Part. 17 - Stormtrooper
Part terpanjang dengan kemumetan dalam menulisnya, Genks.
Tulis sbtr, mumet, taro tinggal,
beralih ke lapak lain.
Balik lagi, taro tinggal, terus aja kek gitu ampe 3 hari 😔😔😔
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Waktu memang benar-benar singkat jika tidak digunakan dengan benar. Itulah yang dirasakan oleh Tan sekarang. Kebersamaan dengan Hana nyaris tidak terasa karena tenggat waktunya sudah berakhir. Sudah mendapat pengingat dari pesan singkat yang dikirim oleh Alfa, Tan dengan cepat segera membereskan diri dan membawa berbagai perlengkapan dalam sebuah ransel.
Sudah berpakaian khusus dalam balutan serba hitam, juga memasang berbagai alat komunikasi di sisi pakaian khusus itu, Tan yakin tidak ada yang tertinggal. Sementara Hana sudah berpakaian rapi dalam sweater panjang berwarna khaki dan celana jeans yang membalut pas di kaki jenjangnya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Tan datar, berusaha menyembunyikan ekspresi gelinya sekuat tenaga saat melihat Hana yang masih setia duduk di tepi ranjang.
Tan tahu jika Hana sangat lelah dan tidak mampu untuk berjalan. Tidak tanggung-tanggung, Tan menyetubuhi Hana sepanjang sisa kebersamaan tanpa jeda, seolah hasratnya tidak pernah habis, dan enggan untuk membiarkannya begitu saja. Meski demikian, Tan masih berbaik hati untuk memberinya tidur selama dua jam, sebelum akhirnya membangunkan untuk segera bersiap.
"Aku tidak baik-baik saja. Tubuhku lemas," jawab Hana pelan.
Tan menaruh satu lutut di lantai untuk menyamakan posisi kepala agar bisa menatapnya. "Ingin kugendong?"
"Aku masih bisa berjalan sendiri," tolak Hana sambil menggeleng.
"Yakin?" tanya Tan dengan alis terangkat setengah.
Hana merengut cemberut. "Kau tampak senang sekali. Apakah sangat menghibur melihatku seperti ini, Oppa?"
Tan tersenyum pelan sambil membelai sisi wajah Hana dengan lembut. "Maaf, ayo kita bergegas."
Hana mengangguk dan menyambut uluran tangan Tan untuk berdiri. Sebelum meninggalkan kamar, Tan mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan ruangan untuk terakhir kali, lalu menekan tombol yang ada di sisi pintu, dan penerangan seketika lenyap.
Hana memekik kaget dan memeluk lengan Tan dengan erat, seperti ketakutan karena tidak menyukai kegelapan. Sedetik kemudian, garis pintu menyala untuk memberi sedikit cahaya, dan Tan segera mendorong pintu yang menghubungkan mereka ke dimensi tak kasat mata untuk melalui jalur rahasia.
Terowongan bawah tanah yang dibangun bukanlah tempat biasa dan tidak mudah untuk menjangkaunya. Tercipta untuk melakukan penelitian tertutup, guna misi rahasia yang sudah dijalankan seperti sekarang ini. Mengikuti arahan dari Joel berupa titik lokasi yang harus ditempuh, Tan memakai lensa khusus untuk melihat lorong panjang yang ada di hadapannya.
Orang biasa akan melihatnya hanya seperti koridor panjang dengan lampu kecil di ujung, seperti yang ditanyakan Hana saat ini. Tapi bagi Tan, ada jalan yang berliku dengan banyaknya arah petunjuk yang hanya bisa dilihatnya dari lensa kontak yang membaca secara komputerisasi untuk sekitarnya.
Berusaha untuk mengimbangi langkah Hana yang tertatih, Tan dengan sabar mengarahkan jalan sambil merangkul pinggang dan sudah setengah mengangkat tubuh ringan wanita itu untuk berjalan lebih cepat.
"Oppa!" keluh Hana kaget dan Tan tidak membalas.
Ketika pencapaiannya sudah terlihat, Tan menurunkan Hana dan segera menaruh satu tangan tepat di sisi kanan lorong, lalu dinding itu bergeser dan penerangan langsung menyala di ruang kecil yang hanya terdapat sebuah motor besar berwarna hitam di sana.
"O-Oppa, apa kau yakin jika kau akan membawa kendaraan itu?" tanya Hana cemas.
Tan sudah melepas rangkulan dan segera menuju ke motor itu, menyalakan starter tanpa ragu, dan suara mesin pun mengaung kencang seiring dengan kendali gas yang dimainkan olehnya. Memindahkan posisi ransel ke depan, lalu menaiki motor itu untuk segera dilajukan, dan berhenti tepat di samping Hana.
Hana terlihat ragu untuk menerima uluran tangan Tan yang terulur, sesekali melirik ke sisi belakangnya dengan tatapan waspada.
"Naiklah, Hana. Kau aman bersamaku," ucap Tan menenangkan.
Hana menggigit bibir bawahnya sambil menerima uluran tangan Tan dengan gugup. Dengan sabar, Tan membantu Hana untuk menaiki motor, sambil mengulum senyum ketika bisa mendengar wanita itu meringis pelan saat mengangkat kaki dan duduk di jok belakang.
Sebuah pukulan ringan mendarat di punggung Tan yang dilakukan dengan gemas oleh Hana. "Jangan menertawakanku!"
Tan menoleh sambil tetap tersenyum, kali ini bukan senyum geli melainkan hangat dan tatapan penuh sayang pada Hana yang menatapnya cemberut. "Maaf, tapi kau memang lucu sekali."
Dua tangan Tan terarah ke belakang untuk meraih dua tangan Hana dan menariknya ke depan agar memeluk pinggangnya. Kedekatan seperti ini menyukakan hatinya, dimana Hana mengeratkan pelukan itu tanpa ragu. Meski sebenarnya, Tan tahu jika wanita itu ketakutan.
"Pegang yang erat, jangan sampai terlepas," ujar Tan lembut.
"Aku tidak akan melepaskanmu," balas Hana cepat.
Tan menatapnya tajam dan mengangguk tanpa senyuman. "Kalau begitu, teruslah seperti itu, meski nantinya keadaan sudah berbeda."
Hana mengerjap tidak mengerti saat mendengar ucapannya dan Tan memilih untuk kembali menatap ke depan. Jarak untuk menuju ke sebuah kapal selam cukup jauh dan diperlukan kendaraan untuk mencapainya.
Setelah memastikan Hana sudah nyaman dalam posisi duduknya, Tan segera melajukan motor itu dalam kecepatan yang tidak biasa. Pelukan Hana mengerat sambil menyandarkan kepala pada punggung besar Tan. Dia bisa merasakan jika tubuh wanita itu bergetar.
Tan menaruh satu tangan untuk menyentuh dua tangan Hana yang terkait di depan perutnya, lalu meremas pelan, dan anggukan kepala dari Hana adalah sebagai balasan bahwa dia baik-baik saja. Semenit kemudian, Tan menurunkan kecepatan dan perlahan menghentikan motor.
"Kita sudah tiba," ujar Tan sambil menoleh pada Hana.
Hana menegakkan tubuh sambil melepas pelukannya dengan tubuh yang masih gemetar dan ekspresi yang cemas. Tidak mengucapkan apa pun, tapi Tan tahu bahwa Hana masih ketakutan. Hana adalah orang paling penakut yang dikenal Tan, khususnya tempat yang gelap dan suara jangkrik. Aneh namun menggemaskan, pikir Tan.
Dengan perlahan, Hana turun dari motor diperbantu oleh Tan. Kemudian, Tan segera beranjak dari motor, memindahkan posisi ransel kembali ke punggung, dan menggenggam tangan Hana yang terasa begitu dingin.
"Hey, kau baik-baik saja?" tanya Tan sambil menangkup wajah Hana.
Hana menggeleng sebagai jawaban. "Aku..."
Ucapan Hana tertelan dalam ciuman Tan yang tiba-tiba. Meski awalnya wanita itu tersentak kaget, tapi dengan cepat bisa mengatasi kekagetannya dengan membalas ciuman itu. Hana termasuk orang yang cepat belajar sehingga sudah terlatih dalam hal ciuman dan terbiasa dengan sentuhan Tan.
"Aku sangat menyukai caramu membalasku, Hana," ujar Tan setelah menyudahi ciuman dengan mengadukan keningnya. "Sayangnya tidak bisa berlama-lama, meski aku sangat ingin."
Hana menatapnya dengan dalam dan memeluk Tan erat. "Aku tidak tahu kenapa aku merasa akan kehilangan dirimu, Oppa. Tapi tolong jangan tinggalkan aku."
"Aku tidak akan meninggalkanmu," ujar Tan sambil merangkul bahu dan mengajaknya berjalan berdampingan untuk berjalan ke depan, menaruh satu tangan pada dinding pemindai, dan dinding itu terbuka dan membawanya ke dalam sebuah pintu khusus.
"Aku semakin takut," gumam Hana dengan suara berbisik saat mereka melewati dinding dan berjalan masuk ke dalam pintu khusus yang sudah terbuka untuk mereka lewati.
Setelah mereka masuk ke dalam ruang seperti tabung besi, pintu tertutup dan langsung membawa mereka berpindah ruangan secara otomatis, terasa seperti lift yang mengarah turun, lalu melaju ke depan dengan cepat.
Hana sudah memeluk Tan begitu erat sambil menenggelamkan kepala di dada, enggan untuk melihat sekelilingnya yang memang hanya gelap saja. Tan masih fokus menatap lurus ke depan dengan satu tangan yang mencengkeram sisi ruang untuk menahan tubuh agar tidak jatuh. Kemudian, laju ruangan itu berhenti perlahan, disusul alarm peringatan yang diiringi dengan terbelahnya pintu besi yang ada di depan mereka.
Dua orang penjaga berdiri di sana, segera membungkuk untuk memberi hormat, dan mempersilakan mereka untuk memasuki sebuah ruang yang adalah ruang kapal selam dengan logo Eagle Eye di dalamnya. Tan mengarahkan Hana untuk duduk di salah satu kursi dan memastikan agar wanita itu sudah cukup tenang.
"Dimana kita berada, Oppa?" tanya Hana sambil memandang sekitarnya dengan bingung.
"Dalam perjalanan untuk membebaskanmu dari ikatan yang sudah begitu lama menjeratmu," jawab Tan langsung.
Hana menoleh pada Tan dan menatapnya lirih. "Apakah kita sudah semakin mendekat ke sana?"
Tan mengangguk.
"Semakin mendekat, aku semakin takut. Bukan pada prosesnya, tapi perasaan akan kehilangan dirimu, Oppa. Apa kita akan baik-baik saja? Apa kau akan kembali menjadi Oppa yang kasar dan kejam padaku lagi?" tanyanya serak.
Satu tangan Hana yang tersemat cincin pemberiannya diraih Tan, mengangkatnya ke arah bibir untuk memberi kecupan yang lama sambil menatap wanita itu dengan tajam. "Aku akan menjadi diriku yang sebenarnya saat bersamamu, Hana. Sampai kapan pun."
Hana mengangguk pelan dan menundukkan kepala sambil meremas tangan Tan yang sedang menggenggamnya. "Janji?"
Tan mengarahkan satu tangan Hana yang digenggamnya ke dadanya yang sedang bergemuruh kencang saat ini tanpa mengalihkan tatapan. "온 마음을 다해."
Senyum mengembang di wajah Hana yang letih, tampak lega setelah mendengar jawaban Tan yang sepertinya sudah menenangkan hatinya. Dia menoleh ketika merasakan adanya kehadiran di belakang dan mendapati seorang penjaga sedang membungkuk padanya.
"Kita akan segera berangkat dan akan tiba dalam waktu 10 menit, Tuan Muda," ujar penjaga itu.
"Laksanakan segera," balas Tan dan dibalas dengan anggukan kepala darinya.
Setelah memakaikan sabuk pengaman pada Hana, Tan mengambil duduk di depannya dan melakukan hal yang sama dengan dirinya. Di sisi kanan terdapat beberapa tombol yang sudah ditekan oleh Tan untuk memasuki sistim komputer dalam kapal itu. Satu tangan masih menggenggam tangan Hana untuk menenangkan, dan satu tangan sudah sibuk bekerja pada monitor yang tampil dalam visual komputerisasi tembus pandang di hadapannya
Meski tampak bingung, tapi Hana tidak bertanya dan hanya memperhatikan apa yang dilakukan Tan saat ini. Masih memusatkan perhatian pada sistim dan sudah bisa mendengar komunikasi yang terhubung di telinga saat sudah memakai earphone, Tan mengikuti berbagai perintah Alfa di sana.
"Dengarkan aku baik-baik, Hana. Saat kau tiba nanti, ada seseorang yang harus kau temui lebih dulu," ucap Tan sambil mengalihkan tatapan pada Hana.
"Siapa?"
"Ibumu."
Mata Hana melebar kaget, tampak tidak percaya dan bungkam selama beberapa saat. Kemudian, dia kembali terisak dan membuat Tan menghela napas. Melihatnya menangis sudah membuatnya lelah, bagaimana dengan wanita itu yang tahunya hanya menangis saja? Tan tidak habis pikir dengan kebiasaan buruk yang suka menangis sebagai bentuk perasaan yang tidak diperlukan.
"Kau bilang jika orangtuaku sudah mati," ucap Hana sambil terisak.
"Hanya untuk menyakitimu waktu itu," balas Tan langsung. "Ayahmu sudah mati, tapi ibumu masih hidup. Hanya saja, dia tidak seperti ibumu yang kau kenal."
"Apa maksudmu, Oppa?"
"Dia mengalami gangguan jiwa. Tidak tahu apakah dia mengenalmu, tapi kau harus bertemu dengannya sebelum melakukan tindakan yang akan dilakukan nanti."
"Tindakan seperti apa? Apa kami akan mati?" tanya Hana dengan isakan yang makin parau. "Jika begitu, jangan bunuh Eomma. Bunuh saja aku. Biarkan dia hidup dan..."
"Tenangkan dirimu, Hana," sela Tan yang sudah beranjak dari tempatnya untuk berlutut di depan pangkuan Hana dan memeluknya erat. "Kau tidak akan mati. Ibumu juga tidak akan mati."
"Lalu bagaimana kami...,"
"Kau sudah tahu soal sesuatu yang tertanam dalam tubuhmu, bukan?" sela Tan sambil menarik diri dan Hana mengangguk. "Ibumu juga mendapatkan hal yang sama. Untuk bisa mengeluarkannya, kau membutuhkan kehadirannya. Tidak akan lama, hanya sebentar saja. Tidak sampai lima menit, aku janji."
"Bagaimana dengan Eomma nanti? Apakah dia tetap akan seperti itu?"
"Gangguan kejiwaan yang dialami ibumu sudah sangat berat dan tidak ada pengobatan selain membiarkannya seperti itu. Terlalu banyak hal yang dipikirkan, beban yang ditanggung, dan ingatan akan sesuatu yang membuatnya tidak sanggup untuk dihadapi, membuat mentalnya berada pada titik terendah dan mengubah kepribadiannya. Itulah kenapa aku bilang jika ibumu sudah tiada."
Tan tahu jika perasaan Hana semakin terpuruk dalam kesedihan yang sudah sampai batasnya. Akan tetapi, dia merasa perlu memberitahukan keberadaan Hyu-Ra sebelum mereka dipertemukan. Alhasil, Hana menjadi histeris dan menangis tersedu-sedu di hadapannya. Sisa lima menit adalah waktu yang cukup untuk Hana meluapkan amarah bercampur sedihnya sekarang, karena Tan tidak ingin jeritan histeris itu mempengaruhi pekerjaannya.
"You son of a bitch! Apa kau tidak tahu jika kondisi mentalnya bisa merusak reaksi kimia yang akan disebarkan dalam tubuhnya, Tan?" desis suara Joel dari telinganya.
Tan bukan tidak tahu soal itu. Justru karena dia sangat tahu, maka sisa waktu 5 menit itu akan memberi jeda yang cukup banyak bagi reaksi kimia itu, untuk bekerja lebih maksimal jika diberikan saat tiba nanti. Menurut perhitungannya, Hana akan cukup tenang dan berganti dengan rasa penasaran akan pertemuan dengan ibunya. Permainan emosi itu sengaja dilakukan oleh Tan untuk memberi bantuan dalam metabolisme tubuh Hana yang sempat menurun.
Tentu saja perhitungannya tidak pernah salah, terlebih lagi jika itu berurusan dengan Hana. Semua yang diinginkan atau yang dilakukan wanita itu tidak pernah luput dari perhatian Tan. Alasan itulah yang membuat Harabeoji mengutus dirinya untuk mengunjungi Hana dan mengabaikan kebenciannya pada Ju Ik-Joon dan Kim Hyu-Ra. Seperti tahu titik kelemahannya, bahwa Hana membuatnya tidak mampu menyakiti lebih dari apa yang sudah dilakukannya.
Kecepatan kapal melambat, konfirmasi ketibaan sudah terdengar dari pengeras suara, dan isakan Hana terhenti sambil mengangkat wajah dari bahu Tan. Wajahnya begitu sembap, terlihat cemas, juga waspada. Dia langsung beranjak dan memeluk lengan Tan ketika sabuk pengaman sudah dilepaskan oleh Tan.
"Jangan pernah tinggalkan aku," bisiknya serak.
"Aku di sini," balas Tan sambil mengusap punggung tangan Hana yang sedang memeluk lengannya.
Hana mengangguk dan mengikuti langkah Tan untuk segera keluar dari kapal itu. ketika pintu kapal terbuka, tampak koridor panjang yang terlihat seperti akuarium raksasa dengan kaca tebal yang menampilkan dasar laut disekelilingnya. Dipimpin oleh dua penjaga yang berjalan di depan, Tan merangkul Hana menyusuri koridor panjang dengan tatapan lurus dan sama sekali tidak tertarik dengan pemandangan yang terlihat dari kaca, berbanding terbalik dengan Hana yang tampak terkesima dengan pemandangan yang dia sebut indah di luar sana.
Tiba di ujung koridor, dua penjaga segera membuka pintu metalik dan mempersilakan mereka untuk masuk terlebih dulu. Mendengus pelan, Tan melihat Joel dan Petra berdiri berdampingan, menunggu kedatangannya dengan ekspresi yang beragam. Joel dengan ekspresi datarnya dan Petra dengan ekspresi penuh minatnya.
"Annyeong, Hana-ssi," sapa Joel sambil membungkuk, dimana Hana langsung spontan ikut membungkuk hormat sebagai perkenalannya. "Namaku Joel, dan ini adalah Petra, senang berkenalan denganmu."
"A-Annyeong," balas Hana sopan sambil membungkuk sekali lagi. "Namaku Hana."
Petra menyeringai penuh arti sambil menatap Hana dengan tatapan menilai. "Sedari dulu, aku selalu penasaran tentang selera si bungsu dari Kim bersaudara. Setidaknya, ada perbedaan yang signifikan dari selera kedua kakak yang cukup beringas. Kali ini, tampak lembut dan rapuh seperti marshmallow. Oh, salah! Seperti meringue."
Petra meringis pelan ketika Joel tiba-tiba memukul dadanya tanpa ragu, yang membuat Hana langsung bersembunyi di belakang tubuh besar Tan.
"What's going on, Man? I'm just..."
"Shut the fuck up, Petra! Don't ruin anything," sela Joel tajam dan menatap Petra dingin.
Petra hanya berdecak pelan dan menatap Hana dengan tatapan menyesal. "Maafkan aku, Hana. Aku adalah teman lama para kakak lelakimu dan merasa terhormat jika akhirnya bertemu denganmu. Kau sangat cantik. Selamat datang di Stormtrooper."
Tan yang sedaritadi terdiam, langsung mendengus kasar dan menarik Hana untuk segera berjalan melewati dua orang pria sialan itu. Tidak ada waktu untuk berbasa basi, karena Tan ingin segera menuntaskan pekerjaannya. Menuju ke sebuah ruang utama, tampak seorang familiar sudah berdiri di sana. Park Yoo-Jin.
"Tuan Muda, Nona Muda," sapa Yoo-Jin sambil membungkuk.
"Ahjussi," balas Hana sambil membungkuk. "Apakah Harabeoji datang?"
Yoo-Jin tersenyum sopan. "Sajangnim tidak ikut serta, hanya ada aku di sini. Tapi nantinya kau akan...,"
"Yoo Jin-ssi, apakah semua sudah dipersiapkan?" sela Tan sambil menatap tajam pria tua itu.
Seperti mengerti arti tatapan Tan, Yoo-Jin mengangguk saja dan mengarahkan tangannya ke sebuah lorong yang menuju ke ruangan lain. "Silakan, Tuan Muda. Semuanya sudah siap."
Tan menggenggam tangan Hana untuk mengikuti Yoo-Jin yang memimpin langkah, di belakangnya ada Joel dan Petra yang mengikuti mereka.
"Apakah nasi goreng buatan Tan terasa lezat, Hana?" pertanyaan yang dilontarkan lewat nada geli dari Petra membuat Hana spontan menoleh ke belakang.
"Iya. Darimana kau tahu soal..."
"Tidak usah dilanjutkan, Hana. Abaikan semua pertanyaan konyol dari dua orang itu," sela Tan sambil melotot tajam ke belakang dan mempercepat langkahnya.
Joel dan Petra hanya terkekeh pelan, tidak ada lagi yang bersuara, selain derap langkah mereka menyusuri lorong itu. Sampai mereka tiba di ruangan itu, Tan bisa merasakan tubuh Hana menegang ketika melihat satu sosok yang sedang duduk menghadap dinding putih dengan tatapan kosong. Di situ, Hyu-Ra tampak berbeda dari terakhir kali Tan melihatnya.
Wanita itu tampak lebih kurus, ringkih, dan tidak ada sinar kehidupan dari sorot matanya. Terlihat menyedihkan tapi Tan tidak merasa iba sama sekali. Baginya, wanita itu pantas mendapatkan apa pun yang dialaminya saat ini. Sebaliknya, Hana justru menangis dan melepaskan diri dari rangkulan Tan, menoleh padanya untuk meminta ijin, lalu memberanikan diri untuk melangkah saat sudah mendapat anggukan Tan sebagai persetujuan.
Sesuai dugaan, Hyu-Ra tidak mengenali Hana ketika wanita itu mendekatinya. Berusaha menyapa, memeluk, atau memperkenalkan diri, namun sama sekali tidak ada respon yang berarti selain tatapan kosong. Menyaksikan eksekusi yang dilakukan oleh dua kakaknya pada Ju Ik-Joon kala itu, sudah membuat Hyu-Ra tersiksa dengan kesakitan yang langsung menganggu kejiwaannya. Setahun berlalu, tapi keadaannya semakin memburuk. Berbagai obat dengan dosis tertinggi pun tidak mampu memperbaiki fungsi afektif dalam diri Hyu-Ra.
"Aku akui bahwa caramu dalam menyampaikan kehadiran Hyu-Ra saat di kapal tadi adalah terbaik yang pernah kau lakukan. Pertahanan diri Hana cukup baik, kurasa sudah saatnya kita harus melakukan tindakan, bukan begitu?" celetuk Joel sambil memakai sarung tangan medis dan sudah mengenakan jubah putih khusus lab.
"Lakukan segera," ujar Petra yang kini tampak bergegas untuk melakukan hal lain setelah memakai jaket kulitnya. "Akan ada gangguan yang tidak diperlukan. Kurasa, seorang malaikat akan berubah menjadi iblis yang sebenarnya ketika tahu bahwa selama ini kau menipunya, El."
Joel mengangkat bahu dengan ekspresi biasa saja. "Bukan salahku. Dia yang memulai lebih dulu untuk adu licik denganku."
"Siapa maksudmu?" tanya Tan dengan alis berkerut dan menatap keduanya secara bergantian.
Joel menggelengkan kepala. "Fokus kembali pada urusan ini, Tan. Soal itu sudah ada Petra yang akan mengurusnya, mengingat dia sangat senang dengan keributan. Jadi, bisakah kau tenangkan wanitamu dan berikan serum penenang? Kita harus bekerja cepat karena tidak ada waktu untuk dibuang percuma. Para pecundang itu harus digulingkan dengan data kejahatan yang ada di dalam tubuh mereka."
Yoo-Jin segera memberikan sebuah map hitam kepada Tan dan menatapnya serius. "Sebelum melakukannya, berikut adalah perjanjian yang diinginkan Sajangnim padamu. Tidak ada paksaan, tapi keharusan. Mohon untuk dibedakan."
Alis Tan menekuk sambil membuka map dan membacanya dengan seksama. Dengusan napas kasar mulai memburu, tapi Tan tidak memberi respon selain tetap bergeming dalam posisi itu, meski dalam hati sudah mengumpat kasar.
Sebuah tepukan ringan di bahu yang dilakukan Joel, menyadarkan Tan untuk segera bergerak. Tanpa peduli, Tan menerima uluran pulpen dari Yoo-Jin dan menandatangani perjanjian yang diinginkan Harabeoji padanya.
Mengabaikan tatapan penuh simpati dari Joel dan tidak mengindahkan kepergian Petra, kini Tan mulai melangkah untuk mendekati Hana sambil memakai jubah putih khususnya.
Hana menoleh saat menyadari kedatangannya dengan wajah sembap dan mata yang sudah membengkak. Wanita itu terlalu banyak menangis dan itu tidak disukai Tan. Cukup sudah airmata yang dikeluarkan olehnya. Tan mengulurkan tangannya tanpa sekali pun melirik pada Hyu-Ra yang masih menatap kosong. Hana menyambutnya ketika Joel sudah membawa Hyu-Ra dengan cepat untuk dibaringkan diberikan serum penenang.
Ketika keduanya sudah berdiri berhadapan, Tan bisa melihat ada banyak pertanyaan dari sorot mata Hana yang tampak kebingungan. Meski demikian, tidak satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya selain remasan lembut yang dilakukan Hana pada tangannya.
"Kau sudah terlalu lama untuk bersedih dan sudah cukup banyak menangis, Hana," ujar Tan dengan lembut.
Bibir Hana gemetar, tatapannya menjadi semakin sedih, dan seperti bisa merasakan adanya sesuatu yang akan terjadi setelah penindakan, Hana segera memeluknya dengan erat.
"Kau sudah berjanji untuk memegang ucapanmu, ingat?" bisik Tan yang disambut dengan anggukan kepala dari Hana. "Bisa kau ulangi kembali?"
Tanpa menarik pelukan, justru mengeratkannya, Hana bersuara dalam bisikan yang parau. "Bahwa aku adalah milikmu dan kau menginginkanku sama seperti aku mengharapkanmu."
Tan tersenyum sambil memejamkan mata dan mendaratkan kecupan yang dalam di pucuk kepala Hana, lalu menunduk untuk menyamakan posisi kepala sambil mengangkat tangan yang tersemat cincin pemberiannya dan mengecup lembut. "Itulah yang akan kau ingat dalam keadaan apa pun. Bahwa Hana hanya milik seorang Kim Tan, tidak ada yang lain. Paham?"
Hana mengangguk sambil mulai kembali terisak. "Aku percaya padamu, Oppa."
"Katakan sekali lagi," ujar Tan sambil menerima sebuah alat kecil yang diberikan Joel dari balik bahu Hana, dan pria itu berdiri tepat di belakang Hana dengan jarak beberapa senti darinya.
"Aku percaya padamu."
Dan sesudah itu, sesudah Hana mengucapkan kalimat itu, Tan segera menusuk alat itu ke sisi leher Hana tanpa peringatan. Sorot matanya sudah berkaca-kaca saat melihat Hana langsung tak sadarkan diri dan Joel segera menangkap tubuhnya dari belakang, berseru pada beberapa pekerja untuk melakukan persiapan.
Dengan Hyu-Ra dan Hana yang sudah dibaringkan pada ranjang rawat yang bersisian, juga berbagai alat yang sedang dipasangkan pada tubuh keduanya, Tan mempersiapkan diri untuk melakukan penyelesaian bersama dengan Joel. Tindakan yang akan dilakukan, seiring dengan doa dan harapan yang terpatri dalam hati, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yeah. Semua akan baik-baik saja, batinnya mengingatkan. Terlebih saat Joel menyemangati dalam suara rendah dan tepukan ringan di punggungnya.
"Everything is going to be okay, just let it be. What happens has its own way, and what's coming get a better way," ucap Joel yang sukses membuat senyum Tan mengembang di wajahnya begitu saja.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
3.481 words, Genks.
Berkutat dengan Wattpad dari jam 9 dan akhirnya baru kelar. Astaga 😣
Part ini bener2 cuma kehaluan aku selama masa WFH ini.
Sok2an buat markas rahasia underwater, apa daya nggak ada alat yg bisa dipake buat nge-scan imajinasi ala Jarvis-nya Tony Stark, jadi end up cari Google buat bayangan yang bikin geli sendiri 😅
Dimana pun kamu berada, apa pun yang kamu lakukan, tetap semangat.
Yakinlah pada diri sendiri, bahwa kamu mampu dan sanggup lakukan.
Opini boleh didengar, tapi perlu diuji, karena yang terpenting adalah kebaikan diri sendiri.
Stay safe, Genks.
Doaku menyertai kalian dan kiranya Tuhan meluputkan kamu dari segala sakit penyakit. Amin 💜
16.04.2020 (23.00 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top