17. Pria Masa Lalu (2)

Jihan melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 15.05 wib, artinya dia punya waktu kurang dari satu jam untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Ayumi tadi mengirim pesan akan datang ke rumah Jihan sekitar pukul empat sore.

Jihan memindai seluruh ruangan yang sudah tampak bersih dan rapi. Jihan mengusap peluh yang menetes di dahinya, dia merenggangkan otot tubuhnya yang terasa lelah.

Seharian Jihan cukup sibuk, mulai dari pagi Jihan sudah sibuk di dapur guna mempersiapkan hidangan spesial untuk menyambut orangtuanya. Kemudian dilanjutkan dengan membersihkan seluruh rumah. Virdiano tadi memaksa untuk membantu Jihan, dia membantu mencuci pakaian dan membersihkan halaman. Beruntung Virdiano termasuk laki-laki yang cakap dalam membantu pekerjaan rumah.

Jihan memutuskan tidak menggunakan asisten rumah tangga maupun jasa pembersih rumah seperti yang dilakukan selama ini oleh Virdiano. Dia merasa tidak kesulitan dalam mengurus rumah, toh dia sekarang juga tidak bekerja.

Akhirnya Jihan memutuskan membuat lumpia rebung dan puding black forest. Untuk hidangannya, Jihan memutuskan membuat opor ayam dan sambal goreng hati kesukaan Heru.

Jihan bergegas menuju kamar membawa setumpuk pakaian yang sudah di setrika. Dia memilah pakaian Virdiano dan pakaian miliknya sendiri, kemudian mulai memasukkan satu persatu ke dalam lemari. Ketika sedang menyusun pakaian milik Virdiano, Jihan tidak sengaja menjatuhkan sesuatu.

Jihan memungut sebuah gelang rajut dan sebuah foto. Gelang rajut berwarna merah muda berukuran kecil untuk anak-anak. Juga sebuah foto seorang anak laki-laki yang sedang tersenyum lebar dan diapit dua orang dewasa laki-laki dan perempuan yang mirip dengannya.

Jihan menduga bocah laki-laki dalam foto itu adalah Virdiano beserta kedua orangtuanya. Pandangan Jihan beralih menatap gelang yang sudah tampak pudar warnanya, dahinya mengernyit berusaha mengingat gelang  yang berada dalam genggamannya itu tampak tidak asing.

Tiba-tiba dering ponsel terdengar, Jihan memasukkan kembali gelang tersebut di bawah tumpukan baju-baju milik Virdiano. Jihan bergehas keluar kamar untuk mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja makan.

Jihan menerima panggilan telepon dari Virdiano yang menanyakan apa lagi yang harus dibeli barangkali Jihan memerlukan sesuatu. Jihan menjawab bahwa tidak ada lagi yang dibutuhkan dan berpesan agar Virdiano segera pulang. Virdiano tadi menawarkan diri untuk membelikan di supermarket ketika Jihan mengeluh bahwa dia lupa membeli buah-buahan dan camilan.

Setelah selesai menerima telepon dari Virdiano, Jihan bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri karena sebentar lagi Ayumi dan Heru akan datang. Tanpa sadar, Jihan melupakan ingatan tentang foto dan gelang yang tadi ditemukannya.

🍀🍀🍀

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Jihan tersenyum cerah menyambut kedatangan Ayumi dan Heru, dia meraih punggung tangan mereka dan menciumnya secara bergantian. Diikuti oleh Virdiano dan langsung mempersilakan masuk ke dalam rumah.

Jihan mengajak Ayumi dan Heru berkeliling, menunjukkan seluruh bagian rumah. Heru dan Ayumi tampak antusias melihat kediaman anak dan menantunya. Mereka mengangumi desain arsitektur dan interior rumah Virdiano, terutama Heru yang sangat mencintai budaya Jawa.

"Masya Allah, rumahmu apik tenan, Nduk. Kok bisa ya persis sama rumah impianmu yang sering kamu cerita sama ayah?" Heru menatap Jihan dengan wajah berbinar. Jihan hanya mengendikkan bahunya dan melirik ke arah Virdiano yang tersenyum penuh arti.

Kota Jogja sejak sore ini diguyur hujan deras, sehingga udara malam ini terasa dingin. Ayumi memilih beristirahat di kamar. Sedangkan Heru dan Virdiano masih asyik berbincang di teras belakang.

Jihan menuju dapur dan menyalakan kompor guna merebus air untuk menyeduh wedhang uwuh. Jihan berharap wedhang uwuh buatannya bisa membantu menghangatkan tubuh. Tidak lupa Jihan menggoreng lumpia rebung sebagai teman minum.

Jihan membawa dua cangkir wedhang uwuh yang masih mengepul dan sepiring lumpia rebung dengan cabai dan saos asam manis sebagai pelengkap. Ketika sudah mendekati teras, tertangkap suara Heru yang sedang bertanya pada Virdiano.

Jihan tidak bermaksud menguping pembicaraan, tapi entah kenapa langkahnya terhenti, hatinya terusik dan dia diam mendengarkan di balik pintu.

"Ayah betul-betul tidak menyangka, kalau kamu itu ternyata anaknya Prabu. Waktu itu, Ayah bertemu seorang teman lama yang menceritakan keadaan kalian. Ayah benar-benar tidak menyangka keputusan Prabu untuk memboyong keluarganya ke Jakarta berbuah petaka. Prabu tidak mau menemui ayah, bahkan langsung memutus kontak. Ayah langsung mencari kamu dan Indah begitu mendengar kabar itu, tapi ternyata rumah lama kalian sudah terjual. Berbulan-bulan ayah mencari keberadaan kalian tapi nihil," terdengar Heru menghela napas berat.

"Sudah cukup Yah, Virdi tidak mau mengingat lagi tentang orang itu. Bahkan dia telah meninggal bertahun lalu, tetap saja masih menyisakan kesakitan. Banyak sekali kepedihan yang terjadi, Ibu menderita hingga sakit-sakitan. Setahun sebelum Ibu meninggal minta untuk kembali ke Jogja, beliau ingin hari-hari terakhirnya dihabiskan di kota ini. Itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu," suara Virdiano terdengar memendam kesedihan sekaligus amarah.

"Walau sulit, lebih baik melepaskan masa lalu yang kelam dengan ikhlas, Allah pasti akan mengganti dengan bahagia." Heru tersenyum hangat ke arah Virdiano seraya memberi kekuatan.

Virdiano meresapi seluruh perkataan Heru dengan sungguh-sungguh, dia berjanji akan berusaha melepaskan dendam yang menjerat selama bertahun-tahun.

"Dulu waktu kami masih sama-sama tinggal di desa, ayah dan Prabu berjanji akan berjuang menjadi orang sukses. Bahkan kami berjanji apabila kami punya anak, akan kami jodohkan. Ternyata, janji itu di-ijabah Allah dengan cara tak terduga. Ayah benar-benar bersyukur. Kamu sama Jihan berjodoh." Terdengar Heru dan Virdiano terkekeh bersamaan.

"Maaf, Yah, Mas Virdi, tadi Jihan nggak sengaja mendengar pembicaraan Ayah dan Mas Virdi." Jihan meletakkan nampan berisi wedhang uwuh dan lumpia rebung di atas meja, sambil melirik penuh rasa takut ke arah Heru dan Virdiano bergantian.

"Ya Allah, nggak papa, Nduk. Toh nanti kamu juga bakal tahu cerita ini. Biar Virdiano sendiri yang cerita ke kamu." Heru mengulum senyum, melambai menyuruh Jihan duduk di sampingnya.

🍀🍀🍀

Jihan dan Virdiano duduk bersandar di atas ranjang mereka. Suasana canggung melingkupi mereka berdua. Heru tadi pamit istirahat setelah merasa badannya menggigil menahan udara malam ini yang cukup dingin efek hujan seharian.

Jihan melirik ke arah Virdiano yang terdiam seperti menahan beban di dada. Ingin rasanya Jihan memberikan penghiburan untuk suaminya tapi dia bingung harus bersikap seperti apa. Setiap kali berdekatan dengan Virdiano, jantungnya seperti tidak tahu malu.

Berhari-hari Virdiano berjuang menahan diri berada dekat dengan istrinya, dia tidak ingin memaksa Jihan. Virdiano ingin mengambil hati istrinya secara perlahan.

Setelah mendengar penuturan Heru, Jihan berusaha mengingat kenangan masa kecilnya. "Jadi, dulu Ayah sama Bunda sering berkunjung ke rumah sahabatnya yang mempunyai seorang anak laki-laki itu adalah Mas Virdi?"

Virdiano hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dia mengulum senyum melihat Jihan yang tampak salah tingkah, istrinya tampak begitu cantik malam ini. Rambut panjangnya tergerai indah, harumnya menguar berpadu dengan aroma mawar dari tubuh Jihan.

"Jihan dulu sering merengek minta bertemu kakak ganteng sama Ayah tapi Ayah bilang kakak ganteng sudah pergi." Jihan tersenyum sendiri mengingat masa kecilnya, waktu itu dia masih berusia lima tahun sering diajak Ayah dan Bunda mengunjungi sahabatnya. Jihan kecil yang selalu menempel pada Ayumi kemanapun, akhirnya mau ikut bermain setelah diajak bermain seorang anak laki-laki yang berusia lima tahun di atasnya.

Anak laki-laki itu sangat ramah dan baik hati bahkan memberikan kue dan permen yang banyak hingga membuat Jihan senang. Sejak itu dia memanggil kakak ganteng.

"Jadi gelang rajut itu milik ... Maaf Jihan tadi nggak sengaja menemukan gelang dan foto waktu merapikan lemari pakaian Mas Virdi," lirih Jihan.

"Gelang itu milik gadis kecil berlesung pipi yang mencuri hatiku pertama kali. Aku simpan selalu waktu kamu nggak sengaja menjatuhkan saat bermain." Virdiano menatap lekat manik Jihan, membuat jantungnya berdegup kencang.

"Maaf, maaf karena terlambat menemukanmu ...." Suara Virdiano terdengar parau. Pandangan keduanya menyatu, semakin lama jarak antara mereka terkikis. Jihan secara refleks memejamkan mata, ketika sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya, pelan ... dan semakin lama semakin menuntut seiring desah napas yang semakin berat.
🍀🍀🍀











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top