Kesadaran 20
Setelah berhasil mengeluarkan Kak Danny dari Kehampaan, masalah selanjutnya sekarang adalah ... bagaimana cara menyadarkannya?
"Apa bisa langsung seperti saat kau membangunkanku waktu itu?" tanyaku pada Will. Aku dan Kak Danny sudah melepaskan pelukan.
Aku juga teringat langsung bangun ketika terluka parah di sini.
Will melihat Kak Danny intens, sedangkan Kakak sendiri tampak penuh harap. Setelah beberapa saat penuh senyap, akhirnya dia setuju untuk mencoba. "Bangun, Kak," katanya seraya menyentuh bahu Kak Danny.
Tidak ada yang terjadi sampai berkas-berkas cahaya berupa kunang-kunang mulai menyelimuti tubuh Kak Danny. Perlahan tubuh kakakku memudar menjadi transparan sampai akhirnya dia menghilang. Sekarang, tinggal aku dan Will berdua.
"Apa kakakku sudah kembali ke realitas? Dia sudah sadar? Kak Danny akan baik-baik saja, 'kan?" cecarku pada Will. Orang yang kutanya hanya bergeming.
Cowok itu mengedikkan bahu. "Kita tidak tahu sampai kita bangun," balasnya.
"Kalau begitu apa yang kita tunggu?"
Tanpa menunggu jawaban dari Will, aku kembali ke teritoriku sendiri. Melewati jurang tanpa batas, kumpulan Nitemare, tebing, hutan, padang gurun, aku melesat bagaikan komet. Will mengekori dari belakang. Saat sampai, dia lantas berpamitan.
"Kenapa kau tidak langsung ke teritorimu sendiri tadi?" tanyaku heran.
Will tertawa meremehkan. "Dan membiarkanmu sendirian jadi sasaran Nitemare liar? Aku tidak akan membiarkan hal itu."
"Ayolah, Will. Setelah semua yang kita lewati, kau masih mengkhawatirkanku?" sahutku sambil bersedekap. Will hanya tersenyum miring sebagai balasan lantas melesat pergi.
Aku menggeleng, tidak mengerti dengan jalan pikiran anak itu. "Dasar. Memang aku tidak khawatir denganmu juga?" Aku bergumam.
Mengabaikan Will yang telah tidak terlihat, aku mencoba untuk kembali bangun.
...
Pukul lima pagi. Aku bangun dengan badan pegal, kepala berat, dan beberapa bagian tubuh yang sakit. Rasanya seperti salah tidur atau berbaring di ranjang paku. Otot-ototku nyeri setiap digerakkan seperti telah olahraga berjam-jam. Setengah jam aku tiduran tanpa bergerak sampai akhirnya sedikit demi sedikit aku bisa menggerakkan satu jari dengan normal.
Hal pertama yang kulakukan saat bisa duduk tanpa adanya rasa sakit adalah menghubungi Will. Lama aku menunggu, tetapi tidak ada jawaban. Setelah aku menggerutu karena khawatir pada anak itu, aku baru sadar kalau Will masih di rumah sakit dan ada kemungkinan ponselnya tertinggal di rumah.
Harus apa aku sekarang? Kunjungan rumah sakit baru dibuka pukul tujuh. Sekarang masih pukul setengah enam. Mungkin sebaiknya aku bersiap dahulu meskipun masih lama. Jadi, aku bisa langsung pergi.
Udara pagi sangat dingin hari ini. Aku sampai harus memakai sarung tangan dan jaket tebal saat keluar. Rencananya aku mau bolos sekolah dan mengurus keperluan serta administrasi Kak Danny agar bisa cepat keluar dari rumah sakit. Dengan tudung di kepala dan masker yang menutupi mulut, aku berusaha agar tidak dikenali siapa pun, baik di jalan, di bus yang penuh sesak dengan orang ke sekolah dan ke kantor, ataupun teman-teman yang lain. Aku tidak mau ditanya yang aneh-aneh dahulu dan merusak kesenangan karena tahu Kak Danny akan segera sehat kembali.
Aku tiba di rumah sakit pukul setengah delapan pagi. Begitu tiba, aku tidak langsung ke kamar Kak Danny melainkan ke kamar Will. Perlahan kubuka pintu agar tidak mengganggu pasien yang lain. Tiga di antara enam bed tertutup gorden pembatas, tiga lainnya kosong. Aku segera menuju bed Will lalu mengintip sedikit sebelum masuk.
Will yang sedang sarapan dan ibunya melihatku ketika aku melongok ke dalam. Aku membuka masker. Senyum canggung langsung merekah. "Hai," sapaku. Aku langsung masuk dan mencium tangan mama Will.
"Nak Asa tidak sekolah?" tanya mama Will. Pertanyaan yang sangat kuhindari.
"Ah ... ya ... itu ...." Aku gagap. Agak malu mengakuinya. "Saya mau mengurus kakak saya yang dirawat di sini. Sekalian jenguk Will dulu," jawabku pada akhirnya disertai garukan di tengkuk.
"Loh? Kakakmu kenapa?" Mama Will terlihat khawatir.
Aku meringis. "Kakak mengalami kecelakaan kerja—"
"Oh, semoga kakakmu cepat sembuh," ujar mama Will sambil tertunduk.
"Tapi, Mama tidak perlu khawatir. Kakak orang yang kuat," timpalku.
Setelah beberapa saat mengobrol tidak jelas, aku pamit. Tidak lupa kusebutkan gedung dan kamar Kak Danny dirawat kalau saja mereka ingin menjenguk.
Melewati koridor penghubung antar gedung, aku berlari kecil agar tidak mengganggu staf yang sedang bertugas. Jantungku berdegup sangat kencang karena tidak sabar dengan keadaan Kak Danny. Naik lift, beberapa kali berbelok-belok di persimpangan koridor, menanyai staf yang bertugas karena arahnya beda dari yang kuingat, sampai di depan pintu kamar Kak Danny.
Aku menelan ludah. Dengan tangan gemetar kubuka pintu. Di sana, di ranjang yang ditiduri Kak Danny, seseorang sedang duduk. Seorang suster perempuan dan dokter tengah memeriksanya. Mereka melihat ke arahku sekilas, tersenyum, kemudian kembali memeriksa. Aku mendekati mereka.
"Kak Danny .... Bagaimana keadaan kakakku, Dok, Sus?" tanyaku tak sabar.
Dokter yang menjawab. "Kau bisa lihat sendiri. Dia stabil. Sore ini mungkin sudah bisa keluar dari sini."
Kak Danny tersenyum simpul. Aku tidak bisa menahan semburat kebahagiaan. Kupeluk Kak Danny yang masih terpasang infus dan selang oksigen. Kakak balas memelukku lemah. Meskipun tak seerat di Unrealm, tetapi semua ini nyata. Kak Danny sudah sadar.
"Hati-hati, kakakmu masih lemah," ingat Suster.
Aku langsung melepas pelukan dan tertawa rikuh. "Maaf," sesalku.
Suster itu kemudian memberitahuku untuk mengurus administrasi terkait kepulangan dan biaya yang ditanggung. Aku mengiakan, tetapi tidak langsung kukerjakan. Aku ingin berdua dulu dengan Kak Danny. Mereka pun mengerti dan meninggalkan kami.
Kulihat Kak Danny yang menunduk. "Bagaimana perasaan Kakak?" tanyaku seraya menggenggam tangannya. Lemah, tetapi Kakak berusaha membalas genggamanku.
Kak Danny tersenyum. "Baik ...," jawabnya lemah. Keningnya mengernyit seperti menahan sakit.
"Kakak tidak apa-apa?"
Kakak menggeleng lemah. "Tidak apa-apa ... hanya pusing ... mungkin efek koma ....."
Aku memandangnya khawatir. "Mungkin sebaiknya Kakak tidur lagi," saranku yang hanya ditanggapi dengan anggukan. Kak Danny lantas berbaring dan tidak lama kemudian terdengar suara dengkuran lemah.
Aku mendesah. Kuambil tempat di sofa dan tiduran telentang sambil memandangi langit-langit dengan kaki menggantung. Pikiranku melayang ke mana-mana; Kak Danny, Will, Oneironaut, Unrealm, sekolah.
Aku baru akan ke pihak administrasi dan meninggalkan Kak Danny sendiri ketika Will dan mamanya datang menjenguk. Will menggunakan kursi roda karena paksaan Mama, katanya. Padahal dia sendiri sudah kuat berjalan. Aku sih, percaya-percaya saja. Namun, mama Will sangat khawatir. Aku tidak bisa berbuat apa-apa soal itu.
"Kak Danny sedang tidur," ucapku sambil menunjuk Kakak di ranjangnya.
Aku menyuruh Will dan mamanya menunggu selagi aku mengurus administrasi. Namun, mama Will menawarkan diri untuk membantu karena beliau merasa aku masih kecil untuk urusan seperti ini. Aku setuju-setuju saja dengan hal itu. Paling aku hanya perlu mengurus biaya. Lalu aku ingat sesuatu hal. Kak Danny anggota Shadows. Semua biaya sudah ditanggung Pemerintah. Aku jadi lebih dimudahkan.
"Terima kasih, mama Will," kataku karena sudah dibantu.
"Tidak apa-apa," balasnya diiringi senyuman. "Mama juga sekalian mengurus punya Will."
Kami kembali ke kamar Kak Danny. Will sedang mengobrol dengan Kakak. Mereka tampak akrab. Ketika kami mendekat, dua pasang mata itu mengarah padaku. Aku lantas duduk di samping Will.
"Kakak bisa pulang sore ini. Aku dan mama Will sudah mengurus semua."
"Kita akan pulang bersama," celetuk Will. "Boleh, 'kan, Ma?" Will melihat mamanya penuh harap.
"Kau tidak mau cepat-cepat pulang?" tanyaku heran. Biasanya orang ingin cepat keluar dari rumah sakit, tetapi Will berbeda.
"Tentu saja aku mau. Tapi, sepertinya lebih menyenangkan kalau kita pulang bersama," jawab Will. Aku geleng-geleng. Benar-benar tidak mengerti dengannya.
Aku membereskan barang-barang yang kubawa dari rumah untuk menginap ke dalam ransel termasuk di dalamnya hadiah dari Kak Airin dan Kak Mindy. Apalagi kalau bukan vas bunga? Ah, bunganya sudah layu.
Perlahan tapi pasti, Kak Danny mulai pulih meskipun masih harus memakai kursi roda atau dituntun bila ingin bepergian—ke kamar mandi contohnya. Begitu juga dengan Will. Cowok itu sudah bisa berjalan sendiri ketika kami akan pulang.
"Aku sudah pesan taksi daring," kataku.
Dibantu dengan perawat pria, Kak Danny didorong sampai ke parkiran tempat di mana taksi yang kupesan berada. Kami pulang pukul tiga sore. Walaupun arah pulang kami berbeda, Will tetap memaksa pulang bersama dan mengantar kami sampai rumah. Untunglah mamanya tidak keberatan. Cowok itu bahkan sampai membantu Kak Danny agar bisa keluar dan memapahnya sampai ruang tamu. Tentu saja semua itu dibantu mamanya juga. Beliau tidak tega kalau hanya duduk diam dan melihat dua orang remaja lemah memapah cowok berotot lemas yang sempoyongan.
"Kami sangat berterima kasih!" ujarku sambil membungkuk.
Mama Will terlalu baik. Tidak hanya mengantar kami pulang, beliau juga menyiapkan makanan. Ada beberapa sisa bahan di kulkas, tidak tersentuh karena aku jarang membuat makanan sendiri dan ... sepertinya waktu makanku jadi tak menentu karena semua masalah ini. Setelah memasak dan membeli bahan tambahan, akhirnya kami makan bersama.
Meja makan tak pernah seramai ini. Terakhir kali kuingat sepertinya saat ayah dan ibu masih ada. Setelah itu, kami selalu makan dalam hening. Terkadang bahkan aku makan sendiri kalau Kak Danny belum pulang bekerja. Sekarang suasana itu kembali, berkat Will dan mamanya, meskipun itu hanya akan bertahan malam ini.
"Bagaimana makanannya?" tanya mama Will. Beliau memasak telur goreng, sayur sop, dan ikan goreng.
"Seperti biasa, enak," Will yang pertama menyahut. Wajahnya tidak lepas dari piring.
Aku menimpali, "Enak, Ma!" dengan dua jempol terangkat.
Sementara itu, Kak Danny hanya menjawab dengan senyum karena dia belum kuat bicara banyak. Aku terkadang harus membantunya mengangkat sendok sampai mulut. Kami memakluminya.
Selesai makan malam yang tak terlupakan bagiku, aku mengantar Kak Danny ke kamar. Mama—tanpa sepengetahuanku—mencuci piring, dan Will membersihkan meja. Datang kembali ke ruang makan aku malah jadi tidak enak. Aku berterima kasih dan meminta maaf berulang-ulang karena tamu yang harusnya kuperlakukan dengan baik malah seperti ini.
"Tidak apa-apa. Kamu pasti lelah kalau mengurus semua sendiri," sahut mama Will sambil tertawa. Beliau lantas menepuk kepalaku. Dadaku terasa hangat seketika. Aku kangen Ibu.
Will dan mamanya pulang pukul tujuh setelah mengobrol sedikit tentang keluargaku, sekolah, dan keseharianku selama Kak Danny di rumah sakit. Aku menjawab sejujurnya tanpa menceritakan apa yang terjadi pada malam harinya.
"Terima kasih untuk semuanya!" kataku lagi sebelum mereka naik taksi yang telah dipesan. Will dan mamanya melambai. Aku membalas.
Sepeninggal mereka, aku kembali ke kamar Kak Danny dan mendapatinya sedang duduk sambil memperhatikan jari-jari. Kakak mengepal-ngepalkan tangan bagai baru menyadari memilikinya.
"Kak Danny ...." Aku memanggil lirih. Kak Danny mendongak, mata kami berserobok, dia tersenyum.
Aku memeluknya erat. "Selamat datang kembali, Kak," bisikku.
~~oOo~~
A/N
Kalau pembacanya banyak, saya akan mempertimbangkan untuk kelanjutannya. Untuk sekarang, sampai sini saja dulu.
Cheers 'v')/
***
Diterbitkan: 11/06/2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top