9. Kejadian Di Rumah Sakit
♥️♥️♥️
Pekerjaan adalah dunia Arman, setelah peristiwa tiga tahun lalu bekerja merupakan cara yang efektif untuk melampiaskan emosi.
Setelah selesai menikmati makan malam buatan Bi Sumi favoritnya, nasi gurih dan ayam bumbu rujak beserta lalapan. Arman teringat janjinya pada diri sendiri, bersamaan saat Arman mengambil ponsel terdengar nada sambung.
Hati Arman merasa damai seketika mendengar lembutnya suara salam di ujung sambungan telepon.
"Wa'alaikumsalam. Jihan---," rasanya kelu lidah Arman, kepengen rasanya bisa menceritakan keresahan hatinya tapi sadar bahwa itu tidak mungkin dilakukannya. Arman tidak ingin menyakiti hati Jihan, mungkin nanti tapi yang jelas bukan sekarang saatnya bercerita.
"Gimana kalau pernihakan kita dipercepat saja?" Entah darimana tiba-tiba ide itu tercetus dari mulut Arman.
"Hah!" Suara wanita di ujung telepon tampak terkejut.
Arman bisa membayangkan ekspresi Jihan saat ini. Terkekeh Arman menimpali, "Abang cuma nggak sabar pengen sama kamu dan ... memeluk kamu sepanjang waktu."
"Abang, ish! Abang 'kan tahu kita nggak mungkin merevisi undangan dan yang lainnya. Persiapan kita sudah tujuh puluh persen," sahut Jihan cepat.
"Iya-iya maaf Sayang. Abang tahu," ujar Arman penuh sesal.
"Jangan lupa Abang, hari minggu besok kita fitting terakhir," suara Jihan mengingatkan dari seberang.
"Siap!" jawab Arman. Terdengar tawa Jihan di rungunya. Arman pun memutus sambungan teleponnya setelah sebelumnya mengingatkan Jihan agar segera istirahat.
Ditemani secangkir kopi hitam, Arman menghabiskan malamnya dengan setumpuk pekerjaan yang dibawanya pulang ke rumah.
Tanpa terasa waktu sudah lewat tengah malam. Bersandar di punggung ranjang, Arman memijit keningnya. Tubuh dan pikirannya terasa letih, dimatikannya laptop yang sejak tadi di pangkuan kemudian diletakkan di atas nakas. Berkas-berkas yang berserakan di tempat tidurnya, dirapikannya kembali.
Beranjak dari tempat tidurnya, meregangkan seluruh persendiaan dan lehernya yang terasa kaku. Dibukanya jendela kamar dan membiarkan udara malam menerpa dirinya. Diambilnya sebatang rokok dan disesapnya perlahan dan menghembuskannya.
Arman membutuhkan nikotin di saat seperti ini untuk menjaganya tetap waras dalam berpikir, hanya saat-saat tertentu saja dia merokok.
Semenjak dekat dengan Jihan, Arman memutuskan untuk berhenti meskipun belum bisa sepenuhnya. Arman sangat menghargai Jihan yang tidak suka dengan perokok, walaupun Jihan tidak pernah mengutarakan keberatannya secara langsung.
Memejamkan mata, pikiran Arman mengembara antara Jihan dan Sherly bergantian. Jihan yang lugu dan selalu tersenyum, selalu membuatnya nyaman dengan nasehatnya yang tidak menggurui. Membuat Arman kini lebih dekat dengan Tuhan-Nya.
Ketika dengan Sherly, dulu Arman merasa lebih hidup dan bergairah. Walau getaran perasaannya tidak sedalam dulu, tapi Arman yakin dengan keputusannya. Terlebih mengingat pengkhianatan Sherly selalu membuatnya muak.
****
Hari ini, Arman sengaja berangkat agak siang ke kantor. Pagi tadi Arman menelpon sekretarisnya, bahwa dia mau menjenguk temannya di rumah sakit. Dirga mengalami kecelakaan sehingga harus dirawat.
Dua hari yang lalu, Arif dan Rifky bergantian memberi kabar tentang keadaan Dirga pada Arman. Hanya saja, baru hari ini Arman bisa menjenguk.
Ketika Arman sedang berdiri di depan resepsionis untuk menanyakan dimana ruang perawatan Dirga, rungunya mendengar suara wanita yang sedang panik. Refleks Arman menoleh ke arah sumber suara tersebut.
Tampak wanita yang dikenalnya berlari kecil sambil terisak, memanggil-manggil nama anaknya. Sedangkan di sampingnya seorang laki-laki menggendong bocah laki-laki yang tampak tidak berdaya.
"Tolooong! Tolong anak saya," teriak wanita berambut sebahu itu dengan panik. Tak lama beberapa orang perawat menyambut dan meletakkan bocah kecil itu di atas brankar dan mendorongnya menuju unit gawat darurat. Tampak kedua orang dewasa berjalan bersisian mengikutinya.
Arman terkejut dibuatnya, tanpa disadari langkah kakinya bergerak mengikuti dari kejauhan. Arman melihat dari ujung ruangan, bocah laki-laki itu sedang ditangani oleh beberapa orang tenaga medis dan Sherly menangis tersedu di pelukan laki-laki berkacamata dengan rambut dicepol ala man bun.
Tanpa sadar rahangnya mengetat, merasakan gemuruh di dadanya. Bagaimana seorang Sherly berhubungan dengan laki-laki dari wedding organizer itu, Virdiano.
Terpaku di tempatnya, lamat-lamat Arman mendengar suara dari seorang perawat. "Bapak, Ibu, maaf ... sebaiknya anaknya didaftarkan dulu, karena akan segera dipindah ke ruang perawatan."
Tampak Virdiano mengusap perlahan bahu Sherly. Setelah Sherly bisa menguasai dirinya, Virdiano melangkah keluar ruangan.
Arman yang sejak tadi terpekur melihat pemandangan di depannya, beranjak pergi dengan linglung.
Arman membuka ruangan rawat inap Dirga dengan perlahan, tampak Dirga menoleh dan tersenyum lebar melihat siapa yang datang. Masih dengan meringis kesakitan Dirga menyapa sahabatnya.
"Bro, akhirnya lo nongol juga. Eh, kenapa itu wajah ketekuk 'gitu?" berondong Dirga heran melihat wajah Arman yang suntuk.
"Eh, ng—nggak kok." tergagap Arman menjawab pertanyaan Dirga sambil menggeleng. Setelah menimbang sesaat akhirnya Arman menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi dan pertemuan sebelumnya dengan Sherly.
Dirga tampak terkejut mendengar penuturan Arman karena dia salah satu orang yang mengetahui dengan jelas hubungan Arman dan Sherly, betapa mereka berdua dulu saling memuja dan mencintai satu sama lain.
"Lo baiknya tenangin diri dulu. Lepasin apapun masa lalu lo dengan Sherly. Kasian Jihan, dia masa depan lo sekarang. Gue tahu masih ada Sherly di hati lo yang paling dalem. Ini nggak adil untuk calon istri lo. Lo laki-laki harus bijak bersikap. Lagian terbukti Sherly berkhianat dengan adanya anak itu." Arman manggut-manggut dan berusaha meresapi kebenaran perkataan Dirga.
Arman tahu sahabatnya sedang serius menasehatinya, walapun lebih sering bersikap menyebalkan.
Lima belas menit kemudian Arman pamit karena harus kembali ke kantor. Arman menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah tergesa, tiba-tiba dia bertabrakan dengan seseorang yang muncul dari belokan.
" Maaf."
Arman mendongak suara permintaan maaf setelah mengambil ponselnya yang sempat terjatuh ketika bertabrakan tadi. Terkesiap sejenak melihat laki-laki berkacamata dengan rambut dicepol ala man bun yang berdiri di hadapannya.
"Mas Arman, apa kabar? Tidak disangka ketemu disini ya. Maaf saya tadi terburu-buru." ujar Virdi tulus sambil tersenyum.
"It's okay ... nggak papa Mas." Arman tersenyum kaku. Ketika Arman hendak beranjak pergi, tergopoh-gopoh seorang wanita memanggil.
" Mas! Mas Virdi."
Mata Arman melebar melihat siapa yang datang. Sherly pun tak kalah terkejutnya melihat Arman di hadapannya. Bergerak kikuk, Sherly berusaha mengabaikan Arman dan berkata lirih kepada Virdiano.
"Mas Virdi kok lama sekali ambil obatnya, Sherly nyariin muter-muter ke apotik ternyata ga ada."
Mendengar hal itu, Virdiano segera menggandeng Sherly pergi setelah berpamitan pada Arman. Sherly mengikuti langkah Virdiano sambil menoleh pada Arman dengan tatapan penuh arti sekaligus rasa bersalah, saat bersamaan pandangan tajam Arman juga tertuju padanya.
Mendengkus kasar, Arman beranjak pergi ke arah yang berlawanan dengan tangan yang terkepal.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top