Part. 26 - Allowed not allowed
Aku seriusan bete banget sama Wattpad.
Galau amat yah aplikasinya?
Etdah. 😣
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Hana tidak mengerti kenapa dirinya harus terus menerus diberitahu, diatur, diarahkan, dan dituntut untuk menjalani semua hal yang tidak dimengerti olehnya sampai hari ini. Sedikit pun.
Masih menetap di rumah nyaman yang dimiliki Brant, Hana duduk di sebuah gazebo dengan tatapan menerawang. Selama 3 hari di sana, Hana hanya disuruh untuk diam, mendengar apa yang dikatakan Tan, dan tidak diperkenankan untuk keluar dari farmhouse itu. Juga, pertemuannya dengan ayah dan paman dari Tan hanya sekali saja waktu itu dan tidak ada kelanjutannya lagi.
Yang pasti, ada Ryu yang muncul sejak kemarin untuk menjaganya. Itu berarti, Harabeoji sudah mengetahui keberadaannya saat dan tidak menemuinya atau menelepon. Berdasarkan keterangan dari Ryu, Harabeoji masih berada di mansion bersama dengan Halmeoni.
Selama 3 hari terakhir pun, Tan pergi setelah sarapan dan kembali sebelum jam makan malam. Dia hanya berkata tentang memiliki pekerjaan dan urusan penting. Sejak itulah, Ryu datang dan mengawasinya kembali.
Menarik napas pelan, Hana merasa tidak ada perbedaan dimana pun dirinya berada atau apa yang dilakukannya. Peraturan, pengawasan, dan penjagaan ketat seperti sudah mengekorinya. Bagi Hana, dirinya seperti hamba, bukan orang yang merdeka. Apapun yang dilakukan akan terlihat salah dan dinilai mengancam. Tidak ada kepercayaan yang diberikan mereka, termasuk Harabeoji.
Mungkin saja, pikiran Hana terlalu banyak spekulasi hingga terkesan tidak tahu berterima kasih pada orang yang sudah membesarkannya dan memberikan kehidupan yang layak. Tapi, jika seekor anjing peliharaan saja memiliki waktu bebas dengan berjalan-jalan mengitari komplek perumahan untuk mencari kesenangan, tapi Hana merasa dirinya tidak sebebas anjing peliharaan itu.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Nona?" tanya Ryu dengan ekspresi datar.
Hana menoleh untuk menatap wajah pria menyebalkan yang selalu berada di sekelilingnya ketika berada di mansion. Tapi, selama beberapa hari tidak melihatnya, ada rasa kehilangan yang dirasakan.
"Apakah aku bisa bertanya sesuatu padamu?" tanya Hana balik.
Ryu tidak langsung menjawab dan menatap selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk.
"Apa kau memiliki waktu libur selama bekerja untuk mengawasiku?" tanya Hana.
"Jika kau tidak melihatku, tapi orang lain yang berjaga di sekelilingmu, itu berarti adalah waktu liburku," jawab Ryu.
Hana mengangguk sambil teringat pada beberapa orang dengan tampilan yang tidak jauh berbeda dengan Ryu saat masih berada di mansion Harabeoji. Bahkan, untuk penjaga seperti Ryu pun memiliki waktu libur, batinnya pelan.
"Ada apa, Nona?" tanya Ryu lagi.
"Aku merasa hidupku seperti dipermainkan," jawab Hana dengan senyuman hambar dan terlihat pasrah. "Aku tidak merasa bahagia, juga kebingungan. Ada apa denganku? Aku pun tidak tahu. Yang kurasakan adalah kesendirian, kepahitan, dan tidak berharga."
"Anda tidak seharusnya mengatakan hal seperti itu, Nona. Dengan kau masih diberi kesempatan untuk bernapas, maka itu adalah hal yang patut disyukuri. Itu berarti kau berharga," balas Ryu.
Hana tersenyum lirih sambil menatap Ryu dengan sedih. "Apakah aku akan sangat berdosa jika aku justru bersyukur jika tidak ada lagi di dunia ini?"
Ryu mengerjap dan menatap Hana dengan ekspresi tertegun. Tapi itu hanya sepersekian detik karena Ryu kembali memasang ekspresi datar seperti biasanya. "Kurasa kau terlalu banyak delusional."
"Kuharap itu benar jika aku sedang delusional. Tapi, entah kenapa aku merasa bahwa diriku saat ini, bukanlah diriku sendiri. Aku seperti mati, tapi tetap hidup. Aku merasa ini tidak benar, tapi aku tidak tahu apa yang menjadi keyakinanku. Aku seperti orang gila."
Hana tidak tahu kenapa dirinya bisa mengeluarkan ucapan yang terdengar frustrasi pada orang yang hanya bertugas untuk menjaga dan mengawasinya. Entah kenapa perasaannya menjadi sensitif, juga perlakuan dingin dan sinis dari Tan yang tidak diinginkan. Hana merasa bahwa pria itu bersamanya hanya karena sebuah keharusan, bukan keinginan.
"Kurasa kau terlalu lelah dan menyibuki pikiranmu dengan hal yang tidak berguna," ucap Ryu kemudian.
Hana menghela napas dan mengangguk pelan. "Mungkin saja."
Tidak ada lagi pembicaraan karena Hana memilih untuk beranjak dari gazebo dan berjalan menyusuri taman bunga yang ada di dalam rumah itu, mencoba untuk menghirup udara segar, namun justru mengimpit dadanya yang terasa sesak. Tidak mengerti dengan perasaan tidak menyenangkan yang terus dirasakannya.
Tiba-tiba, Hana menyampingkan tubuh, berjongkok cepat, dan mengeluarkan isi perutnya begitu saja. Hantaman rasa mual semakin tidak kenal waktu dan tempat, sewaktu-waktu bisa terjadi kapan saja, dimana saja. Seperti saat ini.
Entah kenapa setiap kali menghirup aroma yang terlalu wangi selalu mengganggu indera penciumannya dan berakhir dengan rasa mual yang tidak tertahankan. Selama beberapa saat, Hana mengeluarkan cairan asam dari perut, sementara Ryu tampak menunggu di belakangnya tanpa melakukan apa-apa selain membiarkan Hana menuntaskan aksi muntahnya.
"Aku ingin makan mandu," ucap Hana lemah dan segera beranjak. Hampir terhuyung ke belakang tapi tidak jadi, sebab Ryu sudah lebih cepat menahan tubuhnya dengan mencengkeram lengannya.
Ryu memanggil seseorang, memerintahuntuk membersihkan, dan masih mencengkeram lengan Hana agar wanita itu tidak jatuh. "Tidak ada mandu di sini, Nona."
"Kau bisa mencarinya lewat alat pintar yang selalu kau bawa kemana-mana. Carikan mandu untukku," balas Hana sambil menepis tangan Ryu dari lengannya. "Aku ingin beristirahat saja."
"Dua jam lagi, Nona sudah harus bersiap untuk pergi makan malam dengan keluarga Sajangnim. Hyeongnim sudah berpesan agar kau..."
"Aku tidak mau," sela Hana tegas. "Carikan mandu untukku dan aku akan beristirahat. Tidak ingin kemana-mana."
"Tapi Nona tidak bisa menolak karena..."
"Kenapa aku tidak bisa menolak? Apa karena aku budak?" sela Hana dengan nada yang begitu marah.
Ryu mengerjap datar dan menggelengkan kepala. ""Tidak bisa menolak bukan karena kau adalah budak. Sudah menjadi sebuah keharusan untuk setiap anggota keluarga berkumpul jika Sajangnim berada di tempat yang sama."
"Aku bukan anggota keluarga," balas Hana keras kepala. "Aku bukan siapa-siapa."
"Anda adalah calon istri dari Kim Tan, putra bungsu dari Sajangnim," koreksi Ryu dengan ekspresi yang masih datar, tampak tidak mempedulikan Hana yang semakin kesal.
"Dia tidak melamarku dengan benar!"
Ryu mengangkat satu alis dan mengarahkan dagu ke tangan Hana. "Kulihat ada sebuah cincin yang terus kau pakai di jari manismu."
"Aku tidak tahu cincin apa yang kukenakan karena tidak bisa kulepaskan. Cincin ini seperti tertanam di kulitku karena tidak bisa dilepas, bahkan sudah memakai banyak sabun sekalipun. Aku..."
Ucapan Hana terhenti ketika mengingat sesuatu. Bayangan tentang seorang pria yang berlutut di depan pangkuannya dan memberi sebuah cincin berwarna hitam.
"Jangan pernah melepaskan cincin ini, apapun yang terjadi," katanya.
"Jika kau lepas, maka cincin ini akan membuat jarimu terbakar."
"Aku akan menggantikannya dengan cincin yang sebenarnya."
Mata Hana mengerjap tidak fokus dengan ucapan-ucapan yang melayang di pikirannya. Pusing, itu sudah pasti. Bahkan terlalu pusing hingga harus menutup matanya dan kembali mendapatkan pertolongan dari Ryu untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
Rasa tidak nyaman berubah menjadi kebencian pada diri sendiri karena merasa lemah seperti ini. Apakah dirinya harus selemah itu? Tidak bisakah dirinya memberontak? Bagaimana jika dia terlepas dari semua keterikatan yang membuatnya merasa tidak merdeka? Berbagai pertanyaan muncul dan membuat Hana semakin kalut.
"Aku ingin mandu," ucap Hana ngawur. Tidak mengerti dengan bibirnya yang mengucapkan hal lain dari apa yang dipikirkannya.
Aneh, pikirnya. Bagaimana bisa dirinya bisa mengeluarkan ucapan yang sama sekali tidak nyambung dengan pikirannya? Jika demikian, maka segala sesuatu bisa tidak terkendali seturut dengan apa yang dipikirkan dan diucapkan. Itu berarti bisa saja apa yang dialami bukan hal sebenarnya, melainkan sesuatu yang sudah disadari namun masih tersembunyi.
Hana menarik napas dan mencoba melangkah meski Ryu masih merengkuhnya erat. Pengawalnya sibuk memerintah dari alat komunikasi yang terpasang di telinga sambil memegangnya. Meski kehidupannya seperti cerita yang ada di dongeng, tinggal di sebuah mansion besar yang menyerupai kastil, memiliki banyak pengawal yang mengawasinya, menjalani kehidupan yang penuh peraturan, dan tidak boleh keluar dari area mansion, tapi Hana tidak pernah merasa bahagia. Dirinya pun jauh dari kata bebas.
Setelah yakin jika dirinya membaik, Hana melepaskan tangan Ryu yang merengkuhnya, lalu berjalan lebih cepat untuk menuju kamarnya. Tidak ingin mendengar apa-apa, atau seruan dari Ryu, Hana menutup pintu dengan kasar dan menguncinya, lalu menutup semua tirai jendela, mematikan semua lampu, dan merebahkan diri di ranjang sambil menyelimuti dirinya hingga batas kepala.
Mungkin tidak ada gunanya seperti ini, pikirnya. Untuk mengasihani diri sendiri saja, rasanya tidak cukup karena Hana merasa lebih dari itu. Cukup lama dia berdiam diri seperti itu, sampai rasa kantuk mendatangi, hampir tertidur, tapi gangguan itu datang lagi.
Pintu kamar yang dikunci Hana kini terbuka dengan kasar, hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras dan membuat Hana terbangun. Dia beringsut mundur dan mengerjap panik ketika bisa melihat sosok Tan yang muncul di ambang pintu. Ekspresi pria itu? Tentu saja murka.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak mendengarkan apa yang sudah disampaikan Ryu?" sembur Tan sambil menyalakan lampu dan menatap Hana dengan berang.
"Aku sudah bilang ingin beristirahat dan ingin mandu!" balas Hana tidak kalah kerasnya.
"Jangan bertingkah seperti anak kecil! Lusa nanti, kita akan menikah dan keluargaku sudah berada di sini untuk bertemu denganmu!" sahut Tan dengan tatapan menusuk dan nada suara yang begitu sinis.
"Aku tidak mau! Aku hanya ingin di sini! Dan ingin makan mandu!" ucap Hana ketus, tapi mulai menciut karena tatapan Tan yang semakin mengancam di sana.
"Persetan dengan mandu! Cepat persiapkan dirimu dan ikut aku! Aku tidak ingin membuang waktu dengan urusan konyolmu dan..."
"Kalau begitu tinggalkan aku! Kau bilang aku adalah urusan konyol dan membuang waktu! Tinggalkan aku dan buang aku kemana saja! Aku tidak mau! Tidak mau! Aku hanya ingin mandu! Mandu! Mandu! Mandu!" sela Hana histeris dan mulai mengambil apa saja untuk melempar ke arah Tan.
Hana mulai terisak, juga putus asa karena sikap Tan yang semakin membuatnya terancam. Dia hendak beranjak ketika melihat Tan mulai menghampirinya, berusaha menghindar dari pria itu, tapi gagal karena Tan sudah lebih cepat menekannya di dinding dan mencengkeram dua lengannya dengan kuat.
"Aku masih bisa bersabar, Hana, tapi bisa juga kehilangan kesabaran itu jika kau terus memancing kemarahanku," ucap Tan dingin. "Permintaanku adalah kau ikut makan malam dengan keluarga besarku, berkenalan dengan mereka, dan setelah itu kau bisa menikmati mandu sialanmu."
"Aku tidak mau," ucap Hana lirih, menahan diri untuk tidak meringis karena cengkeraman Tan di kedua lengannya begitu kuat, dan mungkin saja sudah memar.
"Kau harus mau!" desis Tan tajam.
"Aku tidak mau."
"Kenapa? Apa kau tidak ingin menikah denganku dan..."
"Karena aku takut," sela Hana dengan suara tercekat.
"Takut?"
Hana mengangguk. "Aku seperti orang asing dan tidak diinginkan. Aku bukan orang yang tepat. Aku adalah orang yang penuh dengan dosa dan tidak tahu apa masa laluku. Aku hanya ingin... bebas. Aku tidak ingin terikat seperti ini."
Mata Hana terpejam saat cengkeraman Tan di lengannya menguat, menimbulkan rasa sakit dan nyeri yang cukup besar, tapi herannya Hana bisa menerimanya dengan baik. Setidaknya, rasa sakit menyadarkannya bahwa dirinya masih hidup dan tidak mati.
"Aku tidak ingin mendengar alasan apapun. Setelah menikah, aku akan membawamu pergi dan tidak akan membiarkan mereka ikut campur terhadap urusanku lagi," ucap Tan penuh penekanan.
Hana mengangguk sangat pelan dengan mata yang masih terpejam. "Nanti..."
"Apa?"
Entah kenapa tubuh Hana tiba-tiba lemas seperti jelly. Kedua kakinya tidak cukup kuat untuk berdiri dan sedikit merosot, menambah kesakitan di kedua lengan karena cengkeraman Tan itulah yang menopang tubuhnya.
"Hana!"
Tubuhnya jatuh dalam rengkuhan Tan, cengkeraman itu terlepas dan menyisakan rasa panas yang mengeliling dua lengannya. Lemas sekali, tidak berdaya, dan kepalanya bertambah pusing. Mandu, batinnya lagi. Dia benci dengan ketidakberdayaan ini. Emosi yang tidak stabil, keinginan yang begitu kuat terhadap sesuatu, dan merasa sensitif. Tapi, tidak ada yang mengerti. Juga, tidak ada yang mau mengerti. Hanya dirinya yang bisa merasakan. Itu saja.
"Nanti saja. Aku hanya ingin beristirahat," gumam Hana dengan mata terpejam erat, enggan untuk terbuka. "Aku... apa boleh? Aku... ingin tidur dan tidak terbangun lagi. Apa boleh?"
"Hana! Hey, apa yang... hey! Bangun! Hana!"
Panggilan Tan sayup-sayup menghilang, juga dirinya tidak bisa merasakan apa-apa. Lelah. Lelah. Sangat lelah. Tapi setidaknya, Hana merasa lega dalam keadaan seperti itu. Dan berharap seterusnya seperti itu tanpa perlu merasakan apa yang dirasakan sebelumnya.
Sekali lagi Hana bertanya, entah kepada siapa sekarang. Apa boleh?
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Katakanlah, aku lagi baper dan lelah banget, jadi nulis Hana malah bikin sedih dan nangis sendiri 😭
Monmaap, jadi sedih 😢
Trus banyak yang tanya, itu sebenarnya Tan kenapa sih?
Aku juga bingung sama si bungsu yang satu itu maunya apaan 😖
13.08.2020 (13.19 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top