5. Kejutan
Dentum suara musik berpadu lampu warna-warni yang berpendar memenuhi ruangan. Asap rokok berbaur dengan aroma alkohol. Gelak tawa terdengar diantara tiga orang pria yang duduk di sofa. Tampak dua orang pria digelayuti dua orang wanita berpakaian seksi, sedangkan salah satu pria itu duduk sendirian di sofa seberang. Salah satu di antara mereka melambaikan tangan ketika melihat seseorang yang datang.
"Bro," sapa Arman kepada tiga lelaki yang duduk di sofa.
"Wah, lihat siapa yang baru nongol. Kemana aja lo?" sapa Dirga dengan nafas berat karena pengaruh alkohol yang mulai terasa.
"Sibuk, kerjaan numpuk," jawab Arman sembari mengenyakkan tubuhnya di salah satu sofa yang kosong. Tangannya terulur mengambil benda kotak di saku, dikeluarkannya salah satu isinya. Seraya menghidupkan pemantik, dihisap dan dihembuskannya secara perlahan melalui hidung.
Malam ini Arman merasa butuh pelepasan, berhari-hari lembur urusan pekerjaan ditambah rencana pernikahannya membuatnya sangat penat. Tiba-tiba ada pesan dari Dirga mengajaknya berkumpul bersama Arif dan Rifky. Tanpa berpikir dua kali Arman menuju ke tempat biasa mereka kumpul bareng.
Dirga adalah sahabat Arman semasa kuliah di Jakarta, yang lebih dulu menetap di Jogja. Sedangkan Arif dan Rifky adalah teman sekantor Dirga, Arman sudah beberapa kali berkumpul bersama mereka. Semenjak Arman dekat dengan Jihan, dia berusaha menghindari kehidupan malam.
"Bro, seminggu yang lalu gue lihat Sherly jalan di mall. Lo udah ketemu ma dia?" tanya Dirga. Arman menoleh ke arah Dirga, terkejut oleh ucapan sahabatnya, ia terdiam sesaat berfikir tentang informasi yang baru didengarnya. "Yakin, lo nggak salah orang?" tukas Arman.
Dirga menggeleng cepat sambil terkekeh. "Ya, nggaklah. Gue yakin seratus persen itu Sherly. Tambah cantik dia."
Waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB saat Arman memarkirkan mobilnya di depan rumah. Ketika Arman memasuki rumah, suasana sepi. Bi Sumi pasti sudah terlelap. Gegas Arman menuju kamarnya, ruangan beraroma maskulin yang sangat kental dengan dominasi hitam.
Pakaiannya sudah tak beraturan lagi, kemeja yang sebagian sudah keluar dari celana dan rambutnya pun kusut masai. Arman pun segera merebahkan tubuhnya, tanpa berganti pakaian lagi. Matanya terpejam. Pikirannya menerawang jauh saat tiga tahun silam, kepalanya berdenyut seiring rasa sesak memenuhi rongga dadanya.
****
Alarm di ponsel Jihan berbunyi, waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB. Jihan menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, terduduk diatas ranjang sejenak kemudian beranjak menuju kamar mandi.
Gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi, Jihan pun keluar tak lama kemudian. Berjalan menuju nakas, Jihan mengambil mukena yang terletak di atasnya.
Sujud di sepertiga malam adalah waktu yang selalu dirindukan Jihan, dimana dirinya hanyut dalam kerinduan seorang hamba kepada Tuhan.
"Ya Allah, mudahkanlah dan lancarkanlah urusan hamba dalam memenuhi sunah Rasul-Mu. Jangan biarkan keraguan tumbuh dalam hatiku. Mantapkanlah hatiku untuk menjalankan ibadah-Mu kelak. Amin," lirih Jihan. Tanpa dia sadari sudut matanya menjadi basah.
Jihan merasa ada yang salah dengan dirinya akhir-akhir ini. Baru beberapa hari yang lalu Jihan merasa terbang melayang atas sikap manis Arman, tetapi entah kenapa di sudut hatinya Jihan merasa ada yang salah. Dia sendiri bingung menghadapi ini, padahal sikap Arman tidak ada yang berubah.
Jihan menguatkan hatinya dan beristighfar. Menghela napas panjang, Jihan membuka Al-Qur'an dan membaca tilawah sambil menunggu waktu subuh. Jihan selalu merasakan ketenangan hati setelah dia membaca Al-Qur'an.
Setelah menunaikan salat Subuh, Jihan segera melipat mukena dan meletakkan kembali di atas nakas.
****
Jihan keluar kamar menuju dapur, dilihatnya Ayumi ternyata sudah ada disana. Segera diciumnya pipi Ayumi sekilas, "Pagi, Bundaku yang cantiiik."
"Pagi, Sayang. Semangat sekali sepertinya anak Bunda," tutur Ayumi sambil tersenyum melihat keceriaan anaknya.
"Sudah, Bun, biar Jihan aja yang masak. Sana, gih, Bunda urusin Ayah aja." Jihan segera mengambil alih pisau yang dipegang Ayumi.
"Biarin aja Ayahmu itu lagi sibuk sama burungnya. Lagian tumben kamu semangat sekali pagi-pagi sudah di dapur. Ada angin apa, nih?" telisik Ayumi.
"Ish, Bunda ... sekali-sekali Jihan pengen bikin sarapan Bun. Sekalian Jihan mau bikin bekal buat Bang Arman." Jihan berkata lirih, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Cie-cie ... anak bunda yang lagi kasmaran," goda Ayumi sambil terkekeh dan mencolek dagu putrinya. Ayumi senang sekali menggoda Jihan yang tersipu malu.
"Ya sudah, masakin yang enak buat calon mantu Bunda. Tunjukin kalo anak bunda jago di dapur." Ayumi menepuk punggung Jihan, kemudian berlalu dari dapur hendak mencari Heru.
Dengan cekatan Jihan meracik aneka bahan dan bumbu yang ada di hadapannya. Tidak lama sudah siap dua kotak bekal yang berisi nasi, sayur capcay dan ayam goreng lengkuas beserta sambal sudah dihias dengan cantik. Tidak lupa Jihan menyertakan puding oreo coklat bikinannya dan Bunda tadi malam.
Setelah selesai urusan dapur, Jihan bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Dilihatnya Heru dan Ayumi sudah menunggu di meja makan. Heru yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya melambaikan tangan memanggil Jihan untuk begabung.
Jihan menuju ruang makan dan menikmati sarapan bersama orangtuanya sambil bertukar cerita. Sengaja Jihan hanya memakan setangkup roti yang diisi selai kacang dan segelas wedang uwuh favoritnya, karena Jihan sudah menyiapkan bekal untuk dibawa ke kantor.
"Jihan berangkat dulu, Yah, Bun. Assalamualaikum." Jihan mencium punggung tangan kedua orangtuanya secara bergantian.
"Waalaikumsalam." Heru dan Ayumi menjawab hampir bersamaan. "Hati-hati, ya, Nduk," kata Heru.
"Iya, Yah. Insyaallah Jihan hati-hati nyetirnya." tutur Jihan sambil tersenyum kepada Heru.
****
Setiba di kantor, Jihan langsung menuju ke ruangan Arman. Dalam ruangan masih terlihat sepi karena jam masuk kantor masih 15 menit lagi, Jihan pun mengetuk pintu terlebih dulu, dibukanya pintu ruang kerja Arman secara perlahan.
Tampak ruangan masih sepi, Jihan pun masuk dan meletakkan bekal yang dibuatnya tadi pagi di atas meja kerja Arman. Dengan langkah ringan dan bibir terkulum, Jihan keluar dari ruang kerja Arman. Jihan berharap Arman menyukai masakannya.
Ting.
Bunyi notifikasi ponsel terdengar. Jihan yang sedang fokus mengerjakan laporan keuangan sambil menatap layar di depannya menoleh ke arah sumber suara. Segera diraihnya ponsel yang terletak di atas meja. Melihat siapa pengirimnya, Jihan tersenyum dan segera membuka pesan yang masuk.
[l love it. Makasih cinta. Kok tau, sih, kalau Abang pagi ini belum sarapan.]
Tampak gambar bekal yang dibuatnya tadi pagi sudah ludes tak bersisa. Senyum Jihan terkembang sempurna mengetahui Arman menyukai bekal buatannya.
[Alhamdulillah. Insyaallah Jihan buatin lagi yang spesial buat Abang. Met kerja, ya, Bang ....]
[Oke. Maaf, nanti siang Abang nggak bisa temenin makan siang ada janjian sama klien diluar.]
[Nggak apa Bang, lagian Jihan bawa bekal. Jihan makan siang di kantor aja.]
Dengan hati yang berbunga-bunga Jihan melanjutkan kembali pekerjaannya.
****
Hari ini, suasana hati Arman melambung tinggi. Setelah mendapat kejutan dari Jihan tadi pagi, Arman bersemangat sekali menyelesaikan pekerjaannya. Sesekali bibirnya tersungging mengingat Jihan dan pesan yang tertulis di atas kotak bekal warna biru.
Terima kasih telah hadir dalam hidup Jihan dan membuatnya berwarna. Love You, Bang.
Pertama kali, semenjak Arman mengenal Jihan, gadis itu menyampaikan perasaannya. Sungguh kejutan yang menyenangkan.
Waktu di pergelangan tangan Arman sudah menunjukkan pukul 11.15. Arman segera membereskan berkas-berkas yang berserakan di hadapannya. Teringat janjinya dengan klien pada jam makan siang, Arman mematikan laptopnya.
Setelah memastikan berkas-berkas yang harus dibawa. Arman segera beranjak dari tempat duduknya dan bergegas keluar kantor.
Tempat pertemuan kali ini di sebuah kafe di jalan Palagan Tentara Pelajar. Sebuah kafe unik berbentuk mezzazine berkonsep glass house satu-satunya di Kota Jogja.
Sapaan selamat datang menyapa Arman ketika masuk ke dalam kafe. Menanyakan pesanan atas nama Pak Andre, Arman diantarkan ke tempat duduk yang terletak di sebelah kanan kafe.
Tampak Andre sudah duduk menunggu ditemani secangkir kopi dan kudapan. Melihat Arman datang, Andre melambaikan tangan dan mengajak Arman bergabung.
"Selamat siang Pak Andre, maaf saya terlambat." Arman membalas jabat tangan Andre.
"Nggak masalah Mas Arman, saya aja yang datangnya terlalu awal. Kebetulan tadi ada urusan sebelumnya dan selesai lebih awal, jadi saya langsung kemari. Dan tolong jangan panggil saya, Pak, cukup Andre saja. Sepertinya usia kita nggak jauh berbeda," tutur Andre.
"Hmmm, oke, Andre. Kalau 'gitu panggil saya Arman aja." Arman menatap Andre seraya tersenyum.
Setelah memesan minuman dan makanan, keduanya berbincang ringan saling menceritakan latar belakang masing-masing. Usia yang tidak jauh berbeda membuat Arman dan Andre tidak canggung dalam obrolan.
Ketika Arman sedang menjelaskan tentang rencana proyek yang akan bekerjasama dengan perusahaan Andre, tiba-tiba ada suara seorang wanita menyela.
"Maaf Pak Andre, kalau saya terlalu lama di toilet."
" It's okay, Sherly. Kenalkan ini Arman. Arman ... ini Sherly, sekretaris saya." Andre memperkenalkan Arman dan sekretarisnya.
Keduanya pun bertemu pandang. Arman terlihat syok melihat wanita yang dihadapannya. Wanita di hadapannya juga tak kalah kagetnya, tapi dengan cepat tersenyum menyembunyikan keterkejutannya.
"Selamat siang Pak Arman. Salam kenal, saya Sherly," sambil tersenyum Sherly mengulurkan tangannya ke arah Arman.
"I—iya. Salam kenal juga." Arman terlihat canggung, kemudian tersenyum kaku menerima uluran tangan wanita di hadapannya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top