Part. 5 - The Rose
Happy Valentine's day and happy weekend, Genks 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Tan mendengus sambil menggertakkan gigi karena rasa tidak senang yang semakin menjadi. Baru beberapa hari, dirinya sudah merasa tidak nyaman dan ingin segera hengkang, karena keinginan untuk segera menyelesaikan harus terhambat dengan adanya perintah yang tidak diinginkan.
Baik Hyun ataupun Shin, kedua kakak sialannya tidak bisa dihubungi. Mereka benar-benar berniat untuk menolak semua panggilannya, termasuk pesan singkatnya. Bagaimana mungkin dirinya diharuskan menetap di tempat yang sama dengan orang yang seharusnya dihabisi olehnya? Apalagi harus menerima kehadirannya dalam mansion keluarga. Ini tidak bisa dibiarkan, batin Tan geram.
"Dilihat dari ekspresimu, sepertinya kau memang ingin mengisap darah orang, Hyeongnim," sebuah celetukan tiba-tiba datang dari arah belakang, yang sukses membuat dengusan napas Tan semakin kasar.
"Bisakah kau pergi dari sini dan tidak usah menggangguku?" desis Tan sambil melirik sinis pada Jin-Wook yang sudah berjalan menghampirinya, lalu duduk di sebrangnya.
"Jangan begitu, aku sudah merelakan diri untuk menetap di sini," balas Jin-Wook ceria, seolah sikap sinis Tan tidak berarti apa-apa, dan memang seperti itu.
"Tidak ada yang menyuruhmu untuk merelakan diri, Jin-Wook!" sahut Tan sengit.
"Sayangnya, aku melakukan itu karena memiliki tanggung jawab atas pekerjaanku, yaitu menjalani keinginan Master Kim untuk menjaga keutuhan keluarga besarnya," ujar Jin-Wook santai.
Tan menyeringai sinis sambil menggelengkan kepala. "Harabeoji terlalu baik kepada semua orang, sehingga mata hatinya seringkali tertutup pada kejahatan terselubung. Seperti halnya dia yang menginginkan seorang anak perempuan, dan mengambil salah langkah untuk mengadopsi pengkhianat seperti Kim Hyu-Ra!"
Jin-Wook mengeluarkan sebuah buku memo kecil dari saku, lalu menulis sesuatu di sana, sambil bergumam seorang diri, "Masih kurang ajar, belum ada sopan santun, dan belum stabil. Pekerjaan akan jauh lebih berat dari sebelumnya."
"Apa yang kau tulis di sana?" tanya Tan dengan alis berkerut tidak senang.
"Buku dosamu. Setiap kali aku berhadapan dengan orang yang memiliki kelainan, aku menyiapkan sebuah buku sebagai pengingat. Agar suatu hari nanti, aku bisa berpuas diri, jika nantinya pada lembar terakhir terjadi banyak perubahan karena kehadiranku," jawab Jin-Wook bangga.
"Kau...,"
"Sudahlah, Hyeongnim. Master Kim berniat untuk memperbaiki keadaan yang sudah terlanjur terjadi. Dia menyadari kesalahannya, dan berusaha memperbaikinya. Keinginannya adalah satu, agar para keturunan tidak memiliki dendam, apalagi dendam yang salah. Karena akhirnya akan menjadi sia-sia. Hidupmu masih terlalu panjang untuk tidak merasa bahagia," sela Jin-Wook sambil memasukkan buku memonya ke dalam saku.
"Dan dengan adanya dirimu, membuatku semakin tidak senang," celetuk Tan tanpa beban.
"Oh yeah, hal itu sering kudengar, tapi tenang saja, aku sudah biasa. Kebanyakan orang merasa sok tidak suka, tapi mengharapkan kehadiranku. Nantinya, kau pasti akan merindukanku. Percayalah," balas Jin-Wook dengan penuh percaya diri.
Tan memutar bola mata dan merutuk dalam hati untuk satu-satunya orang menyebalkan seperti Park Jin-Wook, yang masih saja dipekerjakan oleh kakeknya, padahal sudah mendapat protes dari para kakaknya. Pria muda itu tidak seperti ayahnya, Park Yoo-Jin, yang adalah tangan kanan Master Kim, yang tegas, tenang, dan cerdas.
"Si kembar sudah melakukan tugasnya dengan baik. Mereka sedang sibuk mempelajari prosedur kerja dari dua pegawai muda, yang sepertinya akan menyenangkan jika kujodohkan," ucap Jin-Wook sambil beranjak. "Aku sudah datang untuk melihatmu, kini giliran si Kembar yang akan kuawasi."
"Tidak usah kembali, dan jangan pernah tunjukkan mukamu di sini!" balas Tan cepat.
"Tenang saja, Hyeongnim, sahut Jin-Wook ceria. "Aku tidak akan pergi lama, karena akan selalu berada di sini. Jika kau merindukanku, cukup telepon aku. Jika tidak betah sendirian karena aku tidak ada, kau hanya... OKAY! TARUH KEMBALI SEPATUMU DAN AKU AKAN SEGERA PERGI!"
Dengan tangan yang sudah terangkat, hendak melempar sepatu yang sudah dilepasnya, Tan mengawasi kepergian Jin-Wook yang sedang menggerutu itu, dengan hunusan mata tajam. Terlalu banyak bicara, juga terlalu banyak memberi omong kosong, Tan sudah bertambah gerah dengan kehadiran orang teraneh itu.
Menghela napas dengan berat, Tan melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul enam sore, tanda bahwa waktu satu jam untuk Hana menghabiskan makanannya sudah habis. Kemudian, dia segera beranjak untuk melihat apakah wanita itu sudah menjalani perintahnya atau tidak. Karena jika tidak, Tan memiliki kesempatan untuk menyakitinya lagi.
Begitu dirinya sudah menyambangi kamar yang ditempati Hana, alisnya berkerut heran karena hanya mendapati dua orang pelayan yang sedang membereskan kamar. Tray yang berisi makanan, masih ada setengah di piring, dan membuatnya menyeringai sinis.
"Dimana wanita itu?" tanya Tan kepada salah satu pelayan yang sedang merapikan ranjang.
"Nona Hana bilang ingin ke taman belakang, Tuan," jawab pelayan itu dengan hormat.
Segera bergegas, Tan menuju ke taman belakang, dimana Hana sedang duduk membelakangi di anak tangga yang mengarah pada taman belakang. Wanita itu menatap ke depan dengan tatapan kosong, sambil menggenggam setangkai bunga mawar di sana.
"Jadi, kau memutuskan untuk membuat masalah baru dengan tidak menghabiskan makananmu, dan melarikan diri ke sini?" tanya Tan dengan nada ketus dan sinis.
Hana spontan menoleh, bersamaan dengan Tan yang tertegun selama beberapa saat. Tatapannya tertuju pada bibir bawah Hana yang terluka, dengan sedikit membengkak di sana. Tampak sekali tanda kemarahan yang dilakukan Tan pada Hana begitu jelas, hingga membuat bibirnya begitu merah di sana.
"Aku tidak bisa makan banyak," jawab Hana sambil kembali menatap ke arah depan.
Tan tidak membalas. Berbagai macam hinaan atau ucapan kasar sudah disiapkan, namun tidak ada satu pun yang mampu dikeluarkan karena masih tertegun dengan bekas gigitannya di bibir Hana.
Amarah yang dilemparkan, tentunya sudah menyakiti, tapi Tan masih belum merasa puas. Lucunya, melihat bibir Hana yang terluka, justru membuatnya tidak suka. Penghakiman atas diri tentang betapa pengecut dirinya sekarang, langsung menguar begitu saja karena tidak memiliki hati untuk menyakiti wanita. Namun, hati kecilnya kembali mengingatkan betapa besar kesakitan yang dialami keluarganya, akibat orangtua Hana yang sudah menorehkan luka yang begitu dalam.
"Jika kau ingin melarikan diri dengan datang ke sini, itu tidak akan terjadi. Sebab, kau tidak diperkenankan untuk keluar dari mansion ini," ucap Tan datar.
Hana tidak menoleh atau memberi respon terhadap ucapan Tan barusan. Dia masih menatap ke arah depan sambil memainkan tangkai bunga mawar yang ada dalam genggamannya. Cukup lama, sampai akhirnya Tan merasa gerah dengan keheningan yang terjadi dengan mendengus kesal.
Senja sudah terjadi, dan langit mulai berganti malam. Sampai akhirnya, Hana beranjak dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Tan yang masih pada posisinya yang tidak jauh darinya.
Sorot mata Hana tampak begitu hampa, tidak ada senyuman, hanya kesan datar yang terpampang. Mengambil satu langkah lebih dekat, Hana mengulurkan setangkai mawar itu pada Tan tanpa memutuskan tatapan.
"Untuk apa kau memberiku mawar ini?" tanya Tan tanpa ingin mengambil mawar itu.
"Hari ini adalah hari Ibu, hari dimana aku selalu berharap untuk bisa memberikan bunga pada Eomma. Tapi Eomma sudah tiada, dan itu berkat dirimu yang sudah memberitahuku. Jadi, kurasa kau berhak menerima bunga yang selalu kusiapkan setiap tahunnya untuk diberikan pada Eomma," jawab Hana.
"Aku bukan ibumu, dan aku tidak mau menerima bungamu!" tolak Tan sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, dan menatap Hana dengan sinis.
Hana mengerjap pelan, lalu menarik kembali uluran bunga itu, dan kembali menggenggamnya. Dia tampak menghela napas dengan berat, lalu terdiam sambil berpikir selama beberapa saat di sana.
"Baiklah, aku sudah berpikir lama selama duduk di sini. Kurasa, kau akan memberiku banyak kedukaan atas sesuatu yang tidak kupahami. Jika aku perlu bertanggung jawab atas apa pun yang kau katakan, maka aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menerimanya," ucap Hana lirih.
Tan hanya menyeringai licik sambil menatap remeh, "Sudah siap sekali rupanya, kurasa kau cukup tahu diri, atau sudah tahu apa yang terjadi, tapi kau berpura-pura, bukan begitu? Berhentilah membodohi orang dan memberi sikap polos yang palsu, sebab aku tidak memiliki belas kasihan, dan sama sekali bukan seperti para kakakku yang lemah terhadap perempuan!"
Hanya karena menginginkan anak perempuan, kakeknya sampai mengadopsi Kim Hyu-Ra dengan sembarangan Hanya karena keluarga besarnya begitu mencintai anak perempuan, mereka harus kehilangan Kim Yun-Hee, dan membawa mereka dalam duka yang panjang. Juga, kedua kakaknya yang sudah mengenal cinta, lalu menikah dengan wanita pilihannya dan menjadi lemah tanpa istrinya. Semua karena perempuan.
Bagi Tan, semua itu sudah cukup. Keinginannya adalah menuntaskan semuanya dan memulai kembali kehidupannya. Itu saja. Tidak ingin melihat ibunya menangis di tengah malam, juga ayahnya yang memiliki trauma tentang rumah yang didatangi orang, dan menjadi overprotektif terhadap seluruh anggota keluarga, hanya karena tindak keserakahan dari orang yang tidak tahu terima kasih.
"Terserah padamu, Oppa. Apa yang kukatakan tidak akan memberi keyakinan, karena kau tidak percaya padaku. Meski kau bilang ingin memperbaiki karena sudah menyampaikan keadaan tentang orang tuaku, tapi yang kurasakan adalah kau ingin memenjaraiku di sini," ujar Hana kemudian.
"Aku terharu jika kau sudah mengerti tanpa perlu kujelaskan. Pada intinya, aku membencimu dan ingin segera menghabisimu," ucap Tan dingin.
Sorot mata Hana meredup, ekspresi kesedihan kembali ditampilkan, dan itu membuat Tan muak. Wajah Hana yang mirip dengan Hyu-Ra, justru menambah rasa bencinya pada Hana.
"Lakukan saja, Oppa. Aku sudah tidak punya siapa-siapa. Orang tuaku sudah tiada, dan kau bilang aku bukan bagian dari keluarga Kim. Aku sendirian sekarang," tukas Hana.
"Tidak semudah itu," balas Tan tanpa ragu. "Tidak sebelum kau mengatakan yang sebenarnya, dimana ayah sialanmu menyembunyikan data penting yang kami perlukan?"
"Data penting?"
"Semua tanda menyebutkan bahwa kau memiliki data itu. Data kecurangan, yang adalah bukti kejahatan dari ayah dan ibumu, yang sudah kau sembunyikan selama ini."
"A-Aku tidak menyembunyikan apapun. Aku juga tidak tahu soal data penting yang kau maksud."
"Tentu saja kau tidak akan mengaku dan terus berkelit. Maka itu, aku akan mencarinya sendiri. Kabar baiknya adalah aku akan dengan senang hati menyakitimu dan membuatmu jera, Hana. Sampai kau sadar dengan siapa dirimu berhadapan."
PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi Tan dengan keras. Shit! Tan mengumpat kasar sambil menatap Hana murka.
"Berhenti menuduhku tanpa alasan, Oppa! Kau terus menghina dan... Hhmmmppp."
Suara Hana tertahan karena Tan sudah mencengkeram lehernya dengan tiba-tiba. Tanpa ragu, Tan mencekik dan menatap Hana dengan sorot mata berkilat tajam. Penuh amarah dan membiarkan rasa dendam menguasai pikirannya. Bahkan, Tan mengeratkan cekikan dengan keras, hingga tubuh Hana terangkat.
Hana memukul-mukul tangan Tan, sambil bernapas dengan susah payah. Mulutnya terbuka lebar, seolah ingin berseru tapi tidak mampu, selain suara napas yang tersendat.
"Sekali lagi kau menamparku, kau tidak akan mampu berdiri berhadapan denganku, Hana! Bahkan, kau tidak akan pernah layak menerima pengampunan atas dosa keluargamu yang sudah menghancurkan hidup kami!" desis Tan tajam.
Tan melepas cengkeramannya dengan kasar, hingga Hana terjatuh di anak tangga. Wanita itu merintih kesakitan, lalu terbatuk-batuk. Tangannya sudah mengusap pinggul belakang, karena terjatuh terentang, dan terantuk sudut anak tangga. Untuk kedua kalinya, Tan sengaja membuatnya terjatuh, dan cukup puas melihatnya kesakitan.
Hana mulai menangis lirih, dan berusaha bangun dengan susah payah, tapi tidak mampu. Seperti saat terjatuh pertama kali, wanita itu menekan pinggulnya dan bernapas dalam buruan kasar seolah menghitung dalam hati.
"Menangislah selagi kau masih bisa menangis. Dan aku janji akan membawamu dalam rasa sakit yang sebenarnya, sehingga kau tidak mampu lagi mengeluarkan air mata. Bukan tangisan yang akan kuberi, melainkan ratapan untuk mengharapkan kematian!" ucap Tan tanpa berperasaan.
Hana tidak menyahut, tapi isakannya semakin pilu. Sama sekali tidak berniat untuk membantu, Tan justru menyilangkan tangan dengan tetap berdiri menjulang tinggi di posisinya.
"Kau jahat!" ucap Hana dengan suara lemah.
"Aku bisa menjadi iblis yang akan selalu menyakitimu, Hana. Percayalah," balas Tan sinis.
"Kau juga menyedihkan. Tidak punya hati. Tidak tahu tentang kasih. Kau selalu kesepian dan menutup diri," sahut Hana.
"Apakah kau berniat untuk memancingku agar aku bisa mempermudah kematianmu, dengan menyakitimu kembali? Maaf saja, aku tidak sebodoh itu. Sebelum kau mati, maka aku ingin menyiksamu terlebih dulu," ucap Tan dengan lugas dan penuh penekanan.
"HYEONG! APA YANG KAU LAKUKAN PADA HANA?" seru Zayn kaget, yang tahu-tahu sudah berada di belakang .
Tan mendengus ketika melihat adanya bala bantuan yang tidak diperlukan. Zayn yang berlari menghampiri Hana dan melihat keadaannya, sementara Zac menyusul dan sudah mengepung Hana.
"Kau sudah sangat keterlaluan, Hyeong!" desis Zac sambil berdiri dan menatap Tan dengan berang.
"Jangan bersikap sok pahlawan, Namdongsaeng. Ini adalah urusanku," balas Tan tanpa beban.
"Ini bukan urusanmu! Kau disuruh untuk memperbaiki keadaan, tapi terus membuat kekacauan! Lebih baik kau pergi dari sini! Aku dan...,"
"Siapa kau sampai berani memerintahku?" sela Tan berang. "Ini adalah urusan keluargaku! Bukan kau yang harus menerima kenyataan bahwa kakak perempuanmu dibunuh oleh tantemu sendiri! Noona-ku dibunuh, dan sudah sepantasnya aku membalaskan dendamku pada satu-satunya keturunan pembunuh yang masih hidup!"
"Hyeong! Jaga ucapanmu!" seru Zayn cemas, sambil menatap Hana yang sudah memucat dan tampak begitu kaget mendengar ucapan Tan barusan.
"E-Eomma? E-Eonnie?" ucap Hana dengan gemetar.
"Hyeong, dia sudah...," sebelum Zac mampu melanjutkan ucapannya, di situ Tan kembali mengambil alih.
"Orangtuamu sudah membunuh Noona-ku! Mengkhianati Harabeoji dengan tidak tahu berterima kasih, dan menjahati Abeoji dengan keinginan untuk mengambil kekayaan kami! Lantas, apa kau masih pantas hidup? Apa kau masih berpura-pura tidak tahu apa-apa?" bentak Tan dengan berang.
"Cukup, Hyeong!" teriak Zayn, bersamaan dengan Hana yang terkulai lemah tak sadarkan diri dalam rengkuhan Zayn.
Zac dan Zayn sudah berusaha untuk membangunkan Hana, yang tampak begitu terpukul mendengar semua kenyataan itu. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan dan memang sudah seharusnya didengar oleh Hana, batin Tan dalam hati.
Jika memang keluarganya akan menindaklanjuti dirinya, maka Tan akan memberontak untuk melakukan sesuai caranya. Dia tidak peduli, sama sekali tidak mau tahu apa yang sudah dilakukannya, dan berniat untuk mengacaukan keputusaan keluarga yang membuatnya kecewa.
Karena baginya, semua orang yang berada dalam lingkup pengkhianat itu harus mati, tanpa terkecuali. Termasuk Hana.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Dari kemarin, bawaannya emosi kalo lanjutin Christian dan Tan 😖
Balik lagi, gak bisa benci aku tuh.
Terima kasih sudah menunggu.
See you next week 💜
14.02.2020 (21.36 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top