Kesadaran 2
Aku kira tidak ada hal lain yang dapat membuat jantungku berdegup sangat kencang selain ujian Matematika dadakan di pagi hari atau ketahuan menyontek oleh Bu Anggun. Nyatanya, Kak Danny bisa. Terakhir dia melakukan hal itu adalah saat aku menonton film horor sendirian di kamar lewat komputer hologram. Kakak tiba-tiba memegang pundakku sambil berbisik lirih persis saat adegan hantunya muncul mendadak dari atas dan berayun ke kiri dan ke kanan dengan kepala menghadap ke bawah. Aku langsung terlonjak kaget dan refleks memukul-mukul dadanya. Kak Danny hanya tertawa geli melihatku menahan tangis karena malu sudah berhasil dikerjai. Dan sekarang, aku berharap sekali semua ini hanya usaha jahil Kak Danny yang lain. Walaupun, aku akan sangat kesal dan marah setengah mati kalau memang itu yang terjadi.
"Danny mengalami kecelakaan kerja. Lukanya cukup parah ...."
"Kalau kau ingin menjenguk kakakmu, datanglah ke Rumah Sakit Xentharia, gedung A, lantai tiga, paviliun teratai nomor satu."
Rumah Sakit yang dimaksud orang itu berada di pusat kota. Aku harus menempuh jarak kurang lebih lima kilometer dengan waktu kira-kira sepuluh menit. Jalanan kota yang tidak terlalu macet karena masih jam sekolah dan kerja memudahkan bus yang kutumpangi bergerak dengan mulus. Setelah menggesek kartu berisi uang digital yang diberi Kak Danny untuk membayar bus, aku lekas memasuki pelataran rumah sakit.
Tulisan "Rumah Sakit Kota Xentharia" terpampang besar dengan warna perak di bagian depan. Gedung-gedungnya tinggi menjulang dengan arsitektur futuristik berwarna putih metalik. Di antaranya ada yang berbentuk double helix layaknya DNA di bagian tengah. Empat gedung lainnya di bagian kiri dan kanan memiliki atap diagonal. Total ada lima gedung di bagian depan. Aku tidak tahu ada berapa bangunan lagi di bagian belakang.
Aku memasuki gedung utama yang berbentuk DNA. Hawa sejuk pendingin ruangan seketika menyambut kontras dengan panas terik di luar. Namun, tubuhku tidak serta merta menjadi dingin. Keringat mengucur deras dari kening. Napasku yang tersengal semakin sesak dengan adanya orang-orang yang lalu-lalang ke sana-kemari. Mulai dari pengunjung, dokter, perawat sampai pasien di kursi roda atau di atas brankar.
Aku memperhatikan sekeliling, mencari seseorang yang dapat ditanyai. Satpam berbaju hitam di ambang pintu. Tidak. Pengunjung yang sedang menunggu di kursi panjang. Tidak. Dokter pria yang sedang mengobrol dengan seorang suster wanita. Tidak. Pasien di kursi roda yang sedang tertidur. Mana mungkin. Mataku akhirnya tertuju pada bagian informasi. Sigap aku menanyakan di mana kamar Kak Danny berada.
"Naik lift pertama yang ada di kiri. Belok ke kanan di lantai tiga. Paviliun teratai tepat ada di sebelah kiri," jawab wanita paruh baya yang bertugas sambil menunjuk arah yang dimaksud. Aku mengangguk cepat lantas berterima kasih.
Lift yang kunaiki berbentuk seperti kapsul. Dindingnya terbuat dari kaca transparan sehingga aku bisa melihat ke luar. Semakin tinggi lift naik, semakin kecil orang-orang dan kendaraan yang terlihat di bawah. Langit biru cerah yang membentang lengkap dengan awan-awan tipis putih di atas sana sangat kontras dengan suasana hatiku yang kelabu. Semua tercetak jelas dari pantulan wajah yang samar-samar di dinding lift. Mata cokelat serupa kacang almon yang berkaca-kaca. Bibir tipis yang tertekuk. Hidung yang kembang-kempis menahan ingus yang keluar.
Aku buru-buru menata diri agar tidak kelihatan kacau saat bertemu orang nanti. Kuseka butiran kristal di ujung mata. Sedikit menyisir rambut yang lepek dengan jari. Menyusut sedikit cairan yang keluar dari hidung dengan lengan jaket. Oke, aku siap.
Seiring suara denting lift yang mencapai lantai tiga, pintu terbuka perlahan. Aku bergegas berbelok ke kanan seperti yang diinstruksikan. Langkah besar-besarku menggema di sepanjang lorong. Setelah beberapa saat aku berhenti. Pintu ganda bercermin yang menutup bertuliskan paviliun teratai di sebelah atas terpampang di sebelah kiri. Aku menenggak ludah, tidak langsung masuk. Rasa ragu menyerang. Apakah aku siap menghadapi apa pun yang akan terjadi?
Dengan satu tarikan napas yang mantap, aku melangkah maju. Pintu ganda itu terbuka otomatis. Lorong lebar menyambut, memperlihatkan pintu-pintu lain yang mengarah ke kamar pasien. Mataku celingukan ke kiri dan kanan. Nomor satu!
Perlahan, kubuka pintu itu. Pintu geser manual yang berbeda dengan pintu-pintu otomatis sebelumnya. Seorang perawat langsung menoleh ke arahku ketika aku masuk. Ada dokter wanita di sebelahnya sedang memeriksa pasien yang tengah berbaring tak berdaya. Pasien yang kukenal baik sebagai kakak yang selalu ada di sisiku itu dililit perban di banyak tempat; tangan, kepala, leher, dada. Infus menancap di punggung lengannya. Belum lagi alat bantu pernapasan dan alat monitor jantung yang memperlihatkan grafik serupa sandi rumput terpasang. Kak Danny.
"Ma ... maaf. Apa ... apa kakakku baik-baik saja?" Aku mencoba menarik perhatian mereka.
"Kau Asa?" tanya si dokter. Aku mengangguk. "Kakakmu sudah stabil. Tapi, kami belum tahu kapan dia akan sadar ...."
"Ke ... kenapa?" tanyaku takut-takut.
"Dia ...." Dokter itu menggantung kalimatnya, seperti enggan untuk mengatakan yang sebenarnya. "... koma."
Aku sebisa mungkin menahan emosi yang memuncak. Kekesalan dan kesedihan karena tidak bisa berbuat apa-apa memenuhi rongga dada. Ingin sekali aku mengguncang-guncang tubuh Kak Danny saat itu juga agar dia bangun. Namun, aku sadar itu hanya perbuatan sia-sia belaka.
"Kami akan terus memantau perkembangannya," kata dokter itu lagi. "Banyak berdoalah agar dia cepat pulih."
Aku mengangguk, menatap Kak Danny yang tidak berdaya. Orang di depanku benar-benar seperti orang lain. Tidak seperti Kak Danny yang ceria, cenderung hiperaktif dan mudah sembuh dari sakit apa pun.
"Dia akan baik-baik saja," ujar perawat wanita yang sedari tadi memegang tablet di dadanya. "Sering-seringlah berada di sisinya. Dia butuh dukungan moral dari setiap orang terdekat yang dia punya."
Aku mengangguk mafhum. Pasti.
Setelah mengatakan itu, si perawat dan dokter meninggalkan kami berdua. Di tempat ini hanya kami dan peralatan medis beserta furnitur penunjang seperti meja dan kursi. Kamar paviliun memang dikhususkan untuk satu orang. Kamar rawat inap khusus VIP. Kak Danny mendapatkan hak istimewa ini karena dia anggota kesatuan Shadows.
Aku mengambil tempat di sisi Kak Danny. Kucoba menyentuh jari-jarinya yang tidak bergerak. Satu per satu. Sampai akhirnya kugenggam seutuhnya. Hangat. Kak Danny punya jemari yang panjang dan besar. Kokoh. Seperti tubuhnya. Tapi, sekarang dia tumbang. Aku tidak sempat menanyai apa yang terjadi padanya.
Dalam kesunyian yang mendera, aku tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Duduk diam menunggui orang yang tidak akan ke mana-mana tidak akan mengubah apa pun. Akan tetapi, aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Berpuluh-puluh menit sampai berjam-jam aku mengajak Kak Danny bicara, berharap akan ada respons yang berarti.
"Kak Danny ingat tidak? Waktu itu kakak pernah berjanji akan mengajakku tamasya ke Danau Lakuna. Sampai sekarang belum ditepati. Kapan kakak akan menepatinya? Sudah lama kita tidak jalan-jalan bersama."
Percuma. Sia-sia. Nihil.
Aku menopang dagu sambil memainkan jari-jari tangan Kak Danny; menggosok-gosok kukunya, menaik-turunkan jari telunjuknya. Aku sampai bosan sendiri. Apa lebih baik aku kembali ke sekolah saja? Tapi, kasihan Kak Danny tidak ada yang menunggui. Lagi pula, sekolah mungkin sudah bubar.
Untuk membunuh waktu sampai aku terpikirkan apa yang akan kulakukan ke depannya, aku mencoba mencari-cari berita terkait kejadian hari ini. Namun, berita-berita yang ada hanyalah berita sekali lewat tentang penyerangan gedung fasilitas pemerintah oleh sekelompok penjahat berkekuatan super. Belum ada berita yang lebih dalam tentang peristiwa yang cukup menggemparkan itu. Sebenarnya apa yang sedang terjadi ...?
Suara pintu terbuka membuyarkan pikiranku yang kalut. seorang wanita dan seorang pria datang menjenguk. Mereka membawakan keranjang seperti parsel, tas tenteng, dan buket berisikan macam-macam bunga. Ada yang berwarna merah, putih, kuning.
"Hai," sapa si wanita. "Kau adiknya Danny, ya?" Ia menyimpan buket di salah satu nakas di dekat kepala Kak Danny; dekat tabung oksigen berada. Sementara itu, pria yang satunya duduk di sofa hitam yang tersedia.
"Aku Asa," sahutku pelan seraya tertunduk.
"Aku Airin. Yang itu Adira," tunjuk si wanita—Kak Airin—kepada si pria—Kak Adira. "Danny sering cerita tentang dirimu." Kak Airin mengeluarkan sebuah vas bunga berwarna hijau lantas memindahkan bunga-bunga yang sekiranya cukup ke dalam sana.
"Be ... benarkah?" Aku mendongak.
"Ya," timpal Kak Adira sambil membuka bungkusan parsel. Suara keresek plastik bergesek mewarnai percakapan. "Dia bahkan sering menyama-nyamakanku dengan adiknya yang 'imut' itu."
"I ... imut." Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ada rasa panas yang menjalar di pipi dan sedikit rasa bangga di dada. Kak Danny sering menceritakanku. Itu artinya, dia bangga, 'kan?
Kak Airin berjalan ke dekat Kak Adira kemudian mengambil salah satu apel di dalam parsel lantas memberikannya padaku. "Kami membawanya sebagai camilan," katanya. "Untukmu. Tidak mungkin kami memberikannya pada Danny, 'kan?"
Aku menerimanya; buah apel dengan garis-garis merah vertikal. Aku menekuri buah itu lama berharap bisa berubah menjadi sesuatu yang lain. "Terima kasih," kataku pada akhirnya.
"Danny orang yang kuat, kau pasti tahu," ujar Kak Airin di sela-sela kunyahannya. Ia memakan buah apel itu dengan cara dipotong-potong, tidak seperti Kak Adira. "Dia akan segera bangun. Kakakmu bukan tipe orang yang suka berlama-lama di atas kasur."
Dengan pipi membulat, Kak Adira menimpali. "Dia yang paling tidak bisa diam dari seluruh angkatan. Selalu memberi semangat kepada yang lain. Dan juga yang paling ceroboh."
Aku memberanikan diri untuk bertanya. "Kalau boleh tahu. Sebenarnya, apa yang terjadi pada kakakku?"
Kak Airin dan Kak Adira berhenti mengunyah. Mereka saling pandang, seperti mempertimbangkan siapa yang akan berbicara. Pada akhirnya Kak Airin yang membuka suara.
"Kau mungkin sudah tahu kalau situasi akhir-akhir ini sedang tidak stabil," mulai Kak Airin sambil meletakkan sisa apel yang belum dimakan. "Para penjahat mulai bergerak secara terorganisir. Danny adalah salah satu orang yang diterjunkan bersamaku untuk menangkap mereka."
Aku memperhatikan setiap kata yang terlontar. Mata cokelat Kak Airin bergerak cepat seperti orang yang sedang berpikir keras memilih kata yang tepat untuk diucapkan. Sementara itu, Kak Adira hanya melihat orang di sebelahnya dengan malas.
Kak Airin mengembuskan napas berat. "Danny terluka ketika melindungi sandera. Aku gagal melindunginya. Sebelum penjahat itu menusuk Danny di bagian perut, kakakmu seperti dibisikkan sesuatu. Darah tidak berhenti keluar setelahnya, seperti ... kekuatan kakakmu ditahan. Kekuatan regenerasi Danny tidak bekerja. Maafkan kami, Asa."
Aku tertunduk mendengar setiap kata yang keluar. Tidak bisa menyalahkan siapa-siapa atas insiden ini. Kuhela napas pelan. "Aku mengerti ...."
"Tenang saja, para penjahat itu berhasil diringkus. Pengorbanan kakakmu tidak akan sia-sia—aw, sakit!" Kak Adira mengaduh karena kakinya diinjak.
"Kau membuatnya terdengar kalau Danny sudah mat—tidak ada!" Kak Airin menjitak kepala orang di sebelahnya. Kak Adira hanya bisa meringis sambil memegang kepala.
"Ya, maaf kalau begitu ...."
"Kau akan menginap, Asa?" tanya Kak Airin setelah senyap beberapa saat. Kulihat matanya yang terpaut pada tas di kakiku. "Kusarankan kau pulang dulu untuk bersiap kalau iya. Kau tidak akan di sini semalaman dengan seragam sekolah, 'kan?"
Aku melihat mereka ragu. "Kami akan di sini menunggu sampai kau datang," timpal Kak Adira. Dia masih mengelus kepalanya.
Kulihat Kak Danny dan mereka bergantian. Dengan hati berat aku mengiakan. Kuambil tas dan helm lantas bergegas pergi. "Aku akan segera kembali."
"Tidak perlu buru-buru. Kami tidak akan ke mana-mana," ucap Kak Adira lagi.
Aku lekas meninggalkan rumah sakit. Matahari sudah agak condong ke barat ketika aku keluar. Jalanan telah padat karena sekarang bertepatan dengan jam pulang kantor. Aku bahkan harus berdesakan di dalam bus dengan para pekerja yang bau keringat. Bertahan sekuat mungkin agar tidak pingsan sampai ke pemberhentian bus selanjutnya di dekat gerbang perumahan.
Butuh waktu kurang lebih dua puluh menit sampai aku memutuskan untuk turun. Perlu kira-kira lima belas menit lagi jalan kaki bagiku agar bisa sampai rumah. Rumah bercat hijau warisan Ayah dan Ibu yang minimalis dengan taman kecil di depannya. Terdapat pagar besi mengelilingi dan pintu gerbang yang berdecit ketika kubuka. Tempat parkir sepeda motor di sisi kanan yang sekarang kosong dan pohon yang cukup rimbun menaungi di dekat taman. Dilihat sekilas, rumah kami masih terlihat model lama dibanding rumah-rumah di sekitar yang sudah direnovasi ke model modern. Aku tidak merasa iri dengan itu semua. Mau bagaimanapun sesederhana rumah kami, yang penting adalah isinya. Rumahku istanaku.
Dengan satu putaran kunci pintu kubuka. Aku langsung ke kamar dan merebahkan diri. Kuputuskan untuk rehat sejenak sebelum berbenah diri. Terlalu lelah mental dengan kenyataan yang baru saja kuhadapi sampai tidak terasa aku menutup mata sebentar.
Aku mengerjap cepat; melihat ke arah jam dinding. Mungkin lima belas menit aku tertidur sampai baru kusadari kalau masih ada dua orang yang menungguku datang. Dengan cepat aku mandi dan menyiapkan barang yang seperlunya akan kupakai, mulai dari makanan, camilan, termos air panas, seragam untuk besok bahkan sampai mengecek apakah ada PR yang harus kukerjakan.
Semuanya baru selesai menjelang senja tiba. Aku memutuskan untuk pergi setelah makan malam. Meskipun itu artinya aku akan tiba ketika sudah melewati waktu menjenguk dan kemungkinan akan kena tegur lebih besar. Walaupun begitu, aku bisa menggunakan hak istimewa Kak Danny sebagai anggota Shadows untuk keluar masuk rumah sakit seenak jidat (aku belum mencobanya, kita lihat saja nanti).
Kupastikan semua terkunci rapat. Setelah mengecek lagi barang di dalam ransel, aku kembali ke rumah sakit; menggantikan Kak Airin dan Kak Adira yang sudah menunggu lama.
~~oOo~~
A/N
Masih santai, belum ada ledakan yang berarti. Nantikan bab selanjutnya yang akan mengubah hidup Asa.
Pertanyaan untuk bagian ini: Apa kalian punya saudara? Kalau iya, berapa?
***
Diterbitkan: 03/05/2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top