02 ▪ Petaka dari Tuhan

Bab 02
Petaka dari Tuhan

◻◼◻◼

“Eta mau hadiah apa tahun ini?”

Nina menatap cermin yang memantulkan bayangan dirinya dan Mentari. Terlihat raut sang putri yang tampak bingung sesaat. Ia pasti sedang berpikir keras. Nina tersenyum. Menunggu dengan sabar sembari menyisir rambut Eta yang makin panjang.

Selama enam bulan mereka tidak bertemu, akhirnya hari ini Eta datang ke Jakarta untuk mengisi waktu libur panjangnya. Rindu, jangan ditanya lagi. Ibu mana yang tahan berjauhan dengan si buah hati. Andai bukan demi kebaikan Eta, Nina tak akan rela membiarkan Eta kembali ke Singapura.

“Eta mau tinggal di sini. Bareng Mama.”

Gerakan tangan Nina otomatis terhenti. Tatapan monotonnya mengarah pada cermin yang memantulkan bayangan mereka. Di sana Eta tampak menunduk dalam, barangkali tahu jika permintaannya yang satu ini tak akan pernah terkabulkan.

Untuk beberapa denyut nadi, kamar bernuansa pink itu hanya diisi keheningan. Udara malam yang terasa dingin, berembus pelan melalui jendela yang dibiarkan terbuka.

Nina memalingkan pandangan, tak kuasa melihat ekspresi penuh harap Mentari lebih lama lagi.

“Eta, kenapa mau tinggal di Jakarta? Tinggal di Singapura lebih menyangkan, Sayang.” Nina mencoba memberi pengertian. Ia meletakkan sisir ke atas meja rias, mengganti dengan tangannya yang mengelus kepala Eta penuh kasih. “Di sana ada Daddy Jo sama Mommy Mina. Ada Dedek Josh juga.”

“Tapi, di sana nggak ada Mama.” Mentari memberanikan diri mengangkat wajahnya. Ia memutar kepala hingga mata birunya bisa menatap langsung kelereng cokelat gelap Nina.

“Sayang ....”

“Apa Mama takut Eta ketemu Papa?”

Semua kata yang sudah mengantri di ujung lidah Nina, kembali harus tertelan paksa.

Topik ini lagi!

Makin besar Mentari, makin intens Mentari menanyakan pria berengsek yang ikut berpartisispasi atas kelahiran sang putri. Sekarang Nina harus menjawab apa? Salah satu alasan ia menitipkan Eta pada kakaknya—Mina—di Singapura, memang karena laki-laki itu. Nina tidak ingin mereka bertemu.

“Saat waktunya tiba, Mama janji akan mempertemukan kalian.”

“Kapan?” desak Eta tak sabar. “Sekarang Eta udah gede, Ma. Sebelas tahun. Bentar lagi Eta udah mau masuk Junior High School.”

“Udah malem,” Nina menarik napas panjang dan menjauhkan tangannya dari kepala Mentari. “sekarang waktunya kamu tidur, Ta. Katanya besok mau jalan-jalan.”

“Kenapa Mama selalu menghindar tiap kita ngomongin Papa?” Rupanya Eta sudah mulai pintar berbicara dan mendebatnya.

“Eta ....”

“Malam, Ma,” pungkas Eta cepat, memutus kalimat apa pun yang hendak Nina ucapkan. Lalu melangkah setengah berlari menuju ranjang. Meninggalkan Nina yang masih mematung dengan segudang penyesalan.

Anak itu meraih bed cover dan mengubur dirinya di sana. Isyarat bahwa tak ada lagi yang perlu mereka bicarakan. Bukan hanya rupa, sifat keras kepala laki-laki itu juga menurun sempurna pada diri Mentari.

“Tidur yang nyenyak, Sayang. Jangan lupa berdoa,” bisik Nina lirih sebelum keluar dari kamar Mentari dan menutup pintu.

***

“Eta hilang?!” Linda mengulang kembali perkataan Nina dengan tanya. Mulutnya yang ternganga, ia tutup menggunakan telapak tangan kanan.

Pagi-pagi sekali, Nina datang menemuinya sambil menangis tersedu-sedu, mengadukan Eta yang yang tiba-tiba tidak ada di kamarnya maupun area lain kediaman mereka. Yang menjadi kekhawatiran Nina adalah karena Eta tidak tahu jalan Jakarta.

“Bagaimana bisa? Kamu sudah lapor polisi? Apa mungkin dia diculik?” tanya Linda bertubi-tubi. Nina masih menangis, duduk di sofa tunggal ruang tengah kediaman kedua orang tuanya. Ia menggeleng sebagai jawaban. Tengorokannya perih, menyulitkan perempuan itu membuka suara lebih banyak lagi selain ‘Eta hilang!’. Namun demi memberi penjelasan lebih lanjut, ia memaksakan diri untuk bicara.

“Semalam dia marah sama aku. Aku takut dia kabur, Ma.” Memikirkan kemungkinan itu, tangis Nina kian menjadi.

“Ada apa ini? Kenapa pagi-pagi sudah ribut sekali?” Randi, ayah Nina datang setengah berlari dari arah tangga. Ekspresinya mendadak waswas begitu mendapati si bungsu yang sesegukan, tampak kesulitan menahan isak.

“Eta hilang!” Linda yang menjawab. Wanita paruh baya itu tak lagi bisa duduk santai. Ia mondar-mandir sambil berpikir dan menggigit ujung jari sebagai pelampiasan rasa cemasnya.

“Kamu sudah lapor polisi?” Randi mendekat, menyentuh pelan pundak Nina yang bergetar. Mengelus sayang, berharap Nina bisa lebih tenang.

“Be-belum, Pa,” terbata, Nina berkata. Dua belah pipinya sudah basah oleh air mata.

“Ya, sudah. Biar Papa yang nyari. Kamu sama Mama banyak-banyak berdoa saja, ya. Semoga Eta segera ketemu.”

Nina sadar dirinya tak mungkin bisa mencari Eta dengan kondisi seperti ini, sehingga ia hanya bisa mengangguk kecil. Memasrahkan semuanya pada Randi yang kini sudah sibuk dengan ponsel genggam.

***

Oke, Rafdi memang sempat terpana pada gadis cilik bernama Mentari tadi malam. Tapi, sekarang semua keterpanaannya ia tarik kembali.

Semua jenis anak kecil memang menyebalkan. Sangat menyebalkan. Tak terkecuali Mentari yang benar-benar sukses merusak malamnya. Rafdi tak jadi berbagi kehangatan dengan Cindy, karena si tuyul berambut ikal panjang itu tidak mau diantar pulang. Saat Rafdi membujuk, ia hanya menjawab, “Eta nggak tahu alamat Mama. Eta nggak kenal jalan Jakarta.” Jadilah tadi malam Rafdi harus rela mandi air dingin di pagi buta lantaraan batal bermalam dengan Cindy dan justru harus menampung gadis—dedemit—cilik yang mengaku bernama Mentari.

Lantas, Rafdi harus mengantar anak ini ke mana? Ia jelas tak mau dipusingkan dengan urusan Eta yang luar biasa menjengkelkan.

Dan seolah kejadian kemarin belum cukup, kini Mentari pun sukses merusak permulaan harinya dengan membangunkan Rafdi secara paksa. Demi Tuhan, Eta adalah anak berusia sebelas tahun! Dengan tubuh yang pastinya tidak ringan lagi, dia menaiki tubuh Rafdi dan mencubit-cubit pipi pria tiga puluh tahuh itu. Sesekali meniup telinga Rafdi tanpa menyikat gigi lebih dahulu, tak memedulikan bau napasnya yang seperti naga.

Rafdi tentu kesal dan segera menyingkirkan tubuh Eta dari atas perutnya. Entah sudah berapa lama Eta menjadikannya sebagai kuda lumping yang bisa ditunggangi seenak jidat, karena begitu bangun, bagian pinggangnya sudah terasa ngilu semua.

“Apa yang kamu lakukan, Anak Tuyul?!” geramnya.

Yang ditanya hanya nyegir kuda, lalu berkata tanpa dosa, “Eta biasa bangunin Daddy Jo kayak gitu kalau dia nggak bangun-bangun.”

Rafdi tak peduli dengan si Daddy Jo sialan atau siapa pun itu! Ia masih mengantuk dan butuh tidur. Mengabaikan Eta yang kini duduk bersila di sisi ranjang, Rafdi berguling. Menutup seluruh badan dengan selimut dan kembali bercinta dengan bidadari dalam mimpi. Namun, bukan Eta namanya bila tak keras kepala.

“Ih, Papa Didi kok malah bobok lagi, sih!”

Satu hal lagi yang sangat menyebalkan dan tak Rafdi suka dari Mentari. Dia seenak perutnya memanggil Papa Didi, memangkas nama keren Rafdi tanpa izin dan memanggilnya papa. PAPA! Demi Tuhan, Rafdi tidak mau memiliki anak sebawel dan semenyebalkan ini. Hanya karena keduanya memiliki kesamaan warna mata, bukan berarti mereka benar-benar anak dan ayah, ‘kan?

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Rafdi menyesal memiliki bola mata biru.

Kembali Eta menerjang tubuh jangkung Rafdi dan menaikinya. Tangannya mencari-cari bagian leher Rafdi di balik selimut untuk ia cekik sesuka hati. “Bangun, Pa! Udah pagi. Kata Mama, nggak baik bangun siang. Rejekinya bisa dipatok ayam!” Ia terus mengoceh, tak memedulikan Rafdi yang sudah terbatuk-batuk dan nyaris kehilangan napas di balik selimut. Benar-benar tuyul sialan!

“Pulang sana, sama emak lo!” Rafdi tak bisa menahan diri untuk tak membentak.

Sekali hentak, Eta terjungkal dari atas perutnya. Terbanting ke sisi ranjang kosong. Alih-alih menangis, anak itu justru tertawa cekikikan. Tawa bahagia yang terdengar persis sama dengan bunyil kuntilanak di tengah malam. “Padi mukanya lucu kalau kayak gitu! Hahahaha ....”

Lucu katanya? Wajah sangar yang biasa Rafdi tunjukkan untuk mengintimidasi lawan atau bawahan, Eta bilang lucu? Sebenarnya, ia ini anak manusia atau anak monster? Kenapa mengerikan sekali?

Andai bukan anak kecil, lebih-lebih perempuan, sudah Rafdi tendang sedari tadi dari apartemen yang seharusnya damai di setiap pagi.

Keinginan Rafdi tahun ini adalah mendapat seorang istri agar tampuk kepemimpinan Zach Hotel and Resort bisa dipercayakan kepadanya oleh sang ayah. Tapi, kenapa ia malah bertemu dengan anak kunti?

Merasa tak akan bisa meneruskan mimpi indah dalam tidur, Rafdi beranjak dari ranjang. Ia butuh mandi untuk menyegarkan otak dan mecari cara agar si anak tuyul ini mau diantar pulang.

Sepertinya, Mentari sengaja dikirim Tuhan untuk Rafdi sebagai jawaban atas doa wanita-wanita teraniaya yang sering menjadi korban kebejatannya di masa lalu. Karena usai membersihkan diri dan berpakaian rapi, ia harus dihadapkan dengan kunjungan Richard tanpa pemberitahuan. Parahnya, kini sang ayah tengah berbicara dengan Eta di ruang tamu. Kalau tidak salah dengar—dan semoga hanya salah dengar, bocah tuyul itu mengaku sebagai anaknya!

Sejurus kemudian, tatapan setajam laser khas Richard tertuju pada Rafdi yang praktis kebingungan mencari jawaban.

“Eh, Daddy sejak kapan datang?” Rafdi tersenyum setengah meringis. Melangkah mendekat dan berdiri di belakang sofa panjang yang ditempati Eta.

“Dia benar anak kamu?” pertanyaan tersebut diajukan dengan nada pelan, namun sukses mengintimidasi. Ini bahaya! Bisa-bisa Rafdi gagal dinobatkan sebagai pewaris tahta. Belum sempat ia membuka mulut untuk bicara, si tuyul gondrong sudah menyela.

“Bener, Grand Pa. Lihat, nih, mata kita sama.” Dia menunjuk matanya sendiri. Senyum jenaka tak pernah sekali pun luntur dari bibir mungilnya. Rafdi jadi bertanya-tanya, ke mana perginya anak malang yang tadi malam menangis sesegukan di tengah jalan? Rasanya Rafdi ingin sekali melempar Eta ke luar angkasa, biar tertelan black hole sekalian, atau bertemu alien dan disekap di planet make-make agar bumi bisa kembali tenteram.

“Ck, masa Daddy percaya, sih?” Dari belakang, Rafdi menoyor kepala Eta. Tidak terlalu keras memang, tapi cukup membuat anak itu mengaduh kesakitan. “Dia cuma anak nyasar yang aku temuin di jalanan!”

“Maksud kamu, anak yang tidak sengaja memiliki mata biru dan berwajah mirip denganmu?”

Rafdi membelalak. Jelas tak terima. Segera ia menghadap pada lemari kaca yang berada di sudut ruang tamu. Meneliti bagian wajah mana yang mirip dengan Eta selain warna mata mereka.

“Papa pasti bercanda! Mana mungkin aku yang tampan ini memiliki anak sejelek itu!” Mentari cantik sebenarnya, tapi kelakuannya yang menyebalkan telah menutupi kecantikannya hampir delapan puluh persen.

Yang dibicarakan memberengut sambil bersedekap dada. “Memang bukan anak kandung, kok, Grand Pa. Tapi, calon anak tiri. Kan, bentar lagi Papa Rafdi mau nikah sama mama Eta.”

Tatapan horor itu praktis ia arahkan pada Mentari yang masih tampak tak acuh. Dia malah asik menggulung-gulung bagian bawah rambut ikalnya yang berantakan. Rafdi memang ingin menikah, tapi bukan dengan wanita beranak yang bahkan belum pernah dia temui. Lebih baik ia mengawini Imelda si model kecentilan dari pada mama Eta yang belum jelas bentukannya.

“Kamu menjalin hubungan sama janda?”

Sialan! Gara-gara mulut Eta, Richard bisa jadi salah paham. “Daddy, nilai pasaranku masih tinggi! Aku belum se-desperate itu, sampai mau memperistri perempuan antah-berantah berbuntut satu!”

“Daddy pegang kata-katamu! Ingat, kalo kamu benar-benar menikahi janda, jangan harap Daddy mau mewariskan Zach Hotel dan Resort padamu!” Rafdi menelan ludah mendengar ultimatum Richard. Siapa pula yang mau dengan janda? Ayolah, masih banyak wanita single di luar sana yang menunggu untuk sebuah cincin lamaran. Lebih-lebih, calonnya dalah Rafdi Zachwilli yang tampan, bertubuh inggi tegap dengan bisep yang mempesona. Jangankan perempuan, waria pun akan doyan. “Daddy ke sini karena khawatir. Mamamu bilang, dari kemarin kamu susah dihubungi.” Rafdi tersenyum kecut. Ia mengerti maksud kekhawatiran Richard. Tapi, ia bukan orang bodoh yang akan melakukan kesalahan dua kali. Cukup dulu ia membuat ibunya menangis.

Ia memang sengaja mematikan ponsel karena tak ingin kegiatan malamnya diganggu. Namun rencana hanya tinggal rencana. Bukan bersenang-senang, kini Rafdi justru tersiksa.

“Papa, janda itu apa?”

Rafdi memutar bola mata ke atas. Sepeninggal Richard, ia masih harus menghadapi pertanyaan polos Mentari. Sebelas tahun dan tidak tahu arti kata janda. Sebenarnya apa yang mama Eta ajarkan pada putrinya yang kelewat lugu—mendekati bodoh—ini?

◼◻◼◻

Cerita si Rafdi ini beneran cerita ringan. Pake banget. Gak usah dibawa serius. Santai aja. Soalnya gak ada baper2nya😂 klo pun sedikit baper, adanya nanti di belakang. Wkwkw

Selamat membaca aja deh :)

Estho bhule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 03 Februari 2017

Revisi, 13 November 2017

Repost, 03 Sep 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top