedikit demi sedikit menjadi hijau terang kembali seperti sedia kala. Perlahan, kelopak matanya pun tertutup.

Kontras dengannya, mataku membeliak. "Kakak!"

"Tenang, Asa, dia hanya pingsan," hibur Kak Mindy. "Listrik stun gun tidak dibuat untuk membunuh targetnya." Dia mengalungkan satu tangan Kak Danny ke leher. "Bisa kau bersihkan sofa yang di sana itu? Setidaknya kita harus menempatkan Danny di tempat yang empuk."

Aku mengangguk. Dengan cepat kubereskan meja kayu yang pincang satu, lalu membersihkan serpihan tembok, beling, pigura yang terjatuh dan debu yang ada. Sebagai tambahan, aku juga membereskan sisa pecahan vas, bunga, dan air yang menggenang.

Kak Mindy lantas beralih pada Will. "Will, bantu aku memindahkan Danny!" perintahnya.

...

Kepala Kak Danny ditempatkan di paha Kak Mindy yang duduk di sofa panjang. Satu tangannya di dada dan tangan lainnya terkulai ke lantai. Kaki Kakak yang melebihi pinggiran sofa terangkat menggantung.

"Sekarang, kita harus benar-benar menyingkirkan Nitemare-nya," kata Kak Mindy sambil membersihkan sisa darah di kening Kak Danny dengan sapu tangan, lantas memainkan poni rambut kakakku.

Aku yang sedang menyentuh-nyentuh pipi Kak Danny sambil berjongkok seketika berhenti. "Jadi benar Kak Danny dirasuki Nitemare?!"

"Kalau dilihat dari perilakunya, iya," jawabnya sambil mengangguk. "Aku juga sempat melihat melalui matanya." Kak Mindy menatap dalam wajah kakakku sebelum kembali melihatku dengan serius. "Meskipun aku sudah menyegel jalur kesadaran ke realitas, kita tidak tahu sampai kapan hal itu akan bertahan. Kita harus segera bertindak sebelum si Nitemare kembali menguasai tubuh Danny."

"Caranya ...?" tanyaku waswas.

"Gampang," jawab Will yang sedang duduk di sofa tunggal memijat pundaknya sendiri. "Kita hanya perlu ke Unrealm dan menghadapi si Nitemare seperti biasa."

"Tuh, Willy juga tahu."

Will yang kini sedang memutar bahunya berhenti sejenak. Matanya berkedut. Dia membuka mulut seperti ingin bicara, tetapi tidak jadi, kemudian lanjut melemaskan sendi-sendinya.

"Uh, aku tidak yakin bisa tidur cepat dalam kondisi seperti ini. Matahari bahkan baru tenggelam," ratapku sambil menunduk. "Aku bahkan tidak yakin bisa ke sana dengan lancar."

"Kau butuh bantuan agar cepat hilang kesadaran?" tanya Will sambil membunyikan buku-buku jarinya. Tangannya mengepal. "Aku bisa bantu. Mau di tengkuk atau di perut?"

Aku bergidik. "Jangan bercanda!" pekikku. Terkadang aku tidak bisa membedakan saat Will bergurau atau tidak.

"Ssshh, William." Kak Mindy tersenyum menenangkan. "Tenang, Asa, aku tahu cara efektif dan lebih cepat."

"Apa itu? Hipnosis?"

"Semacam."

Kak Mindy lantas memintaku lebih mendekatinya karena dia tidak bisa bergerak. Aku kemudian duduk bersila di dekat kaki kakak sepupu Will itu. Kepalaku disandarkan lebih dekat pada pahanya yang sebelah lagi sampai aku hanya bisa melihat langit-langit.

"Bersiaplah," ujar Kak Mindy sambil menyentuh dahiku seperti yang dilakukannya pada Kak Danny.

Tekanan jari Kak Mindy seperti memberikan serangan kejut yang menjalar dari kepala sampai ujung kaki. Perlahan rasa kantuk tidak bisa aku tahan. Kelopak mataku turun sedikti demi sedikit diiringi cahaya yang kian memudar.

Aku refleks membuka mata kembali ketika energi di tubuhku terasa mengalir deras. Ketika aku sadar, aku sudah berada di tempat lain, bukan lagi di ruang tamu rumahku. Ada langit hitam penuh nebula warna-warni berbintang kesadaran. Rumput hijau sejauh mata memandang seperti terkena sinar matahari langsung. Hutan hijau dan merah muda di ujung cakrawala.

Unrealm. Wow, transisinya berbeda sekali.

Di tengah aku yang sedang mencari apakah ada perbedaan di tubuh, Will datang memelesat layaknya meteor yang terbakar seperti biasa. Dia mendarat dengan keras sampai memunculkan angin—yang menerpa sampai aku harus melindungi wajah dengan tangan—diiringi suara debum. Tanah yang dipijaknya menjadi kawah kering dan rumput di sekitarnya menjadi hitam.

"Bisakah kau datang dengan normal?" protesku. "Biar apa coba?"

Will hanya mengangkat bahu tak acuh. "Biar keren."

Aku melihatnya malas. Dasar.

"Omong-omong, kau tipe orang yang mudah tidur di situasi apa pun ternyata, ya?" terkaku.

Cowok di hadapanku mengibas tangan di depan muka. "Tidak juga. Ada teknik khusus yang kupakai agar bisa cepat ke Unrealm, meskipun ada efek samping tertentu. Ada alasan khusus kenapa aku memakainya."

"Teknik apa itu?" tanyaku penasaran.

"Superposisi. Sudahlah, nanti kuberi tahu sisanya. Kita harus segera bergegas sebelum terlambat," saran Will.

Aku terbang ke luar teritori. Kucari kubah mimpi Kak Danny di tengah hamparan kubah-kubah mimpi yang lain. Meskipun aku tidur di dekat Kakak, hal itu tidak menjadikan teritorinya berada di dekat milikku. (Pada kasusku dan Will yang teritorinya tumpang-tindih padahal kami sinkron baru-baru ini, itu bisa jadi karena kami Oneironaut dan berbeda dengan Kak Danny yang bukan padahal aku dan Kakak telah dekat sejak dari lahir.)

Aku segera menuju salah satu teritori berwarna hitam di sebelah kiriku karena sinyal kesadaran kakakku terpancar dari sana. Akan tetapi, saat ditelisik lebih jauh, ada sesuatu yang terasa janggal. Kubah mimpi milik Kak Danny gelap gulita seutuhnya, membuatnya berbeda dari yang lain karena tidak memiliki aksen tarian asap yang mirip minyak di atas air.

"Kau tahu? Nitemare yang mengendalikan Kak Danny seperti orang plin-plan. Kadang memengaruhi kakakku sampai bisa mengendalikan kekuatannya, kadang hanya bisa memukul-mukul saja, walaupun kekuatannya tetap besar," paparku pada Will sambil terus mendekati kubah mimpi Kakak.

Will melihatku sekilas, lalu kembali fokus ke depan. "Mungkin karena makhluk itu belum bisa mengendalikan tubuh kakakmu seutuhnya. Atau karena kesadaran kakakmu juga memberontak untuk mengambil alih tubuhnya. Manapun kemungkinan yang terjadi, kita tidak akan tahu sampai memeriksanya sendiri," jawabnya sambil menjejak ke tanah, tepat di depan teritori hitam kelam Kak Danny.

Aku baru akan masuk ke teritori ketika sesuatu menghentikanku. Tabir batas kubah mimpi Kak Danny memblokir akses masuk. "Hei, kenapa ini?!" protesku. Aku memukul-mukul dinding sekeras beton itu berharap bisa melunak.

"Hentikan, Sa!" sergah Will sambil mencengkeram bahuku. "Itu karena Kak Mindy membatasi jalur kesadaran ke luar maupun ke dalam. Aku akan bicara padanya."

Keningku mengerut. "Bagaimana kau melakukannya?" Setahuku, saat seseorang tertidur, kesadarannya akan sepenuhnya memasuki Unrealm dan akses ke realitas akan terbatas sampai orang itu bangun. (Untuk kasus orang mengigau, jalan sambil tidur, dan lainnya itu adalah hal lain.)

Namun, Will tidak menanggapi. Anak itu malah diam sambil memejam. Tubuhnya jadi agak transparan membuatku panik seketika. Ketika dia kembali membuka mata, kubah mimpi Kak Danny berdenyar sekilas.

"Cepat!" kata Will sambil bergegas menarik lenganku ke batas teritori yang kini sudah bisa dilewati.

Sesak seperti terkena asap menyapa ketika aku memasuki tabir batas. Energi seperti tersedot hingga aku harus berhenti beberapa kali. Aku sampai meminta Will memapahku karena tidak tahan dengan tekanan yang ada dan tubuhku rasanya kian melemas.

Setelah perjuangan berat, aku dan Will akhirnya berhasil keluar. Namun, rasa lelah yang mendera membuatku sampai harus berbaring untuk memulihkan tenaga. Pengap yang tak terkira pun membuatku harus mengambil napas banyak-banyak seperti orang asma.

Will mungkin lebih baik dariku, tetapi dirinya yang menumpu pada lutut menunjukkan kalau Oneironaut berpengalaman seperti dia pun masih bisa kewalahan. Ditambah peluh yang mengucur karena harus memapahku, membuatnya semakin terlihat kepayahan.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku basa-basi setelah lumayan pulih sambil memberikan senyuman terbaik yang kumiliki.

Cowok itu tidak menjawab. Dia malah melakukan sesuatu yang sama seperti sesaat sebelum kami memasuki tabir batas.

"Kau mau menjelaskan sesuatu?" pancingku mengingatkan apa yang mau dipaparkan Will sebelumnya.

"Superposisi adalah saat keadaan kesadaran berada di dua tempat yang sama, Unrealm dan realitas. Aku melakukannya agar bisa tetap berkomunikasi dengan Kak Mindy sehingga dia dapat membuka segel jalur kesadaran ke realitas untuk sementara."

"Terdengar seperti superposisi kuantum," timpalku membuatku teringat satu hal. "Oh, kau harus membantuku dengan tugas Fisika Kuantumku nanti." Aku tersenyum penuh arti.

Will tetap berwajah datar. Anak itu mengulurkan satu tangan, aku menerimanya. Dia lantas membantuku bangkit hanya untuk memperlihatkan sebuah pemandangan yang mengerikan.

Mataku membulat. Bibirku kelu. Sudut bibirku jatuh.

Langit merah. Guntur menggelegar. Api berkobar di cakrawala. Bangunan-bangunan tinggi runtuh dan tumpang tindih. Abu pembakaran melayang-layang. Tercium bau daging terbakar. Jeritan di kejauhan. Lolongan yang menggema. Benar-benar mimpi buruk.

"Ayo," ajak Will.

Aku menelan ludah gugup. Meskipun aku sudah sering melihat teritori kacau yang dikuasai Nitemare, bukan berarti aku terbiasa dengan pemandangan yang ada, apalagi ini adalah mimpi kakakku. Mimpi orang terdekat yang seharusnya kujaga.

Tenang, Kak. Tak lama lagi semua ini akan berakhir.

Aku yang memimpin jalan, karena kata Will tetap aku yang harus memastikan di mana kesadaran Kak Danny berada, dan menyelamatkannya sebelum menghabisi Nitemare yang berulah.

Kususuri jalan beraspal retak-retak yang telah bercampur dengan pasir dan bebatuan. Sambil mencari gedung tertinggi yang dapat dicapai agar bisa menerawang seluruh tempat dan mencari kesadaran Kak Danny lebih cepat, aku memperhatikan sekeliling lebih saksama. Kalau dilihat sekilas, semuanya terasa seperti latar tempat film pascabencana. Mobil-mobil terbakar, gosong, terbalik atau kombinasi ketiganya. Tiang-tiang lampu jalanan bengkok atau patah—sebagian dari mereka bahkan ada yang masih memercikkan listrik. Ada truk tanker yang melintang di salah satu sudut jalanan. Bangunan-bangunan kecil yang dulunya mungkin restoran dan pertokoan hanya menyisakan bangkai berupa kosen, beling, dan dinding terkelupas yang menampakkan bata merah. Tanaman liar merambat di berbagai tempat. Hanya satu yang kurang.

"Kau tahu? Suasana seperti ini mengingatkanku pada film zombi yang pernah kutonton dengan Kak Danny," ungkapku sembari menengok ke belakang dan mendapati Will malah berdiri dengan kuda-kuda siap tempur serta tombak di punggung yang telah muncul dari ketiadaan. "Ke ... kenapa?"

"Zombimu datang," sahut Will. Matanya lurus ke depan, lalu melirik ke kanan dan kiri dengan awas.

Aku meneguk ludah gugup. Kuputar tubuh lantas menyiapkan kedua pedang bersiap menghadapi para zombi ataupun Nitemare lainnya yang datang.

Dari ujung jalan, dapat kulihat siluet-siluet seperti manusia bergerak tak keruan. Pergerakan mereka seperti orang yang sudah mengalami kecelakaan fatal. Kaki terpincang-pincang. Tubuh yang diseret. Tangan yang menggapai-gapai seolah meminta pertolongan. Namun, suara makhluk-makhluk itu yang menggeram dan berteriak lebih seperti predator yang mengintai mangsa.

Jinx sialan.

"Asa, jangan lengah!" peringat Will.

Aku refleks berbalik dan mendapati kedatangan zombi-zombi itu tidak hanya dari satu tempat, tetapi juga dari berbagai arah. Mereka terus mendekat dan semakin memperjelas penampakan mereka yang mengerikan dan mengenaskan.

Ada yang hitam karena gosong. Ada yang kulitnya terkelupas memperlihatkan daging merah atau hitam. Ada yang bermata bolong satu. Ada yang bahkan tidak memiliki sama sekali ditambah rahang yang hilang membuat lidahnya menjuntai. Ada yang tidak memilki tangan. Ada yang sama sekali tak mempunyai kaki sampai harus menyeret tubuh.

Seram. Ngeri. Jijik.

Aku ingin muntah. Kalau dilihat secara langsung seperti ini, ternyata tidak ada keren-kerennya zombi itu.

"Mau sampai kapan kita akan berdiri seperti ini?" tanyaku sambil terus merapatkan punggung pada Will.

"Kukira kaupunya rencana untuk menemukan kesadaran kakakmu!"

"A ... ada, sih. Tapi aku tidak yakin kalau kita dikepung lautan mayat hidup seperti ini." Aku menelan ludah. Zombi-zombi itu masih bergerak lambat seperti di film-film.

"Aku dari tadi menunggumu bergerak, tahu!" protes Will.

"Kau yang berhenti duluan, jadinya aku juga ikut berhenti, 'kan," belaku.

Will menarik bahuku sampai kami saling berhadapan. Dia lantas menendang dadaku sampai aku terjungkal mengakibatkan rasa sakit sesaat menjalar. Saat aku ingin protes, anak itu sedang menebas satu zombi yang entah datang dari mana.

"Kalau kau punya rencana, katakan sekarang!" pekik Will sampai urat-urat di wajah dan lehernya terlihat.

Mulutku kering. Sekarang aku tidak yakin mana yang lebih seram, zombi atau William yang sedang marah?

~~oOo~~

Diterbitkan: 10/02/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top