Kesadaran 10

Tepat setelah bel istirahat berbunyi, aku menghampiri Will di mejanya. Seperti biasa, cowok itu langsung membuka bekal sesaat setelah guru keluar.

"Aku mau minta maaf," kataku ragu-ragu setelah duduk di kursi di depannya.

"Untuk?" tanyanya sambil memasukkan satu kentang rebus kecil ke mulut.

"Yang kemarin?"

"Yang mana?" Will benar-benar ingin aku melupakan kejadian semalam rupanya. Baiklah kalau memang itu maunya.

"Tidak jadi," kataku sambil berdiri. "Mau makan di kantin?"

Will menolak dengan gelengan. Aku hanya tersenyum rikuh karena sudah tahu jawaban yang akan dia berikan. Cowok itu hanya menatapku datar; membuatku lebih canggung karenanya. "Aku tidak sabar akan belajar apa lagi malam ini."

Aku lantas mengajak Gema—

"Gem, kau kenapa?" tanyaku saat melihat anak itu melotot terus pada gawainya. Matanya cekung. Kantung mata beranak. Pipinya kemong. Dia sangat kurus seperti zombi kurang nutrisi. Pagi tadi aku tidak terlalu memperhatikannya. Jadi, aku sangat kaget ketika melihat anak ini begini.

Aku memanggilnya beberapa kali sampai melambai di depan wajahnya, barulah dia bereaksi. "Eh, Asa? Ada apa?" tanyanya balik dengan suara bergetar.

"Kau yang ada apa! Kenapa penampilanmu begini?" Aku khawatir setengah mati dengan keadaannya yang seperti ini. "Ayo ke kantin. Kutraktir," ajakku tidak tega.

"Tidak perlu, Sa ...."

"Ayo." Aku memaksa Gema sampai menarik tangannya agar keluar dari bangku. Akan tetapi, sikap keras kepalanya itu susah sekali diajak kompromi. Dia bersikeras tidak mau.

"Oi, Sa!" Luca menepak bahuku membuat genggamanku di lengan Gema melonggar. "Ayo, kantin," ajaknya. Gema menarik tangannya ketika Luca melotot ke arahnya.

"Sana, Sa," usir Gema sambil menunjuk Luca dengan dagu. Aku tidak bisa memaksanya ikut. Mungkin kapan-kapan aku harus bicara dengannya empat mata. Aku tidak tahan lagi melihat Gema seperti ini.

Akhirnya, aku, Luca, Leo, dan Zach pergi ke kantin. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa merenung tanpa memedulikan mereka yang mengobrol dan sesekali memanggil dan menyebut-nyebut namaku. Barulah ketika mendapat tempat duduk aku merespons.

"Kau sebenarnya kenapa, sih?" tanya Luca sambil memakan spageti dengan bola-bola daging berwarna merah karena saus.

"Eh? Tidak ada, kok," jawabku seraya memotong macaroni schotel dengan sendok.

"Akhir-akhir ini kau terlihat aneh," komentar Leo.

"Benar, aneh. Kau terlihat sering bersama William itu," timpal Luca.

"Itu aneh, ya?" sahutku.

Zach yang mau memakan roti lapisnya terhenti. "Ah, aku jadi ingat! Waktu hari Sabtu kau juga olah raga dengan Will. Aku tidak tahu kalian sedekat itu."

Aku berusaha menghindari kontak mata sebisa mungkin. "Tidak terlalu dekat, sih."

"Tapi?" Luca tampak tidak suka ketika tahu aku mulai banyak berinteraksi dengan Will.

"Kalian ada masalah apa sih, dengan dia?"

"Tidak suka saja." Jawaban Luca tidak membuatku puas. Karena sudah hilang respek, aku segera menghabiskan makanan lantas kembali ke kelas tanpa memedulikan mereka yang melihatku heran.

Aku segera mendatangi bangku Will ketika sampai. Dia sedang asyik dengan gawainya saat itu lantas melihatku sekilas lalu kembali menunduk.

"Aku heran dengan pikiran orang-orang," keluhku pada Will yang tidak terlihat antusias.

"Kenapa?" tanyanya masih terus menekuri geniusphone-nya.

"Mereka bilang tidak suka padamu, tapi alasannya tidak jelas."

"Oh."

"Sudah kuduga responsmu akan begitu." Will hanya mengangguk. Aku pun mengganti topik pembicaraan karena tidak akan ditanggapi lebih lanjut. "Kita akan belajar apa nanti, Will?"

"Kimia organik."

"Bukan itu. Kau tahu persis apa maksudku."

Will mengangkat kepalanya. "Kita akan belajar bagaimana caranya memanfaatkan koneksi untuk memburu Nitemare," ujar Will serius. "Jadi, saranku, carilah orang yang tepat, yang cukup akrab dan punya masalah tidur." Cowok itu kemudian menatap kembali gawainya tanpa memedulikanku sedikit pun.

Aku melihat Gema yang menatap kosong gawainya. Sepertinya aku mendapat orang yang cocok.

Pulang sekolah, Luca menghampiriku yang masih duduk di bangku. Dia menanyakan ada apa denganku hari ini. Aku menjawabnya singkat kalau aku tidak apa-apa lantas buru-buru pergi karena Gema sudah lewat dengan cepat.

"Gem, tunggu!" panggilku mengabaikan teriakan Luca.

Gema terkejut ketika aku menepuk bahunya. Wajah cowok itu kaget seperti melihat hantu. "A ... ada ... ada apa, Sa?"

Aku mengajaknya ke pinggir lorong dahulu agar tidak mengganggu jalan orang-orang yang lewat. Sambil memegang tali tas selempang dengan gemetar, dia menunduk sembari menyimak lantai yang diinjak orang-orang dengan khidmat.

"Aku sudah tidak tahan melihatmu seperti ini," mulaiku dengan suara rendah. "Akhir-akhir ini kau kenapa, sih?"

Gema melirikku sekejap sebelum menjawab, "Tidak apa-apa."

Aku merangkul bahu Gema dan menariknya ke area pinggir lapangan yang rimbun oleh pepohonan hijau. Aku duduk di tribune semen lantas menepuk tempat di sebelah kiri agar anak itu ikut duduk. Gema mengangguk samar seperti segan padaku. Aku mengangkat alis; tidak tahu sikap itu datang dari mana.

"Aku di sini ingin membantumu," ujarku. Meskipun aku punya maksud terselubung, tetapi aku tulus membantunya. "Kau tahu? Aku tidak punya teman main game dan itu membuatku tidak tahan!"

"Aku baik—"

"Sekali lagi kau bicara begitu, aku akan ... akan—argh!" Aku mencak-mencak seperti bocah tantrum. Sebenarnya aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Aku hanya ingin Gema bicara.

Gema tampak syok. Mungkin baru pertama melihatku seperti ini. Dia terlihat ingin bicara, tetapi diurungkan lagi. Beberapa kali membuka mulut lalu mengatup rapat membentuk satu garis.

"Sebelum aku meledak," ancamku, "katakan, kau belum tidur sudah berapa hari?"

Cowok itu tampak takut. "Tiga hari," cicit Gema sambil memainkan jari-jari. "Terakhir aku tidur, mimpi buruk yang menyeramkan menyerangku. Aku sudah tidak mau tidur lagi." Dia menggeleng keras seperti ingin mengenyahkan semua yang ada di dalam kepala.

Aku menatapnya iba. "Mimpi burukmu. Apa yang kau lihat?"

"Aku tidak ingat."

"Kau ada masalah di rumah?" Aku mencoba menebak. "Beberapa hari ini kau tidak on di game. Pasti ada alasannya."

"Bukan urusanmu, Sa."

Ya, tentu. Semua itu memang bukan urusanku. Akan tetapi, aku tidak bisa tinggal diam saat temanku sendiri terlihat tak keruan dan semuanya itu berdampak tidak langsung pada orang di sekitarnya. Aku contohnya.

"Sudah, ya, Sa. Aku mau pulang. Nanti ibuku bisa marah kalau aku pulang telat." Gema beranjak pergi, tetapi aku keburu menahannya.

"Gem," panggilku dengan suara geraman yang tertahan. "Bisakah kau menghargai niatku yang ingin membantumu?"

Gema berusaha menepis cengkeraman di pergelangan kirinya. "Kenapa kau keras kepala sekali, sih, Sa?"

"Kau juga!" Gema terperanjat ketika aku tiba-tiba berteriak padanya. Aku sudah kelewatan. Aku pun memelankan suara selembut mungkin. "Setidaknya, cobalah untuk tidur. Kantung matamu itu sudah tidak wajar. Soal mimpi burukmu, kau sudah tahu aku seorang Lucid Dreamer, 'kan? Aku akan berusaha untuk membuatnya jadi lebih baik. Percaya padaku, oke?"

Aku meyakinkannya sebisa mungkin, karena hanya pada saat tertidur sebuah teritori akan muncul. "Gem?"

Gema hanya melihatku datar. Mata yang seolah tidak ada kehidupan di dalamnya itu mendelik. "Oke," katanya pelan. Dia lantas pergi dengan cepat seolah tidak ingin melihatku lagi.

"Apa aku sudah melakukan sesuatu yang benar ...."

...

Will mengajariku bagaimana caranya menangkap sinyal dari orang yang terkoneksi denganku.

"Bayangkan wujudnya," kata Will. "Bayangkan suaranya, emosinya. Bayangkan seolah-olah dia ada di depanmu. Ikuti keberadaan kesadarannya."

Aku membayangkan Gema. Cowok itu punya bentuk wajah yang tirus. Mata sayu yang sering melotot. Kantung mata hitam di bawahnya beranak. Hidung dan bibir kecil. Gema juga punya bentuk tubuh yang kurus. Sering kali rompi cokelatnya terlihat kebesaran. Tak jarang dia terlihat seperti orang-orangan sawah yang membuatnya menjadi bahan ejekan Luca dan kawan-kawan.

Suara cempreng Gema bergaung. "Rare item, Sa!" Dengan wajah semringah dia berteriak. Di lain waktu, dia berkata dingin. "Bukan urusanmu, Sa." Saat aku bertanya tentang berapa lama dia tidak tertidur, dengan lemas dia menjawab, "Tiga hari."

Aku terus membayangkan masa-masa kebersamaan kami. Di kelas, saat main game bersama. Semua yang terpikirkan yang dapat membuat koneksiku dengan Gema menguat.

Tidak ada. Aku tidak merasakan kesadaran Gema. Lagi pula aku tidak tahu bagaimana bentuk kesadaran itu. Tidak ada. Tidak ada. "Tidak ada!"

"Apa yang tidak ada?" Will bertanya.

"Gema! Aku tidak bisa merasakan Gema!"

"Coba lagi, Sa."

"Sepertinya dia belum tidur. Uh! Anak itu!" Aku mendengkus geram. Bisa-bisanya dia. Ini entah sudah ke berapa kalinya dia bohong kepadaku.

"Terus coba," kata Will menyemangati (kuharap begitu). "Dia tidak mungkin tidak tidur terus-terusan. Ada kalanya dia tidak sengaja terlelap dan masuk ke Unrealm. Gunakan kesempatan itu, Sa."

Tiga hari. Suara Gema bergaung kembali.

Aku kembali memfokuskan diri. Ayo, Gema. Kau sudah janji. Di mana? Di mana? Di—

"Di sana!" seruku. Aku menunjuk ke arah lembah di dalam teritoriku; lebih jauh, lebih jauh.

Aku langsung mengambil ancang-ancang lantas terbang. Will mengikuti. Kami memelesat bagai peluru. Aku berusaha secepat mungkin sebelum sinyal kesadaran Gema menghilang. Namun, tepat saat aku keluar teritori, sinyal itu melemah sampai akhirnya lenyap.

"Tidak ...."

"Terus coba lagi," saran Will sambil memegang bahuku.

Aku mengikuti sarannya. Terus sampai mungkin kepalaku pusing dan Will mulai bosan. Cowok itu memain-mainkan pasir yang diinjaknya; membentuknya menjadi bola, kubus, atau limas.

Sekali lagi, aku mendapat sinyal kesadaran Gema. Rasanya seperti orang yang memanggil dengan telepati untuk datang. Aku kembali memelesat tanpa memedulikan Will yang sedang sibuk bermain. Kubah-kubah teritori lain silih berganti dengan warna-warninya yang berbeda ketika aku melaju.

Kubah teritori Gema berwarna hitam pekat dengan aksen ungu seperti cairan minyak yang menari-nari. Kubah itu memudar perlahan. Aku segera memasukinya. Will dengan cepat merentangkan tangannya lantas muncullah jaring-jaring berbentuk heksagonal menyerupai sarang lebah melingkupi langit, mencegah teritori ini lenyap. Sesekali tempat ini berdenyar kemudian stabil kembali.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku.

"Orang awam mengetahuinya dengan istilah ketindihan atau sleep paralysis," jelas Will. "Keadaan saat kesadaran berada di antara realitas dan imaji. Itulah kenapa beberapa orang dapat melihat 'penampakan'—sebenarnya itu Nitemare—dan tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Ayo, Sa."

Aku mengangguk lantas mencari keberadaan Nitemare yang membuat teritori Gema hancur lebur. Sebuah kerajaan dengan bangunan-bangunan gaya baroque yang kini hanya serupa reruntuhan. Pilar-pilar bergerigi tumpang tindih di jalanan. Jalan-jalan berlubang. Kaca patri mosaik bermotif bunga dan orang-orang suci seperti santa dan santo berkeping-keping. Menara-menara dengan lonceng tersisa setengahnya.

Langit biru kelam dihiasi asap yang membubung. Jerit dan tangis bergaung dari asal asap. Warna jingga kemerahan serupa titik-titik di kejauhan terlihat di puncak bukit dengan istana gelap di atasnya.

Aku dan Will menuju istana yang dipisahkan oleh perairan dan dihubungkan jembatan yang kini telah hancur sebagian. Air di bawahnya bergerak-gerak seperti ada monster laut yang ingin menyerang. Sisik-sisik berkilauan sesekali terlihat diterpa cahaya bulan yang samar-samar. Tanpa tedeng aling-aling, monster berbentuk ular itu memeluk jembatan di bawah kami dan meremukkannya. Cepat, kami memotong-motong monster itu layaknya hidangan laut sebelum halangan lain mengganggu. Darah terciprat membuat air yang ada menjadi kemerahan.

Aku terus mengikuti arah kesadaran Gema. Di pulau itu, bangunan-bangunan seperti rumah penduduk terbakar. Pohon-pohon di taman berguguran. Mayat bergelimpangan. Istana megah terbakar tak jauh dari tempat kami berdiri.

Suara tawa dan hardik menggema dari aula megah kehitaman ketika kami membuka gerbang utama istana. Ruangan berbentuk bundar dengan langit-langit kubah itu kosong melompong; hanya menyisakan seseorang dan makhluk-makhluk hitam menyerupai perempuan berpakaian mewah serupa ratu di atas singgasana emas yang pudar.

"DASAR TIDAK BECUS!"

"TIDAK ADA GUNANYA!"

"HANYA MAIN-MAIN SAJA!"

"PANGERAN MACAM APA KAU INI?!"

Baru kusadari kalau seseorang yang duduk di atas singgasana dan sedang dimarahi itu adalah Gema. Dia mendongak dengan wajah lesu bersamaan makhluk-makhluk tanpa wajah yang sekarang menghadap kami.

Si "Ratu" menunjuk kami dengan murka. "Penyusup! Bunuh mereka!" teriaknya dengan keras seperti dapat menghancurkan jendela kaca layaknya paduan suara yang memekakkan telinga.

Asap muncul dari ketiadaan di pinggir kami. Kepulan-kepulan itu mewujud menjadi sosok prajurit-prajurit berpakaian zirah dengan tombak, pedang, dan perisai. Will menyerang mereka sebelum dapat berbentuk sempurna, tetapi hasilnya nihil. Malah dia sendiri yang akhirnya terpental karena hantaman perisai.

Cowok itu jatuh di dekat kakiku. Hidungnya berdarah. Aku membantunya berdiri. "Kau tidak apa-apa?" tanyaku.

Will membersihkan hidungnya dengan punggung tangan. "Ya—menunduk, Sa!"

Hujan panah menyerang kami.

Will membuat medan energi yang memantulkan semua anak panah. Kami lekas menghadapi prajurit-prajurit yang berderap maju sambil menghunuskan senjata mereka masing-masing.

Aku mengayunkan dua pedang seperti baling-baling. Tebas samping, Potong atas. Penggal silang. Mereka semua lenyap menjadi asap, tetapi muncul kembali dari dinding-dinding yang kelam seperti belatung keluar dari bangkai busuk.

Aku dan Will saling memunggungi. "Mereka tidak ada habisnya," kataku sambil terengah. Rasa lelah ini lebih dari pada lari maraton.

"Aku punya ide," sahut Will tidak beda jauh denganku.

"Apa?"

"Habisi sumbernya!"

Tang!

Aku menangkis serangan pedang lawan dengan dua pedang bersilang. Kutendang Nitemare itu, dia terjengkang mengenai kawannya. Will menerjang lawan-lawannya dengan satu ayunan tombak. Mereka terempas seketika seperti daun disapu angin. Sesekali cowok itu menjadikan kepala-kepala si Nitemare sebagai pijakan. Setelah aku memenggal satu monster prajurit yang terakhir, aku menyusul Will untuk membunuh "sang Ratu".

Kami diadang prajurit yang datang tiba-tiba membentuk pagar manusia. Will berinisiatif membukakan jalan sementara aku membunuh sumbernya.

"Ayo, Sa!!!" teriaknya seraya mengayunkan tombaknya dengan brutal. Aku melecut melewati semua prajurit tepat ke arah Nitemare sumber.

Jleb!

Sakit.

"Asa!"

Perih.

"Bertahanlah, Sa!"

Ngilu.

Tubuhku bagaikan tidak ada tenaga. Dengan ringan, tangan "sang Ratu" yang menusuk perutku bagai menyedot semua energi yang ada. Dilemparkannya aku sangat keras sampai membentur tembok.

"Akh ...!"

"Asa!" Will menghampiriku yang terkulai lemas. "Beristirahatlah sebentar—"

Lengkingan "sang Ratu" membuat para prajurit yang mendatangi kami berhenti bergerak. Mereka melaju menuju majikannya secepat kabut dan menyatu dengannya. Nitemare-nitemare itu berkumpul, bergabung menjadi raksasa sampai hampir menyentuh langit-langit.

"Sang Ratu" telah benar-benar bertukar menjadi "Ratu" sungguhan. Nitemare ratu. Nitemare itu memiliki wajah yang bengis dengan seringai lebar yang dapat merobek wajahnya yang hitam legam. Mata putihnya menatap nyalang. Rambut-rambut tajam menjuntai dihiasi mahkota dan bunga berbau busuk. Makhluk itu bertangan empat dibalut jubah yang menyentuh lantai.

"DASAR KALIAN MAKHLUK-MAKHLUK MENYEDIHKAN!!!"

"BERLUTUT DAN MEMINTA AMPUNLAH!!!"

"A! HA! HA! HA! HA! HA!"

Nitemare itu bergerak. Setiap langkahnya menggetarkan ruangan dan membuatnya seakan bakal runtuh kapan saja.

"Ayo, Sa." Will membantuku berdiri.

Aku cepat mendorong Will menjauh saat sekumpulan jarum hitam raksasa menyerang kami. Cowok itu memegang kepala sebelum akhirnya tersadar dengan keadaan. Sementara itu, aku mendapat luka gores yang lumayan perih di bagian rusuk kiri.

Aku berlari terseok-seok menghindari serangan selanjutnya yang bertubi-tubi. Jarum-jarum berdatangan bagaikan hujan. Sekuat tenaga aku menghindarinya sambil terus mendekati si Nitemare ratu.

Rasa sakit yang mendera telah hilang. Kumaksimalkan tenaga yang telah terkumpul untuk membunuhnya dalam satu kali serangan. Aku harus melanggar ketentuan penggunaan kekuatan imaji: gunakan dalam situasi genting; jangan dibuat untuk serangan langsung.

Namun, kurasa ini cukup genting.

Kubayangkan rantai-rantai yang menjerat muncul dari bawah tanah, mengikat si Nitemare ratu sampai tidak bisa bergerak. Will meneriakiku untuk menghentikannya karena bisa berakibat fatal. Aku tidak menggubrisnya. Sebelum rantai itu terputus, aku berlari di atasnya dan berniat memenggal kepala makhluk itu.

"Gaaah—"

Aku tidak bisa bergerak. Tubuhku kaku. Sesuatu mengikatku. Mata nyalang si Nitemare ratu melihatku. Bagian putihnya berubah menjadi merah. Mulut lebar dengan taringnya terbuka siap melahapku. Hitam. Kelam. Aku bagaikan masuk ke dalamnya. Dadaku berdegup sangat kencang. Rasa takut mati serta merta menggerayangiku. Sesak. Aku tidak bisa bernapas—

"Will!" Aku berteriak keras. Kupejamkan mata karena tidak tahan dengan apa yang akan terjadi.

Teriakan parau menggema di seluruh ruangan. Aku membuka mata. Si Nitemare ratu terkoyak di bagian dada. Kepalanya terpenggal. Bersamaan dengan asap hitam yang mengudara, tubuhku jatuh. Will menangkapku sebelum aku menghantam lantai. Dengan napas yang masih terengah, aku memegang pundak cowok itu.

"Terima kasih," kataku lirih.

"Kau mau melakukan reset?"

"Ajari aku."

Will memberitahuku untuk memasukkan semua kenangan indah yang bertolak belakang dengan Nitemare yang kami hadapi. Nitemare Gema sepertinya merupakan manifestasi rasa takut pada ibunya. "Nanti ibuku bisa marah ...." ­Untuk itu, aku memasukkan semua kenanganku yang kumiliki dengan Ibu dan mama Will kepada Gema, meskipun aku jadi merasa bersalah karena telah membohonginya. Kutiru gerak Will dan membayangkan semua teritori ini kembali seperti semula.

Ruangan kelam yang kami tempati berubah menjadi terang. Warna emas dan perak mendominasi. Tegel bermotif bunga dan kubah berlukiskan langit indah menghias.

Aku mendekati Gema di singgasana yang kini telah dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik, ramah, dan menyenangkan. Dia berjalan ke arahku lantas memeluk.

"Terima kasih," ucapnya.

Aku menepuk punggungnya. "Kalau ada masalah jangan sungkan cerita. Teman-temanmu ada untuk membantu." Gema melepas pelukan kemudian mengangguk.

Aku dan Will keluar. "Malam yang melelahkan," keluhku.

~~oOo~~

A/N

Tadinya mau ada dua pertarungan, tapi ternyata capek, ya. Udahlah, satu saja.

Pertanyaan untuk bagian ini: Bagaimana kabar mimpi kalian?

***

Diterbitkan: 11/05/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top