23. Salah Paham
Jihan masih bergelung dalam selimut, matanya bengkak habis menangis semalaman. Sampai akhirnya dia tertidur kelelahan. Setelah melaksanakan salat Subuh, Jihan memutuskan masuk kembali dalam selimut.
Sejak tadi ponselnya meraung, tapi sengaja diabaikannya. Tak lama terdengar notifikasi masuk. Jihan harus berjuang melawan antara gengsi dan keinginan untuk membuka pesan di ponselnya. Tapi, akhirnya dia menyerah dengan rasa penasaran. Jihan meraih ponsel yang sejak semalam berada di sampingnya dan membuka pesan di dalamnya.
[Maaf Sayang, kemarin Mas lupa ngabari sampai tidak sadar ponsel mati.]
[Baru bisa nge-cas di hotel. Eh, malah ketiduran.]
[Insyaallah pagi ini Mas pulang.]
Jihan berdecak membaca pesan dari Virdiano. Tak lama terdengar panggilan masuk. Dengan malas, Jihan menggeser ikon ke kanan.
"Maaf, Sayang!" terdengar suara Virdiano di seberang, "Tunggu ya, Insyaallah sebelum siang Mas sudah sampai Jogja."
"Iya!" ketus Jihan.
"Duh, ngambek ya! Iya, maaf tentang kemarin. Nanti sampai rumah, boleh kok pukul Mas. Cium apalagi," goda Virdiano.
Jihan terdiam, hatinya masih terasa sakit. Sejak tadi, Jihan menahan diri untuk tidak melampiaskan emosinya. Bagaimana Virdiano tega melakukan itu dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Isak lolos dari bibirnya, Jihan berusaha membekap mulutnya agar suara tangisnya tidak terdengar.
"Sudah, dong, jangan nangis. Masak kangen suami sampai segitunya!" Virdiano masih berusaha merayu Jihan.
Jihan yang tidak kuat menahan emosi, langsung mematikan panggilan. Tangisnya kembali pecah bahkan lebih hebat. Ingatannya melayang pada pesan dari nomor tak dikenal yang mengirim gambar-gambar Virdiano dengan seorang perempuan, yang dikenalinya itu adalah Tya.
Tampak Tya lagi tersenyum manis dan mengusap mulut Virdiano yang sedang makan. Dan beberapa foto suaminya dan Tya berjalan masuk ke dalam hotel dan sedang check in. Masih banyak foto-foto lain yang menunjukkan kedekatan mereka.
Tok. Tok. Tok.
Terdengar ketukan di pintu dan tak lama langsung terbuka. Kening Ayumi berkerut, berjalan mendekat dan duduk di atas ranjang. Jihan masih di dalam selimut dan membelakangi dirinya.
"Apa kamu sakit?" Ayumi mengulurkan tangannya meraba kening Jihan dari belakang. Jihan hanya menggeleng tanpa memalingkan wajah.
"Enggak, kok, Bun. Jihan hanya pusing sedikit mungkin efek dari telat tidur," Jihan berusaha berkilah.
"Ya, sudah, lebih baik kamu istirahat. Nanti Bunda bawakan sarapannya ke sini," tukas Ayumi. Tak lama terdengar suara langkah kaki menjauh dan pintu ditutup.
Jihan tidak ingin Heru dan Ayumi tahu masalah ini, dia ingin menyimpan dan menyelesaikan sendiri masalah rumah tangganya. Mereka pasti akan sangat murka pada Virdiano.
****
Sebelum pulang ke Jogja, Virdiano memastikan segala persiapan pernikahan sesuai dengan permintaan klien. Setelah dari pihak pengantin datang mengecek, mereka merasa puas dengan hasil yang diberikan melebihi ekspektasi mereka.
Virdiano selalu memberikan yang terbaik kepada klien, bahkan melebihi perkiraan mereka. Sebab itulah Best Wedding Organizer tambah besar, akibat dari promosi mulut ke mulut. Banyak sekali pelanggan loyal dan merekomendasikan Best Wedding Organizer kepada keluarga maupun kolega mereka.
Virdiano memasuki kediaman Jihan sebelum siang, tepat sesuai janjinya. Setelah mengucap salam dan mencium punggung tangan Heru dan Ayumi, Virdiano bergegas menuju kamar Jihan. Setelah diberi tahu Ayumi bahwa Jihan sedang tidak enak badan.
Virdiano langsung membuka pintu, menemukan Jihan yang sedang berdiri di depan cermin. Wajah Jihan terlihat pucat.
Virdiano langsung memeluk Jihan dari belakang, membenamkan dagunya di ceruk leher Jihan, menghirup perlahan aroma mawar istrinya yang sangat dirindukan.
"Mas!" lirih Jihan, sambil berusaha melepaskan diri dari belitan tangan Virdiano.
"Ssshhh .... Tolong diam sebentar saja. Mas kangen," desis Virdiano di telinga Jihan. Jihan mematung, menikmati pelukan Virdiano yang erat dan membuatnya nyaman.
Virdiano memutar tubuh Jihan, mengecupnya perlahan dan dalam, kemudian melepasnya. Kening mereka bertaut dan saling terpejam.
"Maaf ...," lirih Virdiano. Jihan tersenyum tipis menatap wajah Virdiano. Gurat kelelahan tampak di wajahnya.
"Pulang, yuk!" ajak Virdiano seraya mengerling, "Kita lanjutkan di rumah." Wajah Jihan langsung memerah, entah kenapa emosi yang dari tadi mengumpul sirna tak berbekas.
****
Jihan lebih banyak diam sepanjang perjalanan ke rumah mereka, mendengar kan Virdiano yang banyak bercerita.
Virdiano menceritakan bahwa dia bertemu Cokro-teman almarhum ayahnya- di Semarang. Virdi menceritakan, bahwa selama ini dia dan ibunya salah paham terhadap Prabu. Selama ini Prabu dijebak sampai menikah dengan Lia.
Virdiano menyimpan sendiri cerita tentang dendam Meilina dan Lia padanya. Virdiano tidak ingin membuat Jihan khawatir ditambah belum saatnya Jihan mengetahui HAFA Group dan segala intrik di dalamnya. Virdiano ingin menyelesaikan sendiri terlebih dahulu. Mungkin nanti bila saatnya tepat dia akan cerita.
"Jadi, Mas Virdi punya adik perempuan?" tanya Jihan. Virdiano hanya mengangguk kecil.
"Apa Mas Virdi tidak ingin bertemu dengan adik Mas dan Ibunya?" selidik Jihan sambil memperhatikan Virdiano yang tengah fokus menyetir.
"Nggak, Jihan. Justru mereka yang enggan bertemu aku," jawab Virdiano tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
Jihan berusaha memahami ketidaksukaan Virdiano tentang keberadaan saudara dan ibu tirinya, dan tidak bertanya labih lanjut.
"Mas---" pertanyaan Jihan terputus ketika mobil Virdiano sudah masuk ke halaman rumah mereka. Jihan bermaksud bertanya tentang foto-foto kemarin, menyimpan dalam hati Jihan bermaksud menanyakan nanti perihal itu pada Virdiano.
"Kita lanjut nanti, ya, Sayang. Ngobrolnya." Virdiano langsung turun dari mobil dan memutar membuka pintu untuk Jihan. Kemudian menuju belakang mobil, membuka bagasi, mengeluarkan oleh-oleh khas Semarang dan bekal yang dibawakan Ayumi.
Ayumi membawakan banyak makanan karena tahu bahwa Jihan lagi nggak enak badan, dan berpesan agar Jihan beristirahat.
Virdiano menatap punggung Jihan yang sedang menghangatkan makanan. Seharian, Jihan tampak murung. Tadi sewaktu Virdiano menawarkan diri untuk menyiapkan makan malan, dengan tegas Jihan menolaknya. Jihan bilang bahwa itu sudah tugasnya sebagai istri.
Virdiano berpikir hal apa yang di sembunyikan istrinya, meskipun Jihan berusaha tersenyum dan bersikap seperti biasa.
Jihan meletakkan semur bola daging dan capcay goreng di atas meja makan. Tak lupa lumpia khas Semarang yang berukuran besar oleh-oleh Virdiano.
Virdiano menarik sebuah kursi dan menyuruh Jihan untuk duduk. Memberi isyarat pada Jihan untuk diam di tempat. Virdiano mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi berserta lauk pauk yang agak banyak.
Virdiano menyuruh Jihan untuk membuka mulut dan mulai menyuapi, kemudian menyuap untuk dirinya sendiri. "Rasulullah juga makan sepiring berdua dengan istrinya," tutur Virdiano sambil tersenyum hangat.
Menerima perlakuan manis dari Virdiano, sudut hati Jihan menghangat. Pandangan mereka bertaut, Jihan menemukan ketulusan di sana. Hatinya mulai bimbang, apakah benar Virdiano berselingkuh? Ataukah Virdiano begitu pandai bersandiwara?
"Mas Virdi---" Jihan menimang ponselnya sambil menatap Virdiano.
"Hmmm ...." Virdiano mendongak memperhatikan istrinya yang tampak ragu-ragu untuk bicara. Menepuk-nepuk sofa, memberi isyarat Jihan untuk duduk mendekat.
Jihan mengeyakkan tubuhnya di samping Virdiano. Jihan bingung akan memulai pembicaraan dari mana, akhirnya dia memilih menyodorkan ponselnya pada Virdiano.
Virdiano mengernyitkan dahi, menerima ponsel Jihan dengan pandangan bertanya. Tak lama, setelah melihat isi pesan di ponsel istrinya, rahangnya mengetat dan tangannya terkepal. Virdiano berpikir sudah waktunya dia bertindak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top