Part. 4 - Threat

Hana membuka mata, lalu memperhatikan sekeliling dengan kepala yang masih terasa berat. Mengerjap sebanyak beberapa kali, lalu segera terbangun ketika merasa asing dengan sekitarnya. Melihat kanan kiri, lalu mengerutkan alis dengan perasaan yang tidak nyaman, karena dia sedang tidak berada di kamar pribadinya.

Pikirannya teringat tentang Tan yang menatapnya dengan penuh kebencian dan mengatakan sesuatu yang menyakitkan. Kembali terngiang ucapan Tan bahwa orangtuanya sudah tiada. Napasnya memberat, spontan menangkup dadanya yang sudah bergemuruh kencang, seiring rasa sedih yang kembali menghinggap.

"Appa, Eomma," gumamnya dengan suara serak.

Betapa Hana merindukan mereka, meski jarang bertemu, atau mendapat perhatian penuh dari mereka, tapi dia pernah merasakan sedikit perhatian ketika masih kecil. Tersenyum lirih, Hana bahkan tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal pada mereka.

"Mungkin, aku bukan putri mereka," gumam Hana sedih.

Sebab, Tan sudah sering menyebutkan bahwa dirinya bukanlah keluarga, yang berarti Hana bukan bagian keluarga Kim. Meski sebenarnya, sikap duo kembar masih seperti biasa, tapi Tan tidak. Entah bagaimana menjelaskan, yang pasti, Hana selalu merasa bahwa Tan memiliki dendam padanya. Dia mencoba mengingat-ingat, kapan terakhir kali bertemu dengan pria itu dan kesalahan apa yang sudah diperbuat. Semakin dipikirkan, semakin tidak ditemukan kesalahan itu.

Hana terkesiap ketika pintu kamar itu dibuka. Tampak Tan sudah berdiri menjulang di sana, dengan ekspresi datar dan biasa saja. "Sudah bangun rupanya," katanya.

Hana segera beranjak dan berdiri di sisi ranjang sambil mengawasi kedatangan Tan ke dalam kamar itu. Pintu dibiarkan tetap terbuka, tapi Hana masih mengerjap waspada ke arah belakang Tan, hanya untuk memastikan bahwa dia dalam keadaan yang memungkinkan untuk melarikan diri, jika sewaktu-waktu merasa terancam.

"Perlu kau ketahui, aku menerima hukuman karena sudah membuatmu seperti ini, yaitu untuk menjagamu hingga kau merasa lebih baik," ujar Tan dengan ekspresi wajah yang sama.

"Tidak usah, aku harus kembali mengurus tokoku," balas Hana cepat.

Tan hanya tersenyum hambar. "Itu balasan yang sangat kuharapkan, tapi sayangnya, kau tidak diperkenankan meninggalkan mansion ini, sebelum urusanku denganmu selesai."

Hana mengerjap bingung, "Urusan apa?"

"Untuk membuatmu lebih baik," balas Tan.

"Aku baik-baik saja."

"Itu bisa terlihat dari dirimu sekarang."

"Kalau begitu, kau tidak usah repot-repot."

"Tadinya begitu, tapi maaf, kau tetap tidak bisa keluar dari sini."

"Kenapa begitu?"

"Tidak ada jawaban untuk pertanyaanmu."

"Aku bukan keluargamu, bukan? Lepaskan aku."

"Justru karena kau bukan keluarga, maka aku tidak bisa melepaskanmu. Maaf sekali, jika kau ingin protes, silakan pada kedua Hyeong sialanku, yang harus menerimamu di sini."

Hana semakin tidak mengerti dan menatap Tan bingung. "'Aku harus mengurus tokoku."

"Sudah ada si Kembar yang mengurus toko sialanmu."

"Tidak! Aku tidak mau di sini."

"Kau tidak bisa menolak."

"Sebelum kau bisa memberi alasan, aku tidak mau!"

Tan mengangkat satu alisnya, dan menatap Hana dengan sorot mata berkilat tajam. "Apa kau yakin ingin mendengar alasannya? Aku tidak ingin kerepotan jika kau kembali pingsan seperti tadi."

Hana merasakan napasnya memberat, seiring dengan rasa marah yang tiba-tiba menguar, sambil mengepalkan kedua tangannya. Harabeoji pernah berkata padanya untuk harus menjadi pribadi yang memiliki pendirian, dan tidak membiarkan orang lain menjatuhkannya. Jangan mengusik, jika tidak ingin diusik, dan berikan pelajaran kepada orang yang terus menjatuhkan, tapi tidak dengan membalas menyakiti.

Kali ini, Hana tidak mengusik, juga tidak pernah sekali pun berpikiran buruk pada seseorang yang dihormatinya sejak lahir. Tetap diam, bukan karena tidak memiliki pendirian, tapi karena berusaha untuk mencerna situasi saat ini, dan mencari tahu apa yang membuat seorang Kim Tan begitu membencinya, setelah tidak bertemu bertahun-tahun.

Sekarang? Hana sudah yakin jika dirinya diusik, diremehkan oleh kerabatnya sendiri, dan tidak ingin membiarkannya terus menekannya tanpa alasan. Tanpa perlu berdebat lebih panjang, Hana bergeser untuk bisa melangkah menuju ke pintu, tapi cengkeraman di lengan sudah menahannya.

"Aku sedang berbicara denganmu, tidak sopan jika...,"

Hana menarik lengannya dari cengkeraman dan menatap Tan dengan wajah yang memanas. "Jangan pernah mengucapkan soal sopan santun, jika kau tidak bisa melakukannya, Oppa. Tidak ada yang perlu kubicarakan denganmu. Aku permisi."

Kembali melangkah, tapi kembali tertahan karena Tan mencengkeram lengannya lagi, dan menarik Hana hingga tubuhnya berputar ke arah Tan, lalu menubruk tubuh besarnya.

"Aku bilang kau tidak bisa pergi dari sini!" desis Tan dingin.

"Aku tidak peduli! Lepaskan aku!" sahut Hana sambil mendorong dada Tan agar menjauh, tapi pria itu semakin mengetatkan cengkeraman, kali ini di pergelangan tangannya.

"Tidak! Kau tidak akan kulepaskan! Tetap di sini dan jangan menambah kesusahanku!" balas Tan tidak mau tahu, lalu menyeret Hana untuk mengikutinya.

"Tidak! Lepaskan aku! Kau mau membawaku kemana?" pekik Hana sambil menarik tangan dari cengkeraman Tan.

"Ikut aku!" perintah Tan sambil menoleh padanya dengan berang.

"Tidak!"

"Ikut atau aku akan melakukan hal yang tidak kau inginkan!"

"Tidak! Tidak mau!"

"Aku hitung sampai tiga!"

"Aku. Tidak. Mau!"

"Satu."

Hana berusaha keras untuk menahan kedua kaki agar tidak bergerak, sambil terus menarik tangannya dari cengkeraman Tan yang semakin mengetat.

"Dua."

Suara Tan terdengar semakin dingin, dengan ekspresi yang sama dengan nada suaranya. Meski pria itu terlihat menakutkan, tapi Hana tidak ingin menyerah begitu saja. Yang dia inginkan adalah kembali ke toko bunga untuk melanjutkan sisa pekerjaannya. Belum lagi, pikiran tentang Sora dan Mina yang akan kewalahan dalam menerima pesanan.

"Tiga!"

Hana memekik kaget, ketika Tan tiba-tiba melepas cengkeramannya, sehingga dirinya terjatuh ke belakang. Dia meringis ketika terjatuh dalam posisi telentang, dan mendarat di atas lantai berkarpet. Tapi tentu saja, dirinya yang tidak boleh terjatuh, akan merasa kesakitan jika sudah mengenai pinggul belakangnya.

Segera menyamping, lalu mengusap pinggulnya dengan perlahan untuk meringankan rasa sakit itu, Hana menarik napas berat sambil menghitung dalam hati. Di tengah fokusnya menghilangkan rasa sakit, Hana merasakan Tan menangkup bahunya, lalu membalikkan tubuh agar menghadap ke arahnya. Pria itu memperhatikan Hana dengan penuh penilaian selama beberapa saat.

"Apa sesakit itu dengan jatuh di karpet? Kuharap kau tidak sedang berpura-pura, atau aku akan benar-benar menindak tegas dirimu," ucap Tan dingin.

Hana tidak ingin menjawab, dan mencoba kembali menyamping, tapi Tan menahannya. Pria itu justru mengangkat tubuhnya dalam gendongan, membuat Hana mengeluh pelan karena pinggulnya semakin sakit. Dengan hati-hati, Tan membawa Hana ke ranjang, lalu menaruhnya di sana dengan bantal yang sudah disusun tinggi.

Seperti tadi, Tan memperhatikannya dengan seksama, terlihat mencari tahu apa yang dirasakan Hana, lalu mengambil sebuah bantal duduk yang ada di sofa kamar, dan menyelipkannya tepat di belakang pinggul Hana.

Mata Hana mulai berkaca-kaca dan berusaha menyembunyikan hal itu dari Tan, dengan membuang muka ke arah lain. Jika biasanya rasa sakit itu kembali menyerang pinggul belakang, Hana hanya berusaha sendiri untuk mencari kenyamanan dalam memposisikan diri, sampai rasa sakit itu menghilang. Tapi apa yang dilakukan Tan, sudah termasuk pertolongan pertama yang didapati dari orang lain selain dirinya.

"Aku ingin kau berada di sini, selama yang dibutuhkan, Hana. Kau tidak harus bekerja, cukup menghabiskan waktu di sini. Sudah ada Zac dan Zayn yang mengurus usahamu," ucap Tan kemudian.

Sebulir air mata sudah mengalir keluar, tapi Hana langsung mengusapnya kasar. "Aku tidak mau."

Tan tidak menggubris penolakan Hana seperti tadi. Dia hanya mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan pada kepala pelayan mansion untuk menyiapkan makan siang agar dibawa ke kamar, lalu menyudahinya.

"Pelayan akan datang sekitar 10 menit lagi. Jika kau tidak membangkang tadi, maka kau tidak akan terjatuh dan sudah makan di ruang makan dengan tenang," ujar Tan tanpa beban.

"Aku tidak mau," balas Hana lagi.

"Terserah, yang jelas kau akan tetap berada di sini, suka atau tidak suka. Mau atau tidak mau," ujar Tan lagi.

"Kenapa aku harus berada di sini, sementara kau begitu membenciku, Oppa? Apa alasanmu?"

"Karena aku sudah mengatakan hal yang katanya tidak perlu kuucapkan padamu. Aku terlalu jujur dan terbuka, itu alasannya. Sehingga kau yang perlu bersikap berlebihan dengan tidak sadarkan diri, lalu hal itu membawaku dalam posisi seperti ini."

"Jadi, Appa dan Eomma sudah tiada, sementara Harabeoji tidak ingin aku mengetahuinya, begitu? Lalu kau yang datang dan memberitahuku, hal itu sudah membuatmu melakukan kesalahan, sehingga merasa perlu bertanggung jawab untuk mengawasiku?"

"Kau yang mengatakannya, bukan aku."

"Ini bukan tanggung jawab, tapi pemaksaan. Apa bedanya kau mengurungku di sini? Aku tidak diperbolehkan keluar, dan tidak usah bekerja. Untuk apa aku menghabiskan waktuku di tempat yang bukan rumahku?"

Tan mendengus sambil menatap Hana tidak suka. Dia segera berjalan menuju ke jendela, dan membuka tirainya dengan kasar. Tampak dari situ, pemandangan berupa halaman belakang mansion terpampang jelas dari posisi Hana bersandar.

"Zayn benar soal membutuhkan jasamu untuk membereskan taman bunga di belakang mansion. Kerjakan saja apa yang bisa kau lakukan untuk taman sialan itu! Anggap saja, sebagai balas budimu atas keluarga kami!" ucap Tan sinis.

Hana menatap Tan dengan tatapan tidak mengerti. "Apakah Appa dan Eomma sudah melakukan hal yang tidak pantas, sampai kau harus menghina kami seperti itu?"

"Tidak pantas? Cih! Sekali pun kau ikut mati, itu tidak akan bisa menghapus semua luka yang sudah diperbuat oleh mereka! Pengkhianatan, kejahatan, dan tindakan yang tidak termaafkan, tidak akan bisa menghapus duka yang kami alami, Hana! Jika kau ingin tahu kenapa dan apa yang mereka lakukan, mungkin kau bisa menjadi orang yang tahu diri dengan menetap di sini, dan lakukan perintahku! Aku akan dengan senang hati memberitahukannya padamu nanti," tukas Tan sambil menyeringai sinis.

Hana mengerjap lirih, dengan berbagai pikiran yang sudah memenuhi isi kepalanya yang mulai berat. Rasa sakit di pinggulnya memudar, tapi masih bersandar tanpa memiliki tenaga lebih untuk bergerak sedikit pun. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang dan membawakan satu tray makan siang untuknya. Sama sekali tidak melihat pada makanan itu, sebab Hana tidak memiliki selera makan.

"Makanlah!" perintah Tan dengan ketus.

Hana hanya membuang muka dan enggan untuk membalas ucapan Tan. Tidak ingin berdebat atau beradu mulut, Hana bahkan tidak mempedulikan Tan yang sudah kembali mendengus kasar sambil berjalan mengitari ranjang, menuju pada tray makanan yang ditaruh di meja nakas tepat di sisi ranjang.

"Makanlah!" kembali Tan memerintah, kali ini dengan tangan yang sudah memegang piring dan diarahkan pada Hana.

Hana masih bergeming dan enggan untuk menoleh pada Tan. Tidak peduli jika pria itu akan menyakitinya, Hana hanya tidak ingin melihatnya dan berharap dia pergi. Tadinya, Hana pikir jika Tan akan membuang semua isi makanan dari piring itu ke wajahnya, dan itulah yang diharapkannya agar pria itu bisa semakin dongkol, lalu pergi meninggalkannya.

Tapi Tan justru melakukan hal yang tidak disangkanya. Pria itu duduk di tepi ranjang, mendengus pelan sambil bergumam seorang diri, membetulkan posisi untuk duduk menghadap ke arah Hana, dengan piring makan yang ditaruh di pangkuannya, dan bersiap untuk menyendok makanan.

"Ini sudah hampir senja dan kau belum menikmati makan siangmu," ucap Tan sambil menggertakkan gigi, terlihat menahan emosi. "Jadi, makanlah. Jangan menambah masalah dengan tidak mau makan, lalu sakit. Itu akan sangat merepotkan."

Satu sendok makanan sudah terarah tepat di hadapan Hana, dimana Tan hendak menyuapinya, meski ekspresinya tidak senang dan menatap dengan sorot kemarahan yang terlihat menyakitkan. Hana memberanikan diri untuk membalas tatapan Tan, lalu menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak mau," ucap Hana untuk kesekian kalinya.

Satu alis Tan terangkat, seiring sorot mata yang kian menajam, dengan bibir yang mengatup rapat, tanda bahwa dia sudah berang di sana. Hana berusaha sekuat tenaga untuk tidak gentar dan menghadapi Tan dengan berani. Terus mengingatkan diri dengan pesan Harabeoji padanya, sebagai kekuatan terakhir dalam diri.

"Kau benar-benar sudah mengikis kesabaranku," desis Tan geram. "Perlu kau ketahui, aku benar-benar tidak akan segan melakukan tindakan tegas padamu, karena kau bukan siapa-siapa yang perlu kuhargai di sini."

"Kalau begitu, lepaskan aku. Biarkan aku pergi, dan aku akan mengatakan pada Harabeoji bahwa...,"

"Kau tidak diperkenankan mencari Harabeoji! Kau bukan siapa-siapa. Kau hanya orang luar yang terus bermimpi untuk menjadi bagian dari keluarga kami, tapi itu gagal," sela Tan sadis.

Pandangan Hana mengabur, seiring dengan genangan air mata yang memenuhi pelupuk mata. Setiap kali mendengar Tan mengatakan bahwa dirinya bukan bagian keluarga, setiap kali itulah hatinya berdenyut nyeri. Hana mengerjap dan langsung mengusap matanya dengan kedua tangan.

"Jika kau ingin aku tetap di sini, maka tinggalkan aku," ucap Hana sambil menunduk, dan membuang muka ke arah lain karena tidak ingin melihat Tan.

"Aku menyuruhmu makan, tapi kau terus mengabaikanku, Yeodongsaeng," ucap Tan dengan nada sinis.

"Aku tidak mau," balas Hana.

Balasan Hana tidak langsung ditanggapi Tan. Sebab, pria itu menaruh piring makan itu pada tray makanan yang ada di meja nakas, lalu menyuapi dirinya dengan makanan yang sudah disendokinya tadi, dan menaruh sendok itu kembali di piring. Hana pikir Tan menyerah dan akan meninggalkannya, tapi lagi-lagi, pikirannya salah.

Sedetik kemudian, Hana memekik kaget ketika tangan besar Tan menangkup rahangnya dengan mantap, lalu mengarahkan kepala Hana agar menghadap ke arahnya, dan mendongakkannya. Tanpa ragu, Tan menekan kedua pipi Hana agar mulutnya terbuka, lalu memiringkan wajah untuk mendorong makanan yang sudah dikunyahnya ke dalam mulut Hana.

Hana melakukan perlawanan, tapi Tan menahannya. Dua tangannya sudah dicengkeram kuat oleh satu tangan Tan yang bebas, sementara satu tangannya masih menekan kedua pipi agar mulutnya tetap terbuka untuk menerima semua makanan dari mulut Tan.

Hana yakin dia sudah menahan napas selama proses itu terjadi. Suapan yang dilakukan dari mulut ke mulut, sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Hana, dan itu didapati dari seorang pria yang sudah dianggapnya keluarga. Tekanan di kedua pipi dilepaskan, tapi itu tidak membebaskan Hana, melainkan membawanya ke dalam satu situasi yang berbeda.

Masih dengan mulutnya, Tan mengatupkan mulut Hana dengan menekan bibirnya di sana. tidak bisa menghindar, karena tangan Tan sudah menahan kepala belakang agar tidak mundur. Hana tidak memiliki waktu untuk mengambil napas, dan makanan yang ada di dalam mulutnya tertelan begitu saja. Setelah itu, Tan menggigit bibir bawahnya, dan membuat Hana meringis pelan.

Gigitan itu cukup menyakitkan, hingga mulut Hana kembali terbuka untuk mengeluarkan sebuah rintihan kesakitan. Masih belum sempat menarik napas, mata Hana membelalak kaget ketika lidah Tan meluncur masuk ke dalam mulutnya, bergerak memutar seolah mengeksplorasi rongga mulutnya, seperti memeriksa apakah mulutnya sudah kosong atau masih ada makanan di dalam.

Setelah puas meliukkan lidahnya di dalam, Tan melumat bibir Hana dengan keras, sambil menatap tajam dari sudut matanya. Lemas, itulah yang dirasakan Hana saat ini. Tidak menyangka jika dirinya akan mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang Kim Tan padanya.

Tan mengakhiri tindakannya dengan menarik bibir bawah Hana dalam hisapan yang kuat, sambil melepas bibirnya. Kini, Hana sudah tidak bisa menahan isak tangisnya dan menatap Tan dengan kekecewaaan yang begitu mendalam. Ketika Tan melepas cengkeramannya, di situ Hana segera menampar pipi Tan dengan keras. PLAK!

"Aku membencimu, Oppa! Kau jahat! Kau sangat jahat!" teriak Hana sambil menangis terisak, lalu memukul-mukul dada Tan dengan frustrasi.

Tan membiarkan Hana meluapkan amarahnya lewat pukulan-pukulan yang tidak terasa apa-apa baginya selama beberapa saat, sampai pukulan Hana melemah dalam isak tangis yang belum mereda. Dia mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan Hana, lalu menyeringai sinis melihat ekspresi kesedihan dari wanita itu.

"Jika kau sudah membenciku, itu berarti kau sudah siap menjadi lawanku, Hana. Aku tidak akan menaruh belas kasihan pada orang yang sudah merampas kebahagiaan keluargaku, tidak terkecuali," ucap Tan dengan penuh penekanan, lalu beranjak dari tepi ranjang, sambil terus menunduk menatap Hana. "Dalam waktu satu jam ke depan, kau masih belum menghabiskan makananmu, maka kau akan mendapatkan tindakan yang lebih dari apa yang kulakukan tadi."

"Aku tidak...,"

"Sekali lagi kau mengucapkan kata sialan itu lagi, aku bersumpah akan menyumpal mulutmu dengan hal yang akan kau sesali seumur hidupmu, Hana!" sela Tan tajam, dan sorot mata yang jauh lebih menakutkan dari sebelumnya.

Hana bungkam, mulai merasa takut dengan sosok Tan yang ada di hadapannya saat ini. Ancaman yang dilayangkan, sudah terdengar seperti peringatan yang tidak boleh diabaikan. Isakan tangisnya pun tidak mampu dikendalikan, dengan napas yang terasa semakin sesak.

"Satu jam dimulai dari sekarang, Hana. Jangan memancing amarahku lagi, atau kau akan menyesal," ucap Tan kemudian, lalu berjalan untuk meninggalkan kamar itu, dan menutup pintu dengan kencang.

Hana melonjak kaget mendengar debuman pintu kamar yang begitu keras, lalu segera menarik selimut untuk menyelimuti seluruh tubuh, dan meringkuk di dalamnya untuk menangis di sana. Untuk semua perasaan yang dirasakannya selama ini, Hana masih belum mendapatkan penjelasan atau titik temu untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang belum terjawab.

Karena itu, Hana menumpahkan seluruh kesedihannya dalam tangisan yang semakin pilu, untuk sekedar mengosongkan diri dari beban yang sudah lama dipikulnya, agar memiliki kekuatan baru dalam menghadapi cobaan yang lebih besar dari sebelumnya. Dia akan berusaha untuk mencari tahu tentang orangtuanya, apa yang sudah diperbuat mereka, dan kenapa Hana harus menanggung semua akibat itu sendirian.

Meski dia tidak yakin, apakah diberi kesempatan untuk sekedar mengetahui alasannya, dan hanya bisa berharap dalam ketidakpastian yang membuat posisinya merasa terancam. 



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Aku lagi demen2nya sama Woo-Bin Oppa, selain Ahjussi yang lagi ngehits itu 😛

Met bobo semuanya 💜




06.02.2020 (22.09 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top