Part. 8 - Unplanned
Katakanlah, aku lebih berpikir jika lapak ini semakin bersoda 🤣
Yuk, kita mulai ngegas dimulai dari part ini, karena sebelumnya terlalu lamban untuk sampai ke momen yang paling ditunggu2 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Tan sudah tidak ingin melihat sosok dua kakak sialannya dan lebih memilih untuk menyingkir dari situ. Mengusirnya dari mansion adalah hal yang sangat tidak masuk akal, hanya karena dirinya sudah menyampaikan kebenaran. Dia sudah tidak sabar untuk segera menyelesaikan urusan konyol ini, dan sama sekali tidak menginginkan adanya perdebatan antar saudara.
Tan segera pergi menuju ke garasi, menuju ke sebuah mobil sport miliknya. Terdiam beberapa saat, lalu mulai menggeledah exterior dan interior mobil, guna melepas beberapa alat penyadap yang terpasang di kendaraan itu. Jika mereka menginginkan kepergiannya, Tan tidak akan tanggung-tanggung dalam menghilang dari hadapan mereka.
Setelah yakin bahwa mobil itu sudah bersih, Tan segera masuk ke kursi kemudi, dan menyalakan mesin. Kemudian, dia mengeluarkan ponsel, mematikan aplikasi pemancar dan melepas chip yang terpasang dalam ponsel itu, lalu membuangnya lewat jendela. Tujuannya adalah satu, pergi dan menghilang.
Mobil sudah dilajukan, dan Tan menyetir dengan satu tangan. Satu tangannya yang lain sibuk menahan hidung yang masih berdarah dengan tissue, akibat pukulan keras yang dilakukan kedua kakaknya. Rahangnya mengetat mengingat bagaimana saudara-saudaranya membela wanita itu, yang bukanlah keluarga, tapi justru keturunan dari seorang pembunuh.
Masih merasa tidak senang, Tan menyetir ke arah toko bunga milik Hana. Sebelum pergi, dia ingin melakukan sesuatu, setidaknya membakar habis toko sialan itu. Tidak merasa gentar karena adanya dua kakak ipar yang sudah pasti siap menghajarnya, karena Tan tidak akan berhenti kali ini.
Delikan tajamnya menangkap sebuah mobil sedan yang berjalan ke arah sebaliknya. Mobil yang dikendarai oleh pria yang mengaku sebagai tunangan gadungan. Bisa jadi, orang itu kembali ke mansion untuk menemui kakaknya. Baguslah, pikir Tan. Itu berarti dirinya hanya akan menghadapi dua kakak ipar yang cukup kuat untuk dihadapi.
Tak lama kemudian, mobil Tan melambat, lalu berhenti di ujung jalan Daesang. St. Suasana jalan itu sudah begitu sepi, karena waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Tan keluar dari mobil dan berjalan dengan cepat ke toko bunga itu. Jika Hana dan para kakak ipar sedang berada di rumah, sudah pasti tidak ada yang datang mengunjungi toko. Rencana Tan saat ini adalah membuka pintu toko dengan paksa, dan membakarnya.
Begitu tiba di depan toko, Tan yang hendak membongkar paksa pintu itu, mengerutkan alis karena pintu itu tidak terkunci. Hmmm...
Dengan sangat hati-hati, Tan membuka kenop pintu, lalu menoleh ke sudut toko dengan kamera pengawas yang terpasang di sana. Dia mendengus karena sudah pasti, si Kembar sudah melakukan sesuatu pada kamera itu. Dengan kata lain, Tan tidak memiliki banyak waktu, sebab mereka akan segera menyusulnya kemari.
"Oppa?" suara Hana yang terdengar bingung, menyapanya dari keremangan di dalam.
Tidak menjawab, tapi Tan justru memperhatikan ke sekeliling toko yang remang, dengan hanya ada lampu kecil yang menerangi di sudut teras belakang. Sepertinya, Hana datang dari belakang toko yang terhubung dengan kebun bunganya.
"Tan Oppa?" panggil Hana lagi, kali ini sambil menaruh sesuatu, dan segera bergerak mendekat padanya.
Sial! Jika seperti ini, justru posisinya akan diketahui oleh mereka. Tidak ingin membuang waktu lebih lama, Tan segera membekap mulut Hana ketika wanita itu sudah mendekat. Tentu saja, Hana berusaha melepas bekapannya dan bergumam dalam pekikan yang tertahan.
"Jangan memberontak atau aku akan membunuhmu sekarang juga! Sekarang, ikut aku dan jangan bersuara!" bisik Tan dalam desisan tajam.
Hana menurutinya dan mulai terisak pelan. Tubuhnya sudah gemetar dan seperti ketakutan. Melirik singkat pada pintu belakang toko, lalu ke arah kamera pengawas, Tan segera membawa Hana pergi dari toko itu. Bahkan, dia mengangkat Hana dengan ringan sambil berjalan cepat menuju ke mobil.
Ketika dia sudah duduk di kursi kemudi, dengan Hana yang sudah duduk di sampingnya sambil menangis, di situ, dia bisa mendengar seruan dari kejauhan. Tentu saja, itu adalah dua kakak ipar yang mencari Hana. Memindahkan gigi kemudi, Tan segera melajukan kemudi dengan kecepatan di atas rata-rata, masih mengabaikan kondisi Hana yang semakin terisak di sana.
Sorot mata Tan menghunus tajam ke arah depan, lalu melirik ke kaca spion, dimana hanya kegelapan yang mengintai di belakang sana. Masih begitu fokus dalam melajukan kemudi, Tan melewati perbatasan distrik itu, menuju pada daerah terpencil dari kota itu.
Tan mendengus dan mengumpat kasar dengan hal diluar rencana seperti ini. Membawa Hana turut serta dalam kepergiannya, sama sekali tidak ada dalam rencana. Saat jalan itu sudah berada di jalur panjang menuju perbukitan, Tan menghela napas dan sudah bisa tenang. Posisinya sudah begitu jauh dari titik kendali mereka.
Kemudian, Tan baru teringat dengan Hana, dan menoleh ke arahnya. Sepertinya, wanita itu kelelahan karena menangis, lalu tertidur dengan posisi mencengkeram sabuk pengaman erat-erat, dan kepala yang terkulai lemah di kaca jendela. Tidak ingin membiarkan wanita itu tidur, Tan mengguncangkan tubuh Hana dengan kasar, sehingga dia terbangun.
"Aku membawamu bukan untuk memberimu tidur, Hana," ucap Tan dingin.
Hana mengerjap lirih, lalu mengarahkan pandangan ke luar, dan kembali ingin menangis. "A-Apa kau akan membuangku, Oppa?"
"Ide yang cukup bagus, tapi aku tidak akan memberimu kemudahan seperti itu."
"K-Kemana kita akan pergi?" tanya Hana serak.
Tan tidak menjawab, karena pikirannya sedang merencanakan sesuatu. Sudah cukup larut, dan berpikir untuk mencari ketenangan. Sorot matanya menangkap adanya papan iklan sebuah penginapan yang berada sekitar enam kilo lagi. Tanpa ragu, Tan mengikuti arah jalan menuju penginapan yang mengarah pada sebuah desa kecil.
Tan mendesis ketika merasakan adanya usapan ringan di hidung, dan spontan menepisnya. Hana tiba-tiba mengusap hidungnya yang berdarah. Cih!
"Jangan lancang padaku!" desis Tan geram.
Hana yang masih gemetar, tampak ragu dan ketakutan. "H-Hidungmu berdarah, Oppa."
"Bukankah kau senang jika ada yang membalasku seperti ini, huh?"
Hana menggelengkan kepalanya. "Kekerasan bukanlah hal yang membahagiakan."
"Bagus sekali. Simpan ucapanmu untuk kau sampaikan pada orangtuamu di neraka," balas Tan sadis.
"Sebelum ke sana, biarkan aku membersihkan darahmu," balas Hana dengan isakan pelan. "Darahmu banyak sekali."
Hana memberanikan diri untuk mengarahkan tissue dan menekan batang hidung Tan selagi dia masih menyetir. Meski dongkol, tapi tekanan di batang hidung yang dilakukan Hana, membuatnya merasa lebih baik, dan pendarahan itu berhenti sekitar beberapa menit kemudian.
Ketika Hana sudah selesai menghentikan pendarahan di hidung, Tan sudah mencapai penginapan tradisional sesuai dengan arah petunjuknya. Meski tidak yakin, tapi itu adalah satu-satunya tempat yang bisa disinggahi, sebelum melanjutkan kepergiannya esok pagi.
Mereka sudah keluar dari mobil, dimana Hana mengikutinya dalam diam. Masih terlihat ketakutan, tapi Hana tidak sekalipun mengeluarkan suara, dan terdiam saja saat Tan menyewa tempat yang ternyata bukan seperti hotel atau losmen, tapi menyewakan vila yang memiliki dua kamar di dalamnya.
Seperti tadi, Hana mengikuti Tan dengan tatapan waspada di sekelilingnya. Terlihat takut dan cemas, Hana spontan mencengkeram ujung blazer yang dikenakan Tan. Tidak sadar dengan tindakan Hana, Tan masih berjalan mengikuti pemilik penginapan yang mengarahkan mereka pada vila yang sudah disewanya.
"Silakan beristirahat. Semua fasilitas sudah ada, hanya saja tidak memiliki TV dan internet di sini," ujar pemilik itu dengan ramah, setelah membukakan pintu vila padanya.
"Terima kasih," balas Tan datar, sambil masuk ke dalam vila.
Hana masih berdiri di ambang pintu vila, dan menatap pemilik penginapan dengan ekspresi berharap.
"Ada yang bisa kubantu, Nona?" tanyanya ramah.
Tan mendesis tajam pada Hana, merasa jika wanita itu akan melakukan tindakan seperti berteriak atau meminta pertolongan. Tapi sedetik kemudian, Tan justru tertegun mendengar permintaan Hana pada pemilik itu.
"Apakah ada kotak pengobatan seperti kapas dan pembersih luka? Aku membutuhkannya," jawab Hana dengan ragu.
Pemilik itu mengangguk. "Di setiap vila, sudah disediakan dan ditempatkan di sisi dinding kamar mandi, Nona."
Hana langsung membungkuk sambil mengucapkan terima kasih, dimana pemilik itu segera pergi meninggalkan mereka. Tan tidak menggubris kehadiran Hana, selain mengitari isi vila untuk memeriksa setiap sudut ruangan. Terdapat dua kamar, satu ruang utama untuk berkumpul, sebuah dapur, dan kamar mandi. Di belakang vila, ada kolam berbatu dengan air hangat di sana.
"Oppa," panggil Hana dari belakang.
Tan berdecak dan menoleh pada wanita yang sedang memeluk sebuah kotak pengobatan di sana. Sorot matanya lirih, tampak jelas ketakutan di sana, juga lelah.
"Aku ingin mengobati lukamu," ujarnya beralasan.
"Untuk apa? Luka yang ada di wajahku adalah ulahmu!" balas Tan ketus.
Ekspresi Hana menjadi semakin sedih. "Karena itu, biarkan aku bertanggung jawab untuk mengobatinya."
Tan hanya mendengus kasar, lalu melepas blazer dan kemejanya tanpa ragu, dimana Hana memekik pelan melihat luka lebam di sekujur tubuh, lalu menangis pelan di sana.
"Jika kau menangis lagi, aku bersumpah akan membuangmu di jalan yang sepi tadi!" ancam Tan dengan penuh penekanan, dan sorot mata tidak senang.
Hana melumat bibirnya dengan erat, sambil menahan isakan dan mengusap matanya yang basah. Dia mulai mendekat ketika Tan sudah mengambil duduk di sebuah kursi kayu, lalu mulai bekerja untuk membersihkan luka terlebih dahulu.
Napas Tan tertahan ketika Hana mulai membersihkan lebam dengan alkohol, lalu memakaikan salep khusus yang tersedia di dalam kotak. Setelah punggung, Hana berlanjut untuk mengobati lebam di tubuh bagian depannya.
Berusaha untuk mengabaikan, tapi akhirnya tidak bisa menghindar ketika Hana mulai membersihkan luka di wajah. Dari balik sorot matanya yang tajam, Tan bisa melihat kesedihan dari wajah Hana yang tampak begitu lelah. Matanya yang membengkak akibat terlalu banyak menangis, tampak begitu fokus dalam membalut lukanya. Bibirnya gemetar, tampak menahan isakan dengan ekspresi meredup setiap kali melihat luka yang ada di wajah Tan.
Heran, itu yang dirasakan Tan. Bagaimana mungkin wanita bodoh itu merasa begitu sedih dan tampak terguncang dengan luka-luka yang dialaminya? Perhatian yang diberikan Hana sungguh sangat tidak masuk akal.
Tan tidak sengaja menangkap tanda memar yang samar di sepanjang leher Hana. Bisa jadi, itu adalah hasil dari cengkeraman Tan pada lehernya tadi siang. Tanpa berperasaan, Tan mencekiknya dengan penuh kesadaran dan kebencian yang begitu nyata. Tapi begitu melihat akibat dari cekikan itu, Tan harus menghela napas lelah karena perasaan bersalah yang tiba-tiba menyeruak sekarang.
Enggan untuk membiarkan rasa bersalah itu menguat, Tan menjauhkan wajahnya dari Hana, lalu mendorong pelan wanita itu, dan segera berdiri menjulang di hadapannya.
"Itu belum selesai, Oppa," ucap Hana bingung.
"Aku sudah malas melihatmu hari ini. Kau bisa tidur di sini jika mau, dan jangan sekali-kali kabur dari sini. Aku akan menempati kamar yang ada di depan," ujar Tan dengan tegas, sambil berjalan keluar dari ruangan itu.
"Oppa..,"
Tan menoleh dan menatap Hana yang masih terlihat ingin membersihkan lukanya. "Tidurlah, Hana. Lebam di wajahku tidak akan membuatku mati, sekalipun itu yang kau harapkan!"
BLAM! Pintu ditutup Tan dengan kasar, lalu beranjak dari situ sambil menggertakkan gigi. Dia hanya perlu kembali pada rencana yang sudah dipikirkannya, dan tidak perlu ragu hanya karena pengalihan yang sia-sia seperti tadi. Yaitu menghancurkan satu-satunya keturunan pembunuh, yang dibawanya tanpa disengaja, dan akan membuatnya menderita.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Lalalalalalalalala....
Diculik, Genks!
Mau banget dong kalo dibawa kabur sama Oppa muka busuk kek gini 😍
Silakan berimajinasi untuk lanjutannya, karena aku yakin pasti kalian udah kemana2 🤣
BOM di lapak ini sudah dilemparkan.
Jadi, siap dapet bom dari lapak lain?
Sabar, satu persatu.
Tanganku pegel banget, tau!
27.02.2020 (21.14 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top