Part. 2 - Revealed

Selamat hari senin untuk semuanya.

Happy Reading 💜


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Sejak subuh, Hana sudah bekerja untuk menyiram taman bunganya, menggunting beberapa tangkai bunga dari sana, dan mempersiapkan diri untuk merangkai bunga. Kesibukannya di pagi hari adalah memenuhi pesanan, dilanjutkan membuka toko bunga untuk menerima para pelanggan. Meski setiap harinya melakukan rutinitas yang sama, tapi tidak membuat Hana jenuh. Sebaliknya, dia merasa tenang.

Setelah mengambil beberapa tangkai bunga, Hana bergegas menuju ke meja untuk membuat sepuluh buket bunga yang sudah dipesan oleh pelanggan setianya. Hari ini adalah hari Ibu, yang merupakan salah satu momen sibuk untuk dirinya. Juga membuat perhatiannya teralihkan dari rasa rindu akan sosok ibu yang belum tersampaikan.

Buket bunga yang dibuatnya, sudah pasti dirangkai dari hatinya yang terdalam. Varian dengan berbagai warna cantik yang alami dari bunga yang ditanam, mewakili bentuk perasaan yang mengalir lewat karya tangannya. Tidak ingin bersedih, tapi juga tidak mampu menahan diri, Hana sudah pasti akan membuatkan sebuket bunga khusus yang akan dipajang tepat di depan, sebagai sambutan bagi para pelanggan yang akan datang nantinya. Meski sebenarnya, buket itu diperuntukkan untuk Eomma.

Dua jam kemudian, tepat di jam tujuh pagi, dua orang pekerja datang dan menyapa. Segera mempersiapkan toko untuk dibuka, dan membantu Hana untuk mengambil alih buket yang sudah dibuat, lalu dikirim ke pelanggan.

"Sajangnim, ada pesanan yang masuk lewat email sekitar 15 menit yang lalu," beritahu Mina, sambil mengetik di layar laptop, tepat di meja kasir.

"Benarkah? Aku tidak sempat memeriksa," balas Hana dengan ekspresi kaget. "Apakah kebutuhannya mendesak?"

Mina menggeleng. "Dia membutuhkan buket itu sore nanti."

"Biar aku saja yang membuatnya, Sajangnim. Kau beristirahatlah dulu," seru Sora sambil mengangkat sebuah keranjang yang sudah berisikan bunga-bunga segar yang baru saja diambilnya dari taman.

"Tapi pelanggan ini memberi catatan bahwa harus Sajangnim yang membuatnya," sahut Mina.

Hana tersenyum. "Terima kasih, Sora, aku akan membuatnya. Mina, balas email itu dan katakan bahwa pesanannya akan segera dikerjakan."

Mina mengangguk dan kembali mengetik di laptop.

"Kau pasti belum sarapan, Sajangnim," ucap Sora sambil menaruh keranjang di atas meja. "Tidak baik melewatkan sarapanmu seperti itu. Apa kau lupa jika memiliki maag yang cukup akut, hingga tidak sanggup untuk berjalan ketika kambuh?"

Hana mengangkat mug yang sudah berisi setengah pada Sora. "Aku sudah meneguk cereal."

"Cereal tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan gizimu, Sajangnim. Apalagi kau sudah bekerja sejak subuh, dan terus melarang kami untuk ikut membantumu," balas Sora heran.

"Kalian harus berkuliah nanti siang, aku tidak ingin kalian terlalu lelah."

"Kami cukup kuat dan bertenaga, Sajangnim. Lagi pula, jam kuliah kami tidak terlalu berat. Jika ada yang harus kami bantu, tidak masalah jika kami bermalam di sini," sahut Mina yang sudah datang menghampiri, dan ikut membantu merangkai bunga.

Mina dan Sora adalah putri tetangga dan juga bersahabat, yang menawarkan diri untuk membantu di toko florist-nya. Di samping itu, mereka masih berkuliah dan membutuhkan biaya untuk melanjutkan pendidikannya. Tentu saja, Hana dengan senang hati menerima mereka berdua, dan sudah menganggapnya seperti adik sendiri.

"Terima kasih, aku sudah sangat terbantu dengan kedatangan kalian. Buket itu akan kubuat, sementara kalian segera bersiap untuk membuka toko," ujar Hana kemudian.

"Aku membawakan roti untukmu, Sajangnim. Makanlah, aku akan membuatkan teh hangat untukmu," balas Mina sambil berjalan menuju ke balik meja, mengambil sebuah kotak makan, dan memberikannya pada Hana.

"Apa kau yang membuatnya?" tanya Hana senang, sambil membuka kotak makan itu.

"Tentu saja tidak," jawab Mina sambil terkekeh. "Eomma yang membuatkan, katanya roti ini dibuat dari kasih seorang Ibu. Dia menyiapkan roti ini untukmu juga."

Tertegun, juga terharu, Hana menunduk untuk menatap roti yang sudah dipotong dengan rapi di dalam kotak. "Sampaikan terima kasihku pada ibumu, Mina."

Sora merangkul bahu Hana. "Kau adalah wanita yang kuat, Sajangnim. Juga menjadi Eonnie yang perhatian untuk kami berdua. Jangan bersedih lagi, masih ada kami berdua."

Mina mengangguk sebagai tanda setuju, lalu ikut merangkul Hana. "Aku yakin jika ibumu akan segera kembali, Sajangnim. Mungkin, dia terlalu sibuk."

Hana tersenyum, lalu mengangguk. Untuk semangat dan masukan yang disampaikan dengan harapan agar dirinya tidak murung, tentu saja Hana akan memberikan apa yang mereka harapkan, meski dalam hati tidak semudah itu.

"Kalau begitu, buatkan aku teh yang kau janjikan, Mina," ucap Hana akhirnya.

"Siap!" balas Mina, lalu segera menuju ke dapur kecil yang ada di ruang belakang.

"Aku akan membersihkan bagian depan, dan menatanya kembali, Sajangnim. Nikmati sarapanmu," ujar Sora, dan segera berjalan ke depan toko, ketika sudah mengenakan apron seragam berwarna beige, yang membalut kemeja dan jeans yang dikenakannya.

Hana menjalani kesehariannya dengan kesibukan yang cukup menyita perhatian. Setelah sarapan dengan roti dan teh, dia membersihkan diri, lalu kembali mengurus buket bunga yang harus dikerjakan, dan para pelanggan mulai berdatangan tanpa henti hingga lepas siang. Mina bekerja di meja kasir, sekaligus memberi masukan kepada para pelanggan dalam memilih bunga. Sora bekerja untuk menemani pelanggan ke taman untuk memilih, juga membantu merangkai.

Melihat Mina dan Sora bisa menangani kesibukan, Hana segera menyingkir sebentar untuk menuju ke dapur, menyiapkan makan siang untuk mereka berdua. Membuatkan beberapa menu sederhana, seperti kimchi, kimbap, dan buchimgae yang disajikan dalam kotak makan. Hal itu untuk mempermudah mereka menikmati makan siang sambil bekerja, begitulah yang dilakukan mereka setiap harinya.

Setelah selesai memotong kimbap, lalu menaruhnya bersama kimchi dan buchimgae di masing-masing kotak, Hana menutup kotak makan, dan segera membawanya keluar untuk ditaruh di sebuah meja, tepat di belakang meja kasir.

"Hari yang cukup melelahkan," keluh Mina sambil membalikkan tanda open di pintu kaca menjadi close, untuk mengambil jam istirahat.

"Hari ini adalah hari Ibu, Mina. Sudah pasti banyak yang ingin membeli bunga untuk ibunya," balas Sora ketika sudah menusukkan tangkai terakhir pada buket buatannya, lalu berjalan menghampiri Hana sambil tersenyum manis.

"Apa?" tanya Hana bingung, sambil menerima buket mungil yang diberikan, dimana Sora dan Mina tersenyum menatapnya.

"Buket untuk Sajangnim terbaik yang kami miliki, juga sudah menjadi Eonnie penuh kasih dan perhatian bagi kami. Terima kasih sudah menerima kami untuk bekerja, sejak toko ini dibuka," jawab Sora senang.

"Kau sudah seperti perwakilan ibu kami selama berada di sini, Sajangnim. Menyiapkan makan siang, memperhatikan kesehatan kami, dan mengingatkan untuk selalu giat belajar. Kami mencintaimu," tambah Mina ceria.

Mata Hana mulai berkaca-kaca dan menatap keduanya dengan rasa haru yang menyeruak dalam dada. Tidak mampu mengucapkan terima kasih, selain maju untuk mendekat dan memeluk mereka berdua secara bersamaan.

"Jangan bersedih," ucap Sora dengan cemas.

"Tidak, aku tidak sedih. Aku bahagia," balas Hana serak. "Terima kasih. Sekali lagi, terima kasih."

"Aku jadi ingin ikut menangis," tukas Mina sambil mengerjapkan mata dan melepas pelukan.

Hana tertawa pelan, lalu menyuruh mereka berdua untuk duduk dan memberikan kotak makan. "Makanlah, selagi hangat. Sehabis ini, kalian bisa segera berangkat kuliah."

"Masih ada banyak pesanan, kami akan tetap di sini, dan mengikuti jam kuliah malam. Tenang saja, Sajangnim. Kami sudah tahu kesibukan yang akan terjadi hari ini, jadi sudah sejak seminggu yang lalu, kami mengajukan jadwal kuliah untuk minggu ini," ujar Mina meyakinkan.

Sora mengangguk sambil membuka kotak makan. "Wah, kimbap kesukaanku!"

"Aku lapar sekali," tambah Mina yang sudah mencapit satu kimbap, lalu melahapnya dengan tekun.

Hana tersenyum melihat keduanya selalu antusias setiap kali menikmati makan siang. Mereka bukan pemilih makanan, dan selalu menghabiskan makanannya tanpa sisa.

Ketiganya masih menikmati makan bersama, diselingi obrolan ringan, ketika ada seseorang masuk ke dalam toko, bersamaan dengan bunyi bel tanda kedatangan seseorang.

"Maaf, kami sedang...," suara Hana terhenti ketika bisa melihat sosok Kim Tan datang dalam balutan resmi.

Mina dan Sora spontan berbalik, lalu ber-wow ria dalam nada berbisik, ketika melihat sosok Kim Tan sedang berdiri menjulang di depan pintu. Dengan memakai setelan jas yang membalut pas di tubuh, juga tatanan rambut yang begitu rapi, Tan tampak begitu sempurna.

Sejak remaja, Hana mengagumi Kim bersaudara yang rupawan. Mereka adalah sosok pendiam dan penuh pendirian. Jarang sekali menemukan mereka bisa tersenyum, tapi tidak mengurangi pesona yang ada pada diri mereka. Hyun Oppa adalah yang tertua, dan Shin Oppa adalah yang kedua, sementara Tan Oppa adalah si bungsu.

Kedua Oppa tertua sudah menikah dan Hana tidak diundang. Hyun Oppa diketahui Hana sudah menikah lewat pemberitaan heboh, dimana pernikahan itu digelar di sebuah stadium terbesar di Seoul, dengan banyaknya artis idola yang mengisi acara. Sedangkan Shin Oppa diketahui Hana sudah menikah, dari Jin-Wook Oppa yang sempat datang mengunjunginya sekitar beberapa bulan yang lalu. Untuk Tan Oppa sendiri, Hana tidak tahu.

"Apakah pesananku sudah selesai?" tanya Tan tanpa basa basi.

Alis Hana berkerut, lalu menoleh pada Mina. "Pesanan yang masuk tadi pagi, siapa namanya?"

"Oh, nama pelanggannya Kim Tan," jawab Mina langsung.

"Buket yang diminta tanpa nama itu?" tanya Hana lagi.

"Iya," jawab Mina lagi.

"Apakah sudah selesai?" tanya Tan lagi, kali ini dengan nada tidak sabaran.

"Sudah," Sora mengambil alih jawaban. "Buket itu sudah selesai dan akan dikirim sebentar lagi. Di email pesanan, tertulis jam dua. Sedangkan sekarang, baru jam satu."

"Untuk itulah aku datang ke sini karena sudah mendesak," balas Tan sambil mengeluarkan dompet dari saku, lalu menarik sebuah kartu dari sana. "Jangan lama-lama. Aku tidak punya waktu banyak."

Hana segera beranjak dan mengambil buket yang sudah dibuatnya, lalu menghampiri Tan dengan senyuman hangat. "Ambillah, Oppa. Tidak usah membayar."

Tan mengerutkan alis sambil melirik buket bunga yang dibawa Hana, lalu kembali menatapnya. "Apakah semua orang yang memesan bunga padamu, diberi secara cuma-cuma?"

"Tidak," jawab Hana langsung.

"Tapi kenapa aku tidak usah membayar?"

"Karena...,"

"Karena kau merasa aku adalah saudara, dan ingin memberiku buket pesanan karena tidak enak hati?"

"Itu...,"

"Tidak usah terlalu berperasaan. Asal kau tahu saja, aku bukan saudaramu, juga bukan siapa-siapa. Terima kartu ini, dan lakukan pembayaran! Aku tidak punya banyak waktu."

Mendengar ucapan Tan barusan, membuat dada Hana berdenyut nyeri. Haruskah dia mengucapkan kalimat yang menyakitkan seperti itu, tepat di hadapan dua pekerjanya? Hana bahkan tidak mampu bergerak selama beberapa saat, sampai Mina beranjak dan mengambil kartu Tan untuk melakukan pembayaran.

Tidak ada yang membuka suara, selain kegiatan pembayaran yang dilakukan Mina, dan coretan tanda tangan Tan di atas lembar tagihan. Menerima kartunya kembali dari Mina, Tan segera memasukkan kembali ke dompet, lalu beranjak pergi sambil membawa buket tanpa berkata apa-apa.

"Sombong sekali," bisik Sora dengan nada geram.

"Aku tidak jadi kagum padanya. Tampan tapi tidak memiliki sikap. Bukankah dia adalah salah satu model untuk brand pakaian pria yang sering muncul di majalah mode?" balas Mina heran.

Setelah sanggup menarik napas, lalu mengembuskannya pelan, Hana segera menggerakkan kaki untuk keluar dari situ, dan mengabaikan seruan panggilan dari Mina dan Sora.

Dia keluar dari toko, berjalan cepat, dan kemudian berlari untuk mencapai Tan yang sudah berada di ujung jalan, menuju ke sebuah mobil.

"Oppa! Tunggu!" serunya kencang.

Tan seperti mengabaikan dan tetap membuka pintu mobil, seperti hendak masuk ke dalamnya. Tidak ingin membuang kesempatan, Hana melepas salah satu sepatu sneakers-nya, dan melempar ke arah Tan tanpa ragu.

Sneakers itu mendarat mulus di kepala Tan, sukses membuat pria sialan itu berhenti, dan menoleh padanya dengan tatapan berang.

"Aku bilang tunggu!" seru Hana kembali, kali ini dengan nada membentak.

Tidak peduli dengan aura menggelap dari wajah Tan, Hana kembali berjalan menghampirinya. Kini, dia sudah berhadapan dengan Tan, yang begitu tinggi sampai dirinya harus mendongak untuk menatap.

"Apa yang kau katakan tadi sangat tidak termaafkan! Kau terlalu sombong dan tidak seperti yang lainnya!" sembur Hana dengan semua amarah yang entah datang darimana.

Tan menatapnya dengan penuh kebencian, seperti ingin menghabisinya saat itu juga. Hana tidak peduli. Tidak ada gunanya menjadi takut, meski keberanian seringkali tidak mampu menandingi, tapi setidaknya, Hana tidak terus diam.

"Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan barusan? Melemparku dengan sepatu?" tanyanya dingin.

"Jika bisa, aku bahkan ingin menusukmu dengan duri mawar tapi tidak sempat kuambil!" jawab Hana tanpa ragu.

Alis Tan terangkat setengah, menatap Hana dengan hunusan tajam. "Jadi, kau tidak senang ketika mendengar ucapan terakhirku, meskipun itu adalah kenyataan?"

"Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak mengerti apa yang terjadi di sini! Sampaikan dengan benar, supaya aku tahu harus bagaimana bersikap denganmu! Yang kutahu, kalian adalah keluargaku. Keluarga yang tidak pernah sekalipun memahami keberadaanku."

"Baiklah, biar kuperjelas di sini," ujar Tan dingin. "Kau adalah orang luar. Ibumu, Hyu-Ra, bukanlah putri kandung Kim Seng-Hoo, kakekku. Yang artinya, kau bukan siapa-siapa dalam keluarga Kim. Mendekati pun tidak," ucap Tan sengit, dan penuh penekanan.

Jika tadi dadanya berdenyut nyeri, kali ini Hana merasakan sesak. Napasnya terasa berat, seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya. Tubuhnya mulai bergetar, seiring dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Kenapa? Tidak percaya padaku? Terserah saja. Aku hanya mengatakan apa yang seharusnya kau dengar dan kau ketahui, sebab itulah kenyataannya," komentar Tan, lalu membungkuk untuk memungut sepatu sneakers Hana yang tadi mengenai kepalanya.

Tan kembali berdiri menjulang di hadapannya, sambil mendesakkan sepatu ke dada Hana dengan sorot mata dingin yang begitu tajam. Hana bisa melihat ada kebencian yang mendalam dari sorot mata itu, juga merasa terhakimi atas tatapan yang tertuju padanya.

"Melempar sepatu kepada orang yang lebih senior, bukanlah tindakan terpuji yang bisa dilakukan oleh seorang Kim. Untungnya, aku tidak perlu mengambil hati atas tindakanmu tadi, karena kau memang tidak punya sopan santun. Tahunya hanya menyakiti, atau bahkan mengambil jalan pintas untuk mendapatkan apa yang kau inginkan. Persis seperti orang tuamu," tukas Tan dengan sinis.

"A-Appa, E-Eomma...," ucap Hana terbata-bata, ketika Tan membawa orangtuanya.

Tan menyeringai sinis. "Tidak perlu susah payah dalam mencari atau menanyakan mereka. Percuma saja, karena mereka sudah mati dan tidak layak untuk berpijak di bumi ini."

Hana tidak sanggup merasakan apa pun, karena seluruh sendi tubuhnya lemas dan merasa tak berdaya. Seluruh perasaannya yang tertahan, seperti kesepian, kesedihan, kecemasan, dan ketakutan yang ada dalam diri, seakan melebur menjadi satu untuk membuatnya hancur tak bersisa.

Jika memang orang tuanya sudah tiada, maka tidak ada gunanya dia hidup dalam pengasingan yang tiada berakhir itu. Mungkin, kedatangan Tan dan yang lainnya, adalah pertanda bahwa kematiannya sudah dekat. Ya, sudah dekat. Seperti sekarang, dimana Hana tenggelam dalam kegelapan yang menyedot seluruh energi, sampai tidak mampu untuk bergerak, meski hanya untuk membuka mata.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Keinginanku dari dulu adalah menulis tentang seorang florist.
Alasannya klise, karena aku suka bunga.
Kenyataan? Aku gak pernah dikasih bunga sama suamiku 😢
Tapi aku bahagia sama dia 💜

Hatiku itu ibarat taman bunga, dimana dia selalu menyiram setiap hari, hingga tumbuh dan bermekaran di dalamnya.
Memang, dia serajin itu.
Rajin menyiram, merawat, dan menjaga, hingga ketika tumbuh subur, senyumnya merekah sempurna.
Yaitu, aku jadi makin sayang, dan dia juga bahagia kalo aku bahagia 💜

Sama seperti kamu ketika menjalani hubungan, keduanya harus saling.
Satu menyiram, satu bertumbuh.
Satu bermekaran, satu menghasilkan.
Hukum sebab akibat.
Jika kamu baik, maka akan ada hal baik yang datang dalam hidup kamu.

Teruntuk kamu, si Orang Baik, yang masih belum menuai kebaikannya,
bersabarlah 😊
Sebab yang terbaik akan menghampiri, tanpa perlu kamu repot-repot untuk mengejarnya 💜


20.01.2020 (22.18 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top