Part. 29 - Live the life
Annyeong, Yeorobun 😍
Udah kayak lama banget aku nggak ngelapak di Wattpad yah 😅
Asli, duta mengalihkan kehaluanku.
Kita mulai dari si bungsu yah.
Happy Reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Tan masih bergeming melihat Hana yang terus keluar masuk toilet untuk melakukan hal pribadi. Dalam hitungan lima menit, Hana sudah tiga kali melakukannya.
Alasannya adalah membuang air, padahal segelas air putih yang tersaji di sisi kursi pun belum dihabiskan. Belum lagi keluhan tentang sajian makanan yang terus diprotes Hana sehingga membuat staff kabin menjadi kebingungan.
Berada di jet pribadi, Tan dan Hana menuju ke tempat yang sudah disiapkan Tan untuk kehidupan baru mereka. Penerbangan yang hanya memakan waktu beberapa jam, kini terasa begitu lama karena melihat Hana yang tidak bisa diam. Duduk bersebrangan, mau tidak mau, Tan harus melihat apa yang dilakukan Hana, membuat pikirannya terbuyar dan tidak bisa bekerja.
"Jika kita memakai pesawat komersil, kurasa kau akan dilempar keluar," komentar Tan saat melihat Hana sedang memakai sabuk pengaman.
Hana mendengus tidak suka, menatap Tan dengan ekspresi cemberut. Untuk saat ini, Tan mengutuk hormon kehamilan yang membuat Hana menjadi wanita yang selalu merajuk dan memiliki kelabilan emosi yang tidak diperlukan.
"Aku benar-benar harus ke toilet, Oppa. Jika aku menahannya, maka perutku terasa sakit. Apa kau pikir aku senang mondar mandir dan tidak lelah dalam melakukan hal yang sama?" ucap Hana ketus.
"Kau tidak menuruti apa yang kukatakan padamu untuk minum vitamin yang kuberikan sebelum lepas landas," ucap Tan enteng.
"Aku tidak mau minum obat," tolak Hana untuk kesekian kalinya.
"Itu bukan obat, tapi vitamin," koreksi Tan.
"Sama saja. Aku lebih suka mengonsumsi vitamin secara alami, misalnya buah atau sayuran."
"Tapi kau menolak semua makanan yang disajikan untukmu. Perlu kau ketahui jika jet ini memiliki bahan makanan terbatas, bukan swalayan atau restoran yang bisa kau pesan semaumu."
"Kenapa aku selalu salah di matamu, Oppa?"
"Aku tidak menyalahkanmu, hanya menjelaskan."
"Tapi kau menuduh!"
"Aku tidak menuduh."
"Ya, kau menuduhku dan merasa aku adalah pengganggu! Ekspresimu mengatakan semuanya dan aku tidak suka. Jujur saja, aku juga kesal karena harus menjadi seperti ini. Dan apa kau tahu? Aku merasa ada yang menjanggal di salah satu bagian tubuh, jika kugerakkan menjadi sakit."
Mata Tan melebar ketika melihat Hana menunjuk tepat di bagian rusuk. Segera menyingkirkan laptop ke sisi kosong bangku dan melipat meja ke samping, Tan beringsut mendekat dan berlutut di depan Hana.
"Tepatnya dimana?" tanya Tan sambil mengangkat atasan Hana untuk menekan pelan di sana. "Apakah ini yang sakit?"
"Tidak, sedikit ke bawah... ugh, itu... jangan terlalu kencang," keluh Hana saat Tan menekan bagian yang dimaksud Hana.
Kening Tan berkerut, mempelajari apa yang ditekan dan dirabanya saat ini. "Rasanya seperti berdenyut, menusuk, atau terbakar?"
"Jika tidak disentuh, rasanya seperti berdenyut. Jika ditekan, maka seperti menusuk," jawab Hana sambil meringis pelan ketika Tan kembali menekannya perlahan.
"Kostokondritis," gumam Tan seorang diri dengan pikiran yang sudah berkelana kemana-mana.
Teringat pada tindakan yang dilakukannya pada tubuh Hana kala itu, seharusnya tidak ada yang tertinggal. Seharusnya, ingatnya dalam hati. Tapi mendapati keluhan Hana seperti ini, bisa jadi masih ada yang tertinggal di dalam tubuhnya.
"Ada apa, Oppa? Apakah ini membahayakan?" tanya Hana bingung.
Sambil menurunkan atasan Hana, Tan menatap dengan tajam. "Kapan kau merasa sakit di situ?"
Kening Hana berkerut, tampak mengingat-ingat, lalu menggeleng pelan. "Entahlah, sepertinya sudah lama sekali. Jika aku mengangkat tangan atau duduk terlalu lama, maka aku akan merasa seperti itu."
Spontan, tangan Tan mendarat di atas perut Hana dan mengusapnya lembut. "Jika kandunganmu semakin membesar, maka akan terasa lebih sakit. Itu dikarenakan adanya tekanan yang akan membuatmu merasa seperti terhimpit."
"Apakah itu berbahaya?" tanya Hana lagi.
"Seharusnya, tidak. Tapi, bisa berbahaya jika itu membuatmu semakin tidak nyaman. Jadi, apa kau merasa seperti kehabisan napas, atau kejang, atau apapun yang membuatmu tak berdaya saat rasa sakit itu muncul?"
Kening Hana berkerut, lalu menggeleng pelan. "Hanya sakit saat aku melakukan gerakan yang tadi kusebutkan."
"Baik, itu normal. Satu-satunya cara adalah mengurangi gerakan yang memicu rasa sakit itu, kecuali jika harus dilakukan pembedahan."
"Aku tidak mau!" tolak Hana cepat. "Aku tidak suka jarum dan pisau, rasanya menyakitkan. Aku pernah merasakan hal seperti itu dan aku tidak mau lagi."
Alis Tan terangkat, menatapnya dengan penuh penilaian. "Apa kau ingat pernah dibedah seperti itu?"
"Aku merasa pernah," ujar Hana meyakinkan. "Meski aku tidak ingat, tapi aku yakin jika pernah mengalaminya. Entahlah, hanya rasa sakit yang terasa tapi lupa kapan hal itu terjadi padaku."
Menatap lirih, Tan menaruh simpati yang begitu dalam pada wanita kesayangannya. Sorot mata Hana yang tampak bingung dan lugu, membuat perasaan Tan terenyuh. Tidak ingin Hana merasakan kesakitannya, juga tidak ingin membuat Hana terus merasa bingung, maka Tan perlu menyampaikan lebih banyak.
"Kini, kau adalah istriku, Hana. Aku adalah orang yang akan bertanggung jawab atas hidupmu, termasuk memberimu kebahagiaan. Untuk itu, aku merasa kau perlu tahu satu hal tentang dirimu," ujar Tan dengan pelan dan sangat hati-hati.
Mata Hana mengerjap lirih. "Apa maksudmu, Oppa?"
"Semua yang kau rasakan, tapi tidak kau ingat adalah nyata, Hana. Kau bisa melatihnya, atau bahkan mencatatnya setiap kali kau mengingat sesuatu yang terasa begitu nyata. Tidak ada hal yang bisa kuberikan, selain memberimu waktu untuk mencerna semuanya. Hanya dirimu yang bisa melakukannya, itu saja," jawab Tan serius.
Ekspresi Hana memucat, mengerjap cepat sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela, lalu mengusap wajahnya dengan kalut. "Seperti... mimpi buruk?"
"Mimpi buruk?"
"Aku pernah bermimpi tentang seorang wanita tua yang wajahnya mirip denganku. Dia tampak begitu sedih, tidak memiliki semangat, dan tersenyum lirih padaku."
Mata Tan melebar kaget. "Lalu?"
Hana menatap Tan dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Dia minta maaf padaku."
Sedetik kemudian, Hana terisak pelan dan mendekat untuk meminta sebuah pelukan. Tan segera meraihnya dalam pelukan erat sambil menenangkan Hana.
Setelah tindakan akhir yang dilakukan untuk pengambilan data lewat tubuh kala itu, atas permintaannya sendiri, Kim Hyu-Ra meminta untuk tinggal di sebuah pulau kecil yang menjadi salah satu base camp Eagle Eye untuk menghabiskan sisa hidupnya dalam pengasingan yang diinginkannya.
Meski Harabeoji tidak setuju, tapi Hyu-Ra memohon sambil mengantukkan kepala di lantai, sambil berteriak frustrasi. Tidak ingin Hyu-Ra celaka, Harabeoji terpaksa mengabulkannya, dan Abeoji mengantar Hyu-Ra bersama Samchon ke pulau itu. Tentu saja, Tan bersama dua kakaknya ikut mendampingi.
Sebelum benar-benar menyerahkan Hyu-Ra untuk tinggal di pulau terpencil yang berada di sisi tenggara bumi, Hyu-Ra menatap Tan penuh arti dan tersenyum lirih padanya.
"Maaf jika aku begitu lancang dalam meminta sesuatu padamu. Tapi, tolonglah aku untuk menjaga putriku. Jika perlu, jangan membuatnya mengingat lagi tentang diriku yang sudah menjadi ibu yang tidak berguna baginya," ucapnya kala itu.
Tan tidak memberi balasan, hanya menatapnya tajam dan bergeming saja, hingga wanita itu berlalu menuju ke rumah penahanan yang sudah disiapkan untuknya.
"Kenapa kau menangis?" tanya Tan ketika isakan Hana sudah berhenti.
"Aku tidak tahu, hanya saja aku merasa sedih setiap kali mendapat mimpi seperti itu," jawab Hana serak, dan menerima uluran sapu tangan dari Tan untuk mengusap pipinya yang basah.
"Apa kau merasakan sesuatu saat mengingatnya?" tanya Tan lagi.
Hana mengangguk.
"Apa itu?"
"Kecewa, sedih, marah, dan kasih sayang yang tidak kupahami. Semuanya terasa rumit," jawab Hana lirih.
"Hana," panggil Tan lembut.
"Ya?"
"Jika kau diberi kesempatan untuk mengetahui sesuatu tentang dirimu di masa lalu, apa kau ingin mengetahuinya?" tanya Tan lugas.
Hana mengerjap tidak mengerti, menatap Tan dengan ekspresi bingung, juga terdiam selama beberapa saat. Dia tampak berpikir, tampak gelisah, juga gusar. Kemudian, menghela napas dengan berat, seolah sudah bekerja keras. Terlihat lelah dan tidak berdaya.
"Masa lalu memang sudah membentuk diriku yang sekarang," ucap Hana dengan suara seperti bergumam. "Tapi, kurasa banyak hal menyakitkan di masa itu. Jadi, kupikir itu tidak baik untuk diketahui, apalagi untuk dikenang."
"Maksudmu?"
"Aku tidak akan mengambil kesempatan itu, Oppa. Jika aku masih memiliki waktu untuk hari ini, maka aku akan menikmatinya dan menjalani hari ini dengan sebaik mungkin. Tidak ada waktu untuk mengingat hal yang sudah terlewati, juga memikirkan tentang hari esok. Yang ada hanyalah hari ini sebagai penentuan untuk diriku di esok hari," jawab Hana dengan penuh keyakinan.
Senyuman Tan mengembang. Mendengar jawaban itu, melegakan perasaan dan menenangkan jiwa. Saat ini, Tan merasa seperti berhadapan dengan pribadi Hana yang dikenalnya. Begitu lugas, naif, namun tegas. Sama sekali tidak tampak keraguan dari ekspresi wajahnya, meski terlihat sedih.
"Apa kau percaya padaku?" tanya Tan kemudian.
Hana mengangguk. "Aku percaya, tapi tidak dengan sikap dinginmu yang acuh tak acuh padaku. Rasanya sedih jika kau terus menuntutku untuk menjadi seperti yang kau inginkan."
"Aku tidak menuntutmu seperti itu."
"Ya, kau menuntutku, Oppa. Seperti tadi misalnya. Apa kau kira aku senang seperti ini? Tidak sama sekali. Jika boleh, aku ingin merasakan ketenangan sehari saja tanpa mengalami hal-hal asing yang kurasakan saat ini. Juga, aku tidak ingin memakan obat apa pun. Aku lelah, sungguh."
"Kau tidak akan lelah, Hana. Kau adalah wanita terkuat yang kukenal setelah banyaknya persoalan yang datang dalam keluarga kami. Aku hanya ingin kau tahu, seburuk apa pun masa lalumu, aku tetap memilihmu untuk menjadi orang yang selalu menemaniku hingga titik akhir," ucap Tan sungguh-sungguh.
Mata Hana kembali berkaca-kaca, tampak begitu terharu. "Terima kasih, Oppa. Entah kenapa aku merasa tidak layak untuk dirimu."
"Kau sangat layak, Hana," balas Tan sambil membelai pipi Hana yang basah, lalu mengecup singkat di sana. "Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu."
"Aku tidak tahu jika kau mencintaiku," sahut Hana.
"Kau hanya perlu merasakan," koreksi Tan.
"Aku juga tidak bisa merasakan cintamu di saat kau terus bersikap kejam dan dingin padaku."
Tan memutar bola mata sambil menggelengkan kepala. Merasa jenuh dengan lemparan topik perdebatan yang itu-itu saja. Haruskah menjadi masalah ketika dirinya hanya ingin menjadi diri sendiri? Jika ada keluhan, maka atasi sendiri, tidak usah merepotkan orang lain. Demikian pemikirannya.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Tan malas.
"Cintamu yang lebih itu," jawab Hana cemberut.
"Aku memang sudah mencin..."
"Buktikan! Aku tidak bisa menerima kata-kata saja. Aku ingin bukti, bukan sekedar omong kosong."
"Ya!" seru Tan tidak terima sambil melotot galak.
Hana merengut lalu bergeser menjauh, tampak kaget dengan seruan Tan yang cukup kencang, hingga terdengar seperti membentak.
"Maaf," ucap Tan cepat, dan mulai menenangkan Hana yang sudah menangis.
"Kau sangat tega padaku," rengek Hana.
"Maaf," ucapnya lagi.
"Sungguh?"
"Ya, sungguh."
"Kalau begitu, apakah aku boleh meminta sesuatu?"
Tan berdecak malas dan menatap Hana dengan ekspresi tidak terima. "Aku sangat heran kenapa wanita senang sekali menuntut lebih untuk kesalahan yang cukup diselesaikan dengan kata maaf."
"Karena daya sensitif pria begitu minim soal perasaan," balas Hana.
"Baiklah, apa yang kau inginkan?" tanya Tan cepat. Mengalah untuk menang, pikirnya. Sebab, pekerjaannya sudah menunggu dan tidak bisa menelantarkan lebih lama.
"Aku ingin ramen buatan Oppa seperti waktu lalu. Itu sangat enak dan aku ingin memakannya. Aku lapar sekali," jawab Hana dengan nada merajuk.
"Baik, itu hal mudah. Aku bisa lakukan selama kau benar-benar menghabiskannya dan tidak mengganggu ketenangan dengan mondar mandir ke toilet, atau mengeluh karena makanan tidak enak," ujar Tan sambil beranjak, lalu terkekeh geli melihat Hana yang berdecak kesal.
"Kau adalah raja tega!" seru Hana saat Tan sudah berjalan menyusuri koridor untuk menuju ke pantry jet yang berada di belakang.
"Memang," balas Tan santai dan tidak tersinggung dengan seruan Hana yang kekanakan.
Meski terkesan tidak peduli, tapi Tan mengetahui semua yang dibutuhkan Hana. Tidak menaruh perhatian pada penilaian orang, yang dia tahu adalah menjadi diri sendiri dengan versi terbaik seturut kemampuannya. Dan dia tahu, tanpa perlu melakukan segalanya untuk Hana atas nama cinta, wanita itu bisa merasakan perasaannya yang nyata dan begitu dalam hanya untuknya.
Seperti sekarang. Seperti dimana Tan rela membuatkan ramen instan di pantry jet, dengan tatapan bingung dari dua staff kabin yang berdiri berdampingan di belakangnya, demi sigap jika sewaktu-waktu jasa mereka diperlukan oleh Tan, tapi berakhir sia-sia.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Cukup senang dengan part ini?
Gemes karena Tan nyebelin?
Itulah yang kurasakan tiap kali berhadapan dengan Tan versi nyata.
Yang katanya cinta, tapi songong banget.
Yang ngaku sayang, tapi cuek.
"Jadi diri sendiri itu lebih penting, ketimbang ungkapan dan sikap hati yang palsu. Yang penting kan, kita sama-sama bahagia," katanya. 😖
12.10.2020 (18.43 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top