V. Inicio
Lias berhenti tepat sebelum keseluruhan suara gaduh menghilang. Diturunkannya Olive dari gendongan sembari mencoba mengatur napas yang membuat dadanya naik-turun. Sementara itu, pandangan Olive masih tertuju pada keributan jauh di belakang mereka. Beberapa siswa ada yang juga ikutan berlari hendak keluar dari lingkup kericuhan, tetapi terjebak di sana dengan kekacauan mereka sendiri.
"Olive," panggil Lias di sela-sela napasnya yang masih terengah. "Berjanji padaku, apa pun yang terjadi, berusahalah menjauh dari kekacauan."
"Apa?" Raut muka Olive mengkerut bingung. "Kau tahu sesuatu tentang ini, Lias?"
"Tidak. Setidaknya, itulah yang Nate katakan padaku. Dan ..." Lias menatap ke bawah dengan tatapan terkagum sekaligus ngeri. Kemudian melanjutkan, "sepertinya aku paham mengapa dia berkata begitu."
Olive ikut menatap ke bawah, mendapati bayang-bayang mereka tinggal setransparan kain yang menerawang meski dekat dengan penerangan. Hal itu membuat Olive tersentak kaget dan perlahan melangkah mundur. Sesuatu jahat telah terjadi, hanya itu yang diyakininya sekarang.
Bayangan adalah ciri dari makhluk hidup. Apa jadinya kalau manusia tidak mempunyai bayangan? Olive pikir, mereka akan mati dalam kurun waktu yang ditentukan.
Pikirannya yang seketika kacau membuat langkah Olive oleng. Dua kejadian besar sudah menimpanya hari ini. Seolah berhubungan, tetapi memiliki tali hubung yang jauh-kepala Olive pening memikirkannya.
"Kau tidak apa-apa?" Lias dengan khawatir segera memegang tangannya. Tatapan Lias memantulkan seluruh perasaan yang ia siratkan. "Sekarang kita pergi ke aula. Ada sesuatu yang harus disampaikan Kepala Sekolah setelah mereka selesai."
Olive mengangguk lemas dan berusaha mengenyahkan pemikiran-pemikiran mengenai penangguhan masa hidupnya sendiri. Bertepatan begitu mereka berbalik badan dan melangkah kembali, suara debum yang begitu kuat terdengar dari arah lapangan di belakang mereka.
Jantung Olive serasa mencelos. Ia hendak menoleh dan memeriksa asal suara tersebut. Namun, Lias menahannya dengan mengeratkan pegangan tangan. "Jangan berbalik," peringat Lias.
Diam-diam, Olive menelan ludah. Mukanya terlihat lebih pucat saat kilasan-kilasan kejadian di lapangan kembali berputar di kepalanya. "Tolong katakan bahwa Nona Kay baik-baik saja," kata Olive pelan, lebih terdengar seperti mencoba mengatakan itu pada dirinya sendiri.
Lias tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Ia hanya diam menatap Olive, lantas berpaling dan lanjut berjalan menuntunnya. "Ia baik-baik saja."
Keduanya melewati tembusan koridor menuju gedung. Olive tidak mempertanyakan ke mana dirinya akan dibawa pergi, kesadarannya sudah terenggut sejak mereka masih di lapangan. Sampai akhirnya mereka tiba di aula. Rupanya, sudah ada yang menunggu di sana.
"Syukurlah, kalian baik-baik saja. Bagaimana yang lain?" Itu adalah Nona Jiafey. Menunggu dengan raut khawatir.
Lias menyerahkan Olive ke dekapan Nona Jiafey sembari menjawab, "Sedang mengurusi keributan. Saya akan bergabung dengan mereka."
"Tidak. Tidak perlu," cegah Nona Jiafey buru-buru. "Mereka pasti akan sampai ke sini sebentar lagi." Tangannya mengelus bahu Olive tanpa mengatakan apa pun padanya. "Omong-omong, apa kau sempat memperhatikannya?"
Sesaat, Olive salah paham kalau Nona Jiafey berbicara padanya. Tidak begitu sampai Lias menjawab, "Ya. Sesuai ... yang Anda bilang, Nona Jiafey. Hanya kami dan kelompok Franesh."
Nona Jiafey mengangguk dengan tatapan menerawang dan alis mengkerut samar. Olive ingin ikut menimbrung dan bertanya apa yang sedang mereka perbincangkan. Namun, sepertinya ini bukan sesuatu yang berani dia tanyakan jika di hadapannya adalah Nona Jiafey-guru dari pelajaran yang paling tidak disukainya. Dan sepertinya beliau belum tahu mengenai sesuatu yang menimpa teman dekatnya, Nona Kay.
"Ini aneh," celetuk Lias. Menarik perhatian para perempuan itu padanya. "Kenapa Anda tahu soal itu?"
Nona Jiafey membelalakkan mata dalam sepersekian detik, lantas memasang ekspresi yang diatur senormal mungkin. Kemudian, ia terkekeh canggung. "Aku hanya mendapat informasi dari Kepala Akademi."
"Mengenai monster bayangan dan bencana ini, serta korban-korbannya?"
Hening memakan ruangan untuk beberapa saat. Bahkan, keributan di luar pun sudah tidak lagi terdengar.
Rangkulan di tubuh Olive terlepas saat Nona Jiafey membuat ekspresinya berubah dingin. Seketika itu, Lias segera mempersiapkan diri kalau-kalau dia akan kena sembur serangan. Namun, pintu aula dibuka dengan kasar, menampakkan beberapa orang berpenampilan kacau dan penuh peluh masuk, yang tidak lain adalah: Nata Ruess, dan para master, serta murid-murid yang tidak memiliki bayangan di bawah kakinya. Mereka adalah teman-teman Olive dan kelompok Franesh.
Perhatian Olive langsung saja terjatuh pada Nate yang terlihat paling berantakan, tetapi lain dengan ekspresinya-tetap lurus, malah terkesan seperti tengah memasang peringatan lewat matanya saat menatap Nona Jiafey.
Pasti ada hubungannya dengan percakapan sebelumnya, Olive yakin akan hal tersebut. Namun, apa? Tidak mungkin dirinya akan langsung mendaratkan kecurigaan penuh pada salah satu pilar akademi yang semuanya terkenal akan kesetiaannya.
Olive tidak bisa menanggung konsekuensinya jika harus dituduh mencemarkan nama baik seorang pilar, lalu berakhir masuk ke pengasingan orang-orang di luar Pulau Noroz. Dan sepertinya Lias pun berpikiran sama, terlihat dari segala kerutan yang tercetak di dahinya.
Sebagian dari mereka yang baru tiba tampak kelelahan. Tidak ada yang terluka, mungkin itu adalah berkat bantuan dari Cyane. Kelompok Franesh yang terkenal akan keberandalannya pun sekarang terlihat lebih ketakutan. Tentu saja, tidak ada yang memperkirakan adanya 'penyerangan' mendadak di dalam akademi yang keamanannya terjamin ini.
Tuan Nata sendiri terlihat amat bersalah atas apa yang baru saja terjadi. Setengah dari dirinya merutuk untuk beberapa siswa yang sempat hampir mau dilahap utuh-utuh oleh para bayang-bayang itu.
"Di mana Kay ...?" Sembari memicingkan mata memindai orang-orang yang bermasukan, Nona Jiafey bergumam pelan, yang hanya dapat didengar Olive karena mereka berdekatan. Walau pertanyaan tersebut bukan tertuju padanya, badan Olive berubah tegang seperti menyembunyikan pembunuhan yang ia lakukan sendiri.
Perasaan Olive lebih lega begitu Nona Jiafey beranjak dari sekitarnya, beralih memundurkan satu kursi yang ada di ruangan tersebut, mempersilakan Tuan Nata untuk duduk.
Ruangan hening beberapa saat sebelum suara Tuan Nata menyambut, "Saya minta maaf atas kekacauan malam ini, dan atas hal yang menimpa pada kalian." Pandangannya tetap menunduk, terarah pada pijakan kaki-kaki siswanya dengan cemas. "Saya khawatir kalau kalian diharuskan untuk segera pergi setelah fajar menyingsing."
Mereka semua-para siswa yang kehilangan bayang-bayang-saling menatap satu sama lain, kebingungan.
"Maaf? Apa maksud Anda, Tuan?" tanya Franesh seraya mengangkat tangannya tanda izin.
Tuan Nata menutup mulutnya dengan kepalan tangan. Alisnya berkerut halus di bawah dahi yang sudah berkeriput samar. "Aku khawatir kalau ramalan yang ditakutkan itu benar-benar tengah terjadi sekarang."
Semua yang ada di dalam ruangan mendengarkan dengan saksama, saat Kepala Sekolah menghela napas gusar.
"Kalian tidak bisa hidup tanpa bayangan. Semua mahkluk hidup memiliknya." Tuan Nata mulai menjelaskan, "Ini semua sesuai dengan yang tertulis di lembar rahasia, jika kalian tidak tahu. Lembar yang merupakan dokumen rahasia, lama tersimpan di dalam kotak lupuk termakan usia. Semua isinya sudah terjadi selama ini; dimulai dari petaka yang menimpa Pulau Noroz, pengasingan, seorang lelaki pembawa petaka, hingga terpecahnya Noroz menjadi beberapa bagian." Tatapan beliau terarah pada siswa-siswinya yang berjajar ke samping. "Salah satu ramalan itu mengatakan bahwa, Akan ada saat di mana para penjaga maut memanggil kembali apa yang tidak seharusnya ada, baik dengan putih maupun hitam. Tanpa kecuali juga bayangan mereka-yang pertama membuka gerbang kematian."
"Kau paham? Aku tidak pandai teka-teki," bisik Regan pada Rellia. Suaranya menggema, secara aula malam tidak menyembunyikan satu desisan sekalipun.
Tuan Ramos menepuk dahi melihat tingkah kelakuan anak emasnya, sehingga Rellia harus pun memukul punggung Regan agar lebih baik ia senyap.
Kalimat kutukan dari 'lembar rahasia' yang disebutkan itu membuat Olive memutar otaknya. Kalimat baik dengan putih maupun hitam, sudah jelas berarti baik maupun buruk 'malaikat maut' akan mengambilnya, jika kekerasan diperlukan bagi mereka yang memberontak. Hanya saja, siapa yang berani memberontak pada maut?
Entah karena sudah malam atau bukan, hanya sampai sana Olive bisa menguraikan dari tiga yang tersulit. Dirinya sama sekali tidak mempunyai ide untuk memecahkan yang lain, apalagi kalimat pertama. Mereka ada di dunia ini, sungguh berbanding terbalik dengan yang tertulis.
"Apa hanya kami yang kehilangan bayangan?" tanya Olive setelah sekian lama berpikir.
Semua atensi mengarah padanya. Dalam lubuk hatinya, Olive berharap bahwa prasangka buruk yang menghantui pikirannya tidaklah benar. Olive masih tetap ingin menjalani kehidupan, meskipun tanpa bayangan. Bagaimana jadinya nanti kalau mereka mati konyol hanya karena hal yang tidak masuk akal?
Tuan Nata menundukkan pandangan sambil berkerut kening, berpikir, lantas mengangguk ragu. "Sangat disayangkan. Tadinya saya berharap bahwa bukan hanya kalian, dan salah satu master juga kehilangan bayangan agar kalian ada yang mendampingi." Perkataan Tuan Nata membuat beberapa guru menatapnya ngeri. "Tetapi, kau benar, Nak. Hanya kalian."
"Maaf. Sebentar, Tuan Nata," kata Lias, "Apa maksud Anda dengan mendampingi?"
"Aku ragu aku akan mengatakannya ...." Tuan Nata mendesah seraya menatap satu per satu dari siswanya yang berada di sana memakai tatapan khawatir. "Waktu kalian hanya lima hari, untuk kembali menemukan bayangan. Mau tidak mau, kalian harus melakukannya. Ada dua tujuan-Timur dan Barat-sementara aku akan memecah kalian menjadi dua kelompok ...."
"Tidak," potong Nate tiba-tiba. Semua pasang mata langsung tertuju padanya. Ekspresi Nate yang mengeras tidak terlalu jelas terlihat karena dia menunduk dan pencahayaan di sekitarnya-di pojokan-terbilang minim. "Aku akan melakukan pencarian itu. Sendiri."
Tuan Nata langsung berbalik padanya dan menatap tajam. "Apa maksudmu? Jangan keras kepala dan merasa hebat. Kau butuh bantuan dari teman-temanmu."
"Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan saya. Tetapi, bukankah ini tujuan Anda membesarkan saya, untuk melindungi akademi ini dan seluruh penghuninya dari bahaya apa pun yang terjadi?" balas Nate menatapnya lurus tanpa ekspresi.
Seakan-akan yang lain tidaklah dianggap ada, pertengkaran ayah-anak di waktu tidak tepat itu telah menuai perhatian. Beberapa siswa yang tidak terkena serangan dan berakhir mengecek kondisi ke sekitaran aula, mulai perlahan-lahan berkumpul mengerubungi area luar yang tersekat kaca. Meskipun tidak dapat terdengar, tetapi cara Tuan Nata dan Nate saling tatap sudah terbaca dengan jelas oleh mereka.
Ketegangan itu takkan terpecah dengan sendirinya, sampai tiba-tiba seseorang yang lancang membuka pintu aula dan ikut bergabung.
"Jika Anda khawatir akan pengawasan mereka, saya bisa mengurusnya." Masuk dengan gagahnya, berjalan tanpa sedikit pun langkah yang terlihat ragu. Berdiri di sana, si Penjaga Perpustakaan-Levin. Dengan bayangan yang juga hilang di bawah kakinya.
━☆゚.*・。゚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top