22. Masa Lalu Bapak

Pagi tadi, Virdiano mengantar Jihan ke rumah Heru dan Ayumi. Setelah menitipkan Jihan pada orang tuanya, Virdiano langsung memacu kendaraannya ke arah Semarang.

Virdiano memilih jalur melewati Kota Magelang trus naik ke Bawen, tidak sampai tiga jam Virdiano sudah memasuki Kota Semarang.

Virdiano mengamati ponselnya, mengikuti petunjuk arah melalui sebuah aplikasi di ponselnya. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Virdiano memaauki sebuah kompleh perumaham elit di tengah kota

Virdiano memasuki halaman yang cukup luas. Sebuah rumah putih dua lantai berada di dalamnya. Setelah menjelaskan keperluannya pada penjaga rumah, Virdiano di antar oleh pelayan menuju samping rumah.

Tampak seorang Bapak dengan rambut memutih, duduk santai di tepi kolam renang. Bapak itu mendongak ketika mengetahui ada yang berjalan mendekat ke arahnya.

Matanya memicing, menatap lekat ke arah Virdiano kemudian terkekeh. "Benar-benar mirip Prabu muda. Kamu pasti Virdi. Duduklah!" tukas Cokro sambil menunjuk kursi yang kosong pada Virdiano.

Virdiano duduk dengan sedikit canggung. Baru kali ini Virdi bertemu langsung dengan Cokro. Setiap rapat pemegang saham, Cokro selalu absen dengan alasan kesehatan.

"Tujuan saya ke sini---" Belum sempat Virdiano menjelaskan, Cokro menutup mulutnya dengan satu jari, memberi kode pada Virdiano untuk tidak melanjutkan bicara.

Tidak lama kemudian, datanglah seorang wanita paruh baya membawa dua cangkir teh dan kudapan. Dia meletakkan satu cangkir teh hangat di hadapan Cokro, mengecup singkat pipinya dan mengusapnya perlahan. Pandangannya beralih pada Virdiano dan tersenyum hangat.

"Maafkan Tante, Om ini sangat manja. Semua keperluannya harus Tante sendiri yang menyiapkan. Oya, panggil saja Dian," tuturnya sambil melirik ke arah Cokro. Cokro hanya tersenyum sekilas memdengar celotehan istrinya, pandangan tak lepas dari Virdiano.

"Saya Virdiano, Tante." Virdiano tersenyum pada perempuan cantik yang rambutnya sudah beruban.

"Iya, Tante tahu. Almarhum Mas Prabu sering cerita tentang Nak Virdi dan Indah. Sayang sekali, kita baru dipertemukan sekarang," tutur Dian.

"Jadi, Om, Tante tujuan saya ke sini---." Lagi-lagi omongan Virdiano terputus.

"Tante tinggal dulu, ya. Biar Nak Virdi dan Om bisa ngobrol yang enak." Dian beranjak dari duduk, mengusap lengan Cokro dan melangkah ke dalam rumah.

Cokro menyesap teh perlahan, menyandarkan punggungnya ke kursi seraya menatap lekat Virdiano. "Prabu sering sekali menceritakan tentang anak laki-lakinya. Betapa Prabu menyesali apa yang terjadi padamu dan Indah. Berulangkali dia ingin kembali pada kalian, tapi Lia tidak melepasnya. Lia selalu mengancam akan menghabisi kalian berdua."

Cokro terdiam sejenak, menghela napas perlahan. "Diam-diam Cokro menemui Om, mengajak kerjasama untuk mendirikan HAFA Group tanpa sepengetahuan Lia dan keluarganya. Seolah-olah Om menjadi pemilik HAFA, tapi sebenarnya dia yang berjuang dan bekerja siang malam di belakang layar. Cokro yang merintis hingga HAFA besar seperti ini. Kemudian, Om diberi kepemilikan saham sebesar tiga puluh persen karena bersedia membantu. Dia selalu bercerita bahwa kelak akan diwariskan untuk anak laki-lakinya."

Virdiano seperti tercubit mendengar penuturan Cokro. Lidahnya terasa kelu tak mampu berkata.

"Apa kamu tahu bahwa Prabu dijebak sama Lia? Sampai, akhirnya Lia hamil dan Prabu dipaksa menikahi Lia!" tutur Cokro, "Lia menaruh obat pada minuman Prabu, sehingga Lia hamil. Prabu tidak ingat pernah melakukan, tapi dia tidak bisa membuktikan."

Mata Virdiano membulat, dia tercengang mendengar fakta ini. Samar-samar, dia ingat waktu itu terjadi pertengkaran hebat antara Bapak dan Ibunya. Prabu bahkan sampai berlutut, minta maaf pada Dian. Tapi Dian sudah terlanjur sakit hati, tidak lama setelah itu Dian mengajak Virdiano untuk pergi dari rumah.

"Om, sudah tahu maksud tujuanmu kemari. Nggak usah khawatir, Om mendukung Nak Virdi seratus persen. Bahkan Om berniat mengembalikan saham yang tiga puluh persen itu. Sampai sekarang, Om selalu merasa itu bukan hak Om," tegas Cokro.

Virdiano menggeleng tegas. "Tidak, Om. Itu sepenuhnya hak Om Cokro. Justru saya yang berterima kasih, semua fakta telah terungkap. Selama ini, saya telah digelapkan oleh dendam pada Bapak."

Keluar dari kediaman Cokro, hati Virdiano terasa lapang.  Setelah berpamitan pada Cokro dan Dian, Virdiano berjanji akan berkunjung kembali mengajak Jihan.

Virdiano meraba dadanya. Dendam pada Prabu yang mengendap terhapus oleh kenyataan yang baru diperolehnya. Virdiano seketika teringat pada Ibunya,  dia sangat menyayangkan perjalanan cinta Prabu dan Indah berakhir tragis.

Virdiano fokus pada jalanan, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Setelah menjawab salam, Virdiano terdiam beberapa saat mendengarkan lawan bicara, kemudian berkata, "Saya segera ke sana."

Rencananya Virdiano hendak mempercepat kepulangannya ke Jogja, dia ingin sekali bertemu istrinya. Dia tidak menyangka pertemuan dengan Cokro lebih mudah dari bayangan, bahkan Virdiano menemukan fakta tentang masa lalu Prabu.

Virdiano memasuki gedung serbaguna milik pemerintah Kota Semarang yang terletak di Jalan Setiabudi, dengan tergesa. Dia langsung mendekati kerumunan orang yang beradu pendapat. Terjadi kesalahan pada vendor suplier bunga, bunga yang dipesan seharusnya hydrangea putih tetapi yang tersedia hydrangea biru.

Pihak pengantin yang sedang mengecek persiapan di gedung, sontak marah dan tidak terima. Mereka sudah mengingatkan jauh hari tentang spesifikasi bunga yang diminta, karena bunga hydrangea mempunyai makna penting bagi pengantin. Bunga Hydrangea atau Hortensia memiliki filosofi 'kau adalah detak jantungku'.

Pihak pengantin juga memprotes tentang gebyok dekorasi pelaminan tidak seperti yang mereka inginkan. Virdiano melirik Tya, matanya melebar, bagaimana mungkin Tya bisa melakukan kesalahan seperti ini?

Virdiano mencoba menengahi dengan meminta maaf dan menjanjikan akan memenuhi sesuai permintaan pihak pengantin. Virdiano segera menarik Tya dengan geram menuju mobil, begitu pihak pengantin pamit pulang. Tya menyeringai puas melihat tangannya ditarik Virdiano.

"Bagaimana mungkin kamu melakukan kesalahan seperti ini? Kamu itu bukan leader kemarin sore!" desis Virdiano, "Bagaimana mungkin kamu mempekerjakan suplier baru yang belum banyak pengalaman untuk acara pernikahan?" Tya hanya menunduk tanpa suara dan melihat sekilas Virdiano di balik kemudi.

Virdiano segera menghubungi beberapa suplier bunga kenalannya. Ternyata cuma ada satu suplier bunga  yang mempunyai stok Bunga Hydrangea putih, hanya saja mereka tidak bisa mengirim bunganya.  

Virdiano melarikan mobilnya ke pinggiran Kota Semarang, membutuhkan waktu sekitar satu jam menuju suplier bunga yang dimaksud. Setelah memastikan sendiri  dan membayar pesanannya, Virdiano mencari persewaan pickup untuk mengangkut bunga.

Virdiano menoleh ketika mendengar suara perut di sampingnya, Tya hanya nyengir sambil menatap Virdiano. Mendengus pelan Virdiano membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan Padang.

"Pesanlah dulu, saya mau ke toilet." Virdiano beranjak meninggalkan Tya yang sedang memilih lauk di etalase menuju kamar kecil.

"Cepatlah, kita tidak punya banyak waktu. Kita harus segera kembali ke gedung." Virdiano menarik sebuah kursi, dan mengenyakkan tubuhnya.

"Iya Mas Virdi. Ini sudah Tya pesankan makan sama minumnya sekalian." Tya mengulum bibirnya dan mengangsurkan satu porsi nasi padang lengkap dan segelas es jeruk di hadapan Virdiano. Virdiano mengambil dan mulai makan dalam diam.

Tiba-tiba sebuah tangan mengusap sudut bibir Virdiano dengan tisu, dengan cepat ditepisnya perlahan. "Maaf, saya bisa sendiri. Saya nggak mau ada yang salah paham tentang kita," tegas Virdiano.

"Iya Mas Virdi. Maaf. Tya refleks saja, lihat ada sisa makanan di sudut bibir Mas," lirih Tya. Virdiano hanya tersenyum datar menanggapinya.

Virdiano dan Tya segera kembali ke gedung, tempat berlangsungnya acara pernikahan. Virdiano memastikan sendiri semua berjalam sesuai harapan klien.

Vurdiano tidak menyadari waktu sudah larut, melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya ternyata menunjukan pukul 22.45 WIB. Pantas saja dia merasa sangat lelah.

Virdiano mendekati Tya dan kru yang sedang melepas lelah, menikmati teh kemasan dan gorengan. "Kalian malam ini menginap di mana? tanya Virdiano.

Tya menyebutkan salah satu hotel.

"Tolong pesankan satu kamar untuk saya!" tutur Virdiano pada Tya. Tya mengangguk dengan tegas, berusaha menyembunyikan kegembiraannya.

****

Sejak tadi Jihan didera rasa khawatir, karena Virdiano biasanya selalu menghubungi lebih dulu. Dari tadi Jihan menghubungi Virdiano lewat pesan tapi tidak terkirim, hanya centang satu. Telpon juga tidak dijawab.

Terdengar notifikasi ponsel, Jihan lamgsung terbangun dan mengambil ponsel di atas nakas samping tempat tidur. Berharap bahwa Virdiano menghubunginya.

Dengan tersenyum Jihan membuka ponsel di tangannya, terlihat nomer baru yang mengirim pesan. Begitu melihat isi pesan, sontak wajahnya berubah pias dan tanpa sadar ponsel dalam genggaman terlepas jatuh di ranjang.

Jihan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, bahunya bergetar tanpa suara.

****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top