Part. 23 - Farmhouse
WARNING : MATURE CONTENT (21+)
Written by. CH-Zone
Jika boleh jujur, Tan mulai menyukai kegiatan melarikan diri seperti ini. Bermain sneak a peek dengan orang-orang Harabeoji, atau memainkan signal keberadaaan dirinya untuk mengecoh mereka yang sedang mencari. Sungguh, Tan perlu bersyukur dengan hal yang didapatinya dari salah satu petinggi Eagle Eye, yaitu Noel.
Sudah menyetir selama belasan jam tanpa henti, Tan akhirnya tiba di Bali. Mengikuti titik lokasi yang dikirimkan oleh petingginya, Joel, yang sudah membantunya untuk keluar dari area Surabaya, dan berakhir di Ubud, salah satu daerah yang ada di Bali. Katanya, ada sebuah farmhouse yang bisa dijadikan tempatnya untuk bersinggah, sebelum kembali ke negaranya.
Sudah memasuki halaman farmhouse ketika gerbang sudah dibuka secara otomatis untuknya, Tan menoleh pada Hana yang tertidur sepanjang perjalanan. Wanita itu hanya terbangun jika lapar, lalu tidur kembali jika sudah kenyang. Kini, Tan membangunkannya dengan perlahan.
Hana menggeliat dan mengerjap sayu. Dia segera menegakkan tubuh dan melihat ke depan. “Apakah kita sudah sampai ke tempat di mana pun kau ingin membawaku, Oppa?”
“Kita akan bermalam di sini,” jawab Tan sambil mematikan mesin, dan segera keluar saat melihat ada seorang wanita tua tengah menghampiri mobilnya.
Dengan sopan, Tan membungkuk hormat pada wanita itu. Dia adalah penjaga farmhouse itu dan sudah tinggal selama puluhan tahun.
“Apakah Anda yang bernama Kim Tan?” tanya wanita itu dengan ramah.
Bisa dibilang, wanita itu seperti sudah cukup berumur, tapi tidak setua Harabeoji. Mungkin sekitar enam puluhan, atau lebih.
“Ya, aku Kim Tan,” jawab Tan sopan.
“Perkenalkan, namaku Lori, penjaga farmhouse ini. Mr. Williams sudah memberitahu kedatanganmu sejak semalam dan aku sudah menyiapkan tempat untuk kalian,” balas wanita yang bernama Lori itu.
“Mr. Williams?” tanya Tan dengan kening berkerut, tampak asing mendengar nama itu.
“Mungkin, Anda lebih mengenal nama depannya. Brant, itu adalah nama pemilik farmhouse ini,” jawab Lori hangat, dan melirik ke arah belakang Tan, disusul suara pintu mobil terbuka dan tertutup.
Lori menyambut kedatangan Hana dengan senyuman lebarnya. “Apakah ini adalah istri Anda?”
“A-APa?” tanya Tan kaget.
“Mr. Williams bilang jika Anda akan datang bersama istrimu,” jawab Lori ramah.
Tan tertegun dan Hana kebingungan. Bisa jadi, ada pembicaraan yang tidak diperlukan antara Joel dengan Brant. Joel memiliki orang kepercayaan bernama Brant, yang sudah melayaninya sejak lama. Tidak menyangka jika Brant memiliki tempat tinggal di Bali, karena setahunya, orang itu menetap di St. Petersburg, Russia, karena istrinya yang berasal dari sana.
“Kami…”
“Bisa tunjukkan dimana kami harus menetap, Mrs. Lori? Aku butuh istirahat setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang,” sela Tan cepat, sebelum Hana mengeluarkan ucapan yang tidak diperlukan.
Lori mengangguk dan segera memimpin jalan, setelah Tan mengambil ranselnya. “Kalian akan tinggal di rumah bagian belakang, itu adalah tempat tinggal Mr. Williams jika sedang berkunjung ke sini bersama istri dan anaknya.”
“Bagaimana dengan rumah itu?” tanya Hana ingin tahu.
“Itu adalah rumah bagian depan, yang ditempati olehku bersama para anak asuh,” jawab Lori.
“Apakah ini adalah panti asuhan?” tanya Hana lagi.
“Bukan, ini adalah tempat bagi para anak yang membutuhkan perhatian yang layak. Bisa dibilang, pemilik tempat ini sangat dermawan. Setiap bulannya, akan ada anggota baru dalam rumah ini,” jawab Lori riang.
Tan hanya menyeringai sinis dan menggelengkan kepala mendengar jawaban wanita tua itu. Sungguh hebat sekali bagaimana Brant memberi informasi tentang anak-anak itu. Dermawan? Tan ingin tertawa keras sekarang. Karena kata itu sangat jauh dari sosok Brant.
Di bagian belakang, terdapat rumah yang jauh lebih indah dibanding rumah sebelumnya. Sederhana tapi cantik. Rumah itu tampak terawat, juga taman bunganya. Hana bahkan memekik senang ketika melihat ada banyak bunga matahari yang bermekaran indah di sisi kirinya. Dia memetik satu tangkai bunga dan menggenggamnya erat.
Pintu rumah sudah dibukakan Lori dan memberitahu tata letak rumah itu. Bersih dan nyaman, itu yang dirasakan Tan saat memasuki rumah itu. Sorot matanya sudah mengawasi sudut atas di setiap ruangan, yang sudah pasti terpasang kamera pengawas tersembunyi dan alat penyadap di sana. Kecuali kamar utama yang tidak memiliki semua itu, yang Tan yakini itu adalah kamar Brant.
Lucunya, ada satu kamar yang sepertinya milik seorang wanita, dimana terpasang alat penyadap dan kamera pengawas di berbagai sudut. Bisa jadi, niat dan tujuan Brant sangat kotor dalam memasang alat itu dalam jumlah banyak untuk kamar yang tidak seberapa besar.
Lori meninggalkan rumah dan kembali ke rumah depan. Sepeninggal Lori, Tan segera bergerak untuk melucuti semua alat penyadap dan kamera pengawas yang tersebar di seluruh rumah itu. Sedangkan Hana, sepertinya sedang membersihkan diri di kamar mandi utama.
Brant mungkin saja akan mengumpat tentang apa yang sedang dilakukannya, tapi Tan tidak peduli. Meski hanya menempati rumah itu satu malam, tetap saja Tan tidak ingin adanya pengawasan yang bisa saja didapati oleh pihak Harabeoji.
Selesai bekerja dengan mengumpulkan semua alat itu dan menaruhnya ke dalam oven untuk penghancuran, Tan segera menuju ke kamar utama. Tidak ada Hana, dan sepertinya masih berada di kamar mandi. Seringaian licik Tan mengembang, memiliki ide yang cukup membuat rasa lelahnya menguar.
Dia melepas atasan, ikat pinggang, dan celana jeans-nya, menyisakan hanya boxer yang melekat di tubuhnya. Terdengar suara pancuran air saat Tan membuka pintu kamar mandi dengan mudah, meski sudah dkunci dari dalam. Hana sedang membilas diri, sepertinya dia baru saja berendam.
Tanpa mengatakan apa pun, Tan melepas boxer-nya dan bergerak tanpa suara, memasuki bilik shower, mendekati Hana, lalu memeluknya dari belakang. Tentu saja, pekikan kaget Hana mengudara. Wanita itu menoleh dan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kuat Tan dari belakang.
“Tenanglah,” bisik Tan dengan suara mengetat.
Semakin Hana menggeliat di depannya, maka ketegangan yang terjadi dalam diri Tan semakin mengeras. Dia sudah tidak mampu menahan diri dan ingin mendapatkan pelepasannya sekarang.
“Kau sangat kurang ajar! Lepaskan aku dan pergilah! Tidakkah kau tahu aku sedang mandi?” desis Hana cemas, terus menggeliat tapi tidak bisa karena Tan semakin kuat mengendalikan tubuhnya.
Mengabaikan desisan Hana, Tan mengarahkan mulutnya ke tengkuk Hana dan menciumnya pelan. Hana terkesiap, mungkin bisa dibilang menggelinjang. Tan mencoba lebih berani untuk membuka mulut dan menggeliatkan lidah di kulit tubuh Hana yang basah.
Napas Hana terdengar memberat, tubuhnya bergetar, tidak lagi berontak tapi seperti mencoba untuk memahami reaksi tubuh lewat rangsangan yang dilakukan Tan. Satu tangannya masih mengendalikan tubuh Hana, satu tangannya yang lain mulai berani untuk membelai payudara, merasakan kelembutannya, lalu meremasnya pelan.
Ukuran payudara Hana terasa pas di telapak tangannya, bisa dibilang membesar dari terakhir kali dia menyentuhnya, dan itu menyenangkan hati Tan. Puting sudah menegang keras, dengan kulit tubuh yang meremang, disusul desahan Hana yang keluar tanpa permisi.
“O-Oppa…” panggil Hana dengan gelisah.
“Rasakan nikmatnya, Hana. Ikuti keinginan tubuhmu saat ini, aku yakin kau menginginkan hal yang sama denganku,” bisik Tan dengan suara tercekat.
Tan menggigit bahu Hana dengan gemas, lalu menyesap keras di sana, sambil terus meremas kedua payudara Hana, memanjakannya lewat pijatan lembut yang sudah dilakukan oleh dua tangannya dengan gerakan teratur.
“Enghhh,” erang Hana pelan, sambil memiringkan kepala, memberi akses lebih pada Tan untuk memperluas cumbuan.
Tan tidak perlu bersusah payah untuk memberi rangsangan, sebab sepertinya Hana sudah tidak mampu untuk menolak. Dia sangat yakin jika Hana bisa mengingat sensasi klimaks yang pernah dirasakannya. Lagi pula, hormon tubuhnya meningkat dengan kebutuhan seks yang cukup tinggi saat ini. Seharusnya seperti itu.
Desahan Hana terdengar semakin sering, membuat Tan membalikkan tubuh Hana agar menghadapnya, dan segera mencium bibirnya tanpa ampun. Dia meluapkan kerinduannya lewat ciuman itu, menyentuh tubuh Hana dengan kurang ajar, seiring dengan desakan gairahnya.
“O-Oppa,” panggil Hana lirih.
“Hm?” balas Tan yang sedang mengulum putingnya dengan keras, lalu menari-narikan lidahnya di sekeliling areola.
“Aku tidak tahu kenapa bisa seperti ini, tapi…” Hana menarik napas dan kembali melanjutkan dengan nada suara mencicit. “Bisakah kau menggigit puting kananku, aku… ah, yah, seperti itu. Ouchhh.”
Jika Hana mengetahui titik sensitif tubuhnya, maka sensasi kenikmatan yang pernah dirasakannya, bisa diingatkan dengan senang hati olehnya. Satu tangan meluncur ke bawah, membelai celah Hana yang lembap oleh cairan hasratnya, dan menyelinapkan satu jari ke dalam celah itu dengan perlahan.
“Ahhh, Oppa!” erang Hana sambil mencengkeram bahu Tan, merapatkan tubuhnya pada Tan, dan mengerang kembali ketika Tan mulai menggerakkan jarinya di dalam.
Ekspresi wajah Hana begitu mendamba, terkesan seksi dan liar, yang mampu membuat hasrat Tan semakin melambung tinggi. Kini, dua tangan Hana sudah melingkar di leher Tan, mengangkat satu kaki ke pinggangnya, dan menarik turun kepala Tan untuk bertemu dalam ciuman yang liar.
Tan menyesap dan meliukkan lidah di dalam mulut Hana, menciumnya dengan bernapsu dalam hasrat yang kian mendera. Tidak ingin menahan diri karena sudah terlalu lama melakukan pertahanan itu, Tan melepas ciuman dan membalikkan tubuh Hana untuk membelakangi dirinya, mengarahkan dua tangan Hana ke depan untuk bertumpu pada dinding, membungkukkan tubuh Hana dan menaikkan sedikit pinggulnya.
Merasa air pancuran sedikit terganggu, Tan mematikan kran shower, lalu mengarahkan ketegangannya pada tubuh Hana. Tidak mulus, justru mengalami sedikit kesulitan dalam memasukinya, tapi Tan terus berusaha untuk menerobos masuk ke dalam celah Hana.
Satu dorongan, dua dorongan, tiga dorongan, dan berhasil dalam dorongan selanjutnya. Tan mengerang parau saat merasakan sempitnya Hana yang mencengkeramnya begitu ketat. Hana menjerit lirih, entah sakit atau nikmat, Tan tidak tahu dan tidak mau peduli. Yang dia inginkan adalah mencapai pelepasannya dan hanya Hana yang bisa memuaskannya.
Sudah berada di dalam sepenuhnya, Tan masih bergeming untuk menikmati cengkeraman erat Hana yang mengetat di sepanjang ketegangannya. Dia membungkuk dan kembali melakukan cumbuan di tengkuk hingga ke bahu, dan dua tangan yang kembali meremas sepasang payudara dari belakang.
“Apa kau merasakan betapa nikmatnya saat kita menyatu seperti ini, Hana?” bisik Tan mesra.
Hana yang sedaritadi mendesah, hanya mampu mengangguk sebagai jawaban. Sisa basah di tubuhnya, berganti rasa lembap dari keringat, dan celah sempitnya semakin terasa memanas di dalam. Tan memejamkan mata dan mulai bergerak maju mundur.
Shit, umpat Tan dalam hati. Hana yang sempit membuat kepalanya semakin pusing oleh desiran gairah dalam degup jantungnya yang terasa terbakar. Gerakan perlahan, berubah menjadi lebih cepat, semakin cepat, dan semakin dalam. Pergerakan yang terjadi, membuat tubuh Hana terasa licin, basah, dan panas. Kejantanannya berkedut nyeri, semakin keras, dan membesar.
“Ahh, ahhh, Oppa,” jerit Hana saat tubuhnya terasa menyempit dan menyesakkan Tan, diiringi dengan denyutan kencang yang memijat sepanjang ketegangannya di dalam.
Merasa sudah sampai puncaknya, Tan menangkup bokong Hana, sambil menarik dan mendorong keluar masuk di dalam tubuh Hana. Keras, cepat, tidak terkendali. Tan membiarkan gairahnya memimpin untuk mencapai pelepasannya dengan hentakan-hentakan yang semakin tergesa, cepat, dan dalam.
Hana mengerang semakin kencang, dua tangannya gemetar, dan hentakan keras Tan membuat tubuhnya mendesak ke dinding. Satu tangan Tan sudah menumpu dinding, tepat di kepala Hana agar tidak terbentur selagi dirinya masih mengentak di sana. Satu tangannya lagi melingkar di pinggang Hana, menahan beban tubuh Hana yang sepertinya tidak mampu berdiri.
Dua kaki Tan menekuk sedikit untuk mendorong dan memasuki lebih dalam ke tubuh Hana. Terus, terus, dan terus mendorong dengan kecepatan yang semakin meninggi. Deru napas Tan kian memburu, bersamaan dengan degup jantungnya yang berpacu keras di dalam, dan rasa panas yang mulai menjalar di punggung.
Satu hentakan terakhir menyelesaikan semuanya. Pelepasan yang terasa panjang dan berat, mengaung dalam erangan Tan yang parau. Denyutan klimaks membuat mata Tan terpejam erat, nyaris kehabisan napas dalam buruan napasnya yang kasar.
Hana sepenuhnya lemas tak berdaya, jika Tan tidak merengkuhnya, mungkin dia akan merosot jatuh karena kedua kakinya begitu lemas, seperti tak bertulang. Tan membiarkan posisi seperti itu selama beberapa saat, atau sampai keduanya mulai tenang.
Sesudah itu, perlahan Tan mulai menyalakan pancuran, memulai kembali kegiatan untuk membersihkan diri yang tertunda. Dengan perlahan, Tan melepaskan penyatuan tubuh mereka, membantu Hana agar mampu berdiri dengan tetap menopang tubuhnya dalam rengkuhan erat, lalu membersihkan Hana sekaligus dirinya.
Tidak ada pembicaraan, karena keduanya sibuk membersihkan diri. Hanya saja, helaan napas lelah sering terdengar dari Hana, dan keluhan seperti meringis pelan saat hendak berjalan keluar dari bilik shower.
Tan terkekeh sambil membantu Hana untuk berjalan, mengeringkan tubuh basah Hana dengan handuk besar, dan membawanya keluar dari kamar mandi.
Dia menuju ke lemari untuk mencari pakaian, dan Tan harus mengakui perlengkapan yang disiapkan untuknya di rumah ini. Pakaian baru, dengan model dan ukuran sesuai dirinya dan Hana, tersusun rapi di lemari. Trophy pengertian akan Tan langsung serahkan pada Joel dan Brant, jika mereka bertemu nanti, atas persiapan yang sudah membuatnya takjub.
Dia meraih gaun tidur satin berwarna hitam, lengkap dengan jubah tidur dan pakaian dalam dengan warna senada. Hana tampak canggung dan gugup, tapi tidak menolak saat Tan membantunya untuk berpakaian. Wajahnya merona, tampak sedikit pucat, dan begitu lemas.
“Apa ada yang ingin kau tanyakan selagi melihatku berpakaian, Hana?” goda Tan sambil melepas handuk yang membelit di pinggang, dan Hana langsung membuang muka dengan ekspresi malu.
“Sudah terlambat untuk merasa malu atau gugup, Hana,” tambah Tan sambil memakai boxer yang diambil dari lemari, lalu dilanjutkan dengan memakai celana pajama.
Hana meliriknya dengan ekspresi tidak nyaman. “Kenapa kau tidak memakai baju?”
“Aku tidak suka memakai atasan jika tidur,” jawab Tan santai sambil menaruh handuk dengan sembarangan.
“Mmm, kau mau apa?” tanya Hana bingung saat Tan mendekatinya yang sedang duduk di tepi ranjang.
“Aku lelah sekali dan ingin tidur,” jawab Tan sambil menaiki ranjang dan menarik Hana untuk tidur di sampingnya.
“Oppa! Ini tidak…”
“Tidak boleh? Ckck, tidur bersama tidak boleh, lantas apa yang baru saja kita lakukan di kamar mandi, Hana? Kita sudah bercinta dan mandi bersama. Itu artinya, hubungan yang kita jalani saat ini, bukanlah hubungan yang biasa saja,” sela Tan tajam.
“Aku juga bingung, Oppa. Apa yang tadi kita lakukan? Dan kenapa bisa kita lakukan? Lalu apa yang membuatku seperti… jalang yang membutuhkan sentuhan lelaki?” seru Hana dengan sorot mata bingung dan gugup.
“Jangan sekali-kali berkata seperti itu, Hana! Kau bukan jalang!” desis Tan geram dan spontan membuat Hana tersentak.
Keduanya terdiam dan saling bertatapan. Tan dengan ekspresinya yang dingin, sedangkan Hana dengan tatapannya yang masih bingung.
“Aku tidak mengerti. Satu pihak, aku merasa harus menolak. Tapi di lain pihak, aku tidak bisa menolak. Aku… seperti sudah… pernah melakukannya,” ucap Hana dengan suara gemetar.
Tan menyeringai dingin dan menyusun bantal di belakangnya. Dia tidak perlu membalas ucapan Hana, karena sepertinya reaksi kimia yang tercampur dalam darah Hana, mulai memberikan pengaruh saat penyatuan itu terjadi.
Tan merebahkan diri, lalu menarik Hana untuk berbaring di dadanya, memeluknya erat, dan menyelimuti mereka. Meski hari masih menjelang siang, tapi Tan sudah begitu lelah dan membutuhkaan istirahat.
“Tidurlah, Hana. Aku sangat lelah,” ujar Tan sambil memejamkan matanya.
“Apakah kita pernah seperti ini sebelumnya?” tanya Hana ragu sambil mendongak untuk menatap Tan.
Tanpa membuka matanya, Tan mengangguk. “Kau adalah milikku, sudah pasti kita pernah melakukan hal ini.”
“Aku tidak mengerti. Aku yakin jika kita tidak pernah bertemu sebelumnya, tapi aku sudah merasa begitu mengenalmu dan seperti pernah mengalami situasi seperti ini,” balas Hana.
“Apa yang kau yakini, bukanlah sebuah kepastian jika ada keraguan di dalamnya, Hana,” sahut Tan sambil membuka mata dan menunduk untuk menatap Hana dengan tajam. “Perasaanmu adalah yang paling mengenal siapa dirimu, bukan keyakinan. Terdengar aneh dan tidak masuk akal, aku tahu. Tapi, terkadang dalam hidup ini, kita sering menikmati kemustahilan.”
“Tapi…”
“Tidak ada tapi, saatnya tidur. Aku akan menjawab pertanyaanmu setelah kebutuhan tidurku tercukupi,” sela Tan tegas, lalu mencium bibir Hana dengan lembut. “Hm, kau manis sekali.”
“Engghhh, Oppa,” keluh Hana saat Tan membelai payudaranya dan meremas dengan gemas.
“Apa kau ingin? Jika ya, aku tidak masalah untuk memuaskan birahimu,” tanya Tan dengan nada menggoda.
“A-Aku tidak ingin… engghhhh, jangan menyentuhku lagi,” balas Hana dengan suara terengah.
“Apakah sentuhanku tidak menyukakanmu? Misalkan seperti ini?” goda Tan sambil menurunkan satu tangan untuk menjamah tubuh Hana, membelai pahanya, lalu mengarah ke atas untuk menyentuh celahnya dari balik celana dalam dengan usapan naik turun.
Hana mengerang, lalu menggeram pelan, sambil mendorong Tan untuk mengubah posisi. Kini, Hana menduduki tubuhnya, tampak begitu liar dan berhasrat. Tidak ada yang bisa dilakukan Tan, selain memenuhi kebutuhan Hana yang sedang mengalami kenaikan hormon yang melonjak.
And hell yeah, this is the moment that Tan has been waiting for. Sex marathon after two fucking months of waiting? Why not?
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Kata Babang, tulis part ini cuma butuh kurang dari 2 jam.
Itu tolong gimana caranya coba?
Btw, apa kabar kalian?
Masih menunggu Sheliu? Hehe.
Weekend, Ayle dan Neil update.
Mudah2an masih ada yang sabar dalam ketidakpastian perhaluan ini 😅
Brb, mau nonton episode terakhir Lee Gon 😭
12.06.2020 (22.05 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top