Part. 24 - The reflection of strongest belief

Haloooo... apa kabar?
Hari ini, Wattpad lagi eror yah?
Mudah2an kamu bisa membaca lanjutan part ini tanpa kendala 😚

Happy Reading 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Hana memperhatikan Tan yang masih tertidur begitu lelap dalam diam. Sudah 10 menit, dia terbangun dan sepertinya hari sudah semakin sore. Meski begitu, Hana enggan untuk beranjak karena dua hal. Yang pertama adalah tubuhnya begitu lemas seperti jelly, juga bagian bawahnya begitu nyeri. Dan yang kedua adalah dua tangan Tan masih merengkuh erat tubuhnya.

Tidak mengerti apa yang dialaminya sekarang, juga tidak merasa menyesal atau panik. Sebaliknya, Hana merasa lega dan terpuaskan. Sentuhan dan ciuman Tan seolah membangkitkan hasrat terpendam akan sesuatu yang terasa asing, namun juga tidak asing baginya. Bersama Tan, ada rasa aneh tapi familiar sekarang.

Dengan perlahan, Hana mengangkat satu tangan Tan yang melingkar di perutnya, lalu bergeser dengan susah payah agar bisa terlepas dari rengkuhan Tan. Dia menarik napas dengan dalam begitu berhasil melepaskan diri dan memindahkan dua kaki ke lantai kayu, sementara dirinya duduk di tepi ranjang.

Meringis pelan, Hana mengerjap cepat sambil menahan sensasi nyeri yang semakin besar saat dia bergerak. Tan benar-benar membuatnya kewalahan, tapi herannya Hana sanggup menikmati seberapa banyak yang diinginkan Tan atas dirinya.

Setelah merasa membaik, Hana perlahan beranjak dan menuju ke kamar mandi yang ada di dalam kamar itu. Dia membersihkan diri dengan air hangat, berusaha secepat mungkin untuk bisa selesai karena perutnya sudah bergemuruh lapar. Tidak lama kemudian, Hana sudah selesai dan segera mengeringkan diri, mencari pakaian di lemari, dan mendapatkan beberapa pakaian wanita yang sesuai ukurannya, lalu mengenakannya tanpa ragu.

Tan masih terlelap dan mungkin saja dia sangat kelelahan. Tidak mendapatkan tidur sejak semalam karena harus menyetir, juga melakukan seks hampir setengah hari, tentu saja dia membutuhkan jam tidur yang lebih banyak dibanding Hana.

Sambil berjinjit, Hana berjalan keluar dari kamar dengan hati-hati karena tidak ingin membangunkan Tan. Tiba di lantai bawah, Hana segera menuju ke dapur dan membuka kulkas. Melihat ada banyak bahan makanan di kulkas, mata Hana mengerjap senang. Dia segera mengambil sebuah apel, menggigitnya dengan lahap sambil menuangkan susu ke gelas untuk dirinya sendiri.

Hana menyukai rumah yang ditempatinya saat ini. Sangat nyaman dan tenang, begitu asri, juga enak dipandang. Dia berpikir akan sangat menyenangkan jika bisa memiliki tempat tinggal seperti ini jika sudah berkeluarga nanti. Berkeluarga? batin Hana kaget. Dia buru-buru menggelengkan kepala seolah itu bisa mengusir pikiran konyolnya barusan dan menghabiskan apelnya.

Sebuah apel dan segelas susu tidak cukup kenyang bagi Hana. Dia berpikir untuk membuat makanan sederhana. Untungnya tatapannya tidak sengaja melihat ke ruang makan, dimana ada tudung saji yang berada di atas meja makan. Dengan antusias, Hana membuka tudung saji dan matanya langsung melebar senang ketika melihat ada beberapa varian makanan tersaji di situ.

Hana langsung duduk dan segera menikmati makanan itu. Nasi dengan ayam goreng, juga ada sayur rebus yang diberi bumbu kacang. Hana tidak pernah mencoba makanan seperti itu, tapi ternyata sangat lezat. Dia memakannya dengan sangat lahap, juga tidak mempedulikan apapun selain mengisi perutnya yang masih begitu lapar.

Tidak memakan waktu lama, Hana sanggup menghabiskan sepiring penuh makanan itu. Bahkan, dia mengisi kembali piring kosongnya dengan nasi dan lauk, karena belum merasa kenyang.

"Apakah makanan itu benar-benar lezat hingga kau harus melahap begitu banyak?"

Suara Tan yang terdengar mengantuk membuat Hana mendongak dan menatap pria itu sedang berjalan ke arahnya. Sepertinya, Tan sudah membersihkan diri karena sudah mengganti pakaian dan rambut yang masih basah.

Tan duduk di sampingnya dan meminta Hana mengambilkan makanan untuknya. Tentu saja, Hana melakukannya secara spontan dan seperti sudah mengerti tentang kesukaan pria itu. Menuangkan segelas air dingin karena Tan akan minum terlebih dahulu sebelum menikmati makanannya, juga menyendokkan lauk tanpa sayur karena pria itu tidak suka menikmati sayuran rebus seperti itu.

"Terima kasih," ucap Tan datar dan mulai menikmati makanannya.

"Oppa," panggil Hana sambil mengunyah.

"Hm?"

"Apakah kita pernah seperti ini? Kita makan bersama dan aku menyiapkan makanan untukmu?"

Hana melihat Tan menoleh dan mengangkat satu alisnya. "Apa kau teringat sesuatu?"

"Bersamamu, aku selalu merasakan sesuatu seolah aku pernah mengalaminya," jawab Hana.

"Itu bagus. Kau sudah banyak kemajuan," ujar Tan sambil kembali menikmati makanannya.

"Oppa, kau belum menjawab pertanyaanku," tukas Hana sambil menaruh satu tangan di balik bahu Tan.

Tan menoleh dengan ekspresi jenuh dan tampak tidak senang. "Haruskah kujawab? Bukankah kau sudah merasakannya? Itu sudah bisa menjadi jawaban untukmu."

"Aku memang perasa, tapi aku tidak bisa membedakannya. Katakanlah aku ragu. Jika kau tahu, maka beri tahu. Jangan membalikkan pertanyaanku dengan pertanyaan lagi," balas Hana dengan kening berkerut.

"Itu berarti, kau masih terlalu lemah dan belum siap untuk mendengar apapun dariku. Oleh karena itu, cukup rasakan dan alami dari kebersamaan yang kita lakukan. Tidak usah banyak bertanya," sahut Tan dingin.

Pria itu kembali menekuni makanannya, meski ekspresinya terbilang tidak senang, atau mungkin sedang marah. Hana tidak habis pikir dengan sikap Tan yang berubah-ubah. Terkadang, dia begitu lembut, terkadang kasar, cenderung dingin, dan tidak mau tahu. Hana tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan Tan.

"Untuk apa bersama dengan seseorang yang tidak ingin ditanya? Lewat pertanyaan, itu juga berarti keinginaan untuk mengenalmu lebih banyak," ucap Hana lirih, mencoba kembali fokus pada makanannya, tapi kini seleranya hilang.

Tiba-tiba saja, perutnya terasa bergejolak, seakan ada yang menohok tenggorokannya hingga membuatnya menahan napas dan debaran jantung yang berdetak lebih keras. Hana segera beranjak dan berlari ke washtafle, membungkuk untuk mengeluarkan cairan asam yang terasa pahit. Lucunya, tidak ada makanan yang keluar, hanya ada cairan asam yang kental.

Pijatan lembut sudah terasa di tengkuk Hana, diiringi usapan ringan di punggungnya. Tan sudah berada di belakangnya, memberikan tisu padanya, dan menyalakan kran untuk membersihkan washtafle. Ekspresinya masih datar dan biasa saja, seolah apa yang terjadi pada Hana bukanlah apa-apa.

"Apa kau pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya?" tanya Tan datar.

Hana mengangguk dan mengusap mulutnya dengan tisu pemberian Tan. Jika sudah mengeluarkan cairan sialan itu, perasaan Hana akan lebih baik. Mungkin karena terlambat makan dan makan terlalu banyak, perutnya menjadi bermasalah.

Tan membawa Hana untuk duduk kembali di kursi, lalu berjalan menuju ke kulkas dan mengambil sesuatu. Hana menoleh untuk melihat Tan yang sedang memotong lemon dan memerasnya, membuat air lemon hangat yang diberi madu.

"Minum ini," ucap Tan datar sambil menaruh gelas berisi lemon madu di depan Hana.

Hana menurutinya dan meneguk minuman itu sampai habis. Perasaannya menjadi lebih baik dan cukup merasa lega. Dia mendongak saat Tan tiba-tiba menaruh satu tangan di atas kepalanya untuk mengusap lembut.

"Aku tidak percaya jika kau begitu ceroboh dan tidak menyadari akan perubahan tubuhmu sendiri, Hana," ujar Tan dengan tatapan seperti yang diucapkannya.

"Maksudmu?" tanya Hana bingung.

"Kapan terakhir kali kau mendapatkan tamu bulananmu?" tanya Tan langsung.

Kening Hana berkerut. "Bulan lalu, hanya mendapat sedikit bercak darah. Bulan ini, masih menunggu. Tapi, untuk apa kau menanyakan urusan kewanitaan ini?"

Tan menyeringai dingin. "Tentu saja itu sudah menjadi urusanku. Karena hal ini dan demi hal ini juga, aku kembali untuk mengambil hakku."

"Hak?"

"Kau adalah milikku, Hana."

"Aku..."

"Dan kau sedang mengandung benihku."

Hana tersentak dan menatap Tan tidak percaya. "Aku... hamil?"

Tan mengangguk.

"Apa kau..." Hana melupakan satu hal penting saat mereka bersetubuh tadi, bahwa Tan tidak memakai pengaman.

Hana pernah membaca bahwa terjadi persetubuhan tanpa memakai pengaman, maka bisa menyebabkan hamil. Tapi, itu baru tadi dilakukan dan siklus bulanan Hana masih ada 2 hari lagi. Seharusnya, itu tidak menjadi masalah dan Hana yakin jika sedang dalam keadaan tidak subur.

"Jika aku tidak salah dalam menghitung, yang berarti aku memang benar, usia kandunganmu sudah berjalan 9 minggu," tambah Tan dengan nada sinis.

Lagi. Hana kembali tersentak, kali ini dengan mata terbelalak lebar dan mulut yang terbuka, menatap Tan seolah pria itu sinting. "Tidak mungkin. Kita baru bertemu dan..."

"Jika pikiranmu adalah tentang hal yang tidak mungkin, maka sebenarnya itu adalah hal yang paling mungkin bagimu, Hana. Jadi, jangan langsung makan terlalu banyak dan jangan menunggu hingga lapar. Sehabis ini, makan sup krim dan beristirahatlah," sela Tan dingin.

Hana mengerjap cepat dan merasakan intimidasi Tan yang membuatnya semakin tidak karuan. Biasanya, dia mampu membalas semua tekanan yang berada di hadapannya, tanpa terkecuali. Tapi dengan Tan, Hana merasa lemah dan tak berdaya. Pria itu seolah memiliki kuasa atas dirinya yang tak mampu dikendalikan oleh dirinya sendiri.

Seperti menyadari ketakutan yang dirasakan Hana, Tan merubah ekspresi dinginnya menjadi melunak. Dia menyunggingkan senyum tipis yang justru terlihat seperti seringaian sinis yang mengancam bagi Hana.

"Apakah seperti ini dirimu yang sebenarnya?" tanya Hana gugup.

"Seperti bagaimana maksudmu?" tanya Tan balik.

"Selalu memerintah dan mengancam seperti ini? Jika memang aku sedang mengalami keadaan yang kau katakan tadi, bukankah seharusnya kau bersikap lembut padaku?"

Tan menaikkan satu sudut bibirnya, tampak tersenyum setengah dan terlihat semakin menakutkan. "Apa aku menyakitimu?"

Hana menatap Tan dengan penuh penilaian dan merasa tidak ada gunanya melanjutkan pembicaraan itu. Dia hendak beranjak, tapi Tan sudah lebih dulu menahan pergerakannya agar duduk kembali.

"Barusan kau menyakitiku," ucap Hana ketus.

"Aku menyuruhmu untuk makan sup krim ini karena kau sudah mengeluarkan semua yang kau makan tadi," ujar Tan sambil mendorong semangkuk sup krim padanya.

"Kau tidak berhak memerintahku," balas Hana dengan berani.

"Aku tidak memerintahmu. Ini untuk kebaikanmu agar kau tidak menyusahkanku. Makan ini supaya perutmu membaik," ucap Tan tegas.

"Aku tidak suka," tolak Hana sambil menggelengkan kepala.

"Lalu, apa yang kau suka?" sahut Tan.

"Aku ingin toppoki. Yang sangat pedas dan diberi banyak keju di dalamnya," jawab Hana spontan sambil membayangkan makanan yang sudah membuatnya menelan air liurnya sendiri.

Tan menatapnya sambil menggertakkan gigi dan mendengus pelan. Dia beranjak untuk menuju ke pantry, membuka salah satu lemari yang berisikan makanan instan di dalamnya, dan mengambil sebungkus makanan berwarna kuning. Hana menyusul Tan untuk melihat apa yang diambilnya, lalu memekik senang.

"Aku tidak percaya jika ada toppoki instan seperti ini," gumam Hana pelan.

Tan tidak menjawab. Pria itu memasak toppoki instan dalam diam. Meski Hana sudah mondar mandir untuk melihat apa yang dilakukannya dan terkesan tidak sabaran, sikap Tan tetap tenang dan masih diam.

Sepuluh menit kemudian, semangkuk toppoki yang dilengkapi dengan berbagai isian sudah terjadi di meja makan, dan Hana langsung menikmatinya tanpa ragu. Biasanya, makanan korea yang dinikmati Hana adalah buatan tangan Harameoni. Tapi buatan Tan, meski instan namun sangat lezat. Tidak membutuhkan waktu lama, Hana sanggup menghabiskannya tak bersisa.

Hana mengangkat wajah untuk melihat Tan yang sedang memperhatikannya dengan ekspresi datar. Pria itu terlihat biasa saja melihat Hana yang tampak malu-malu karena kembali menghabiskan makanan tanpa jeda. Dia menyodorkan segelas air putih pada Hana dan memberi kode tangan agar Hana segera meminumnya.

"Beristirahatlah sebentar. Nanti sore, kita akan melanjutkan perjalanan," ucap Tan sambil beranjak.

"Tunggu, Oppa," seru Hana sambil mencengkeram tangan Tan untuk berhenti. "Apa kita akan meninggalkan rumah ini secepat itu?"

Tan menoleh dengan ekspresi datar. "Tidak ada waktu untuk menikmati pemandangan dan betapa nyamannya rumah ini, Hana."

"Tidak tahukah kau jika aku lelah?" protes Hana jengkel. "Aku tidak ingin duduk di mobil terlalu lama."

"Kita akan naik pesawat," balas Tan dengan nada tidak mau tahu.

"Tapi aku..."

"Rumah ini tidak sebanding dengan rumah yang akan menjadi tujuan terakhir kita, Hana," sela Tan.

"Aku hanya ingin menetap lebih lama," sahut Hana cemberut.

"Kau bisa menetap dimana pun kau inginkan setelah urusan ini selesai."

"Urusan apa? Aku tidak mengerti karena aku yakin aku tidak memiliki urusan dengan siapa pun, kepada siapa pun, tapi justru kau yang menarikku dalam masalah."

"Aku? Apa kau bilang aku yang menarikmu dalam masalah?" desis Tan dengan alis terangkat tinggi.

Hana mengangguk mantap. "Jika tidak, aku tidak akan terjebak di sini bersamamu dan mengalami perasaan yang aneh. Kau bahkan menuduhku dan berkata sembarangan. Kita baru bertemu selama seminggu terakhir, tapi kau membual dan berkata seolah kau sangat mengenalku!"

Tatapan Tan semakin dingin dan menajam, membuat nyali Hana menciut. "Kau sungguh berani dalam mengucapkan hal yang tidak pantas kau katakan. Jika aku tidak berpikir tentang keadaanmu saat ini, aku sudah pasti akan menindak tegas dirimu."

"Keadaanku baik-baik saja!" balas Hana tegas.

"Kau tidak baik-baik saja."

"Aku baik-baik saja."

"Benarkah?"

"Benar!"

"Kalau begitu, apa kau tahu tentang orangtuamu yang sudah membuat kekacauan dalam keluargaku? Juga, kau yang sudah membebaniku dengan keadaanmu yang seharusnya tidak perlu kuberi perhatian lebih."

Deg! Hana tercengang dan tertegun menatap Tan dengan perasaan tidak menentu. Napasnya memberat, rasa sesak perlahan menekan dadanya, dan dia masih tidak mengerti dengan rasa nyeri yang sudah merambat dalam hatinya saat ini.

"Dilihat dari ekspresimu, tentu saja kau tidak mengerti dan tidak tahu apa-apa. Jadi, untuk mempersingkat waktu, jangan menyusahkanku dengan sikap sok tahumu, Hana. Itu sama sekali tidak membantu atau membuatku terkesima," lanjut Tan dengan nada suara yang terdengar menyakitkan bagi Hana.

"Apakah kau membawaku karena... ingin melakukan sesuatu?" tanya Hana pelan.

"Sesuatu seperti apa?" tanya Tan dengan nada sindiran.

Hana tidak langsung menjawab dan hanya menatap Tan dengan ekspresi tercengang. Tidak tahu harus menjawab apa karena dirinya pun tidak memahami apa yang dirasakannya. Pantas saja Tan bersikap tidak menentu padanya dan Hana merasa tidak berdaya atas kendali yang dilakukan Tan.

Tahanan, itulah yang dirasakan Hana saat ini. Bukan orang yang merdeka dan terkurung. Meski dia seperti memiliki segalanya yang diinginkan oleh semua wanita, seperti pakaian yang indah, kehidupan yang serba ada, dan apa yang diinginkan tersedia, tapi Hana tidak bebas. Dia seperti seorang tahanan yang berdiam dari satu tempat ke tempat lainnya.

Tadinya, dia merasa tertahan di dalam mansion besar Harabeoji. Kali ini, dia merasa terancam ketika berada di luar dari mansion itu, meski ada Tan bersamanya. Semangat hidupnya meredup entah kemana berganti rasa takut yang mulai menjalar. Seolah tidak ada harapan lagi dan Hana merasa sendirian.

Hana tersentak ketika dua tangan besar Tan menangkup wajahnya. Dia mengangkat tatapan untuk bertemu pandang dengan sorot mata Tan yang kini melembut di sana.

"Aku tidak ingin meminta apapun darimu. Cukup percaya saja padaku. Sesederhana itu, Hana," ucap Tan pelan.

"Lalu, kemana kau ingin membawaku, Oppa?" tanya Hana lirih.

Senyuman tipis kembali mengembang di wajah Tan dan memandangnya dengan seksama. "Membawamu ke mansion keluargaku untuk bertemu dengan orangtuaku. Aku akan mengenalkanmu pada mereka dan mengumumkan kehadiran anggota baru dalam keluarga."

Jika boleh memilih, Hana ingin terbangun dari mimpi yang sedang dialaminya saat ini. Tapi ternyata, apa yang dialaminya terlalu nyata untuk dianggap sebagai mimpi. Ya Lord, Hana sama sekali tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Tan padanya.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Buat kamu yang punya pasangan, kalo lagi tanya malah ditanya balik,
Terus kalo kita tanya, malah disuruh mikir sendiri jawabannya, selow aja.
Karena kamu nggak sendirian.
Masih ada Hana, termasuk aku yang punya pasangan dablek kek gitu 😣😏

Sialnya, itu yang bikin sayang.
#APASI? 🤣



01.07.2020 (19.12 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top