Part. 14 - Restoration
Kita cerita tentang kisah ini, yah.
Esok baru kisah yang lain 😛
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Hana yakin jika tubuhnya sudah tidak berdaya. Apa yang dia rasakan bukan hanya lelah, tapi lebih dari itu. Sendi ototnya seperti terlepas, dengan sengatan hawa panas yang mengerubungi tubuh, dan degup jantung yang bergemuruh kencang. Tarikan napas pun semakin berat dan menyesakkan, hingga harus bernapas lewat mulutnya yang terasa kering. Dia pun tidak sanggup untuk mengeluarkan suara, juga tidak mampu menggerakkan tubuh.
Tubuh bagian bawah? Sungguh teramat sakit, terutama di bagian pinggulnya. Desakan kuat yang dilakukan Tan dalam tubuhnya, membuat rasa sakitnya terasa menusuk sampai ke tulang dan terasa ngilu. Belum lagi, reaksi tubuh dengan sensasi asing yang menggulung hebat dirinya sudah membuatnya kewalahan dengan tidak mampu bertahan dalam kenikmatan yang sulit untuk diungkapkan. Seperti rasa sakit dan nikmat yang berbaur menjadi satu.
Buruan napas kasar Tan yang terasa panas mendarat di kulit lehernya, menggeram dalam suara parau, dan seolah tidak ada puasnya. Hana merasa tidak sanggup untuk melihat wajah Tan yang tampak menakutkan. Entahlah. Hana tidak menyukai kesan wajah yang ditampilkan pria itu saat ini. Seolah ingin memakannya habis-habisan atau menelannya hidup-hidup.
“Kau sangat nikmat, Hana.”
Ucapan itu kembali diucapkan setiap kali dia menggeram nikmat seperti tadi, dan itu sudah menjadi kali ketiga Tan mengucapkannya. Bisikan Tan membuat Hana merasa geli dan meringis pelan karena ketika dia menggerakkan tubuhnya sedikit, maka rasa sakit di tubuh bagian bawahnya semakin menjadi.
Melihat ekspresi kesakitan Hana, Tan terdiam sambil terus memperhatikan dan kembali sibuk dengan peralatan yang terpasang di sisi kanan dan kiri ranjang. Hana terbaring pasrah dengan napas yang masih terengah, membiarkan Tan melakukan apa saja saat ini, lalu meringis pelan ketika pria itu melepaskan diri dari tubuhnya.
Kembali sebuah alat diarahkan pada tubuhnya dari atas kepala hingga ujung kaki, dengan Tan yang kembali memasang ekspresi serius dan sorot mata tajam pada layar alat itu. Setelah selesai melakukannya, Tan menaruh alat itu dan menatap padanya dengan sorot mata penuh arti, lalu mencium pipinya dengan dalam.
“Aku akan mengangkatmu dan membawamu pada proses selanjutnya. Maaf jika kau harus menahan rasa tidak nyaman selama beberapa waktu, atau sampai aku merasa cukup,” ucap Tan lembut, lalu mulai mengangkat tubuh telanjangnya.
Hana mengatupkan bibir dan sudah gemetar karena rasa takut tiba-tiba menghampiri. Matanya sudah berkaca-kaca dan tidak mampu memberontak karena tubuhnya sudah sangat lemas. Dia mengerjap ke samping dan melihat ada sebuah bathub transparan, terbuat dari kaca tebal dengan berbagai sistim seperti komputer di sisi kaca bathub itu.
“O-Oppa,” panggil Hana dengan suara berbisik.
“Tidak usah takut,” bisik Tan menenangkan, sambil menaruhnya dengan hati-hati ke dalam bathub yang sudah berisi air hangat.
“Oppa,” panggil Hana lagi, kali ini dengan airmata yang sudah berlinang.
Tan menatapnya sambil membelai sisi wajahnya. “Aku ingin kau bertahan sedikit lagi. Kali ini, aku ingin kau menahan sedikit rasa dingin, Hana. Jika tubuhmu sudah memberikan reaksi ketika suhu meningkat, kali ini aku ingin melihat bagaimana reaksinya jika suhu tubuhmu menurun.”
Hana tidak mengerti. Jujur saja, apa yang diucapkan Tan sejak awal, dia sama sekali tidak mengerti. Yang dia tahu adalah dia selalu merasa sakit di sekujur tubuhnya. Tidak mampu memanggil atau bertanya, Hana mengerutkan alis ketika air yang hangat perlahan berubah menjadi dingin, semakin dingin, dan sangat dingin.
Tan tampak melakukan pengaturan, gerakannya begitu cepat dalam memindahkan alat yang satu dengan yang lainnya, lalu berkutat pada sisi bathub seperti keyboard karena dia terlihat sedang mengetik. Jika tadi dia merasa kesakitan saat tubuhnya memanas, kini dia merasa mati rasa dan tidak bisa merasakan sekujur tubuhnya.
Rasanya seperti sudah terlalu lama berada di dalam bathub, meski baru hitungan detik. Hana yakin jika dirinya tidak mampu bertahan lebih lama di dalam bak berisi air es itu.
Rasa dingin menusuk seolah menembus tulang, membuatnya sesak, nyaris kehabisan napas. Dia menggigil kedinginan hingga giginya bergemeletuk, mengerjap tidak fokus, dan rasanya seperti ingin mati saja. Kepalanya terkulai ke samping, mengenai permukaan air hingga membasahi sisi wajahnya, menambah penderitaannya saat ini.
Mata Hana melebar dan bibirnya terbuka saat dadanya terasa begitu sesak, tidak sanggup untuk menarik napas. Sedetik kemudian, air dingin itu menyurut dalam hitungan detik, meninggalkan tubuh Hana yang menggigil hebat, dan sebuah handuk besar menyelimuti tubuhnya yang terasa kaku.
Tan mengangkat tubuhnya dari bathub, lalu membaringkannya pada sebuah ranjang yang berbeda dari sebelumnya. Hana masih begitu lemas ketika sudah terbaring di ranjang dengan adanya pemanas di sisi kanan dan kirinya.
“Good girl,” bisik Tan hangat, lalu mencium keningnya dengan dalam.
Hana meringis pelan ketika ada suntikan menancap di lekuk lehernya. Tan menyuntiknya dan segera mencabut suntikan itu setelah memasukkan cairan ke dalam tubuhnya. Perlahan, tubuh Hana mengalami perubahan seperti lebih ringan dan bisa merasakan sendi ototnya.
Pemanas mulai menghangatkan tubuh secara perlahan dan matanya mulai memberat. Napasnya sudah teratur, mulai normal seperti sedia kala, meski tubuhnya masih lemas dan sakit. Hana merasakan Tan menggendongnya dan membawanya ke dalam kamar.
Berada di dalam ruang bawah tanah yang cukup besar dengan banyaknya ruang, membuat Hana tidak mengerti tentang siapa seorang Kim Tan sekarang. Meski dia tahu bahwa keluarga ibunya bukanlah orang sembarangan, akan tetapi dia tidak sampai berpikir sejauh ini tentang apa yang bisa dimiliki oleh keluarga Kim.
Tan mendudukkannya di tepi ranjang, bergerak untuk menuju ke lemari, dan memakaikan pakaian untuknya. Dia sudah memakai celana training tanpa atasan saat kembali padanya. Pria itu tidak mengalami kesusahan dalam melakukan aktifitas yang terasa memalukan bagi Hana, namun tidak mampu untuk menolak. Keinginannya adalah tidur sebanyak yang dia inginkan.
“Kau boleh tidur, Hana. Saat kau bangun nanti, kau akan merasa lebih baik,” ucap Tan sambil merebahkan Hana di ranjang, lalu menarik selimut.
Hana menangkap lengan Tan dan menatapnya lirih. “Kau mau kemana, Oppa?”
“Aku akan bekerja di ruang tadi untuk melakukan penelitian,” jawab Tan sambil mengusap kepalanya.
“Apa yang terjadi denganku? Apakah aku akan mati?” tanyanya dengan suara gemetar.
Tan menatapnya lama, lalu menghela napas. “Aku sedang mencari tahu tentang itu.”
“Apakah ini masalah yang serius?” tanya Hana lagi.
“Cukup serius,” jawabnya lugas. “Tapi setiap masalah selalu ada jalan keluar, tidak usah cemas. Aku akan melakukan apa yang kubisa.”
Hana mengerjap lirih sambil mendekatkan diri dan memeluk lengan Tan dengan erat. “Aku takut sekali. Misalkan aku harus mati, seharusnya itu tidak apa-apa, tapi aku takut.”
Tan melepas pelukan Hana di lengannya, dan mengubah posisi menjadi berhadapan dengannya. “Kau tidak akan mati, Hana. Kenapa sampai berpikiran sejauh itu?”
“Aku kesakitan, Oppa. Aku takut jika aku tidak sanggup menahan lagi, karena rasa sakit ini teramat menyakitkan,” ujar Hana dengan ekspresi ingin menangis.
Tan mengamati wajahnya dengan seksama, lalu menggelengkan kepala sambil menyeringai hambar. Dengan lembut, Tan menangkup wajahnya dan mengecup ringan batang hidungnya. “Aku akan mengambil kesakitanmu itu, Hana.”
Perasaan Hana menghangat, seiring dengan degup jantung yang berdegup dua kali lebih kencang. Merasa terenyuh dengan perhatian dan kasih sayang Tan padanya.
“Apakah aku boleh berharap tentang sesuatu yang mustahil, Oppa?” tanyanya lirih.
“Tentang apa?” tanya Tan dengan satu alis terangkat.
“Tentang hari ini. Tentang dimana kau menjadi seorang pribadi yang hangat dan penuh kasih, persis seperti Oppa Tan yang selalu mengasihiku dan menjadi kakak favoritku, bukan lagi Oppa yang bersikap dingin dan begitu membenciku,” jawab Hana.
Tan membalasnya dengan memberi kecupan singkat di bibir, lalu tersenyum tipis. “Aku mengusahakanmu untuk tetap hidup, Hana. Bukan berarti apa yang kulakukan saat ini, membuatmu salah paham. Aku bukan Oppa yang kau kenal, sekalipun kau merasa demikian. Aku tidak ingin memiliki adik sepupu seperti dirimu.”
“Karena... aku adalah keturunan pembunuh?” tanya Hana serak, seiring dengan airmata yang sudah berlinang.
Tan mengusap airmatanya dengan ibu jari sambil menggelengkan kepala. “Karena aku tidak ingin kau menjadi adikku. Aku bersyukur kita tidak sedarah, meski kau lahir dari rahim orang yang bersalah. Bagiku, kau adalah seorang Hana.”
Seorang kakak favorit yang sudah dikasihi Hana sejak kecil, yang selalu menemaninya bermain dan tidak pernah mengeluh tentang permainan yang dipilihnya. Meski datar dan dingin, tapi Tan selalu mendampingi, meski dirinya sedang bermain boneka. Hingga satu kali, Hana berpikir untuk memilih Tan sebagai pasangannya di masa depan.
“Aku ingin Oppa menjadi pengantinku,” seru Hana waktu itu dan hanya ditanggapi dengan sinis oleh Tan.
“Jangan berbicara sembarangan!” tegurnya dengan nada ketus.
Itu sudah menjadi harapan masa kecilnya dan sama sekali tidak mengira akan tetap menjadi harapannya sekarang. Jika dirinya merasa sungkan dan kikuk pada lawan jenis, seperti pada Jung-Hwa, lain halnya dengan Tan, dimana dia bisa menjadi diri sendiri.
“Apakah aku boleh melanjutkan harapanku yang terdengar mustahil itu?” tanya Hana dengan penuh harap.
Tan memberikan senyuman dan menatapnya dengan penuh arti. “Tidak ada yang mustahil selama kau berusaha, Hana. Aku berusaha untuk mencoba, bukan mengiyakan. Apa kau paham?”
Hana mengangguk pelan sambil menunduk. “Aku mengerti.”
Tan mendongakkan dagu Hana agar menatap padanya. “Meski begitu, aku tetap berterima kasih karena kau sudah menjaga dirimu dengan sangat baik. Oleh karena itu, jika kau bertemu dengan tunangan sialanmu itu, katakan padanya untuk menjauhimu dan jangan pernah mendekatimu lagi.”
“Tapi, Eomma...,”
“Lagipula, kau sudah menyerahkan tubuhmu padaku, Hana. Itu berarti kau adalah milikku,” sela Tan santai sambil beranjak dari ranjang dan memasukkan dua tangan dalam saku celana. “Tidurlah.”
Hana mengangguk dan merebahkan diri sambil menarik selimut. Merasa kurang nyaman jika ada sesuatu yang tertinggal. Boneka Panda. Jika dia berpikir Tan akan meninggalkannya untuk tidur sendirian, ternyata tidak demikian, sebab pria itu kembali menaiki ranjang dan merebahkan diri di sampingnya.
“Aku akan membiarkan kau memelukku sampai kau tertidur. Jangan panik jika kau bangun dan aku tidak ada. Aku hanya akan berada di ruang yang tadi untuk bekerja,” ucap Tan tanpa menoleh ke arahnya sambil memejamkan mata dan menyilangkan tangan.
Hana tersenyum dan segera memeluk lengan Tan sambil menghela napas lega. Tidak butuh waktu lama untuknya terlelap karena saat dia memejamkan mata, di situ dia sudah tenggelam dalam mimpi yang begitu indah.
Mimpi yang membuatnya tersenyum, hingga terasa begitu nyata saat adanya kecupan ringan mendarat di atas kepala dan bisikan lembut di telinga.
“너는 모든 것, 여동생”
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Biarkan kalimat terakhir menjadi misteri
Tapi kalo ada yang bisa artiin, tinggalin aja di komen 🤣
Oke, Genks.
Met bobo, yah.
Tetep semangat menjalani hari, dan jangan lupa untuk selalu bersyukur dalam segala hal.
Habis ini, ikutan giveaway, yuk! 💜
I purple you 💜
26.03.2020 (22.48 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top