Escalera
Rumpun daun terbelah menjadi dua, disibak oleh sepasang tangan ke dua arah berlawanan. Juntai akar gantung lagi berjatuhan, menyapa rambut dengan salam. Kemudian, ia disibakkan lagi ke samping sampai hampir terpotong dari bagiannya sendiri. Suara decakan terdengar bersamaan dengan siulan bambu yang mengudara.
Hentak langkah di tanah padat sekiranya menakuti para binatang sehingga mereka berlarian menjauhi sumber suara. Dedaunan masih kedinginan, embun-embun pagi menempel dengan setia sebelum pada akhirnya disusur oleh tiap sepatu yang menyenggol mereka, mengakibatkan bercak tanah basah menghias di antara kilapan bahan kulit.
Di paling belakang, Levin menghentikan langkahnya sejenak saat ia tak sengaja mendapati tupai di atas sebuah dahan pohon. Tupai itu mencoba memasukkan sebuah biji ek yang ukurannya melebihi lubang tempat tinggalnya sendiri. Beberapa saat ia mencoba mendorong, dan Levin masih memperhatikan, biji ek tersebut malah memantul jatuh mengenai ubun-ubun Lias.
"Aduh! Siapa ---"
"Bukan aku." Levin mengangkat tangan. Segera, ia memberi gestur menengadah. "Tupai itu yang menjatuhkannya."
Seolah mengerti, si Tupai yang tadinya meratapi perginya biji ek miliknya, kini langsung mengacir masuk ke dalam lubang pohon saat mendapat tatapan yang serempak.
"Bohong itu," tampik Patheln. Seringai muncul menghias di wajahnya. Aura-aura mengadu domba menyelimuti tatapannya yang terkesan licik. Patheln mengompori, "Mana mungkin seekor tupai melemparimu dengan biji ek, kawan? Tupai yang malang, malah jadi kambing hitam untuk Levin yang mau membuatmu amnesia dari adik sepupunya."
Namun, mau bagaimana pun Patheln mencoba menggodanya, alih-alih merasa geram, Lias malah terlihat kikuk. Diliriknya Levin dengan hati-hati. Sontak, hal tersebut sedikit-banyak membuat Levin mulai luluh untuk memberinya kelonggaran.
Dan untuk pertama kalinya Lias melihat Levin tersenyum ke arahnya.
"Kalian mau terus-terusan bercanda? Cepat bantu aku," tegur Gareth dengan kedua tangan yang sibuk mengarit rerumputan. Ia memisahkan yang kuning dan yang masih berwarna hijau di dua tempat berdekatan.
"Untuk apa kau membawa yang layu juga?" Lias segera berjongkok di sebelahnya, tetapi tak ayal ia mulai melakukan hal yang sama. Dengan gerakan yang ragu, Lias perlahan mengumpulkan segenggam demi segenggam rumput hijau segar.
"Yang layu bisa dijadikan pupuk. Atau dikeringkan menjadi kerajinan," jawab Gareth. Tatapannya terfokus pada apa yang tengah ia lakukan. Sesekali, ia berkedip. Bibirnya yang sedikit berwarna menggumamkan sesuatu sebelum ia berkata, "Terkadang, Kakak juga menggunakannya sebagai hiasan dinding."
"Mengapa?" Kini Levin yang bertanya. Ia sudah ikut melakukan hal yang serupa --- mengarit rumput bersama.
"Apa yang mengapa?" Gareth menoleh sekilas sebelum memberikan sebuah karung kepada Patheln, secara tidak langsung menyuruhnya untuk membantu memasukkan gundukan rerumputan itu.
"Mengapa daun-daun itu dijadikan hiasan dinding?"
Sekilas, Gareth mengernyit sebelum tersenyum miring. Masih pada pekerjaannya, ia berkata, "Semua orang punya sebuah kebiasaan yang unik. Kakakku, meskipun bukan orang, ia juga termasuk seperti mereka --- punya kebiasaan yang unik."
Sontak, kalimat tersebut membuat mereka langsung terdiam.
Belum sempat Patheln membuka suara, suara debum keras terdengar dari arah Selatan. Jauh di ujung sana, sebuah asap kelabu membumbung, menghias mega dan membuatnya seketika mendung di bawa hari yang cerah. Ramai hiruk-pikuk terdengar samar-samar dari arah tersebut tanpa perlu mereka menajamkan pendengaran dan memastikan --- bahwa itu adalah suara-suara jerit di tengah asa.
Cerulit tajam jatuh begitu saja di atas rerumputan yang sudah dipisahkan. Bahu Gareth merosot, sorotnya menampakkan binar tidak percaya sembari menangadah ke langit di hadapan mereka.
Jingga pergi diganti selimut kabut, memenuhi seisi langit yang dihias gemuruh serta kilapan cahaya menyambar. Burung-burung lepas dari kelompok terbangnya, pergi ke sembarang arah memberi kabar pada binatang lain untuk ikut terpontang-panting menjauh dari arah keluarnya bumbungan asap. Seketika, satu titik di belakang bukit nan tinggi itu, keluarlah kepul hitam pekat yang lama kelamaan menyatu dengan udara.
Levin tidak bisa menahan diri untuk bangkit dan segera berjalan cepat meninggalkan mereka. Kelebat wajah Olive bermunculan di benak si sepupu. Serta kalimat terakhir dari sang kakek yang berpesan, "Jagalah Olive, tempatkan dia sebagai prioritasmu." seketika membuat langkahnya semakin berderap laju.
Disusul oleh yang lain, tak kalah cemas Gareth mulai berlari. Pupilnya bergetar sembari ia menatap kosong jauh ke depan, berharap rumah kakaknya bisa berpindah ke hadapan mata di detik itu juga.
Sekali lagi, debum besar terdengar menggema dari arah Selatan. Keempat lelaki itu semakin mempercepat lari mereka di antara padang rumput yang lebat akan ilalang-ilalang tinggi dan belukar lebat, serta akar pohon menjuntai. Beberapa kali mereka menabrak dedaunan yang terlalu mengulukkan kepalanya, tetapi hal itu tidak berpengaruh sedikit pun bagi mereka untuk menurunkan kecepatan.
Begitu tiba, Gareth langsung membuka paksa pintu rumahnya. Ia sempat mematung sebentar ketika tahu bahwa tidak ada siapa-siapa yang ia dapati di ruang utama. Debar jantungnya menggedor-gedor rongga. Bibir Gareth berubah menjadi pucat.
"Ke mana mereka? Mengapa sepi?" tanya Lias di sela napasnya yang tak beraturan.
Bukannya menjawab, Gareth langsung masuk tanpa membuka alas kakinya. Ia mencari ke setiap sudut ruangan, bahkan sampai ke lantai dua. Namun, hasilnya nihil. Gareth kembali ke lantai utama saat Patheln baru sampai di rumahnya.
"Kalian --- hah --- lari cepat sekali ---"
Tanpa menghiraukan Patheln yang masih mengatur napas, Gareth melewat di hadapannya, berjalan ke arah belakang sofa yang tadinya ditiduri Cindy dan Olive. Perasaan begitu kuat menggerayangi kepala Gareth dengan tidak sabaran sama seperti langkah-langkah terentak itu setiap kali ia menuruni satu anak tangga.
Lias dan yang lain mengikuti sama gusarnya.
Debum besar yang katanya merupakan sebuah pertanda buruk kini mereka dengar sendiri. Rumor yang tersebar itu rupanya bukanlah kebohongan; bahwa letusan perang akan terjadi lagi, berulang tanpa bisa dihentikan.
Meski diliputi kekhawatiran akan dirinya sendiri, Levin tidak bisa melepaskan memori ketika sang kakek yang terus berputar di benaknya. Mengenai Olive, keselamatan Olive, dan hanya Olive.
Temaram undakan tangga itu seakan membawa ujung yang kerap kali menghilang ditelan gelap. Begitu panjang untuk mereka turuni, begitu lama waktu yang dihabiskan sampai keempat lelaki itu berlari.
Gareth dengan pikiran berkecamuk seketika merutuki diri karena lupa membawa kunci yang biasa digantung Fay di dekat undakan tangga paling atas. Kunci yang bisa membawa mereka menuju ruang bawah tanah tanpa harus disesatkan waktu.
Lengan yang membentang menghadang jalan dikira sebagai peringatan bahaya oleh Lias, sehingga ia segera menarik Levin sebelum sempat lelaki itu mendaratkan sebelah kakinya di atas undakan lain --- karena hanya Levin satu-satunya yang berada paling ujung, sehingga sekat lengan Gareth tidak mencakup ke arahnya.
"Dengar, kalian tunggu di sini. Aku akan naik ke atas lagi ---" Gareth menjeda kalimat dengan tarikan napas singkat, "--- untuk mengambil kunci. Agar kita lebih cepat sampai ke bawah sana."
Tidak ada satupun yang bertanya, sehingga Gareth pun meninggalkan mereka dalam temaram wajah satu sama lain. Langkah kakinya terdengar berderap menaiki tangga, menjauhi mereka.
"Sekarang bagaimana?" Patheln angkat suara. Diam-diam, ia melangkah mendekat dan menggeser posisinya menjadi berada di tengah-tengah. "Geser, biarkan aku di tengah."
Sontak, Lias berdecak, dan Levin menoyor kepala Patheln tanpa aba-aba sampai ia mengaduh.
"Kau tidak dengar?" sarkas Levin. "Gareth bilang, tunggu di sini. Kecuali kalau kau mau menghadapi sesuatu apa pun itu yang menunggu setiap kali kita menuruni anak tangga, silakan saja turun lebih dulu."
"Kak Levin juga mendengarnya?" Suara Lias serupa bisikan yang terkejut. "Geraman itu, kukira hanya imajinasiku saja."
"Geraman?" beo Patheln.
"Sepertinya bukan," Levin menggeleng. "Kalau kau mendengarkan lebih dalam, geraman itu diiringi suara cakar pada kayu yang berdecit. Kemungkinan ada sesuatu, atau apa pun itu, yang berjalan merayap di permukaan anak tangga."
"Apa, sih?!" bentak Patheln nyalang, suaranya gemetar diliputi ketakutan. "Sial!" Dengan kedua tangannya, ia menarik Levin dan Lias untuk lebih menempel padanya, lebih menutupi tubuhnya dari segala kemungkinan yang membahayakan. Terlebih lagi, remang bulu-bulu halus di sekitar tengkuk Patheln terlihat lebih jelas sekarang.
Levin berdecak sebal. "Kau ini kenapa?!"
Dibalut kericuhan tersendiri yang ditimbulkan temannya, perhatian Lias teralih pada sentuhan di jemari. Kian lantang isi pikiran lelaki berambut keperakan itu meneriakkan bahaya. Senjata yang ia gadang-gadang dari balik punggung untuk ditarik dan mengenai target apa pun itu di kegelapan sana, lenyap seketika begitu Lias merasakan kakinya digenggam sebuah lengan berukuran besar kepalang tanggung.
Teriakan serupa, Aaaa! menggema ke langit-langit ruangan, menyadarkan Levin dan Patheln dari perdebatan tidak bermutu. Semakin ribut Patheln menghindari sesuatu yang sama sekali tidak menjangkaunya. Punggungnya ia tempel-tempelkan pada Levin, kian menyeret kakak sepupu Olive itu untuk terhimpit antara badan si anak tetua desa dan tembok yang dingin, setelah menyadari bahwa Lias tidak lagi bersama mereka.
"Minggir, sial!" Muka Patheln didorong, tetapi ia tidak menggubrisnya --- tak peduli bibir monyong serta penyok menghias semakin buruk di atas ekspresi ketakutan yang terpampang jelas.
"Tidak!" tolak Patheln keras-keras. Lantang nadanya seolah mengisyaratkan pada setiap hantu di sana agar menjauh karena ia punya adrenalin yang lebih unggul. "Lias sudah digondol setan, aku tidak mau ikut dibawa juga!"
"Pengecut," cibir Levin. Sekali entak ia membebaskan dirinya dari himpitan Patheln, membiarkan si anak tetua desa membentur dinding dingin dengan badannya. "Kau laki-laki, bukan, sih? Lawan!"
Diselingi tangis, Patheln balas membentak, "Aku sedang tidak bisa menerima pendidikan militer sekarang!"
Sunyi tiba-tiba merayap masuk, di sebuah keheningan aneh tanpa ada satupun suara binatang kecil seperti sebelumnya. Rasa waspada meningkat di kedua manusia biasa yang tidak punya kekuatan magis apa pun.
Levin memberi kode agar Patheln tetap diam dan berhenti terisak, sementara ia mencari apa pun itu yang bisa dijadikan alat pertahanan diri di permukaan undakan tangga yang mereka pijak. Semakin menyusuri ke bagian sebelah kiri, secara perlahan, ujung jari telunjuk Levin menyentuh sebuah benda dingin.
Dengan hati-hati, ia menggenggamnya. Namun, tiba-tiba suara kikikan keluar.
Dari benda yang Levin pegang.
Sekuat tenaga Levin mencoba membogem apa pun itu di balik kegelapan sana. Remang pencahayaan tidak begitu bisa mencakup gambaran dari makhluk apa sebenarnya yang tengah ia cekal --- sampai akhirnya siluet besar berdiri, begitu membentang dari sisi ke sisi dan tingginya yang tidak cukup terlihat jika hanya dengan menengadah.
Kelopak mata yang besar menyala. Rentetan gigi menyeringai putih di sekitar bayangan. Bibir merah serta gema tawa keluar darinya, HIHIHIHIHI! yang membuat Levin teringat bagaimana cara Scooby-Doo cekikikan.
Patheln berteriak keras sekali, menusuk gendang telinga Levin sampai rasanya hampir pecah. Sampai ke sisi lain sebuah ruangan yang dikelilingi batu pualam pun tetap bisa Levin dengar bagaimana gema teriak temannya. Ia ditarik, sama seperti Lias, ke sebuah tempat yang tak dikenal --- terpisah dari yang lain.
Masih dengan ringisan dan telapak tangan yang menekan-nekan daun telinga, Levin berusaha sekuat tenaga untuk berdiri tegap setelah terbanting pada salah satu dinding pualam. Pandangannya sedikit memburam, menyambut penerangan yang kini jelas masuk ke netra.
"Keluar kau, sialan!"
Namun, tidak ada yang menyahut.
Bagai batas ambang antara kesadaran dan alam nyata, Levin dapat melihat salah satu sisi tembok yang kini menggelap. Sebuah gambar dari sosok yang familiar untuknya terpampang di sana, seketika merubuhkan indra perasa sampai Levin lupa akan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Seorang pria baya dengan keriput di sudut mata dan bibir karena kebanyakan tersenyum. Rambut keabu-abuan yang bukan karena dicat, melainkan hukum alam. Sorot sayu yang sekaligus lembut dari tatapannya, tetapi di saat yang bersamaan terkesan tegas.
Levin terperangah untuk sesaat, sebelum sudut matanya berair. Telapak tangan kanan diarahkan ke proyeksi tersebut, seolah bisa mengeluarkan sang kakek dari kukungan tak tertembus.
"Jaga Olive baik-baik. Jadilah kakak yang baik. Kau bisa melakukannya, Alevin."
Dalam satu kedipan, luruhlah air matanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top