12. Terungkap

♥️♥️♥️

Jihan sibuk memilah undangan pernikahan berwarna marun yang berserakan di atas meja. Sebagian besar undangan sudah terkirim, ada sekitar tiga puluh undangan bernama yang belum terkirim dan beberapa masih kosong.

Jihan mengambil sepuluh buah undangan yang akan dia antar sendiri untuk teman-temannya semasa kuliah, sisanya akan dikirim melalui kurir.

Pagi ini Jihan mengundang teman-teman kuliah sesama aktivis masjid kampus untuk bertemu di sebuah kafe di daerah Prawirotaman. Ia ingin berbagi kebahagiaan dan memberikan undangan secara langsung kepada mereka.

Menyesap wedang uwuh yang tersisa dalam gelas. Jihan mengecek kembali daftar nama tamu undangan sambil mencoba mengingat siapa saja.yang belum masuk daftar mengingat pernikahannya tinggal sepuluh hari lagi.

Ting.

Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya dari nomor baru.

[ Mbak Jihan, apa kabarnya ]
[ Alif pengen ketemu penolongnya yang cantik ]
[ Kapan ada waktu? ]

Tersenyum cerah, Jihan teringat sosok bocah tampan menggemaskan yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu. Jihan segera membalas pesan yang baru diterimanya.

Jihan segera memasukkan sepuluh buah undangan ditambah satu undangan kosong dan dimasukkan kedalam tas, setelah merapikan kembali mejanya.

Bergegas Jihan berpamitan pada Heru dan Ayumi yang masih asyik ngobrol di ruang tengah. Ia mencium punggung tangan orang tuanya secara bergantian.

"Nduk, hati-hati nyetirnya. Calon pengantin itu jangan terlalu sering bepergian, harus dipingit." Heru mengusap pucuk kepala Jihan yang terbalut hijab.

Jihan mencebik, "Ish, Ayah. Jihan cuma mau nganterin undangan ke teman-teman sebentar. Lagian acara pingitan masih tiga hari lagi."

"Hati-hati, Sayang." Kali ini suara Ayumi yang terdengar ketika Jihan hendak membuka pintu.

"Iya, Bunda." Jihan mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum lebar pada Ayumi.

****

"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Maaf, Mbak Jihan, Alif pengen banget ketemu Mbak. Dari tadi pagi merengek terus, jadi saya hubungi Mbak Jihan." Sherly membuka pintu rumahnya, kemudian mencium pipi Jihan bergantian dan mempersilakan masuk.

"Jihan aja, tanpa embel-embel mbak," tukas Jihan. Ia mengangsurkan satu kotak brownies kukus pada Sherly.

"Hmmm, baiklah .... Jihan tanpa Mbak." Keduanya tergelak bersamaan. "Makasih oleh-olehnya. Ini kesukaan Alif." Sherly mengajak Jihan duduk di atas karpet dekat Alif yang asyik bermain pesawat.

Jihan baru saja selesai bertemu dengan teman-teman kuliahnya, dia sengaja mengundang mereka di salah satu kafe di daerah Prawirotaman. Selain melepas rindu dengan teman-temannya sesama aktivis masjid kampus, Jihan bermaksud memberikan undangan pernikahannya secara langsung. Semua tampak antusias menyambut hari bahagia Jihan dan berjanji akan datang.

"Tante Jihan ...," seru Alif riang yang langsung menghambur ke arah Jihan, mainan pesawat yang sedang dipegangnya langsung diletakkan begitu saja.

"Halo anak ganteng, maaf, Tante baru bisa main ke rumah Alif." Jihan mengacak rambut Alif dengan gemas dan mencium pipi gembulnya bergantian.

"Hmmm, kok, Alif agak pucat, lagi sakit ya?" Jihan memindai wajah Alif yang tampak pucat.

"Iya Mbak, Alif belum lama keluar rumah sakit kena gejala tipes." Sherly datang membawa dua cangkir teh beserta camilan dalam nampan, kemudian meletakkannya di atas karpet. Sherly menceritakan bahwa Alif baru saja menjalani perawatan selama seminggu di rumah sakit.

Entah kenapa, pertama kali dulu bertemu Sherly, Jihan merasa mereka bisa menjadi teman baik. Jihan merasa salut pada Sherly yang menjadi orang tua tunggal, dia bisa merasakan perjuangan seorang wanita membesarkan anak seorang diri pasti bukan hal yang mudah.

Jihan bercerita bahwa dirinya sebentar lagi menikah dan bermaksud mengundang Sherly dan Alif untuk datang, ketika Jihan bermaksud mengeluarkan undangan pernikahan dari dalam tas terdengar suara ketukan pintu. Sherly pun beranjak untuk melihat siapa yang datang.

"Papa ...." Alif langsung berlari meninggalkan mainannya begitu melihat siapa yang datang. Pria tadi berjongkok mensejajarkan dirinya dengan bocah dua tahun itu memeluk erat sambil tersenyum lebar.

Jihan terkejut melihat sosok pria yang baru saja datang. Ia tidak percaya dengan pemandangan yang tersaji di depannya. Ketika pandangan Jihan dan pria itu bertemu, dunianya seakan berhenti. Sontak Jihan berdiri, menatap tiga orang yang berada di ruangan itu bergantian. Undangan yang hendak diberikan pada Sherly terlepas, jatuh ke lantai. Pandangannya seketika memburam diiringi rasa sesak yang menghimpit dada.

"Jihan, tunggu ...."

Jihan berlari keluar, mengabaikan panggilan Arman dan masuk dalam mobilnya, meninggalkan tempat itu sambil menahan tubuhnya yang bergetar hebat. Berkali-kali tangannya mengusap air mata yang tidak mau berhenti mengalir.

Bibir Jihan lirih melantunkan istigfar. Dadanya begitu sesak serasa mau meledak. Kedua pipinya basah, bahunya berguncang tidak terkendali. Dalam kekalutannya, Jihan memilih menepikan mobilnya di sebuah masjid. Tak lama, Jihan luruh dalam sujudnya menumpahkan segala sesak dalam dada pada Sang Pemilik Hati.

Sherly menatap nama yang tercetak di undangan berwarna maruh dalam genggamannya dan menatap ke arah Arman menuntut penjelasan.

"Jihan, dia-" Arman menghela napas panjang, dengan Alif dalam pangkuannya. Ia menatap Sherly dengan sendu. "Kami akan menikah sepuluh hari lagi. Jihan yang mampu membuatku membuka hati dan memulai lembaran baru, setelah kepergianmu yang tiba-tiba tiga tahun lalu."

"Dan kamu belum memberitahukan tentang Alif pada Jihan." Arman perlahan menggeleng. Sherly mengambil Alif yang mengantuk dari pangkuan Arman dan memberikan sebotol susu. Menyiapkan bantal untuk Alif berbaring nyaman di sebelahnya di atas karpet.
"Pergilah, susul Jihan. Kamu berhak mendapat sosok yang baik seperti Jihan dan dari keluarga yang jelas tidak sepertiku." Sherly membuang pandang berusaha menyembunyikan pelupuk di ujung mata.

"Apa maksudmu, Sherly? Aku tidak merasa ada yang salah dengan dirimu dan asal-usulmu," tukas Arman.

"Kamu mungkin tidak, bagaimana dengan keluargamu, Mamamu," pekik Sherly berusaha meredam sesak dalam dada mengingat peristiwa tiga tahun yang lalu.

"Tunggu dulu .... Ada apa dengan keluargaku? Ada apa dengan mama? Apa yang Mama bilang?" Arman mencengkeram lengan Sherly menuntut penjelasan.

Seketika tangis Sherly pecah, dia merasa Arman berhak tau kenyataan yang disembunyikan selama ini. Perasaan tersakiti selama tiga tahun yang dialaminya.

Hari itu, seminggu setelah Arman memberikan cincin setelah acara lamaran yang romantis di sebuah kafe di Jakarta. Sherly menunggu Arman pulang kerja di apartemen seperti biasa, bahkan ia sudah menyiapkan makan malam romantis dan sebuah hadiah yang terbungkus cantik.
Siska tiba-tiba datang ke apartemen anaknya. Raut muka tidak senang langsung ditunjukkan Siska begitu Sherly membuka pintu. Siska memberondong Sherly dengan pertanyaan mendapati apartemen anaknya sudah dihias dengan suasana romantis.
Hadiah yang dipersiapkan Sherly untuk Arman disobek-sobek, mendapati isinya Siska histeris dan langsung mengusir Sherly pergi dari kehidupan anaknya. Siska tidak terima Arman memilih Sherly, gadis yang tidak jelas asal-usulnya untuk jadi pendamping Arman.

Siska menyuruh Sherly menggugurkan kandungan dan berjanji memberikan uang banyak serta mengancam Sherly untuk tutup mulut. Sherly hari itu juga memutuskan pergi dari kehidupan Arman demi bayi dalam kandungannya.

Arman menatap Sherly dengan pandangan tidak percaya, dia teringat tiba-tiba Mamanya sudah berada di apartemen dan mendadak bersikap manis. Padahal sebelumnya mereka berselisih pendapat tentang Sherly.

Hubungan mereka tidak direstui Siska, tapi Arman tidak peduli dan berniat menikah dengan Sherly.

Arman memeluk erat Sherly yang tergugu dalam dadanya, mata Arman terpejam memikirkan kenyataan yang baru terjadi.

****

Jihan duduk di bangku taman di dekat masjid yang baru saja disinggahi. Setelah satu jam lamanya, Jihan bersimpuh dalam sujud mengurai rasa sesak di hati mencoba mencari petunjuk apa yang harus dilakukannya sekarang.

Jihan membiarkan semilir angin sore yang menerpa wajahnya, tidak mungkin dia pulang dengan mata bengkak seperti sekarang. Ia sudah mengirimkan pesan pada Ayumi bila masih ada keperluan dan pulang terlambat agar Sang Bunda tidak khawatir.

"Kadang Allah memberi tahu dengan cara yang sakit untuk menyelamatkan kita." Jihan menoleh mendapati seorang pria berkacamata yang duduk di ujung bangku sambil melihat anak-anak yang sedang bermain di taman.

"Menangislah, jika itu bisa mengurai kesedihan. Biarkan angin membawa pergi lara. Bangkit dan berdiri dengan senyuman seperti bertahun-tahun lalu kamu menghadapi cibiran orang. Ingatlah, ada bahu lain untuk bersandar." Virdiano menatap Jihan dengan senyuman, ingin rasanya bisa memeluk dan menyalurkan kekuatan pada perempuan berlesung pipi itu. Virdiano mengepalkan tangannya menatap Jihan yang tertunduk menangkup wajah dengan bahu berguncang.

****





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top