Part. 30 - Lift me up

Aku tulis part ini sambil denger
lagu jadul ini.
Part ini akan mengundang rasa dongkol dan umpatan, jadi siap2 aja 🤣


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Jika ada yang bisa menggambarkan perasaan Hana hari ini, mungkin taman bunga terbesar yang terpampang di hadapannya adalah yang paling tepat. Taman besar itu dipenuhi oleh berbagai macam jenis bunga, dimana ada gerbang berbentuk hati yang dirangkai dari susunan bunga-bunga indah di sana. Di sisi lain taman, ada sebuah danau besar, dilengkapi air pancuran di tengah danau dengan sepasang patung angsa berwarna putih yang menghias di sana.

Rasa lelah karena harus mengikuti penerbangan untuk mencapai ke sini, langsung sirna ketika bisa melihat semua keindahan itu. Tempat itu sudah seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Hana sangat menyukai bunga, hingga tidak tahu alasannya kenapa sampai sesuka itu pada bunga.

"Apa kau tahu apa cita-citaku, Oppa?" tanya Hana sambil menoleh pada Tan yang sudah berdiri disampingnya.

Tan menoleh dan menatapnya dengan ekspresi datar seperti biasa. "Kau terlalu banyak cita-cita."

Hana tertawa pelan dan memeluk Tan dari samping dengan erat. "Aku ingin sekali memiliki toko bunga, dan merangkai buket-buket indah. Membayangkan ekspresi bahagia dari orang yang menerimanya sudah membuatku senang."

Tan merangkul pinggang Hana, lalu mengecup pucuk kepalanya dengan dalam. "Aku bisa mewujudkannya untukmu."

"Apa karena kau memiliki banyak uang?" tanya Hana sambil mendongak pada Tan yang begitu menjulang.

Tan menunduk untuk bisa membalas tatapannya. "Tidak, tapi aku memilikimu yang adalah duniaku."

Rona panas langsung menjalar di kedua pipi Hana, spontan mengatupkan bibir untuk menahan senyuman. Terkadang, pria dingin jika sedang dalam keadaan normal, membuat degup jantung Hana berdetak tidak wajar.

"Kenapa kau tiba-tiba bersikap manis? Apakah nantinya kau akan berubah menjadi tega seperti sebelumnya?" tanya Hana jujur.

Ekspresi Tan masih sedatar tadi, sama sekali tidak terpengaruh dengan pertanyaan Hana yang sebenarnya sudah membuatnya merasa jengkel. "Semua tergantung dari apa yang akan kau lakukan nantinya."

"Bagaimana jika aku akan terus mengganggumu karena kau yang selalu merasa terganggu?" tanya Hana lagi dengan ekspresi tanpa dosa.

Tan memicingkan mata, memberi sedikit tekanan pada Hana yang berniat untuk mencari masalah, tapi Hana pun sepertinya tidak lagi terpengaruh dengan intimidasi yang berusaha dilakukan. Pria itu memang menyebalkan, dan Hana merasa perlu menyeimbangkannya dengan bersikap seolah tidak peduli, meski sudah waswas dalam hati.

"Baiklah, teruslah menggangguku," ucap Tan akhirnya.

Hana tercengang dan menatap tidak percaya. "Jinjja?"

Sudut bibir Tan tertarik sedikit dalam senyuman enggan. "Kau menantangku, tapi kau juga yang kebingungan. Jangan menguji jika kau ragu, Hana. Itu bukan cara yang tepat untuk membungkam lawan."

"Kau bukan lawanku," balas Hana langsung.

Tan mengusap pelipisnya dan berpaling pada pemandangan itu. "Ini adalah rumah baru kita."

"Rumah baru?" tanya Hana kaget.

Tan mengangguk. "Taman dan danau adalah wilayah bagian depan yang menjadi gerbang utama. Aku mengajakmu turun dari mobil adalah untuk melihat-lihat."

Hana tidak mampu berkata-kata sambil menatap Tan tidak percaya. Pria itu berniat untuk memberinya satu wilayah, bukan satu bagian.

"Ini adalah hadiah pernikahanku, ingat? Aku ingin memberimu kenyamanan dengan memberi tempat tinggal yang jauh dari keramaian. Jika kau ingin ke pusat kota, kita bisa menggunakan mobil untuk menuju ke sana sekitar tiga jam," ucap Tan sambil membimbingnya untuk masuk kembali ke dalam mobil.

"Kau membelikan satu distrik untuk hadiah pernikahan?" tanya Hana untuk memastikan, setelah dia sudah berada di dalam mobil.

"Satu wilayah yang terdiri dari sepuluh distrik kecil," jawab Tan lugas. "Warga setempat tetap mendapatkan rumah mereka sebelum kubeli, dan kupekerjakan sebagai pekerja yang membersihkan taman, danau, dan fasilitas lainnya."

"Apa bisa seperti itu? Bagaimana mungkin pemerintah bisa..."

"Selama kau memiliki uang dan kekuasaan, juga bisa memenuhi perjanjian tentang pelestarian dan perawatan lingkungan, kurasa itu tidak masalah karena kau sudah meringankan beban mereka dalam mengurus wilayah kecil ini. Lagi pula, mereka mendapat uang yang cukup banyak dan lingkungan tetap terjaga," sela Tan.

Hana tidak sanggup berkata-kata lagi, selain mengedarkan pandangan ke luar jendela dengan ekspresi takjub. Di sekelilingnya adalah taman bunga yang benar-benar luas dan indah. Jarak dari gerbang utama menuju ke rumahnya memakan waktu hampir lima belas menit, jika Hana tidak salah menghitung waktunya.

Sebuah rumah besar sudah terlihat dari jangkauan Hana, begitu megah dengan kolam pancuran yang menghias di depan bangunan rumah. Hana merasa seperti sedang berada di dunia mimpi, karena sekelilingnya terlalu indah untuk sebuah kenyataan.

Mobil berhenti tepat di depan pintu utama rumah, dan Tan segera keluar untuk membukakan pintu mobil bagi Hana. Masih tidak mampu berkata-kata, Hana hanya bisa mengikuti Tan yang sudah membimbingnya untuk masuk ke dalam rumah yang tidak kalah indahnya dengan apa yang tampak dari luar.

"Tadinya, rumah ini hanyalah rumah sederhana yang terdiri dari dua lantai. Aku merubuhkan dan membangunnya kembali dalam waktu singkat, supaya saat hari ini tiba, kau bisa melihat dan menyukainya."

Tan benar-benar tahu tentang arti kehidupan baru, sehingga memberi tawaran yang tidak tanggung-tanggung. Meski berlebihan, tapi kekaguman Hana tidak berhenti sampai di situ, karena sebuah bungalow yang ada di sisi belakang rumah membuat Hana memekik pelan.

"Itu adalah toko bunga yang kau inginkan," bisik Tan sambil memeluknya dari belakang.

Hana menoleh pada Tan dengan mata berkaca-kaca. "I-Itu... toko bunga?"

Tan terdiam selama beberapa saat, lalu mengangguk. "Distrik ini memiliki kenangan terindah bagiku. Toko bunga itu sudah ada sejak dulu, dan aku hanya merenovasi ulang supaya terlihat lebih menarik."

Hana kembali menatap bungalow itu, dan mulai melangkah untuk keluar dari pintu kaca rumah, berjalan melewati taman bunga kecil yang menjadi penghubung antara rumah dengan bungalow itu. Semua tampak familiar, batinnya.

Dia mendorong pintu bungalow, dan aroma bunga segar menyambutnya, dimana ada dua orang wanita muda yang sedang melakukan kegiatan di dalam sana, menoleh dan menatap kedatangannya dengan ekspresi tertegun.

Hana tampak salah tingkah saat dilihat oleh dua gadis itu, sementara Tan mendorongnya masuk sambil merangkul bahu, memperkenalkan dua gadis itu padanya.

"Mereka adalah pekerja di toko ini, namanya Mina dan Sora," ujar Tan sambil menunjuk dua gadis yang tertegun menatap Tan dan Hana secara bergantian.

Kedua gadis itu membungkuk pada Hana dan Tan sambil menyapa mereka.

"Namaku Mina, salam kenal, Sajangnim."

"Aku Sora, senang berkenalan denganmu, Sajangnim."

Hana segera membungkuk, lalu mengernyitkan kening dengan suasana yang familiar seperti ini. Tatapannya memperhatikan sekeliling dengan penuh penilaian, mengawasi setiap sudut ruangan, dan mulai berjalan mengitari. Tidak menyadari jika Tan sedang memberi lirikan tajam pada Mina dan Sora yang mengerjap gelisah di posisi mereka.

"Apa ada masalah?" tanya Tan saat Hana belum mengeluarkan suara.

Hana menoleh dan menggeleng sambil tersenyum tipis. "Tidak, aku menyukai toko ini. Hanya saja... aku merasa seperti pernah berada di sini."

Mina dan Sora saling melempar pandangan, lalu kembali memperhatikan Hana dengan tatapan penuh tanya. Tan masih memasang ekspresi biasa saja sambil memasukkan dua tangan ke dalam saku.

"Ingat apa yang pernah kukatakan padamu? Jika ada sesuatu, catat itu. Saat kau merasakan sesuatu, kau bisa membuka kembali buku catatanmu," ujar Tan lugas.

Hana mengangguk dan kembali melayangkan pandangan sekali lagi, lalu menatap Mina dan Sora dengan hangat sambil memberikan senyuman. "Kalian berdua cantik sekali."

Mina dan Sora hanya menggumamkan terima kasih sambil terus menatap Hana penuh arti. Entah kenapa Hana bisa merasakan jika dua gadis itu seperti mengenalnya.

"Kurasa, aku perlu beristirahat," gumam Hana pelan, lalu menoleh pada Tan yang sudah merangkul bahunya dengan erat.

"Pelan-pelan saja," ucap Tan lembut. "Kau memiliki waktu seumur hidup untuk bertanya padaku tentang apa saja yang tidak kau pahami."

Hana merasa perasaannya menghangat, dan tersenyum lebar sambil menatap Tan dengan sorot matanya yang penuh arti. Dia membiarkan Tan menggenggam tangannya dan kembali pada rumah yang ada di belakang bungalow itu. Sebelumnya, Hana berbalik untuk melambaikan tangan pada Mina dan Sora.

"Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Hana saat mereka sudah keluar dari sana.

"Apa yang aneh?" tanya Tan sambil menoleh ke arahnya.

"Aku merasa Mina dan Sora mengenalku," jawab Hana.

Tan mengangguk. "Tentu saja, mereka mengenalimu karena kau adalah bos mereka. Akan sangat aneh jika pekerja tidak mengenal siapa pemimpinnya."

"Tapi, aku baru pertama kali ke sini dan..."

"Ada waktunya kau akan mengerti, Hana. Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Dokter sudah datang untuk memeriksa dirimu," sela Tan lembut.

"D-Dokter?" tanya Hana bingung saat Tan membukakan pintu kaca untuknya.

"Aku ingin meyakinkan diri bahwa kau memang sedang mengandung. Aku tidak ingin sesuatu terjadi pada kandunganmu," jawab Tan.

Tangan Hana spontan mengusap perutnya yang rata sambil berjalan memasuki rumah, dimana Tan mengikutinya dari belakang. "Aku... tidak tahu tapi... aku memang sudah tidak mendapatkan siklus bulananku terhitung sejak..."

Hana memutar otak, mencoba mengingat kembali kapan terakhir kali dirinya mendapatkan siklus bulanan, dan mengernyit bingung karena sudah seperti beberapa bulan tidak mendapatkannya.

"Mungkin aku terlalu lelah karena harus mengikuti pelatihan sehingga siklus bulananku tidak teratur," ucap Hana dengan suara bergumam.

Tan hanya menoleh dan menyeringai licik saat mendengar ucapannya, lalu mengangkat bahu dengan santai. "Biarkan dokter memeriksamu sebentar, Yeobo. Setelah itu, kau bisa beristirahat."

Hana selalu merasa gugup jika dipanggil seperti itu oleh Tan, sampai menggigit bibir bawah untuk menahan senyuman, tapi tidak berhasil karena cengirannya sudah lebar sambil menatap Tan dengan senang.

"Dasar wanita," gumam Tan seorang diri, tapi masih bisa didengar oleh Hana, lalu tertawa pelan saat Hana memukul pelan punggungnya karena gemas.

Rumah itu memiliki banyak ruangan yang tidak bisa diingat oleh Hana dalam waktu singkat. Namun yang pasti, ada sebuah ruangan khusus yang seperti sebuah ruang rawat pribadi dengan peralatan kesehatan yang lengkap. Sudah ada seorang pria tua yang memakai jubah putih, juga seorang perawat di sampingnya, menyambut kedatangan Hana dan Tan dengan ramah.

Hana langsung dibimbing oleh perawat itu untuk berbaring di ranjang, menaikkan blouse yang dikenakan sampai batas di bawah dada, lalu memakaikan cairan pendingin di bawah perut. Rasa panik sudah menjalar, dan Hana langsung menoleh pada Tan yang langsung bergerak mendekatinya, lalu menggenggam tangannya dengan erat seolah menenangkan.

"Tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja. Aku janji," bisik Tan sungguh-sungguh, ketika Hana menatapnya dengan ekspresi seperti ingin menangis.

"Aku takut," balas Hana dengan suara tercekat.

"Ada aku di sini," sahut Tan sambil mengecup keningnya, lalu menoleh pada dokter yang sudah datang dan duduk di samping ranjang, bersiap dengan berbagai peralatan yang ada di dekat layar monitor.

Hana menahan napas saat sebuah alat ditempelkan pada perutnya, dengan tampilan di layar monitor yang memperlihatkan sesuatu yang tidak dimengerti oleh Hana. Sebaliknya, Tan menatap ke layar monitor dengan mata menyipit tajam, seolah mempelajari apa yang terlihat di sana.

"Status?" tanya Tan dengan suara dalam.

"Positif," jawab dokter itu.

"Detak jantung?"

"Normal."

"Kondisi?"

"Sehat."

"Trismester?"

"Mendekati akhir dari trimester pertama."

Tan tersenyum miring, tampak begitu puas dengan apa yang terlihat. Dia masih melakukan pembicaraan yang benar-benar tidak dimengerti oleh Hana. Sampai akhirnya, Hana tersentak saat perawat mencengkeram satu lengannya, lalu meringis saat merasakan adanya tusukan di sana. Tidak sempat menghindar, perawat itu sudah menyuntiknya.

"A-Apa yang kau lakukan?" tanya Hana dengan mata terbelalak lebar.

"Itu hanya vitamin," jawab Tan sambil mengarahkan wajah Hana untuk bertatapan dengannya. "Kau sedang mengandung dan tidak mendapatkan asupan yang cukup untuk tubuh dan janin. Vitamin itu membantu untuk menjaga daya tahan tubuh dan menahan serangan mual."

"Bisakah kau memberitahuku jika akan melakukan hal seperti ini?" tanya Hana lirih.

"Bisakah kau tidak menolak dengan keras kepala jika aku memintamu untuk meminum semua vitamin yang kuberikan padamu sebelumnya?" tanya Tan balik, lalu terkekeh melihat Hana merengut cemberut.

"Kita harus membuat kesepakatan," ucap Hana saat diperbolehkan untuk beranjak dari ranjang, lalu mengucapkan terima kasih pada dokter dan perawat sebelum meninggalkan ruangan.

"Kesepakatan untuk?" tanya Tan.

"Untuk kebaikan hubungan ini. Aku tidak ingin kau melakukan sesuatu tanpa sepengetahuanku begitu juga dengan sebaliknya," jawab Hana.

"Baiklah, aku mengerti. Hal yang sama juga berlaku untukmu."

"Sepakat."

Keduanya saling melempar senyuman, memberi sorot mata penuh arti yang sama, dan merasa begitu bahagia. Kehidupan pernikahan tidaklah serumit yang dibayangkan Hana. Bersama dengan Tan, hidup Hana terasa lebih berwarna. Jika tadinya hidup Hana terasa hampa, tapi kali ini tidak. Hana sudah memiliki semangat hidup yang baru, yang membuatnya merasa dicintai sepenuh hati.

"Bukankah kau ingin beristirahat? Ayo, kuantar kau ke kamar kita," ucap Tan sambil merengkuh pinggang Hana dengan erat.

Hana mengangguk. "Aku ngantuk sekali."

"Maaf, jika..."

"Hana!"

Sebuah panggilan yang lantang tiba-tiba terdengar, membuat Hana segera menoleh dan mendapati seorang pria berpakaian resmi sudah berada di ambang pintu utama, menatapnya dengan sorot mata hangat dan tajam di sana.

Kening Hana berkerut, melihat pria itu yang tampak seperti mengenalnya. Dia terlihat bingung, sedih, kaget, juga marah. Entahlah. Ada rasa yang tidak nyaman saat melihat pria itu. Debaran jantung yang tidak biasa, juga kerinduan yang tidak diundang, membuat perasaan Hana menjadi bimbang.

Tanpa sadar, Hana melangkah tapi Tan sudah lebih dulu menghalanginya dengan menyembunyikan Hana di balik tubuh besarnya, dan menatap lantang pada pria yang kini menatap Tan dengan ekspresi menggelap dan rahang mengetat.

"Kau tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam rumah ini! Keluar sekarang juga, atau aku akan menyeretmu dengan paksa!" desis Tan tajam.

Pria itu tampak tidak peduli, tapi justru mendesis lebih tajam dari Tan. "Aku tidak akan keluar sebelum mengambil kembali apa yang sudah kau rebut dariku!"



END.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Jangan protes gitu dong 🤣
Iya, ini udah tamat.
Endingnya emang gantung, biar mereka gelut aja di sana. 🙈

Sebenarnya, masih ada part2 lagi, tapi daripada hiatus dan mood nggak balik, mendingan aku tamatkan dari sini 🙃
Nanti kalo niat, aku kasih ekstra part untuk kelanjutannya 🤣

Semoga harimu menyenangkan.
I purple you. 💜💜💜

22.10.2020 (22.40 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top