IV. Ocultos

Di ambang pintu lengannya tersenggol. Perempuan yang membawa-bawa topi penyihir khusus untuk acara resmi itu sama sekali tidak menoleh, apalagi minta maaf. Olive hanya bisa menghela napas dan diam-diam mendumal di pikirannya, tidak berani menegur langsung. Mungkin saja perempuan itu terburu-buru untuk mengembalikan pinjaman bukunya sebelum perpustakaan ditutup.

Meski begitu, hal tersebut tidak menyurutkan rasa senang Olive seluruhnya. Yang dinanti-nantinya telah terjadi. Kini, Olive hanya tinggal menunggu esok malam di acara pelepasan pesta dansa.

Di tengah hanyutnya Olive dalam lamunan, ujung pandangan miliknya melihat Nyonya Jiafey menuju ke arahnya. Segera, Olive bersembunyi di celah belokan yang menjadi jalan pintas menuju ke kafetaria belakang.

Olive berbalik, bermaksud memperingatkan Lias untuk ikut sembunyi. Namun, dia tidak melihat lelaki itu di mana pun di sekitarnya. Tiba-tiba Lias menghilang-tetapi Olive tidak begitu mengindahkannya. Mungkin saja Lias mendadak dapat panggilan alam sampai tidak sempat berpamitan setelah membuat perasaan Olive memuncak.

Olive kembali mengalihkan perhatiannya. Tampaknya, Nyonya Jiafey tidak sendiri, dia ditemani oleh Tuan Ramos. Mereka berjalan bersampingan. Kedua pasangan guru yang masing-masing mengajar mengenai beradaptasi di dalam air dan memahami alam itu tampaknya sedang memperbincangkan sesuatu yang serius. Terlihat dari kerutan di wajah Tuan Ramos saat berbicara, dan tanggapan Nona Jiafey yang lebih banyak diam sembari memasang mimik wajah berantisipasi.

Keduanya berjalan hampir melintasi tempat persembunyian Olive, tetapi berhenti tepat selangkah sebelum celah jalan pintas itu. Olive memelankan napasnya agar tidak ketahuan, berusaha kabur tanpa menghasilkan keributan sedikit pun. Tahu Nona Kay adalah teman dekat Nona Jiafey, pasti saja Olive akan dihukum sama seperti Cyane kalau terlihat sekarang.

Namun, langkah Olive terhenti begitu percakapan tersebut membawa-bawa nama Nate.

"Kurasa Nate bukan anak dari Tuan Nata."

"Hati-hati, Nona Jiafey. Aku pernah menarik kesimpulan demikian saat pertama kali mendengar ceritanya. Dan, sama sepertimu, aku diperingati-bahkan dibentak kurang ajar oleh sumbernya sendiri. Tuan Cielxy."

"Eh? Lalu untuk apa cerita penuh keraguan ini tersebar? Anda bisa saja dikeluarkan kalau saya bocor sampai ke telinga Tuan Nata."

"Aku percaya kepadamu, Jiafey. Sejujurnya .... L-lupakan." Tuan Ramos berdeham. "Pokoknya, aku mempunyai dua kesimpulan mengenai ini. Antara Nate yang tidak tahu potensinya sendiri, atau memang dia pengkhianat. Bisa saja anak itu malah berbelot membela Suucker. Anda tahu, 'kan, seperti dalam drama siang hari."

Tangan Olive terkepal, kesal mendengar kalau temannya dikatai pengkhianat. Ia hendak keluar dari persembunyiannya dan menginterupsi pembicaraan mereka, tetapi, suara gemuruh yang besar menghentikannya.

Olive mendongak ke langit. Namun ... bukan. Bukan hujan yang akan turun. Melainkan bangunan di atasnya yang terlihat akan menimpanya.

Olive tidak memiliki waktu bahkan untuk terkejut. Puing besar sudah tepat di atas kepalanya dan hampir membuat Olive seketika menjadi geprek, kalau saja tidak ada sebuah tangan yang segera menariknya.

Bersamaan dengan itu, namanya diteriakkan. Oleh suara yang sangat familiar.

"Olive!"

Nate membawa Olive ke dalam dekapannya untuk sesaat, sebelum mereka terguling-guling parah menjauhi puing-puing yang berjatuhan. Ada sebuah tolakan angin yang berperan besar dari mengapa mereka bisa selamat—Olive dapat merasakannya. Namun, ia tidak bisa berkomentar apa-apa selain diam dan menahan napas.

"Kenapa kau ada di sana? Apa kau menguping?" Daripada terlihat marah, nada suara Nate lebih terdengar sedih. "Tolong, jangan terlibat terlalu jauh lagi. Olive? Olive—!"

Pandangan Olive sudah terlanjur memburam dan gelap, sebelum Nate sempat mengatakan hal lain.

°°°°°

Secercah cahaya masuk dari balik tirai tipis yang menjadi andalan di setiap jendela-jendela ruang kesehatan. Sangat tidak cocok digunakan saat merawat pasien dengan penyakit tertentu. Entah siapa yang menyarankan agar tirai setipis itu dipasang di sana. Beruntung, malam ini Olive segera terbangun karena sorot lembut cahaya bulan, bertepatan dengan suara dengung nan jauh dari tempatnya.

Olive meringis. Kepalanya berat seperti tidak dibawa tidur selama lima hari. Ia berusaha duduk, tetapi berakhir dengan kembali terbaring, karena pusing yang mendera membuat dengungan kuat di telinganya.

Biasanya, di saat-saat seperti ini, paling tidak ada dua orang temannya yang menunggu di samping ranjang. Namun, sayang sekali, mau berapa kali pun Olive memeriksa ruangan dengan netranya, ia tidak menampaki salah satu dari mereka bertiga di sana.

Apa Cyane marah padanya karena ditinggal?

Mengenyampingkan hal besar yang baru saja terjadi, Olive meratapi dirinya sembari menatap langit-langit. Dari raut wajahnya, sepertinya ia mulai berpikiran kalau tidak ada lagi yang peduli bahkan untuk sekadar menjenguk.

Di tengah kegelisahan itu, suara deret roda yang menuntun troli makanan masuk ke ruangan. Seorang perawat datang membawa sesuatu yang aromanya sudah menguar di udara.

Perawat tersebut melempar senyum saat melihat Olive yang sudah tersadar. Lantas menepikan troli makanan di samping ranjang tempat Olive beristirahat.

"Kau sudah sadar? Bagaimana kondisimu, apa masih terasa pusing?" Pergelangan tangan Olive dipegangi dan diperiksa denyut nadinya. "Kau sangat pucat sekali. Makanlah, aku membuatkanmu sop ayam. Kau suka ayam, tidak?"

"Suka," jawab Olive seadanya.

"Bagus." Perawat dengan bordir nama Sazly terpasang di bagian atas saku depannya itu mengelus kepala Olive. "Habiskanlah itu, dan jangan hiraukan kebisingan di luar. Informasinya akan kau dapat besok."

Olive menurut dengan mengambil semangkuk kecil sop yang masih hangat dari troli makanan. "Apa ada pengumuman, atau upacara mendadak?"

"Sepertinya, ya. Tapi, tidak usah dipikirkan. Sekarang kau pulihkan dulu keadaanmu."

"Kalau begitu, berarti itu penting buatku." Hampir saja Olive memaksakan diri untuk bangun dari ranjangnya, kalau tidak segera ditahan Sazly agar tetap duduk.

Sazly terkekeh. "Ternyata benar kau keras kepala." Mendengarnya, Olive mengerutkan kening tidak terima. "Kalau bukan Nate sendiri yang memintaku untuk menahanmu di sini, aku tidak akan repot-repot melakukannya. Sekarang, kau nikmati sop buatanku. Kalau enak, akan kuambilkan lagi untukmu, bagaimana?"

Berhubung perutnya belum diisi sejak sore, ditambah runtuh bangunan yang membuatnya terkejut, Olive tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran menggiurkan tersebut. Lagi pula, sopnya tercium enak.

Di suapan pertama mata Olive langsung membulat. Rasanya benar-benar mirip seperti kasih sayang ibu. Terasa manis, sekaligus gurih. Campuran krim dan susu yang pas, diaduk bersamaan dengan potongan daging serta bawang bombay. Olive pikir, akan lebih enak kalau ia meminta saus, tetapi ia sadar diri mungkin Sazly akan menoyor kepalanya.

"Enak sekali. Terima kasih." Lagi, Olive melahap. Tidak terputus hingga akhirnya kandas. Sazly tersenyum bangga melihatnya.

Ranjang ruang kesehatan berderit begitu Sazly duduk dan menambah bobot di atasnya. Memberi dan menukar beberapa percakapan ringan dengan Olive. Olive sendiri tidak menanyakan apa hubungan Sazly dengan Nate, secara lelaki satu itu—walau pendiam—tetapi memiliki kenalan yang banyak. Apalagi Sazly merupakan petugas kesehatan. Sudah pasti Nate mengenalnya setiap kali mengantar salah satu temannya yang cedera saat bermain rugby bersama para senior yang tak kenal ampun.

Buah-buahan yang dibawa Sazly juga sudah kandas seiring dengan percakapan mereka berjalan. Tidak sadar, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, di mana para siswa seharusnya berada di asrama setelah selesai makan malam.

"Aku tidak tahu tujuan dari kelulusanku apa. Mungkin, sebab itulah menghadiri kelasnya Nona Kay tidak begitu kuperhatikan," demikian Olive mengakhiri sekian pertanyaan dan percakapan mereka berdua.

Sazly diam beberapa saat sampai akhirnya membuka mulut untuk berbicara. Namun, suara bel darurat terdengar di sepenjuru akademi dalam tiga detik, sebelum akhirnya keheningan malam kembali.

Olive dan Sazly saling pandang, tidak tahu menahu apa yang sedang terjadi.

Baru saja Sazly mengangguk serius dan membantu memapah Olive yang hendak ikut bergabung dalam perkumpulan darurat, Olive menghilang begitu saja seperti ditelan angin. Hilangnya dia semata-mata bukan karena trik, tetapi sihir dari Kepala Sekolah Akademi sendiri—Nata Ruess.

Badannya melayang di udara selama beberapa saat. Lalu jatuh dari ketinggian tujuh belas meter secara bebas menuju ke tanah, memakai gaun pasien serta menjadi sorotan utama dari seluruh lapangan.

Beruntung, Lias menangkap Olive dengan mulus, dan melepaskannya untuk kembali menapak dengan mulus juga. Ketiga temannya terlihat khawatir dan langsung mengerubungi Olive—termasuk Cyane di dalamnya.

"Kau baik-baik saja?"

"Jantungmu aman, 'kan?"

"Syukurlah."

Cyane, Lias, dan Nate silih bergantian berbicara.

Dengan mata berkaca-kaca karena syok dijatuhkan dari ketinggian dan tangan serta bibir yang bergetar, Olive mencengkram gaun pasiennya, mencicit ngeri penuh keraguan, "Apa Kepala Sekolah membenciku? Apa, apa beliau sengaja melakukannya?"

Melihat itu, ketiga temannya yang lain membatu. Olive belum pernah terlihat ngeri sampai seperti itu di hadapan mereka. Sementara Lias dan Cyane segera menyelimutinya dengan jubah mereka, Nate mengepalkan tangan. "Aku akan menegurnya."

Bocah gila itu segera dihentikan Lias sebelum melangkah lebih jauh untuk pergi ke depan sana dan membuat kekacauan demi memberi teguran pada ayahnya.

"Apa kau gila? Ini bukan rumah di mana kau bisa bertegur sapa dengan ria bersama ayahmu," desis Lias sarkas.

Gema mikrofon kembali diketuk. Beberapa kali tes angka terdengar. Juru bicara Kepala Sekolah, Tuan Aeon, diberikan isyarat untuk menepi. Dari gesturnya saja bisa dilihat kalau kali ini bukanlah kata-kata yang bisa diwakilkan. Air muka Nate mengeras, dirinya berdiri dengan cara yang defensif di samping Olive begitu mikrofon diambil oleh ayahnya sendiri—yang tidak lain adalah Nata Ruess.

"Saya minta maaf jika ini mengganggu aktivitas malam kalian semua. Tetapi, ada hal mendesak yang harus segera diberitahukan."

Rambut yang sudah memutih itu berkelebat lembut saat tangannya terangkat. Mata biru segelap malam yang sama dengan Nate, seolah menatap ribuan orang dalam-dalam sampai tidak ada suara sedikit pun begitu sebuah lampu besar di atas sana melayang memakai bantuan sihir.

Lampu tunggal itu membuat para siswa merasa seperti disoroti sekujur tubuh. Tiap-tiap dari mereka mengeluh karena silau, sehingga mereka semua menundukkan pandangan. Namun, yang terjadi berikutnya adalah suara teriakan di mana-mana, sebelum sempat Nata Ruess kembali melanjutkan perkataannya.

Sebuah bayangan hitam yang tadinya menyerap satu dengan tanah, tidak lagi sanggup mempertahankan penyamarannya. Bayangan besar itu bergerak cepat di bawah kaki-kaki mereka, membuat para siswa berteriak kesakitan saat benda hitam yang tidak berwujud itu menyentuh bayang-bayang mereka.

Jumlah seluruhnya ada tujuh bayangan misterius. Ketiga bayangan paling besar berkumpul di sekitar Olive dan teman-temannya. Nate, entah kenapa, menyembunyikan Olive di belakang tubuhnya. Menatap waspada ke arah bayangan hitam paling besar di hadapan pijakannya.

Namun, ketiga bayangan tak berwujud itu sama sekali tidak bergeming. Mereka meletup-letup dengan menjijikan, kemudian asap keluar dari tanah yang dipijaknya. Sehingga bayangan Nate, Cyane, dan Lias menguap—diserap oleh ketiga hal misterius itu.

Nate segera berbalik untuk mengecek Olive. Sayang sekali, terlambat baginya begitu melihat bibir Olive yang pucat sembari menyaksikan bayangannya sendiri ikut terserap.

Nate menggertakkan giginya. Selimut api biru terkumpul di kedua kepalan tangannya. Membuat Lias dan Cyane yang berada di sampingnya langsung terlonjak menjauh.

Sebelum sempat Nate melepaskan serangan, Tuan Aeon dan ayahnya sendiri segera menghadang, mencoba menghadapi bayangan-bayangan itu.

Semua murid berhamburan menghindari tempat kejadian saat melihat Kepala Sekolah mereka turun tangan mengeluarkan pertahanan. Di sisi lain, teriakan histeris terdengar. Seorang guru tumbang saat menghadapi keempat bayangan lain yang menyambangi kelompok Franesh.

Adalah Nona Kay. Beliau tergeletak secara mengenaskan di lapangan, dengan seluruh tubuh berubah menjadi putih pucat.

"Ayo, kita harus segera pergi!" Lias menarik tangan Olive yang syok berat.

Selangkah dirinya diseret, Olive langsung menahan tarikan tersebut dan menatap Nate yang bersiap lari berlawanan arah. "Tunggu! Nate, kau mau ke mana?"

"Pergilah lebih dulu. Aku harus membantu mereka." Nate mengarah pada Franesh dan yang lain.

"Kau masih belum pulih benar, Olive. Aku akan membantunya!" Cyane segera menyusul Nate menerobos lautan histeria.

Melihat teman baiknya ikut pergi, Olive mencoba melepaskan cekalan Lias. "Tunggu aku!"

"Tidak." Sekali tarikan, Lias segera menggendong Olive agar ia tidak bisa kabur atau melakukan hal bodoh. "Kau tidak boleh mengambil resiko. Percayalah padanya, Nate adalah anak Kepala Sekolah," ujar Lias seraya menahan Olive yang memberontak, lantas berlari menjauhi lapangan.

━⁠☆゚⁠.⁠*⁠・⁠。゚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top