21. Kencan
♥️♥️♥️
Andre mengetuk jari dengan gelisah, sudah lebih dari dua puluh menit tapi orang yang ditunggu tidak kunjung datang. Ketika hendak mengambil ponsel, terdengar seseorang menyapa.
"Maaf, terlambat. Saya harus ngantar istri saya ke rumah orangtuanya," tutur Virdiano sambil menjabat tangan Andre. Virdiano mengeyakkan pantatnya ke kursi.
Virdiano dan Andre berada di Ayara Coffee Shop yang terletak di Kotabaru, Jogja. Coffe shop dengan konsep klasik yang cukup nyaman, meskipun tempatnya agak tersembunyi.
Virdiano menyandarkan punggungnya ke kursi, tangannya bersedekap, dan matanya menyorot tajam ke arah Andre. "Jadi, bagaimana kondisi perusahaan sekarang?"
"Meilani dan ibunya mulai bergerak, mereka mempengaruhi para pemegang saham untuk melaksanakan rapat direksi. Para pemegang saham mempertanyakan kredibilitas anda sebagai CEO." tutur Andre dengan mimik serius.
Virdiano mengepalkan tangan, rahangnya mengetat. "Tapi selama ini perusahaan berjalan lancar, saya tidak pernah mengabaikan tanggung jawab."
"Para pemegang sahan menginginkan kehadiran Anda dalam memimpin perusahaan, tidak cuma di belakang layar." Andre mengamati pria berkacamata di depannya, berpikir dalam hati mengapa selama bertahun-tahun Virdiano tidak menampakkan jati dirinya. Padahal dia seorang pebisnis yang handal. Untuk operasional perusahaan lebih banyak dipegang Andre, sedangkan Virdiano lebih banyak menghabiskan waktunya untuk Best Wedding Organizer.
"Berapa persen saham yang sudah diambil wanita licik itu?" desis Virdiano, yang langsung memecah lamunan Andre.
"Sekitar tiga puluh persen, mereka berusaha mendekati Pak Cokro untuk mengambil sisanya," tegas Andre.
Virdiano menyesap kopi hitam miliknya, berpikir apakah sudah saatnya dia muncul? Kalau buka karena pesan mendiang Ibunya, Virdiano tidak mau mengurusi perusahaan milik Bapaknya.
Tidak lama setelah Prabu meninggal, tiba-tiba seorang pengacara datang memberitahu bahwa Bapaknya meninggalkan sebuah warisan.
Warisan yang dimaksud adalah kepemilikan saham lima puluh persen di HAFA Group, perusahaan yang dibangun Prabuseno dengan Cokro, temannya.
Probo bahkan menunjuk Virdiano sebagai CEO dari HAFA Group. Awalnya, Virdiano menolak keras tapi akhirnya di luluh karena Ibunya yang mendesak agar Virdiano menerima. Indah merasa bahwa itu adalah hak Virdiano.
Sejak itu, Virdiano secara resmi menjabat sebagai CEO di HAFA Group. Selama ini Virdiano mengelola perusahaannya di belakang layar, dia menyerahkan urusan operasional perusahaan pada Andre.
Virdiano tidak habis pikir kenapa Meilani dendam padanya. Meilani adalah anak perempuan Prabuseno dari pernikahan kedua. Setahu Virdiano, Meilani mewarisi perusahaan milik keluarganya.
Prabuseno dahulu mengelola perusahaan milik keluarga istrinya, kemudian Prabueno memutuskan mendirikan HAFA Group bersama Cokro.
Tapi rupanya, Meilani dan ibunya tidak terima dengan keputusan Prabuseno. Mereka menganggap Virdiano tidak berhak atas warisan itu.
"Jadi, kapan rapat pemegang saham?" tanya Virdiano.
"Satu minggu lagi, Pak." tukas Andre. Virdiano menghela napas panjang, memijit keningnya mendengar jawaban Andre. Sepertinya dia harus bergerak cepat untuk menemui seseorang.
"Lalu, bagaimana perkembangan proyek apartemen dengan Merapi Arsita Graha? tanya Virdiano. Andre mengambil sebundel berkas dan menyerahkan pada Virdiano.
"Berjalan lancar,Pak. Arman mengerjakan dengan sangat baik tawaran kerjasama kita. Awal bulan depan mulai dikerjakan. Untuk laporan dari Arman berikut data dari kita, sudah saya kirim ke email Pak Virza." Andre mengamati Virdiano yang meneiliti berkas yang dipegangnya.
"Oh, oke. Bagus sekali kerjamu. Trus bagaimana tugas tambahan dari saya?" Virdiano menatap lekat Andre dari balik kacamatanya.
"Seperti yang Pak Virdi duga, mereka akan menikah dua minggu lagi. Sherly bercerita bahwa mamanya Arman sudah menerima Alif sebagai cucu. Saya rasa nggak ada yang perlu Pak Virdi khawatirkan lagi." Andre bisa melihat seringai kepuasan di wajah Virdiano.
🍀🍀🍀
Jihan mematut dirinya di cermin. Tampak dalam pantulan, wanita yang sedang tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Mengenakan gamis berwarna hijau botol dengan hijab senada.
Virdiano tadi menelponnya, mengatakan akan pulang terlambat dan menyuruh Jihan bersiap-siap. Ketika Jihan mendesaknya, Virdiano mengatakan akan mengajaknya kencan.
Setelah mendengar kata kencan, seolah senyum tak bisa lepas dari bibirnya. Bagi Jihan, kalimat ini seakan mempunyai mantra sihir yang membuat hatinya berbunga.
Tak lama, terdengar deru suara kendaraan memasuki halaman. Jihan segera bangkit dari duduk, hendak membukakan pintu untuk Virdiano.
Pintu sudah terbuka bersamaan dengan suara salam, ketika Jihan hendak meraih pegangan pintu. Virdiano terkejut, seketika senyumnya terkembang mendapati wajah istrinya begitu cerah.
"Lho, kok, belum dijawab salamnya!" tegur Virdiano.
"Eh, iya, maaf Mas. Waalaikumsalam." Jihan tersenyum malu sambil menatap Virdiano.
"Gimana, sudah siap? Ayo, kita langsung berangkat?"
"Mas Virdi nggak mandi dulu atau makan? Biar Jihan siapin ," tanya Jihan.
Virdiano terkekeh, menyentil hidung Jihan dengan gemas."Kita 'kan mau kencan, nanti bisa makan di luar. Kebetulan, Mas tadi sudah mandi di kantor."
Jihan menelisik Virdiano yang terlihat segar, pakaian yang digunakan pun berbeda dengan tadi pagi. Harus Jihan akui, suaminya terlihat tampan malam ini.
Jihan terkikik ketika Virdiano mengulurkan tangannya dan segera disambut Jihan. Mereka bergandengan tangan menuju mobil.
"Jadi, kamu ingin kemana untuk kencan kita malam ini?" Virdiano menoleh ke samping, melihat Jihan yang asyik mengamati jalanan.
"Terserah Mas Virdi aja." Jihan mengendikkan bahunya dan kembali menatap arah jalanan.
Virdiano menggelengkan kepalanya, perempuan selalu sama, setiap ditanya pasti jawabannya terserah.
Jihan berseru girang ketika mobil Virdiano memasuki area Alun-alun Selatan, kalau di Jogja lebih dikenal dengan Alun-alun Kidul. Halaman belakang keraton Jogja ini sarat dengan cerita dan mitos.
Dalam tata arsitektur tradisional Jawa terdapat istilah Catur Gatra Tunggal, artinya empat elemen dalam satu kesatuan. Di Jogjakarta terdapat keraton, masjid, alun-alun dan pasar. Masing-masing sebagai tempat kekuasaan, ibadah, kegiatan rakyat dan ekonomi. Letak Keraton Joga berada dalam satu garis imajiner yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Keraton Jogja dan Pantai Parangtritis.
Begitu turun mobil, Jihan tampak antusias, pandangannya mengedar melihat suasana yang cukup ramai. Tampak aneka odong-odong berlampu berjajar, ada juga sepeda tandem.
Jihan langsung menggandeng lengan Virdiano, bergegas menuju tengah alun-alun dimana banyak kerumunan orang melakukan permainan masangin.
Masangin adalah singkatan dari masuk di antara dua beringin. Aturan mainnya sangat sederhana yaitu kita disuruh menutup mata dan berjalan lurus sekitar dua puluh meter dari depan Sasono Hinggil menuju ringin kurung (dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun.
Sepertinya itu mudah, tapi kenyataannya banyak sekali yang melenceng cukup jauh. Menurut mitos, hanya orang yang bersih hatinya yang mampu melakukan.
"Mas, ayo kita ikut juga. Sudah lama sekali, Jihan kepengen main masangin!" seru Jihan antusias, sambil menunjuk orang-orang yang sedang antri mau bermain masangin.
Virdiano bersyukur pilihannya ke tempat ini membuat Jihan antusias. Virdiano tertawa kecil, melihat sikap Jihan yang seperti anak kecil.
"Ayo Mas, kita sewa penutup mata dulu." Jihan menunjuk seorang Bapak tua yang menyewakan penutup mata. Jihan menyerahkan uang lima ribu rupiah kepada Bapak itu.
Virdiano segera membantu Jihan memakai penutup mata. Virdiano berteriak memberi aba-aba Jihan agar berjalan lurus ke depan.
Jihan membuka penutup matanya, Virdiano tersenyum kebar di hadapannya. Jihan menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian dia menjerit histeris sambil menutup mulutnya sendiri. Ternyata, Jihan berada tepat di tengah antara dua pohon beringin besar. Tanpa sadar, dia mengguncang lengan Virdiano.
"Aku berhasil Mas! Aku berhasil!" pekik Jihan.
Jihan meminta Virdiano untuk ikut mencoba permainan masangin, tapi Virdiano menolak. Setelah mengembalikan penutup mata yang disewa, Virdiano mengajak Jihan ke salah satu warung lesehan yang menjual jagung bakar dan wedang ronde.
Virdiano menatap istrinya yang tampak berbinar-binar malam ini. Mereka menikmati jagung bakar dan wedang ronde, duduk lesehan beralas tikar di sebuah warung tenda.
"Besok, aku harus pergi ke Semarang selama dua hari. Ada urusan pekerjaan," tutur Virdiano, "Besok aku antar ke rumah Bunda ya, biar kamu nggak kesepian."
Jihan mengerjap, kemudian mengangguk. Hatinya sedang bahagia malam ini, dia tidak mengira akan ada hal buruk yang terjadi.
🍀🍀🍀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top