Part. 19 - New chapter

Two months later...

Hana menuruni anak tangga dengan tergesa, berharap jika dia tidak terlalu terlambat untuk menyiapkan segala sesuatunya di pagi hari, yang sialnya dia harus bangun kesiangan karena asik menonton drama hingga tengah malam. Hanya mencuci muka dan menyikat gigi, dengan memakai yoga pants dan kaus putih berlengan pendek, Hana mengikat rambut panjangnya dalam satu bundelan asal.

Tersentak kaget ketika bisa melihat ada yang sudah menunggunya di lantai bawah, Hana spontan menghentikan langkah, tapi justru membuat posisinya tidak seimbang dan hampir jatuh ke depan jika tidak ada yang segera menarik pergelangan tangannya.

Hana mengerjap kaget dan menoleh pada Ryu, sang penjaga yang selalu berada dimana pun dirinya berada. Orang itulah yang menangkapnya hingga dirinya tidak jadi terjatuh.


"Terima kasih," ucap Hana enggan, ketika melihat ekspresi Ryu yang datar dan seperti tidak peduli dengan ucapannya, selain melepas cengkeraman tangannya.

"Kau terlambat lagi, Hana," tukas seseorang dengan nada lembut, tapi terkesan tidak suka.

Dengan segera, Hana menoleh kembali ke depan, menatap orang itu dengan tatapan menyesal, dan membungkuk hormat padanya. "Maafkan aku, Harabeoji. Aku... ugh! Aku tidak tahu kenapa harus terpesona dengan Lee-Gon yang menaiki kuda putih dan tidak sadar jika sudah tengah malam, lalu..."

Harabeoji berdeham sambil bersedekap dengan ekspresi tenang. Hal itu sudah menjadi peringatan bagi Hana untuk diam dan tidak perlu memberi alasan. Harabeoji sudah menginjak usia 80 tahun, tapi herannya tampak bugar dan sehat. Hana sangat mengaguminya sejak dari kecil, hingga sekarang. Hidup bersamanya, selalu memberi makna terdalam baginya.

"Apa kau sudah kembali ke kenyataan, Hana?" tanya Harabeoji tenang.

Di belakang Harabeoji, ada seorang Ahjussi bernama Park Yoo-Jin, yang menatapnya dengan ekspresi yang sama datarnya dengan Harabeoji. Hana sama sekali tidak mengerti, ada apa dengan para pria di mansion itu dengan tidak bisa memberikan ekspresi yang berbeda selain datar.

"Iya," jawab Hana sambil menunduk.

"Bukankah sudah kubilang agar kau tidak mengatakan hal yang tidak masuk akal di hadapanku? Juga, kau harus disiplin waktu untuk tidak beralasan hanya karena ingin mangkir dari jadwal yang sudah ditetapkan," ujar Harabeoji lagi.

Hana menarik napas dan mengembuskannya pasrah. "Iya."

"Sudah berapa lama kau berlatih?" tanyanya lagi.

"Dua tahun," jawabnya pelan, lalu keningnya berkerut ketika dia merasa tidak yakin dengan jawabannya sendiri.

"Sudah dua tahun, tapi tetap saja tidak disiplin. Apakah ini yang kau terima selama pelatihan?"

Seharusnya tidak begitu, jawab Hana dalam hati. Dia mengangkat wajah untuk menatap Harabeoji dengan ekspresi berpikir, dimana setiap kali pertanyaan itu muncul, di setiap kali itulah dia merasa ragu. Awalnya, dia merasa tidak ada masalah, tapi semakin sering dipertanyakan, Hana merasa ada yang janggal.

"Maaf," ucap Hana akhirnya.

"Aku tidak ingin kau terlambat lagi. Sekarang, makan sarapanmu dan setelah itu kau harus berlari mengitari mansion sebanyak dua kali," ujar Harabeoji kalem.

"Apa? Itu banyak sekali, aku tidak sanggup," keluh Hana dengan ekspresi memelas.

"Jika kau tidak sanggup, maka kau harus bangun lebih awal untuk sarapan bersamaku," balas Harabeoji tegas.

Hana mendesah pasrah dan mengangguk pelan. "Kau selalu tega padaku."

"Jika aku terus memanjakanmu, akan jadi apa kau nanti dalam menghadapi dunia, Hana? Di luar sana, banyak orang yang jahat dan kejam. Untuk orang yang tidak memiliki disiplin, sudah pasti tidak akan mampu bertahan," tukas Harabeoji.

Hana bungkam. Ucapan Harabeoji selalu benar dan dia tidak mampu untuk membalas selain menganggukkan kepala dengan lemah. Pelatihan yang diberikan Harabeoji, tidak lain adalah untuk melatih dirinya secara fisik dan mental. Tujuannya adalah untuk dirinya mampu melindungi diri sendiri jika berhadapan dengan sesuatu yang merugikan.

Sebagai seorang yatim piatu, Hana turut bersyukur memiliki seorang yang bermurah hati seperti Harabeoji yang bersedia membesarkannya di sebuah mansion besar. Hana tidak ingat banyak tentang masa kecilnya, tidak yakin juga dengan apa yang pernah dialaminya. Yang diingatnya adalah ketika terbangun di suatu hari dan sudah berada di kamarnya. Itu adalah tidurnya yang paling nyenyak.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa harus menegur Hana terus menerus?" suara lembut terdengar dan itu sudah membuat senyum Hana mengembang begitu saja. Itu malaikat penolongnya, Halmeoni.

"Halmeoni," panggil Hana sambil mendekat dan memeluk lengan wanita tua kesukaannya. "Ini salahku. Aku yang terlalu asik menonton drama dan bangun kesiangan."

"Kalau begitu, makanlah. Jangan sampai perutmu kosong," ujar Halmeoni lembut.

Hana mengangguk antusias dan mendesah pelan ketika namanya kembali dipanggil oleh Harabeoji.

"Sehabis mengitari mansion, kau harus mengikuti pelatihan baru. Kau sudah menyelesaikan Krav Maga dengan Ryu selama sebulan, kini kau harus mempelajari Kick Boxing," ujar Harabeoji kemudian.

Hana menghela napas dan menoleh pada Ryu dengan masam. "Dengan Ryu lagi?"

"Tidak. Ada personal trainee yang akan melatihmu. Sehabis makan siang, bersiaplah," jawab Harabeoji sambil berlalu dengan Halmeoni yang menuju ke lantai atas.

Hana berdecak pelan dan menatap Park Yoo-Jin dengan tatapan memelas. "Ahjussi, apakah aku bisa beristirahat sejenak untuk tidak melakukan kegiatan seperti itu di setiap harinya? Aku ingin jalan-jalan dan mencari udara segar."

Yoo-Jin memperhatikannya dengan penuh penilaian, lalu mengangkat bahu dengan santai. "Jika kau bisa menjalani semuanya dengan baik, maka Ryu bisa mengantarmu."

"Kenapa aku harus terus bersama dengan Ryu?" sewot Hana sambil melirik kesal pada pria yang terdiam seperti patung berjalan.

"Karena dia adalah penjagamu," balas Yoo-Jin.

"Aku tidak membutuhkan penjaga," sahut Hana keras kepala.

Yoo-Jin hanya tersenyum hambar dan berjalan melewatinya sambil berujar, "If you only knew."

Kening Hana berkerut dan menatap kepergian Yoo-Jin yang menyusul Harabeoji dan Halmeoni ke lantai atas dengan cemberut. Sambil mendengus, Hana segera menuju ke ruang makan dan menikmati sarapan dengan berbagai sajian yang ada di atas meja. Ada perasaan tidak nyaman ketika dia hanya tinggal duduk dan menikmati makanan. Seharusnya dia yang membuat sarapan dan membantu para pelayan mansion untuk bekerja.

Hana menepuk kepalanya sendiri dengan pemikiran konyol seperti barusan. Apa maksudnya? Bukankah tidak aneh jika dirinya menikmati makanan yang sudah tersaji tanpa perlu merasa bersalah? Juga, terkadang rasa asing seperti tidak merasa di rumah sendiri muncul begitu saja. Hana sudah merasa seperti bukan dirinya sendiri.

Matanya sudah melihat segelas jus jeruk dan segelas susu tersaji di sana, tapi dia enggan untuk meminum dua jenis minuman itu.

"Apa ada masalah?" tanya Ryu, yang tahu-tahu sudah berdiri di samping kursinya.

Hana menoleh padanya. "Bisakah kau berikan aku kopi susu tanpa gula?"

"Kau tidak diperkenankan untuk menikmati kopi sebelum mengisi perutmu yang kosong, Nona," jawab Ryu dengan suara dan ekspresi sekaku robot.

"Aku tidak suka susu," balas Hana bersikeras.

"Tapi..."

"Aku akan menikmati makananku, lihat!" sela Hana sambil menusuk sepotong sosis dan melahapnya sambil mengunyah di depan Ryu dengan sengaja. "Jadi, berikan aku kopi."

Ryu tampak menghela napas lelah dan mengarahkan wajahnya ke samping sambil menarik keras jas yang terpasang sebuah alat komunikasi di sana. "Espresso with fresh milk. No sugar."

Senyuman lebar langsung mengembang di wajah Hana dan kembali menekuni sarapannya. Sepiring sandwich, lengkap dengan omelette, sosis, dan pancake. Menu yang setiap hari disajikan dan membuat Hana bosan, tapi tetap dihabiskan. Kecuali tomat, selada, dan timun yang ada di dalam sandwich, Hana akan menyingkirkannya dan menikmati sisanya.

Secangkir kopi susu tanpa gula datang dan Hana segera meneguknya sambil memekik girang. Tidak membutuhkan waktu lama, Hana menghabiskan secangkir minuman itu dengan segera, dan menyelesaikan sarapannya dengan baik.

Hana segera beranjak dan mulai mengikuti perintah Harabeoji untuk mengitari mansion, yang artinya dia harus berkeliling menyusuri taman bunga, ranch kuda, hingga jalan panjang menuju gerbang yang ada di dalam mansion. Hana mengutuk keras terhadap para pembuat drama yang berhasil menarik perhatiannya hingga harus mengalami kesusahan seperti hari ini. Ke depannya, dia tidak akan tergoda untuk menonton drama hingga tengah malam.

Setelah memakai sepatu khusus lari, Hana segera berjalan keluar dari mansion, memulai hukumannya dengan berjalan dan perlahan lari sesuai dengan kemampuannya. Ryu, dengan kurang ajarnya mengikuti sambil menggunakan mobil golf untuk mengekori di belakang. Entah apa yang harus diawasi Ryu, seolah dirinya tidak perlu menghilang dari jangkauannya, meski Yoo-Jin juga melakukan hal yang sama pada Harabeoji.

Baru setengah perjalanan, napas Hana terengah dan dia berhenti sambil membungkuk, menaruh dua tangan di atas lutut untuk mengambil napas. Mobil golf yang dikendarai Ryu berhenti tepat di sisi.

"Anda bisa berjalan tanpa harus berlari, Nona," ucap Ryu datar.

"Dan aku akan menghabiskan setengah hari untuk bisa mencapai dua putaran," balas Hana ketus.

"Itu lebih baik."

"Dan tidak memberiku jeda karena harus mengikuti kegiatan lain nanti siang? Apa tidak sekalian kau menyuruhku mati saja?" celetuk Hana tidak suka dan menegakkan tubuh untuk menatap Ryu kesal. "Tidak usah mengikutiku, aku tidak akan berlaku curang. Lagi pula, Harabeoji bisa mengawasiku dari jendela jika aku macam-macam."

"Beliau mengawasi dari kejauhan, sedangkan tugasku adalah mengawasimu dari dekat."

"Terserah kau saja."

Hana melanjutkan perjalanan mengitari mansion, enggan untuk berdebat dengan Ryu yang tidak memberi solusi apapun. Tidak seperti tadi, kali ini Hana berjalan dalam ritme cepat, bukan lari. Menyusuri apa yang ada di sekeliling mansion adalah hal yang disukai Hana karena itulah yang bisa dilihatnya. Dia tidak diperkenankan untuk keluar dari mansion, hanya bisa menikmati apa yang ada di dalam mansion berupa taman bunga yang dipenuhi dengan bunga-bunga yang indah, juga ranch kuda yang terkadang Hana belajar untuk berkuda dengan Yoo-Jin di sana.

"Apa Anda baik-baik saja, Nona?" tanya Ryu yang sudah menyamakan posisi mobil golf yang dikendarai dengan langkah Hana.

"Tentu saja, kenapa?" tanya Hana heran.

"Langkahmu melamban," jawab Ryu tanpa beban.

Ingin rasanya Hana memukul kepala Ryu karena tidak memahami posisinya yang sudah lelah. Baru mengitari satu putaran, kedua kaki Hana terasa ingin patah. Belum lagi, pinggangnya yang mulai terasa nyeri dan napasnya memberat.

"Apakah aku boleh duduk sebentar di sana?" tanya Hana sambil menunjuk kursi belakang mobil golf itu.

Ryu mengangguk sebagai jawaban dan Hana segera mendudukkan diri di sana. menghela napas lega ketika bisa mengistirahatkan kedua kakinya, Hana mengusap pelipis sambil bersandar di kursi. Sebotol air terulur padanya dan itu dari Ryu. Dalam hitungan detik, Hana menandaskan isi botol itu dan mendesah lega.

"Kau tahu? Aku merasa sangat bosan sekali. Melakukan kegiatan secara teratur, di jadwal dan waktu yang sama setiap harinya. Aku merasa hampa dan hidupku tidak masuk akal," ujar Hana seperti berkata pada diri sendiri, meski sama sekali tidak bermaksud untuk mengajak Ryu mengobrol.

"Anda masih hidup hari ini, itu artinya hidupmu berarti. Tidak ada yang namanya masuk akal selama masih berada di bumi yang tidak menentu, Nona," balas Ryu sambil melajukan kemudi.

Hana mengerjap takjub ketika Ryu bisa membalasnya dengan sebuah kalimat yang cukup melegakan. Dia hanya tersenyum sambil mengedarkan pandangan ke sampingnya yang adalah taman bunga. Melihat bunga, membuat perasaannya membaik, meski ada kesedihan yang membuatnya merasa bingung.

Tidak melanjutkan putaran kedua karena Hana sudah tidak mampu, juga Ryu sudah memberikan laporan pada Yoo-Jin untuk menyampaikan kondisinya yang langsung disetujui Harabeoji, Hana pun kembali ke mansion.

Ketika dia tiba di mansion, ada seorang tamu yang datang dan sedang mengobrol dengan Harabeoji dalam suara rendah. Tamu itu tampak berdiri membelakanginya, dengan Harabeoji yang berdiri menghadapnya. Tatapan Harabeoji sudah mengarah pada Hana, diikuti orang itu.

Deg! Ada desakan dalam dada yang membuat napas Hana tertahan saat melihat orang itu. Dalam balutan kasual seperti kaus berwarna hitam dan jeans belel warna senada, bertubuh besar, menjulang tinggi, dan memiliki sorot mata yang sangat tajam. Rambutnya sebahu, sedikit ikal di ujung, tapi tidak mengurangi sisi maskulinnya.

Seperti orang itu yang terus menatapnya dengan tajam, sorot mata Hana pun seolah tidak mampu teralihkan dari tatapan yang menyakitkan. Herannya, Hana tidak merasa takut, tapi justru ada kehangatan yang menjalar dalam hatinya.

"Kau sudah kembali, Hana."

Suara Harabeoji menyadarkan Hana untuk mengambil napas yang sedaritadi tertahan dan mengerjap bingung ke arah Harabeoji. "Y-Ya."

"Beristirahatlah sebentar dan segera bersihkan diri. Setelah itu, kita akan makan siang dan kau bisa melakukan pelatihan selanjutnya," ucap Harabeoji dengan ekspresi yang biasa saja.

"Mmm, apakah aku boleh mangkir dari pelatihan?" tanya Hana dengan suara mencicit, sambil melirik waspada pada pria yang masih menatapnya dalam diam.

Entah hanya perasaannya saja, yang jelas Hana merasa tatapan orang itu menajam ketika mendengar gumamannya. Dingin sekali, batinnya tentang orang itu.

"Soal itu, kau bisa bernegosiasi dengan pelatihmu," balas Harabeoji sambil menepuk bahu orang itu. "Perkenalkan, namanya Kim Tan, dan dia adalah cucuku, Hana. Sama seperti dirimu."

Tertegun, juga tidak percaya. Hana menatap pria bernama Kim Tan dengan penuh penilaian. Selama ini, dia tidak pernah bertemu secara langsung pada pihak keluarga Harabeoji yang berada di Korea dan hanya mengenal putra bungsu dari Harabeoji yang tinggal di Jakarta saja.

"A-Annyeong," sapa Hana gugup sambil membungkuk, lalu tersentak ketika orang itu melangkah menghampirinya dan menariknya ke dalam pelukan yang erat.

Tidak ada ucapan atau perkataan, yang ada hanya sebuah pelukan yang menyesakkan. Aroma parfum yang tercium darinya, seolah begitu familiar di indera penciuman Hana, dan rengkuhannya menghangatkan perasaan, juga menenangkan jiwa. Namun, hal itu tidak membuat Hana terlena, tapi justru, spontan melakukan tindakan beberapa saat kemudian.

Dengan seluruh kesadarannya, Hana menginjak keras kaki Tan, lalu mengayunkan sebuah pukulan keras yang mendarat tepat di perut orang itu dengan seluruh kekuatannya. Pelukan itu terlepas dan Hana menggunakan kesempatan itu untuk mendorongnya, lalu mundur sejauh mungkin dengan sorot mata tidak bersahabat.

Tan menangkup perut sambil melompat kecil, seiring dengan umpatan kasarnya dan terlihat kesakitan. Harabeoji mengulum senyum dan Yoo-Jin hanya membuang pandangan untuk menahan senyuman. Ryu masih bersikap biasa saja sambil memperhatikan Tan.

"Kenapa kau berani menyerangku?" desis Tan dengan ekspresi yang begitu murka.

Hana menelan ludahnya dengan susah payah, meski ekspresinya menakutkan, tapi Hana tidak boleh takut dan menciut sekarang.

"Aku tidak perlu bersikap baik pada orang asing yang berani menyentuhku seperti itu!" balas Hana dengan gemetar, lalu berbalik untuk menaiki anak tangga dan meninggalkan mereka begitu saja.

Meski gemetar, Hana juga gugup, tapi dia perlu berbangga diri karena keberanian yang baru saja ditampilkannya. Bahkan, Hana tidak mampu menahan senyuman lebarnya ketika sudah mencapai kamarnya dan merasa puas, karena sudah berani menunjukkan kemampuannya dalam melindungi diri dan merasa keren sekali.




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Dimulai dari sini, kita senang2 aja, yah.
Sehubungan lagi gemes sama Oppa yang rambutnya sempet gondrong, anggap aja selama 2 bulan, beliau gak potong rambut 🤣

Udah pasti bakalan heboh karena ada visual baru bermunculan.
Iye, iye, emaknya Adrian kemudaan. Biarin aja, punya laki kaya, skincare juga perlu kenceng.

Ryu, si Penjaga? Efek nonton King of Eternal Monarch kek gini, gak kuat tahan serangan second lead aku tuh 😣

07.05.2020 (21.03 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top