14. Terikat Akad

♥️♥️♥️

"Sah."

"Alhamdulillah." Serempak semua yang hadir bersuara.

Jihan digandeng Ayumi berjalan menuju meja akad yang sudah berhias cantik dan didudukkan di sebelah seorang pria dengan balutan baju yang senada dengannya. Jantungnya berdegup kencang dan kedua tangannya terasa dingin karena gigi. Jihan bahkan tidak berani melihat pria di sampingnya.

Ketika petugas menyodorkan buku nikah untuk ditandatangani, tangannya gemetar. Bahkan saat pembawa acara memberitahu agar mencium tangan pengantin pria, Jihan masih tidak berani menatap pria yang sudah menjadi suaminya. Ya, dia sudah menjadi istri seseorang.

Tiba-tiba ada ada menempel di keningnya lama dan dalam, seketika hatinya menghangat.

"Assalamu'alaikum istriku."

Jihan mendongak, mendapati Virdiano tersenyum hangat padanya yang entah kenapa terlihat sangat tampan. Wajahnya seketika memerah.

"Cantik." Virdiano mengulum bibir sambil mengedipkan sebelah matanya. Jihan mencebik dan segera membuang pandang.

Ayumi dan Heru tidak dapat menahan haru ketika Jihan dan Virdiano sungkem untuk meminta restu. Heru berpesan pada Virdiano agar menjaga Jihan sungguh-sungguh, dunia dan akhirat. Virdiano mengiyakan dengan tegas.

Virdiano menggandeng Jihan untuk berkeliling menyapa tamu undangan yang hadir. Jihan yang canggung berusaha melepas tangannya, tapi Virdiano makin mengeratkan genggaman.

"Mas Virdi, bagaimana bisa---," tak tahan Jihan mengeluarkan isi hatinya yang langsung diputus oleh Virdiano. Virdiano menggelengkan kepalanya, memberi isyarat agar Jihan tidak berbicara lagi.

"Apapun yang kamu pikirkan, simpan dulu. Semua pasti terjawab," lirih Virdiano tepat di telinga Jihan yang membuat dadanya berdegup kencang. Virdiano kembali mengeratkan genggaman seraya tersenyum hangat pada istrinya.

Jihan mengedarkan pandang, tempat akad nikah ini ditata dengan sangat indah, lebih dari apa yang dia bayangkan. Taman yang luas ini disulap dengan konsep tradisional Jawa yang kuat dengan sentuhan unsur modern. Tempat yang dipilihnya dulu, tapi dengan konsep berbeda yang jauh lebih memukau. Jihan lupa bahwa suaminya adalah pemilik wedding organizer ternama, tentu saja mudah baginya membuat semua jadi spektakuler.

Dominasi warna putih yang kuat, dan aneka bunga dan anggrek menghiasi setiap sudut taman. Tampak pernak-pernik khas Jawa seperti sepeda onthel dan wayang menjadi spot foto yang menarik. Para tamu undangan duduk melingkar di meja-meja kecil di area taman, sehingga tidak ada tamu yang makan dengan berdiri.

Jihan dan Virdiano sedang menikmati makanan yang tersaji di meja, ketika terdengar suara langkah kaki mendekat.

"Selamat Jihan atas pernikahannya."

Jihan dan Virdiano serempak menoleh ke arah suara, melihat Arman yang tersenyum kaku. Virdiano langsung berdiri dan menyambut uluran tangan Arman yang segera ditepisnya. Mengabaikan perlakuan Arman, Virdiano mempersilakan Arman duduk. Arman menggeleng perlahan dan menatap tajam ke arah Jihan.

Jihan menatap sendu pada pria yang pernah mengisi hatinya dan mencoba tersenyum. "Abang sama siapa? Mana Mbak Sherly dan Alif?"

Alih-alih menjawab, Arman malah bertanya, "Apa kamu bahagia?"

"In Syaa Allah, Jihan hanya berusaha menjalani takdir Allah dengan ikhlas." Jihan tersenyum tulus menatap pria di hadapannya. "Jihan berharap Abang juga menemukan bahagia bersama Alif dan Mbak Sherly."

Virdiano mengamati dalam diam interaksi antara Jihan dan Arman. Tidak lama Arman pun pamit, mendekati Virdiano dan menjabat tangannya, "Pastikan jangan pernah menyakiti Jihan." Virdiano hanya tersenyum tipis sebagai jawaban.

🍀🍀🍀

Jihan duduk menatap bayangannya di cermin, selama setengah jam dia berdiam diri tanpa tahu harus berbuat apa.

Tampak dalam pantulan cermin, sebuah ranjang berukuran besar yang di atasnya bertabur bunga melati, harumnya menguar ke seluruh ruang.  Di atas nakas di sebelah ranjang terdapat rangkaian  mawar putih.

Setelah selesai acara akad nikah dan resepsi, Virdiano mengajak Jihan untuk beristirahat di guest house yang  terletak di area pernikahan. Virdiano langsung pergi tidak lama kemudian, hanya berpesan agar Jihan membersihkan diri terlebih dahulu.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Jihan melihat Virdiano sudah tampak segar dengan rambut basah yang terurai sebahu dan berganti pakaian kasual. Pria berkacamata itu mengenakan celana jeans dipadu kaos oblong berwarna putih. Tanpa sadar Jihan menatap tanpa kedip ke arah Virdiano.

Jihan tampak kikuk, dadanya berdebar ketika Virdiano mendekat ke arahnya dan tersenyum hangat. "Ayo, kamu pasti lapar seharian hanya makan sedikit."

Virdiano mengulurkan tangannya dan menggandeng agar Jihan mau mengikutinya. Virdiano membawa Jihan keluar ke samping guest house yang mereka tempati, di sana terdapat sebuah meja kayu dengan dua kursi. Tampak lampu-lampu kecil yang bergantung cantik di atas meja, terhubung di antara dua pohon. Suasananya temaram dan romantis.

"Anggap saja ini kencan pertama kita, Nyonya Virdi." Virdiano mengedipkan sebelah matanya ke arah Jihan.

Jihan terkesima dengan pemandangan yang dilihatnya, seketika hatinya menghangat. Matanya bertemu pada Virdiano menyorot tajam ke arahnya.

Tampak dua porsi steak sapi terhidang di atas meja. Virdiano mengendikkan dagu memberi isyarat Jihan untuk segera makan. Virdiano langsung mengambil steak milik Jihan, memotongnya kecil-kecil dan mengulurkan kembali ke arah Jihan.

Jihan menyuap potongan steak sapi dengan siraman kuah barbeque secara perlahan. Mereka makan tanpa suara dengan mata Virdiano yang tak pernah lepas dari Jihan.

"Tanyalah sekarang apa yang menjadi pikiranmu." Virdiano berkata pada Jihan saat keduanya selesai menyantap hidangan.

Menghembuskan napas perlahan guna menghilangkan kegugupan yang mendera sejak tadi. "Mengapa Mas Virdi tiba-tiba melamar Jihan? Apa yang Mas katakan sampai Ayah setuju? Kenapa Jihan? Bahkan kita tidak saling mengenal satu sama lain."

Virdiano terkekeh mendengar berondongan pertanyaan dari Jihan. "Pertama, karena kamu sudah tidak dalam posisi dikhitbah, jadi aku berhak melamar kamu. Kedua, aku melamar kamu pada Ayah yang merupakan walimu. Justru Ayah yang mewawancarai aku seperti orang mau melamar kerja. Ketiga, karena aku mencintaimu. Empat, karena aku mengenalmu bahkan melebihi dirimu sendiri."

Jihan mengerjap bingung berusaha mencerna semua perkataan Virdiano. Laki-laki di hadapannya sepertinya sungguh sulit ditebak, bagaimana dia bisa bilang mencintainya kalau mereka bahkan tidak saling mengenal.

"Sudahlah jangan terlalu banyak berpikir, kamu punya waktu sepanjang hidup untuk bertanya apa saja pada suamimu yang tampan ini," ujar Virdiano dengan percaya diri. Jihan mencebik dan langsung berdiri berjalan masuk dengan kaki menghentak.
"Eh, tunggu Jihan. Masak kamu tega meninggalkan suamimu tersayang berteman nyamuk." Virdiano berteriak dan bergegas menyusul Jihan masuk ke dalam guest house.

Sesampainya di dalam kamar Jihan mematung seakan tersadar bahwa malam ini dia akan tidur sekamar bahkan satu ranjang dengan Virdiano. Jihan menggelengkan kepalanya, bergidik ngeri memikirkan hal yang mungkin terjadi.

"Tenang saja, aku tidak akan meminta hakku sekarang." Tiba-tiba terdengar suara tepat di telinganya. Jihan segera berbalik badan, melotot tajam ke arah Virdiano yang terkekeh. Jihan berbalik badan kembali dan hendak menuju kamar mandi.

"Jangan lupa, kita sudah muhrim jadi nggak perlu pake jilbab dalam kamar." Jihan berhenti sesaat, dan langsung bergegas mengunci pintu kamar mandi, menyisakan suara tawa Virdiano.

🍀🍀🍀













Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top