Kesadaran 14

Di sepanjang perjalanan aku hidup, rasanya kakiku tidak pernah melangkah seberat ini. Bahkan ketika hari pertama sekolah di semester baru atau pada saat ada ulangan Matematika di pagi hari, hal yang sedang kualami sekarang jauh lebih berat. Secara harfiah.

Semenjak aku dan Will memasuki teritori ini dengan alasan yang sama seperti sebelumnya, kami tidak henti-hentinya berhenti sambil menumpu pada lutut. Dengan napas terengah dan keringat dingin yang membanjiri wajah, kami terus berusaha menstabilkan diri.

Teritori yang kami masuki tidak berbeda jauh dari teritori sebelumnya. Suram. Langit hitam. Dingin. Aku dan Will seperti berada di suatu kota yang telah mati. Meskipun bangunannya tidak ada satu pun yang hancur, tetapi tidak ada orang sama sekali di sini. Suasana hening mencekam. Rasa putus asa menyerang.

Aku memilih bersandar sebentar di batang pohon yang daunnya meranggas di pinggir jalan. Keadaan yang sepi membuatku terasing, terasa dikucilkan. Kupeluk kedua lutut sambil menyembunyikan kepala di antara keduanya.

Will membuyarkan lamunanku dengan satu pertanyaan, "Kau tidak apa-apa?"

Aku menoleh kepadanya perlahan. Melihat wajah Will yang kelelahan membuatku sangat bersalah. Kenapa aku bisa setega ini melibatkannya dalam situasi yang sangat sulit?

Kupalingkan wajah. "Entahlah ...."

Cowok itu mendesah berat. Dia ikut menenggelamkan kepalanya di antara lutut. Beberapa kali aku melihatnya bergetar lalu diam, kemudian bergetar lagi seperti orang menggigil.

"Will?" panggilku khawatir. Orang yang kupanggil hanya mengintip dari balik lipatan tangan. "Kau pernah lelah tidak?"

"Tentu saja pernah. Pertanyaan bodoh," jawabnya lemah, tetapi kuat menusuk.

"Kalau lelah hidup?" Aku bertanya lagi.

Will memalingkan wajah ke arah lain. "Pernah."

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi rasanya aku tidak punya lagi semangat hidup. Seolah semua tujuan hidupku tertinggal di belakang. Will juga. Dia terlihat sangat berbeda.

Aku seperti lupa kenapa aku ada di sini.

"Aku mau pulang ...," keluhku.

"Ini tidak benar," gumam Will sambil memegang kepala. Dia lantas berdiri dan mengulurkan tangan. "Ayo, Sa."

"Ke mana?" tanyaku.

"Pulang," jawab Will. Aku berdiri sambil menyambut tangan cowok itu.

Aku dan Will menelusuri kota itu lebih dalam. Angin malam yang dingin sesekali menyapa kami, disambut gemeresik daun-daun yang masih ada di rantingnya. Kabut sesekali turun ke jalanan. Untungnya lampu-lampu jalan masih ada yang hidup walaupun berkedip-kedip sehingga kami bisa menghemat kekuatan imaji yang dimiliki.

Di antara jendela-jendela terang tak berpenghuni, sesekali aku melihat bayangan-bayangan cepat melintas. Jauh lebih dalam memasuki kota, aku dapat mendengar suara-suara keras yang tidak jelas. Mulai dari teriakan, suara pukulan, rintihan, tangisan sampai suara tawa seperti orang gila yang dipasung.

Aku menegakkan punggung ketika semilir angin melintas cepat membuat bulu kudukku berdiri. Rambut-rambut halus lain yang tidak tertutup pakaian ikut meremang saat sesuatu yang cepat melintas dari dalam gedung di samping kiri kami.

"Kau merasakannya, Will?" tanyaku seraya berhenti. Kuperhatikan sekeliling ke berbagai sudut gelap dan jendela remang-remang di mana beragam mata merah berkedip-kedip balik memperhatikan.

"Cepat, cari kesadaran kakakmu," perintah Will sambil menyiagakan tombak berbilah besarnya.

"Untuk apa?" tanyaku bingung.

Will membulatkan matanya lebar-lebar seperti tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Dia lantas memukulku dengan keras di belakang kepala seraya berteriak dengan keras, "Sadar, Asa!"

Aku pun jatuh terjerembap dan dihadiahi lagi pukulan. Kuterima semua perlakuan Will sambil masih bingung di mana letak salahku.

"Kau sudah lupa kenapa kita di sini, hah?!" teriak Will. Kedua tangannya menahan bahuku agar diam di tempat. "Sudah sejauh ini dan kau ingin menyerah?! Apa namamu itu hanya hiasan, huh?! Asa?!"

Will berhenti berteriak lantas melihat sekeliling. Aku refleks mengikuti. Kumpulan mata merah yang sedari tadi memperhatikan kami kini menatap intens. Cowok yang tadi menatapku nyalang kini memaksaku berdiri. Ditariknya tanganku agar aku bisa menyejajari langkahnya yang cepat.

Aku memperlambat langkah. "Ada apa, Will?"

"Kita harus segera pergi dari sini," jawabnya.

"Bagus, aku memang mau pulang," timpalku.

Langkah kami kian melambat. Pikiran-pikiran buruk entah dari mana menyerang. Mulai dari, "Apa yang sebenarnya kulakukan?" ... "Apa tujuanku?" ... "Kenapa aku ada?" ... sampai, "Siapa aku?"

"Asa." Will memanggil.

Aku mendongak. Tanpa terasa aku sudah berada di sebuah lapangan luas seperti alun-alun kota dengan beberapa tanaman perdu menghias di beberapa titik dan bangku-bangku semen. Kabut tipis turun menutupi sebagian tanah. Lampu-lampu taman bulat beberapa kali berkedip-kedip.

Aku dan Will duduk di pinggiran air pancur yang airnya tidak memancar. Dengan masih waspada atas kumpulan mata merah yang mengawasi, kami beristirahat sebentar. Aku berusaha menenangkan diri. Kepalaku yang terasa berat seperti berputar.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Will?" Kupegangi kepala yang rasanya mau copot.

"Teritori ini memengaruhi cara berpikir kita. Terlalu lama kita di sini, pikiran kita semakin kacau." Will melirikku. "Pikiranmu kacau."

"Ya, deh, Senior. Aku memang masih noob cupu yang perlu banyak belajar—"

Udara di sekitar kami tiba-tiba berubah. Tekanan yang semakin berat membuat gelombang udara bergerak lebih cepat, menghasilkan putaran angin yang mengelilingi kami. Daun-daun di pepohonan sekitar beterbangan bersama ranting dan debu membuat kami terkurung dalam mata badai.

Perasaan tak berguna yang tadi telah hilang kini kembali lagi seiring munculnya ratusan pasang mata merah dari balik tirai angin. Aku harus menutup mata ketika angin itu semakin kencang lantas membukanya lagi ketika sebuah getaran mengguncang tempatku berpijak.

Seekor Nitemare berdiri di hadapan kami. Ukurannya tinggi besar seperti gedung tiga lantai. Puluhan pasang mata terpasang di sekujur tubuh makhluk itu yang memiliki banyak pasang tangan berkuku tajam menjadikannya layaknya kelabang. Ditambah ekornya yang seperti ular membuat makhluk itu dapat tegak berdiri memamerkan keseluruhan tubuhnya yang menjijikkan dan mengintimidasi.

"Asa, lindungi pikiranmu," titah Will, tetapi apa yang harus kulindungi keburu rusak.

Aku melihat si Nitemare dengan perasaan pasrah. "Sepertinya mati lebih enak," racauku.

"Asa!"

"Itu benar, kan, Will. Untuk apa kita hidup kalau tidak berguna. Ujung-ujungnya juga mati." Kulihat Will yang menganga.

"Pikiran yang salah, Sa," sahut Will sambil menggeleng. "Setiap yang lahir pasti memiliki tujuan. Mungkin mereka belum mengingatnya saja."

"Mereka lupa? Amnesia?" cecarku.

"Mereka lupa saat lahir. Sekarang mengelak!"

Will mendorongku menghindari serangan jarum-jarum yang meluncur dari tangan-tangan mirip serangga si Nitemare. Cowok itu lantas mengeluarkan tombaknya dan maju menerjang. Aku yang sudah hilang minat hanya menonton dari jauh.

"Sa, jangan diam saja!" teriaknya di sela dia menahan serangan.

"Biarkan saja makhluk itu memakanku, Will!" timpalku seraya berbaring menatap langit.

Will terlempar ke arahku dengan menimpa perut sampai aku berjengit. Cowok itu melotot karena jawabanku sebelumnya. "Bagaimana kalau setelah ini selesai kau benar-benar kubunuh?" ancam Will dengan geram. Aku lantas menelan ludah.

Aku ikut menerjang bersama Will meskipun ogah-ogahan. Kuhalau setiap jarum dan lendir yang disemprotkan makhluk itu. Menggunakan bebatuan yang kubuat sebagai pijakan, aku melesat sambil memotong jari-jari yang menghalau.

Bugh!

Satu tangan berhasil memukulku sampai aku terempas jauh. Aku menggeliat-geliat bak cacing kepanasan karena sakit yang kurasa. Tubuhku panas dan seperti ada yang menindihku padahal jelas-jelas tidak ada. Rasanya berat hanya untuk sekadar bangkit duduk apalagi berdiri. Cukup lama aku terbaring miring sambil merasakan itu semua.

Dari kejauhan, Will memanggil, "Asa!" Dia berlari ke arahku sambil dikejar Nitemare yang berjalan merangkak seperti kelabang.

Will membantuku duduk, tetapi aku sendiri tidak mau. "Untuk apa bertarung kalau ujung-ujungnya tetap kalah?" rengekku sambil masih menempelkan pipi ke tanah.

"Kalau tidak bertarung, kita tidak akan tahu apakah akan menang atau kalah. Sekarang cepat berdiri!" Will terus memaksa seraya menarik tanganku agar aku bergerak. "Asa, ayo! Kita harus pergi dari sini selama aku masih waras!"

"Pergilah sendiri, Will."

"Asa!"

Will membuat dinding pelindung ketika hujan jarum seukuran tongkat baseball menyerang. Aku meringkuk seperti bola melindungi diri ketika serpihan-serpihan batu dinding pelindung Will berjatuhan mengenai kepalaku. Napasku memburu ketika getaran mulai terasa mendekat membuat batu-batu kerikil melompat kegirangan.

Aku mendongak, menyambut manifestasi mimpi buruk itu. Will menggabrukku sampai kami jatuh berguling-guling mengelak serangan kuku tajam makhluk itu.

Will menghardikku dengan kasar sambil sesekali meringis menahan luka di bahu kirinya. "Kau mau mati, Bodoh! Lalu bagaimana dengan kakakmu, hah?" Will mengetuk-ngetuk keningku. "Apa benda ini ada isinya?"

"Sudahlah, Will. Tidak ada gunanya juga aku hidup."

Will mendengus geram bersamaan dengan serangan lengan-lengan si Nitemare yang telah mencapai kami. Cowok di hadapanku sekuat tenaga menahan serangan-serangan itu, tetapi tidak berhasil. Bersamaan dengan satu lengkingan yang entah berasal dari mana, Nitemare itu melompat membuat kami tersentak dan ikut melompat tinggi. Saat kami masih di udara, makhluk itu berputar lantas menghantam kami dengan ekornya.

Aku dan Will meluncur cepat sampai melewati batas teritori.

Aku merasakan kepalaku mulai waras kembali. Sempat kusesali kenapa aku memilih mati saja saat di teritori sebelumnya daripada menyelamatkan Kak Danny. Will benar. Teritori itu membuat pikiranku rusak. Namun sekarang, aku tidak tahu aku ada di mana. Aku bahkan tidak bisa melihat apa pun! Gelap!

Aku buta!

"Will!!!" Aku memanggil cowok itu. "Di mana kau?!"

Aku mencoba meraba apa pun yang ada di sekitarku. Namun, tidak ada apa-apa yang dapat disentuh selain tanah kering tandus keras yang aku juga tidak yakin itu adalah hal yang kupikirkan saking butanya aku. Dengan terus memanggil nama Will berkali-kali, aku berharap dia dapat meresponsku.

Suara gesekan sepatu dan tanah terdengar disertai suara napas berat yang mendekat. Aku berusaha menajamkan kuping dan memastikan kalau itu bukan suaraku seperti yang pernah kukira saat aku menghadapi Nitemare berbentuk Kak Danny.

Aku mencoba memunculkan cahaya berupa bola api yang melayang, tetapi gagal. Bola itu terus padam kembali setiap aku munculkan, sama seperti sumber-sumber cahaya lain. Suara gesekan dan napas kian terdengar sampai akhirnya sesuatu menyentuh pundakku.

Aku berteriak keras seraya menyingkirkan apa pun yang menyentuhku. Kujauhkan benda itu, tetapi dia kembali menyerang. Barulah ketika sesuatu itu menamparku dengan hardikan, barulah aku diam. "Ini aku, Sa," kata sesuatu itu yang baru kusadari adalah suara Will. Baunya aneh, seperti ada bau amis.

"Kau berdarah?" tanyaku seraya meraba Will. Tanganku jatuh di wajahnya dan mendapati sesuatu yang lengket mengalir dari pelipisnya, berbau amis.

"Hanya luka kecil saat mendarat tadi."

"Maaf," sesalku. "Omong-omong, kita di mana? Aku tidak bisa melihat apa pun."

"Entahlah, aku juga tidak tahu."

"Ba-bagaimana kita keluar dari sini?"

"Seperti biasa," jawab Will enteng.

"Biasa bagaimana?! Melihat saja susah!" protesku. Will seperti sudah terbiasa dengan sesuatu semacam ini, tetapi aku tidak. Ini hal baru bagiku dan ini menakutkan. Belum pernah aku berhadapan dengan kegelapan total sampai aku tidak bisa melihat apa-apa.

"Cobalah melihat seperti kelelawar," saran cowok itu. "Bayangkan kau memiliki gelombang ultrasonik yang dapat mendeteksi segala sesuatu yang ada di sekitar."

Aku mengikuti saran Will. Kufokuskan pikiran. Kubayangkan semua suara yang kukeluarkan memantul kembali sambil memberikan informasi-informasi lingkungan. Ada batu .... Ada pohon .... Ada jalanan .... Aku berputar 360 derajat untuk merekam semua yang ada di sekitar.

Aku ada di pinggiran kota tak berpenghuni.

"Ayo, Will," ajakku. Seraya merasakan kesadaran Kak Danny, aku terus bersiul-siul agar semua suaraku terpantul kembali sehingga aku tetap bisa "melihat". Will tidak protes mungkin karena terbantu.

Meskipun begitu, aku tetap beberapa kali terjatuh karena terantuk batu atau menabrak orang. Tunggu, orang? Iya, orang. Ternyata kota yang kulewati ini berpenghuni. Aku baru menyadarinya ketika berjalan lebih jauh dan mendapati suara obrolan orang-orang yang tidak jelas dan suara klakson mobil.

Suasana mungkin terasa seperti siang. Namun, lingkungan di sekitar kami gelap total. Aku dan Will berjalan di trotoar. Penanda bergerigi membantu kami tetap di jalur dan terhindar oleng ke jalan. Beberapa kali orang menyapa dan bertanya mau ke mana kami, tetapi aku selalu menolak. Entah teritori ini yang aneh atau kami yang aneh di mata mereka.

"Seluas apa sih, tempat ini?" keluhku seolah hal itu dapat mempersempit tempat ini.

"Aku juga tidak tahu, Sa," jawab Will, samar-samar dapat kurasakan dia mengangkat bahu. "Aku belum pernah ke tempat seperti ini. Aku hanya pernah mendengar kalau memang ada teritori yang bisa membatasi pancaindra kita."

Aku mendengkus sebal. "Aku penasaran apa orang buta mimpinya seperti ini," kataku sambil terus merasakan keberadaan kesadaran Kak Danny.

Will menyahut, "Mungkin. Bisa jadi ini teritori orang buta. Bisa juga bukan."

Aku dan Will terus maju. Beberapa kali aku tersesat dan berakhir di sebuah gang buntu sehingga aku harus berputar ulang dan mencari jalan lain. Will beberapa kali menggerutu, entah karena kesal atau berniat mencari jalan sendiri dengan suara samar-samarnya.

"Maaf, maaf," sesalku sambil tersenyum canggung agar cowok itu tidak marah lebih lama.

Kembali ke jalan utama. Setelah aku jatuh, bangun, terperosok dan mengantarkan Will ke salah satu selokan karena tidak hati-hati, akhirnya aku dan Will berhasil keluar dari sana hidup-hidup tanpa harus melawan Nitemare apa pun. Aku menciumi tanah kering Unrealm yang cokelat sebagai rasa syukur.

Kulihat teritori yang baru saja kami lalui. Warnanya putih bersih, tetapi isinya hitam kelam. Teritori apa sebenarnya itu?

Aku tidak peduli lagi. Yang terpenting aku dapat keluar dari teritori-teritori yang mengerikan itu.

~~oOo~~

A/N

Orz

***

Diterbitkan: 24/05/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top