16. Pria Masa Lalu
♥️♥️♥️
Jihan mengerjap, dia merasakan sesuatu yang berat melingkupi tubuhnya. Hampir saja Jihan berteriak ketika tersadar bahwa orang yang terlelap di sampingnya adalah suaminya.
Jihan mengangkat tangan Virdiano perlahan dan menggeser badannya hati-hati agar suaminya tidak terbangun. Jihan mengernyit melihat guling yang dia gunakan sebagai pembatas, entah bagaimana sudah tergeletak di lantai.
Jihan berjalan berjingkat menuju kamar mandi guna mengambil wudhu hendak menunaikan kewajiban paginya. Dia tidak menyadari sepasang mata yang mengamati sejak tadi seraya mengulum bibir.
Sudah satu minggu, Jihan menyandang status istri Virdiano. Jihan bersyukur Virdiano belum meminta haknya sampai saat ini, karena Jihan merasa belum siap.
Walaupun kenangan tentang Arman masih merajai hati, Jihan berusaha ikhlas menerima takdir untuk menjalani pernikahannya. Menjadi seorang istri dari pria yang hampir tidak dikenalnya. Entah apa yang dipikirkan Heru saat menerima Virdiano. Jihan berkeyakinan bahwa ayahnya adalah orang yang tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.
"Aduhh ...." Jihan meletakkan pisau yang dipegangnya dan mengulum jarinya yang berdarah. Matanya meliar mencari di mana letak tisu ketika seseorang menarik paksa tangannya ke arah wastafel. Mengucurkan air membersihkan darah yang tersisa dan menempelkan sebuah plester penutup luka.
"Kalau masak jangan sambil melamun. Untunglah lukanya tidak dalam," ujar Virdiano parau. Virdiano mengecup jari telunjuk Jihan yang terbalut plester membuat wajah Jihan seketika memerah.
Jihan menatap Virdiano dalam balutan kaos oblong dan celana selutut, rambut gondrongnya terurai acak-acakan, tanpa sadar menelan ludahnya. Entah kenapa penampilan Virdiano yang baru bangun tidur ... seksi. Jihan menggeleng-gelengkan kepalanya, bergidik ngeri apa yang terlintas di kepalanya.
"Sudah cukup kamu diam di sana dan lihat bagaimana suamimu yang tampan ini beraksi." Jihan mencebik, tangannya sibuk memegang ponsel sementara matanya mencuri pandang ke arah Virdiano. Setelah insiden tadi, Virdiano langsung mengambil alih dapur dan menyuruh Jihan duduk manis.
"Taraaa! Nasi goreng spesial ala Chef Virdi." Virdiano meletakkan sepiring nasi goreng beserta telor mata sapu di atasnya yang masih mengepul di hadapan Jihan. Aroma yang menguar sungguh menggelitik indera penciuman Jihan, tapi demi gengsi dia bersikap seakan tidak perduli. Sayangnya suara cacing di perut tidak mau berkompromi dan membuatnya tersipu malu, sontak membuat Virdiano terkekeh.
"Apa perlu disuain?" Tanya Virdiano yang langsung mengambil sendok.
"Tidak perlu, Jihan bisa makan sendiri." Virdiano yang sedang memegang sendok langsung diambil paksa oleh Jihan. Jihan mengecap secara perlahan, baru menyadari ternyata Virdiano jago masak, rasa nasi goreng buatannya juara. Tanpa disadari sepiring nasi goreng tadi langsung tandas dalam sekejap.
"Terimakasih Mas. Ini enak sekali." Bibir Jihan mengulas sebuah senyuman yang tulus. Senyum Virdiano mengembang melihat Jihan menikmati masakannya.
Jihan dan Virdiano duduk berhadapan di meja dapur. Virdiano menatap lekat Jihan yang sedang menyesap wedhang uwuh yang tersisa di cangkir, tanpa sadar tangan Virdiano yang terulur merapikan helaian rambutnya yang meriap menutupi wajah. Wajah Jihan merona dan tertunduk malu, sentuhan kecil Virdiano sukses membuat desiran halus dalam dadanya.
"Mas, nanti sore Ayah dan Bunda mau berkunjung ke sini. Mereka berencana menginap. Jihan mau membersihkan kamar tamu yang si depan." Virdiano tampak antusias dan mengangguk senang mendengar bahwa mertuanya akan datang.
"Sebaiknya kamu mempersiapkan hidangan spesial untuk Ayah dan Bunda. Urusan membersihkan kamar, biar aku saja," tukas Virdiano.
"Enaknya aku masak apa ya mas?" Jihan menatap Virdiano guna meminta pendapatnya. Virdiano tampak berpikir mengingat sesuatu.
"Bagaimana kalau lumpia rebung sama puding black forest. Itu enak sekali. Aku suka sekali buatanmu itu." Virdiano tampak antusias mengutarakan idenya.
Jihan tersenyum cerah mendengar ide Virdiano, tapi sesaat dia berpikir. "Tunggu dulu ... Kapan Mas Virdi makan buatanku, sampai bisa bilang enak?" tuntut Jihan.
"Hmmm, mungkin ... sekitar sembilan tahun lalu," ujar Virdiano seraya tersenyum jahil melihat Jihan yang kebingungan.
"Tapi, itu sudah lama sekali Mas. Sembilan tahun itu Jihan masih pakai seragam putih abu-abu. Jihan merasa nggak kenal Mas Virdi," pekik Jihan.
"Kenal ... Kamu aja yang nggak sadar. Sudah, ahh! Aku mau membersihkan kamar tamu dulu." Virdiano hendak beranjak pergi mengambil peralatan yang digunakan untuk membersihkan kamar tamu ketika Jihan spontan menahan lengannya.
"Eits, tunggu dulu! Mas Virdi, jangan main rahasia. Ayolah, kasih tahu Jihan." Jihan yang masih memegang lengan Virdiano, mengguncangnya perlahan meminta jawaban. Jihan berusaha mengingat sosok Virdiano di masa lalu tapi tetap saja tidak menemukan petunjuk apapun.
Virdiano mengusap-usap punggung tangan Jihan yang masih memegang lengannya, seraya tersenyum. "Kamu dulu suka ngasih makanan ke siapa?"
"Pak Tarno, penjaga sekolah," jawab Jihan lugas, "Emangnya Mas Virdi siapanya Pak Tarno? Anaknya?"
Virdiano tergelak mendengar pertanyaan Jihan. "Aku dulu suka memperhatikan, ada cewek cantik yang diam-diam suka bawain makanan untuk Pak Tarno. Jadi aku pura-pura ngajak ngobrol Pak Tarno berharap dikasih kue. Sepertinya Pak Tarno paham kalau aku menyukai gadis itu."
Virdiano membayangkan sikapnya di masa lalu, bagaimana dia ngajak ngobrol Pak Taro tapi matanya berulang kali melirik pada bungkusan kue di sampingnya. Pak Tarno yang memahami, segera menawarkan Virdiano untuk mengambilnya. Sejak peristiwa itu, ngobrol dengan Pak Tarno menjadi kebiasaan baginya.
"Gadis yang selalu tersenyum meski dirundung teman-teman perempuannya. Bahkan saat teman-temannya dengan sengaja menumpahkan semangkok soto di bajunya, dia masih saja tersenyum meski hatinya menangis." Virdiano menerawang kejadian sembilan tahun lalu, yang selalu lekat dalam ingatannya.
"Jadi ... Jadi Mas Virdi, dewa penolong Jihan yang waktu itu meminjamkan pakaian olahraga." Jihan mengerjap, membekap mulutnya tidak percaya. "Tapi ... namanya, lagian wajahnya nggak mirip."
Jihan terkejut dan bingung. Menggeleng tak percaya menerima kenyataan bahwa Virdiano adalah orang yang sama dengan dewa penolongnya, sosok kakak kelas baik hati yang diam-diam dikaguminya.
"Kamu lupa nama panjang suamimu?" tegas Virdiano.
Jihan terdiam dan berpikir sejenak "Virza ... Virdiano," pelan terucap dari bibir Jihan. "Jadi Kak Virza itu Mas Virdi!" seru Jihan sambil menunjuk ke arah Virdiano.
"Kamu juga kaget 'kan bahwa ternyata aku yang cupu berubah jadi pangeran tampan." Virdiano menyentil ujung hidung Jihan, terkekeh mengamati istrinya yang tampak shock terlihat sungguh menggemaskan.
Jihan mencebik, gemas melihat sikap Virdiano yang tampak percaya diri. Jihan menatap Virdiano, mengingat sosok kakak kelas di masa lalu yang berbeda 180 derajat. Virdiano dulu adalah siswa teladan sekaligus ketua OSIS. Penampilannya seperti kutu buku, sangat kurus, wajahnya penuh jerawat tapi dia sangat ramah dan suka menolong.
Jihan beberapa kali melihat Virdiano menolong seorang bapak tua yang motor nya sedang mogok, lain waktu dia melihat Virdiano memberikan makanan pada pengemis. Jihan yang perasa dan berhati lembut sangat tersentuh melihat sikap Virdiano.
Jihan mengulum senyum mengetahui bahwa pria yang terikad akad dengannya adalah pria masa lalu yang dia kagumi.
🍀🍀🍀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top