Part. 28 - Get Done
Happy Monday.
💜💜💜
Hana menatap kosong pada pantulan dirinya di cermin. Tidak tahu apa yang dirasakan, karena semua terasa hampa dan tidak menyenangkan. Seharusnya, Hana merasa senang karena hari ini adalah hari pernikahannya, tapi Hana merasa jauh dari kata itu.
Dirinya pun tidak pernah berbincang atau mencoba untuk bersosialisasi. Lebih banyak mendengar tanpa menyimak, juga lebih memilih diam dan enggan berkomentar. Selain karena ingin menenangkan diri, dia tahu jika Tan tidak akan menyukai dan dianggap membantah saat Hana mengeluarkan suara.
Segala sesuatu diusahakan secara mandiri, seperti keinginan untuk makan ramen di tengah malam, Hana akan bangun dan memasaknya sendiri. Sama sekali tidak ingin Tan mengetahuinya, meski mungkin saja pria itu tahu apa yang dilakukan.
"Pengantin tidak diperkenankan untuk murung," celetuk Ashley yang sudah memasuki ruangan, diikuti oleh Nayla di belakangnya.
Hana menoleh untuk menatap dua kakak ipar Tan yang begitu ramah dan hangat sejak bertemu kemarin. Keduanya begitu cantik dan memukau, membuat Hana merasa rendah diri dan tidak pantas berada di tengah-tengah keluarga itu.
"Aku takut," gumam Hana jujur.
"Apa yang kau takuti? Tan?" tanya Ashley dengan satu alis terangkat.
Hana menggeleng. "Takut jika tersandung karena gaun ini panjang sekali."
Baik Ashley dan Nayla hanya menatap tanpa ekspresi, lalu sama-sama menggeleng.
"Bukan soal gaun, tapi tidak bahagia. Tenang saja, sebagai seorang wanita yang sudah berkeluarga, juga menjadi anggota keluarga aneh ini, aku cukup berpengalaman," komentar Nayla.
"Awalnya, mungkin terkesan berat dan sulit, tapi percayalah, mereka lunak seperti jelly dan rapuh seperti kaca. Jika Tan berulah, bilang saja kau ingin mati, maka dia akan memberi segalanya untukmu," tambah Ashley sambil memutar bola mata.
Mata Hana melebar dan menatap Ashley bingung. "I-Itu tidak mungkin. Karena Oppa pasti akan menyuruhku untuk benar-benar melakukannya."
"Jika begitu, suruh dia saja yang melakukan," sahut Ashley cepat.
Tertegun, juga tidak tahu harus berkata apa, karena Hana kebingungan dan merasa semakin tidak tenang. Nayla melayangkan aksi protes dalam bahasa yang tidak dimengerti Hana pada Ashley. Keduanya berargumen selama beberapa saat dan kembali menatap Hana.
"Menurutku, Tan tidak seburuk itu. Dia memang berbeda dengan dua kakaknya. Kuharap kau mengerti maksudku," ujar Nayla kemudian.
"Pada intinya, dia mencintaimu. Juga, ingin membawamu untuk menikmati hidup dan bebas dari perlindungan apapun yang selalu dilakukan oleh mereka. Itu saja," tambah Ashley.
Sebenarnya yang diharapkan Hana dari mereka berdua adalah dukungan untuk tidak menikah atau membawanya kabur dari sini. Tapi sepertinya, itu hanya bisa menjadi pikiran konyolnya saja karena hal itu sangatlah mustahil.
Akhirnya, Hana hanya mengangguk untuk menanggapi keduanya dan bersiap untuk menjalani pernikahan dengan konsep outdoor party. Dekorasinya pun indah dengan nuansa putih, tampak begitu elegan, dan sangat khas keluarga Kim yang memiliki selera tinggi.
Para tamu undangan terlihat familiar tapi Hana tidak begitu mengenal mereka. Meski demikian, sorot mata para tamu seakan sudah sangat mengenalnya hingga membuat Hana merasa tidak nyaman. Terlalu banyak yang tidak kumengerti, batin Hana.
Tidak ada yang bisa dilakukan Hana selain melakukan prosesi pernikahan dengan Tan yang tampak begitu gagah dan berwibawa dengan setelah jas berwarna putih. Janji pernikahan pun tidak dilakukan seperti pada umumnya dan hanya menjawab 'ya' saat Pastor mengucapkan pertanyaan sekaligus kesediaan mereka.
Pesta itu adalah pernikahannya sendiri, tapi Hana merasa asing. Dia seperti sedang menjalani sebuah peran yang seturut dengan naskah dan alur cerita. Tidak bebas dalam bergerak atau berekspresi. Obrolan yang dilakukan para tamu pun beragam sehingga Hana hanya bisa menanggapi dengan anggukan atau senyuman sebagai respon karena tidak cukup paham.
Dan sepanjang pesta, tidak ada interaksi antara Hana dengan Tan selain berdiri bersebelahan atau duduk berdampingan. Pria itu begitu dingin, bahkan semakin dingin setelah perdebatan mereka yang membuatnya tak sadarkan diri. Setelah terbangun pun, pria itu menjadi begitu sibuk dengan apa pun pekerjaannya.
"Mau kemana?" tanya Tan dengan nada mendesis saat Hana hendak beranjak.
"Toilet," jawab Hana.
Tidak bertanya lagi, Tan ikut beranjak dan menemani Hana untuk ke toilet.
"Aku tidak akan kabur jika itu yang kau takuti," ucap Hana dengan cemberut sambil mengikuti langkah besar Tan.
"Jika kau ingin kabur pun, aku akan biarkan. Tapi perlu kuperingatkan untuk tidak coba-coba dalam menguji kesabaranku," balas Tan dingin.
"Baru dua jam menikah tapi aku sudah diancam. Aku benar-benar tidak mengerti untuk apa kau menikahiku. Apa hanya karena aku sedang hamil dan kau merasa perlu bertanggung jawab?" tanya Hana pelan.
Tan membukakan pintu toilet sambil menatap Hana tanpa ekspresi. "Masuk. Dan tidak usah berlama-lama."
Bersikap dingin, ucapan ketus, dan bersuara dalam nada perintah, membuat Hana merasa tidak dianggap atau dinilai berharga. Seperti budak dan bukan istri, pikir Hana masam.
"Jika aku berlama-lama, apa yang akan kau lakukan?" tanya Hana dengan lantang.
Tan menatapnya tajam, dingin, dan tidak memberikan respon yang berarti selain mengarahkan dagu ke arah toilet. "Masuk."
Hana tidak bertanya lagi dan merasa menyesal sudah membuka suara seperti itu. Sambil menunduk, Hana berjalan masuk ke dalam toilet, melewati Tan, dan menutup pintu toilet.
Segera menuntaskan keinginannya, Hana mencoba secepat mungkin. Gaun pengantinnya cukup menyulitkan dan tidak ada bantuan untuk mengangkatnya selagi Hana berada di dalam.
Lelah dan ngantuk, juga menginginkan makanan pedas sejak pagi, membuat Hana tidak memiliki nafsu makan dan perutnya terasa nyeri. Mungkin acara itu sebentar lagi akan selesai dan Hana bisa tidur panjang.
Dia baru saja berusaha untuk merapikan gaunnya dengan mata yang sudah memberat, lalu tiba-tiba tersentak karena pintu sudah dibuka paksa oleh Tan.
"Apa yang kau lakukan sampai begitu lama? Ini sudah sepuluh menit!" desisnya tajam.
Mata Hana mulai berkaca-kaca karena efek kaget yang masih mendera. Tidak menyangka jika harus berada selama itu di dalam toilet karena baru saja menyelesaikan urusannya.
"Gaun ini sulit untuk diangkat dan aku membutuhkan waktu," jawab Hana gemetar.
"Kau bisa meminta bantuan dan tidak diam saja. Itu..."
"Bisakah kau sedikit lembut padaku? Aku tidak akan menjadi wanita manja tapi tolong jangan membentak atau memerintah seperti itu. Kau membuatku semakin sedih, Oppa. Haruskah aku sedih di hari pernikahanku? Jika hari ini saja aku sudah seperti ini, bagaimana dengan hari-hariku ke depannya?" tanya Hana.
"Apa kau perlu bersikap lemah dan tidak berdaya seperti ini?" kini giliran Tan bertanya dengan ketus. "Jika selalu seperti ini, maka kau akan terus diperlakukan tidak adil. Dan jika bukan dirimu sendiri, siapa yang akan membela? Aku? Tidak! Untuk apa membela orang yang bahkan tidak bisa membela dirinya sendiri?"
Plak!
Hana menampar pipi Tan dengan seluruh keberaniannya. Mulai gerah dengan sikap Tan yang terus semena-mena padanya.
"Aku sangat membencimu, Oppa," desis Hana tajam.
Bukannya tersinggung atau marah, Tan justru tersenyum meremehkan sambil mengusap pipinya yang memerah karena tamparan Hana.
"Itu sangat bagus. Bencilah aku, maka bayi yang ada dalam kandunganmu akan semakin mirip denganku. Dia akan menjadi sekutuku untuk membuatmu kesal," ucap Tan.
Merasa tidak terima, Hana kembali mengangkat tangan, hendak menampar tapi langsung ditangkap Tan, lalu menariknya maju dan mencium bibirnya begitu saja.
Belum siap menerima serangan seperti itu, Hana hampir terjatuh tapi rengkuhan Tan menahannya dan mengangkat tubuhnya untuk duduk di washtafle.
"Aku merindukan bibir ini," gumam Tan di sela-sela ciuman.
"Aku tidak karena bibirmu sangat jahat!" balas Hana sambil berusaha mengatupkan bibir dan menjauhkan kepala tapi itu sia-sia.
Seperti ingin membuktikan kejahatan bibirnya, Tan menggigit keras bibir bawah Hana, memaksa untuk masuk ke dalam mulutnya dengan lidah. Pekikan Hana teredam saat Tan sudah berhasil membungkam mulutnya dengan pagutan keras dan dalam.
Rasa lelah membuat Hana tidak mampu melawan selain pasrah. Dia membiarkan Tan mengambil kendali atas ciuman itu dan mengerjap sayu dengan mata yang semakin memberat. Meski demikian, tangan Tan yang sudah bekerja untuk menjamah tubuhnya, mampu membuatnya mengerang penuh damba.
"Dasar tukang tidur," kekeh Tan geli, lalu menarik diri tanpa melepas pelukan untuk menatapnya seksama. "Kau sudah tidur seharian dan masih belum cukup. Perlu kau ketahui jika kau masih memiliki tugas berat malam ini, Yeobo."
Jika tadi mata Hana terasa memberat, kali ini langsung melebar kaget mendengar panggilan Tan yang diucapkan dalam nada terlembut yang pernah didengarnya dari pria dingin itu. Baru saja hendak membalas, tapi sudah ada suara yang menyela lebih dulu.
"Wow! Pengantin melarikan diri dari resepsi dan berniat untuk bercinta di toilet umum. Sangat tidak keren sekali," celetuk Petra yang langsung membuat Tan mendesis tajam ke arah pintu yang masih terbuka lebar.
Tampak Petra dan Noel menonton mereka sambil bersidekap, sama sekali tidak mengubah posisi, justru memperhatikan dengan sorot mata penuh minat, seringaian yang begitu lebar, dan tidak mempedulikan ekspresi Hana yang sudah merona karena malu. Tan pun masih tetap pada posisinya yang berdiri membungkuk di depan Hana yang duduk di atas washtafle dengan kedua kaki yang menjepit pinggangnya.
"Cukup romantis. Kau bisa melihat engsel pintu yang rusak, juga... kondisi gaun yang semrawut dan bibir yang membengkak," komentar Noel dengan kening berkerut sambil memiringkan kepala untuk menilai Hana dengan penuh ketelitian.
"Ah, mengingatkanku pada Joana yang kubawa bercumbu di gudang sesaat setelah menikah. Hm, apakah pengantin baru memang kurang berakhlak?" balas Petra dengan ekspresi seperti berpikir.
"Kurangnya waktu untuk bercinta di ranjang sehingga perlu memanfaatkan fasilitas umum sampai harus merusaknya," koreksi Noel tanpa beban.
Keduanya berkomentar seolah sedang menonton pertandingan yang seru, tanpa mempedulikan Hana yang semakin malu dan berusaha beranjak, tapi Tan tetap pada posisi dengan menatap dua pria itu tajam.
"O-Oppa, turunkan aku. Ini memalukan," ucap Hana lirih.
Tan berdecak pelan, lalu mulai menegakkan tubuh dan mundur sambil membantu Hana turun dari washtafle dengan hati-hati. Wajah Hana terasa memanas karena dua pria itu masih melihat ke arahnya dan tidak bergeser sama sekali. Haruskah memperhatikan orang sampai seperti itu? keluh Hana dalam hati.
"I-Ingin memakai toilet ini?" Hana memberanikan diri bertanya, sementara Tan mendesis geram.
"Tidak, Hana. Kami memang berniat untuk menonton tapi sepertinya suamimu tidak senang," jawab Petra santai.
"Aku juga tidak senang jika ditonton oleh kalian! Apakah kalian senang ditonton jika sedang bersama dengan istri?" balas Hana spontan.
"Aku tidak pernah keberatan, hanya saja banyak yang merasa tidak nyaman padahal itu menyenangkan," sahut Noel sambil tertawa pelan.
"Pergilah!" desis Tan.
Petra dan Noel sama-sama ber-ckck ria, lalu mendesah malas melihat respon Tan yang membuat mereka jengkel.
"Memiliki teman yang tidak tahu diri memang selalu ada di antara kita, kenapa harus begitu?" tanya Noel sambil menoleh pada Petra.
"Entahlah. Aku juga tidak mengerti," jawab Petra malas, lalu mengambil sesuatu dari saku jas, kemudian melemparnya ke arah Tan yang langsung menangkapnya.
Hana mengerjap bingung dan menatap Tan dengan penuh tanya. "A-Apa itu?"
"Hadiah pernikahan," jawab Petra dan Noel secara bersamaan.
Tan menaikkan satu sudut bibir sambil memasukkan pemberian Petra tanpa perlu melihat seolah sudah tahu apa yang diberikan. "Terima kasih."
"Itu apa?" tanya Hana sambil menatap Petra dan Noel bergantian.
"Tiket menuju kebebasan. Kehidupan yang baru, menjalani hari-hari dengan penuh ketenangan, juga damai yang diinginkan oleh suamimu. Kami mengusahakan yang terbaik," jawab Noel yang datang mendekat untuk memberi pelukan pada Hana, mengabaikan pelototan Tan padanya.
"A-Aku..."
"Selamat untuk pernikahanmu. Aku jamin jika kau akan bahagia bersamanya karena dia tidak seburuk itu. Percayalah, Yeodongsaeng," ujar Noel sambil melepas pelukan dan menyeringai lebar padanya.
"Betul sekali. Kau harus percaya padanya karena dia bisa diandalkan," tambah Petra yang juga memberi pelukan pada Hana.
Hal yang sama sudah disampaikan oleh Ashley dan Nayla sebelumnya, membuat perasaan Hana menjadi lebih tenang bahwa pria yang dinikahinya hari ini tidak seburuk sikapnya. Tan berdecak dan segera menarik Hana untuk keluar dari toilet. Dua pria itu hanya merutuk pelan dengan tindakan Tan.
"Kemana kita akan pergi? Kita belum berpamitan," tanya Hana yang dibawa Tan menuju ke arah lain dan bukan ke tempat resepsi.
"Kehadiran kita sudah memberi salam bagi mereka semua. Kita akan menjalani hidup baru, Hana," jawab Tan lugas sambil terus membawa Hana mengikutinya.
Sebuah mobil sudah menunggu di lobby, dengan adanya Joel dan Hyun di situ. Keduanya menatap mereka secara bergantian dan saling bertatapan dalam diam. Hyun menyerahkan sebuah kunci pada Tan, lalu maju untuk memberi sebuah pelukan singkat.
Saat Hyun beralih pada Hana, pria itu menatap Hana dengan sorot mata dalam dan ekspresi yang hangat, membuat mata Hana berkaca-kaca, merasakan haru yang entah datang darimana, juga perasaan seperti akan melepas kepergian seorang kakak tertua. Spontan, Hana maju dan Hyun melakukan hal yang sama untuk berpelukan.
Hana terisak pelan dalam pelukan Hyun yang terasa menenangkan. Rindu, itulah yang dirasakan, dan merasa begitu dekat dengan kakak iparnya.
"Kuharap kau bisa menjaga dirimu dengan baik, juga titip adikku yang keras kepala itu. Dia hanya tidak pandai dalam mengekspresikan atau mengungkapkan sesuatu, tapi percayalah, dia tidak benar-benar bermaksud untuk menyakiti," bisik Hyun lembut, lalu mengecup ringan di kening Hana, sebelum melepas pelukan. "Kau adalah wanita kuat saat sudah mencapai detik ini, Yeodongsaeng."
Isakan Hana semakin terdengar dan airmata mengalir deras. Joel memberi senyuman dan melayangkan tangan di atas kepala Hana untuk mengusapnya pelan. "You will be good, Hana."
"Kuharap Harabeoji dan Abeoji tidak menjadi histeris ketika mendengar kau dan Hana sudah pergi dari sini," gumam Hyun.
"Untuk itulah gunanya Shin-Hyeong dalam mengalihkan perhatian. Sampaikan salamku padanya, Hyeong. Aku pergi dulu. Terima kasih untuk bantuannya," ujar Tan sambil menarik Hana untuk masuk ke dalam mobil.
"Jangan lupa memberi kabar baik," ucap Joel mengingatkan.
"Jika aku tidak lupa," balas Tan ketus, lalu menutup pintu Hana.
Tan pun segera duduk di kursi kemudi, melajukan kendaraan tanpa berkata apa-apa, dan tidak melakukan perbincangan apa pun. Hana juga enggan untuk bertanya, meski ingin tahu kemana Tan akan membawanya sekarang.
Tersentak kaget, Hana menoleh pada Tan yang tiba-tiba menggenggam satu tangan, lalu memberi mencium punggung tangannya dengan dalam.
"Maaf jika membuatmu takut dan tidak nyaman. Mulai sekarang, tidak perlu ragu untuk bertanya apa pun padaku," ucap Tan sambil meliriknya singkat dan kembali fokus pada laju kemudinya.
"Kau membuatku bingung dengan sikapmu, Oppa," balas Hana lirih.
"Maaf," sahut Tan. "Aku janji akan berubah sedikit demi sedikit agar kau tidak bingung."
"Benarkah?"
"Ya."
"Jadi, kemana kau akan membawaku?"
Tan mengembangkan senyuman dan kembali melirik pada Hana dengan sorot mata hangat, meski ekspresinya masih terkesan dingin.
"Ke sebuah tempat yang sudah kupersiapkan selama dua bulan ini," jawabnya senang.
"Tempat?"
"Kebebasan kita. Sebuah pulau yang memiliki banyak keindahan, tidak begitu besar, juga tidak terlalu kecil karena aku ingin kau mendapatkan kenyamanan."
"Apa namanya?"
"Pulau Nami. Aku sudah membeli satu wilayah khusus untukmu, terdiri dari sebuah rumah pondok dan taman bunga yang luas. Aku yakin kau akan menyukainya."
Untuk pertama kalinya di hari itu, senyuman lebar menghias di wajah Hana, tampak begitu senang dengan ucapan Tan tentang tujuan mereka. Rumah pondok. Taman bunga. Tinggal di wilayah terpencil. Semua terdengar sempurna dan sudah menjadi mimpinya sejak lama.
"Apa yang membuatmu melakukan semua itu, Oppa?" tanya Hana dengan nada pelan sekali.
Tan tersenyum dan meremas tangan Hana dengan lembut. "Karena kau adalah milikku dan kebahagiaanmu adalah satu-satunya tujuan yang ingin kuwujudkan sampai akhir hayatku."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Tsaahhh elahhhh, Oppa 😅
Mau banget dibahagiain sama kamu 😖
Lelah hati sama cowok songong yang kaku tapi sekalinya ngomong tuh manis banget 🙈
21.09.2020 (19.45 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top