Kesadaran 13

Kalian mungkin sudah melihat teritori yang tumpang-tindih menghasilkan suatu teritori yang lebih indah seperti teritoriku dan Will. Namun, apakah kalian pernah melihat yang tumpang-tindih dihuni oleh para Nitemare?

Itulah yang sedang kami saksikan sekarang.

Dua teritori berwarna hitam kelam saling berpotongan. Satu saja dihuni Nitemare sudah merepotkan, apalagi harus dua? Akan tetapi, kami tidak punya pilihan lain. Saking besarnya teritori itu, aku bahkan sampai tidak bisa melihat ujungnya, baik atas maupun pinggirnya.

Dengan waspada kami memasuki wilayah itu di bagian perpotongan. Hawa dingin dan rasa takut yang campur aduk seketika menyeruak ketika kami masuk. Sesekali teritori itu bergetar membuatku mual. Will bilang hal itu karena ketidakstabilan dua Nitemare yang bisa saja saling menghancurkan.

Beberapa kali aku memegang bahu Will sebelum aku tumbang.  Kugeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pusing yang mendera.

"Kita istirahat sebentar," saran Will sambil duduk seraya menancapkan tombaknya.

Beberapa kali aku muntah karena tidak tahan. Perutku rasanya dikocok-kocok. Will mengusap-usap belakang leherku supaya aku merasa lebih baik. Bergantian aku melihat muntahanku di tanah hitam yang langsung hilang seperti air yang menguap dan Will. Bukan berarti aku sedang menyamakan mereka, aku hanya kagum dengan daya tahan cowok itu.

"Sebaiknya kita pilih salah satu teritori yang memiliki sinyal terkuat kakakmu," kata Will berdiri seraya melihat sekeliling. Tidak ada yang bisa dilihat selain warna hitam. Mungkin karena efek kami berada di perpotongan.

"Tapi, bukankah tugas kita memusnahkan kedua Nitemare-nya?"

"Prioritas kita ke Kehampaan saat ini, Sa. Lagi pula, bakal ada Oneironaut lain yang mengambil tugas itu."

Aku mengangguk ragu. Dengan menumpu pada kedua pedang, aku berdiri dan langsung mencari sinyal kesadaran Kak Danny. Lama aku mencarinya. Hilang-timbul kurasakan, sampai akhirnya kesadaran Kak Danny terasa lebih kuat dari teritori sebelah kanan.

Aku dan Will masuk lebih dalam dengan waspada. Setelah beberapa kali merasakan distorsi ruang seperti televisi yang mencari sinyal, kami tiba di sebuah taman bermain yang terbengkalai. Karat di berbagai wahana. Lumut-lumut menguasai komidi putar, ayunan, cangkir putar. Tanaman rambat tumbuh di roller coaster, kincir ria, kora-kora. Belum lagi ilalang yang merajai setiap sudut.
Cukup lama kami mengelilingi tempat ini sampai rasanya sudah semua sudut tertelusuri. Agar tidak menarik perhatian (dari apa?), aku dan Will berjalan mengendap-endap seperti menghindari sesuatu, padahal sudah jelas tidak ada hal yang membahayakan—

Ah, aku terlalu cepat menyimpulkan.

"Graaawwr!!!"

Seekor Nitemare tiba-tiba muncul dari balik komidi putar kuda. Cakar-cakar panjangnya mengoyak atap yang bergaris merah-kuning. Dengan satu lompatan besar, makhluk itu mengadang jalan kami. Kini, wujudnya lebih jelas. Kurus seperti zombi dengan empat tungkai, empat lengan, merangkak seperti bayi. Setiap wajah di dua kepalanya yang plontos ditutupi seperti topeng teater, satu tersenyum lebar dan satu cemberut seperti bibirnya akan jatuh.
Tawa menggelegar dari topeng yang tersenyum, sedangkan tangis pilu berasal dari topeng yang satunya. Suara mereka bersahut-sahutan seperti dapat memecahkan gendang telinga.

Aku dan Will tepat menghindar ketika keempat tangan makhluk itu menghancurkan pijakan kami sebelumnya. Aku berusaha menutup kuping saat si Nitemare kembali memekik. Namun, suara kerasnya berhasil melumpuhkanku. Hal itu terus berlangsung sampai Will dengan susah payah bangkit sambil tertatih. Aku yang  melihat cowok itu dalam kondisi miring hanya bisa berharap yang terbaik.

Will berhasil menghentikan auman makhluk itu. Dia menyerang dengan membabi buta, tetapi tidak ada luka yang berarti. Malah, Will yang terus menerus terempas sampai membentur tanah yang keras.

Aku yang sudah cukup pulih mencoba membantunya. Dengan kaki terseok-seok yang perlahan membaik, aku menghunus pedang. Salah satu dari dua kepala Nitemare yang fokus pada Will beralih padaku. Aku terkesiap ketika Will tiba-tiba menabrakku dengan keras.

"Maaf, Sa," kata Will dengan bibir robek, hidung mimisan, dan mata memar. Ada darah mengalir dari pelipisnya.

Mataku terbeliak melihat apa yang datang. Cepat, aku berguling sambil melindungi cowok itu ketika tangan-tangan si Nitemare kembali menyerang kami. Aku dan Will segera mencari tempat perlindungan. Setidaknya, kami harus mengatur strategi.

"Mau aku atau kau yang jadi umpan?" tanya Will sambil melihat bergantian antara aku dan si Nitemare.

Otakku macet memproses pertanyaannya. "Apa?"

"Kau alihkan perhatiannya," putus Will secara sepihak.

"Hei, mana bisa begitu!"

"Itu karena kau telat mikir!"

Aku tertohok.

"Sudahlah!" Will langsung menarik dan melemparkanku tanpa aba-aba. Aku jatuh berguling dan mendarat dengan wajah terlebih dahulu.

Aku tidak tahu Will bisa setega itu.

Aku tidak punya waktu untuk meratapi wajah yang lecet. Saat Nitemare itu meraung sambil melihatku seraya menggerakkan kepalanya patah-patah, aku tahu satu menit kemudian akan ada sesuatu yang buruk terjadi.

Aku berteriak pada Will agar melakukan rencana apa pun yang ada di kepalanya. Aku tidak bisa melihat cowok itu di mana pun di tengah rasa panik dikejar monster yang bergerak cepat bagai anjing rabies. Aku baru dapat melihat cowok itu menerjang si Nitemare tepat ketika makhluk itu hampir memotongku menjadi dua.

Aku hanya bisa menahan napas ketika Will berusaha mengoyak makhluk itu di punggung. Akan tetapi, dua tangan lainnya berhasil mencengkeram Will dan melemparkannya.

Aku lekas menerjang. Dua pedang kuhunuskan. Dengan satu lecutan cepat, aku memotong dengan dua pedang tersilang. Tangan-tangan Nitemare yang mengadang kujadikan pijakan. Aku berputar, potong silang, koyak samping, sampai akhirnya keempat tangan si Nitemare berhasil mencengkeramku.

"Agh!"

Will datang tepat waktu sebelum aku mati kehabisan napas. Dia dengan cepat memotong Nitemare itu menjadi dua tepat di punggung.

"Ayo, Sa—"

Will baru akan membantuku berdiri ketika dua ekor—DUA EKOR!—Nitemare membuat kami terpaku. Mereka terpecah dengan masing-masing bagian tubuh lengkap, siap menghancurkan kami.

Aku dan Will menghindar tepat waktu. Kuhadapi si topeng cemberut, sementara Will yang satunya. Dengan terbelahnya mereka, kecepatan Nitemare-Nitemare itu meningkat. Aku baru akan mengoyak topeng si Nitemare ketika Will menjerit parau. Lidah si topeng senyum berhasil menembus perut Will. Aku yang kehilangan fokus dengan mudah diterkam lawanku.

"Gaaah!!!"

Sakit menjalar ketika rusuk dan tulang punggungku bergemeretak. Susah payah aku memukul-mukul wajah si Nitemare agar aku bisa lepas. Makhluk itu menggigitku seperti anjing yang mendapat mainan baru. Beberapa kali aku berusaha lepas, tetapi hasilnya nihil. Gigitan makhluk itu sangat kuat. Baru ketika kucolok mata kosongnya, Nitemare itu melepasku sambil terhuyung-huyung.

Aku akan menjejak kembali saat mulut makhluk itu menggigitku lagi. Dapat kurasakan ngilu yang amat sangat di bagian punggung. Aku meronta, memekik, memukul dengan tanpa arti. Tepat saat aku menusuk bagian lehernya cukup dalam, makhluk itu menjerit. Kepalanya geleng-geleng. Tubuhnya terhuyung-huyung. Di tusukan kelima, aku terlempar cukup jauh sampai dapat kurasakan batas teritori.

Mual kembali menggerayangi akibat perpotongan teritori dan tubuhku yang diguncang-guncang. Beberapa kali aku menahan diri agar tidak muntah.

Aku mendarat sangat keras dengan didahului terpental berguling-guling. Tertatih-tatih aku bangkit. Lekas aku mencari tempat tertutup saat kudengar derap langkah cepat yang kian mendekat. Keningku mengeryit saat kuperhatikan sekeliling. Tempat ini benar-benar sama persis dengan tempatku sebelumnya, hanya saja lebih suram dengan langit merah kehitaman.

Di tengah kebingungan, sebuah suara geraman menyadarkanku.
Aku mengelak tepat waktu saat cakar-cakar makhluk itu hanya sanggup menggores pipiku. Dengan kedua pedang tersilang, aku menahan kuku-kuku yang terus menerus mendorong sampai tulang belakangku melengkung.

Lengkingan suara parau membuyarkan konsentrasiku sampai aku tidak sadar dengan sesuatu yang datang.

Aku tersentak ketika satu tangan lainnya berhasil melemparkanku dengan cepat sampai menabrak puing-puing roller coaster yang sudah berkarat. Besi-besi patah mengoyak kulit dan dagingku perlahan ketika aku pelan-pelan merosot di sela-sela rel yang sempat menahanku. Perih, sakit, ngilu. Aku bahkan tidak bisa menahan air mata untuk tidak menetes ketika suara kriut sedikit demi sedikit terdengar dan siap mengantarkanku pada kumpulan tiang-tiang penyangga yang kini sudah patah. Tak dapat kubayangkan bagaimana rasanya jatuh dan tertusuk tepat di bagian dada.

Oh, mungkin aku akan merasakannya sebentar lagi.

Tepat saat aku meluncur ke bawah dan hal terakhir yang ada di pikiranku adalah kematian, sebuah tangan mencengkeram tubuhku. Aku tidak tahu mana yang lebih baik antara mati karena Nitemare atau ditikam. Namun, yang jelas, dua-duanya tidak ada yang menguntungkan.

Suaraku terus melengking seiring genggaman keras yang makhluk itu berikan. Urat-urat leherku menegang sangat kencang sampai mungkin salah satunya sudah putus. Pita suaraku pun mungkin sudah hilang karena aku tidak bisa mendengar lagi teriakan walaupun mulutku terbuka lebar-lebar.

Aku baru akan menyerah terhadap keadaan ketika Nitemare itu mengeluarkan lidahnya, mengingatkanku pada Will dan alasan kenapa aku ada di sini.

Sudah berapa kali aku melanggar ketentuan penggunaan kekuatan imaji? Oh, bodo amat! Aku harus hidup!

"Gyaaah!!!"

Satu pilar runcing menembus tubuh makhluk itu. Dia meraung, cengkeraman tangannya lepas. Aku jatuh perlahan. Konsekuensi atas pelanggaranku, puluhan pilar besi melaju cepat siap mengoyakku menjadi serpihan daging.

Dengan panik yang menguasai, aku hanya bisa membuat pijakan-pijakan kecil yang hancur seketika saat terkena hantaman. Aku terpental berkali-kali dengan cepat sampai akhirnya terempas di tanah berkerikil yang berhasil melukai kulitku sampai perih. Dengan rasa sakit yang terus menjalar, aku sebisa mungkin lekas bangkit sambil bertumpu pada kedua pedang.

Aku berusaha secepat mungkin menjauhi Nitemare itu yang kini mengejarku. Aku melompat zig-zag di atas komidi putar berbentuk pesawat, sembunyi di balik cangkir putar, sampai berguling-guling di antara tiang pancang roller coaster yang masih ada, tetapi tetap saja aku berhasil diempaskan.

Cukup lama aku melakukan itu untuk mengulur waktu sampai merasa telah lumayan pulih, aku pun balik menyerang.

Aku melecut dengan dua pedang tersilang sambil berkelit dari serangan tangan si Nitemare yang berjaya menghancurkan booth tiket. Kuelak satu tangan yang menerjang lantas memotongnya. Namun, seperti Nitemare lainnya, potongan-potongan tubuh mereka kembali utuh.

Manifestasi mimpi buruk itu meraung. Mata hitam kosongnya berubah menjadi merah seperti yang lainnya. Dengan cepat, makhluk tersebut merayap dengan keempat anggota badan seperti singa melihat buruan.

Aku menyambutnya. Ketika kami cukup dekat, aku menggelincir di bawah tubuhnya. Kukoyak perut makhluk itu yang hitam sampai mengeluarkan asap. Nitemare itu memekik, menggeliat, mencoba melemparkanku.

"Hugh!"

Tubuhku berhasil digenggamnya. Beberapa kali aku dibenturkan sampai rasanya badan ini telah menjadi bubur. Aku terpental di hantaman yang entah ke berapa. Aku meringis, merintih, tidak yakin apakah bisa melewati ini semua.

Di tengah kekalutan, suara derap langkah mendekat. Aku lantas bangkit dan mengingat kembali tujuanku. Samar-samar suara Will terngiang di kepalaku.

Dengan langkah tertatih, aku menerjang maju. Aku berkelit ketika satu tangan makhluk itu terhunus. Berhasil menembus pertahanannya, aku kembali meluncur ke bawah si Nitemare untuk yang kedua kali. Aku mengelak lagi saat sebuah tangan bersiap mengempaskanku seperti sebelumnya. Berpegang pada kedua pedang yang tertancap, aku berayun menghindar. Kugunakan satu pedang untuk memotong lengan makhluk itu.

Si Nitemare yang meronta menegangkan tubuhnya. Hal itu malah memudahkanku untuk mengoyak lebih cepat. Sampai di ujung tubuhnya yang masih belum terbelah dua, aku naik ke punggung makhluk itu. Sigap, aku berlari sambil mengiris. Aku hampir sampai di balik lehernya ketika si Nitemare berbalik dan mencengkeramku dengan spontan. Kedua pedangku sudah di titik terdekatnya, tetapi tangan-tangan makhluk itu tidak membiarkan. Kami beradu kekuatan, sesekali diselingi pekikan dan auman. Aku mendorong lebih kuat, si Nitemare menekanku lebih keras sampai aku sulit bernapas.

Hal itu terus terjadi sampai untuk yang ke sekian kali, aku memilih melanggar aturan (lagi).

Hal yang kubayangkan adalah bertambahnya kekuatan untuk mendorong pedang-pedangku agar bisa memenggal kepala si Nitemare. Perlahan, aku dapat merasakan apa yang kuinginkan. Aku tidak boleh membiarkan lawanku melakukan hal yang serupa, maka ketika makhluk itu kurasakan mendapatkan kekuatan, aku langsung memenggalnya.

Aku segera kabur sebelum hal yang tak diinginkan terjadi. Ketika cengkeraman makhluk itu mengendur, aku langsung memotong kedua tangannya. Si Nitemare pelan-pelan memudar diiringi jeritan pilu.

Aku jatuh. Bagai lupa dengan kemampuan yang kumiliki—dan sering kali terjadi—aku membentur tanah dengan keras. Tulang-tulangku bergemeretak. Ngilu kurasakan. Pegal dan sakit mendera.

Aku berbaring cukup lama sambil melihat langit yang masih hitam-merah. Awan kelabu menari di atas sana.

Setelah pulih dan kulakukan reset, aku menyusul Will ke teritori sebelah. Cowok itu sedang meratap di pinggiran teritori yang membatasi tempatku bertarung. Aku yang khawatir langsung menghampirinya.

"Kau sedang apa?" tanyaku dengan nada bercanda.

Will mendongak. Senyum tipis mengembang. "Kukira kau tidak akan selamat."

Aku menggembungkan pipi. "Kalau begitu kenapa tidak menolongku?" sahutku seraya melipat kedua tangan.

"Batas teritorinya terhalang. Aku tidak bisa menembusnya. Aku bahkan meneriakan namamu, tapi rasanya tidak berguna."

Tentu saja berguna.

Will mengajakku untuk langsung jalan lagi. Namun, aku memintanya beristirahat lagi karena aku sangat lelah.

Di sela kami melihat angkasa, cowok itu memecah keheningan. "Bagaimana rasanya?" tanya Will tanpa melihatku.

"Mengerikan," jawabku. "Kau tahu itu apa?"

Cowok di sampingku mengangkat bahu. "Entah."

Setelah jeda singkat, aku memaksa Will menceritakan apa yang terjadi di sini, dengan kompensasi aku akan melakukan hal serupa. Awalnya dia menolak karena buang-buang waktu. Namun, karena aku terus merengek sampai mengguncang tubuhnya, akhirnya Will luluh juga.
Setelah semua selesai, aku dan Wil keluar dari teritori itu.

~~oOo~~

A/N

'-')/

***

Diterbitkan: 19/05/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top