Part. 12 - Hidden Underground

Hai, bagaimana hari Minggu kalian?
Aku capek tapi hepi.
Lagi rajin bikin makanan yang lolos QC dari tuan puteri dan putra mahkota 💜

Kita ngegas di lapak ini, yah!



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Rasa dingin menusuk hingga ke tulang, juga rasa sakit yang tak tertahankan di sekitar kepala, Hana sudah memeluk tubuhnya sendiri dengan ketidaknyamanan yang menyelubungi sekujur tubuh. Bahkan, rongga mulutnya terasa begitu kering dan tiga botol air tidak sanggup mengurangi dahaganya.

“Aku tidak percaya jika kau akan seperti ini,” ucap Tan tanpa berperasaan sambil melajukan kemudi dengan satu tangan. “Aku hanya memberi sentuhan biasa saja, tapi kau terlihat kesakitan.”

Hana tidak sanggup membalas. Apa yang dirasakannya tidak ada hubungannya dengan apa yang Tan lakukan padanya. Semalam adalah momen terliar yang pernah terjadi dalam hidupnya, bahwa dia membiarkan kakak sepupunya untuk mencium dan menyentuh seluruh tubuhnya dengan tangan dan lidah.

Ciuman-ciuman basah, hisapan-hisapan keras, dan sentuhan-sentuhan liar itu merayap di atas tubuh dengan sensasi yang membuat perutnya seperti menggulung dan detak jantung yang bergemuruh hebat. Menangis adalah satu-satunya hal yang sanggup dilakukannya dan itu berhasil menghentikan Tan. Meski begitu, Tan tidak berteriak atau mengumpat, melainkan mendekapnya erat dan terlelap bersama hingga subuh menjelang.

Tadinya, dia baik-baik saja. Tapi begitu perjalanan sudah berlangsung selama hampir satu jam, rasa tidak nyaman itu dimulai. Semakin lama semakin menyesakkan, tubuhnya mulai menggigil dengan hawa panas yang tidak biasa menguar dari dalam tubuh.

“Hana?”

Tan memanggilnya tapi tidak mampu menjawab. Dia sibuk untuk memeluk tubuhnya sendiri sambil meringkuk seolah menahan sakit. Kulitnya dingin tapi tubuhnya terasa terbakar, matanya mengerjap tidak fokus dan mulutnya terasa kelu. Napasnya memberat dan merasa sesak di setiap tarikannya.

Mobil itu menepi dan sapuan tangan Tan yang mendarat di bahu membuatnya menjerit kesakitan.

“Tidak! Tidak! Sakit!” serunya dengan suara yang tertahan, lalu meringis karena tenggorokannya begitu sakit.

Tan menarik tangannya menjauh dan mengerjap bingung. Segera melepas sabuk pengaman, lalu keluar dari mobil untuk berjalan memutar menghampiri Hana. Pintunya sudah dibukakan, dan Tan melepas sabuk pengaman yang mengait Hana dengan hati-hati.

“Apa yang kau rasakan? Katakan padaku, apa yang kau rasakan? Apa kau baik-baik saja?” tanya Tan dengan alis berkerut dan sorot mata tajam yang sedang menilainya.

Hana menggeleng sebagai jawaban dan tubuhnya semakin menggigil. Dengan segera, Tan  melepas jaket kulitnya dan memakaikannya pada Hana.

Mata Hana terasa memanas dan memberat, semakin tidak fokus dan pandangannya mengabur, lalu tertutup begitu saja. Sayup-sayup, dia mendengar Tan bersuara dengan geraman.

“Apa yang sudah diperbuat oleh bajingan itu?”

Dia tidak tahu apa yang dilakukan Tan selain mendengar suara pintu bagasi dibuka dan ditutup, lalu kehadiran Tan terasa kembali di sisinya dengan berbagai macam suara dari gerakan yang dilakukannya.

Hana meringis pelan ketika merasa ada tusukan kecil yang mendarat di lekuk leher, lalu ada tekanan pelan di depan dada, membuat matanya langsung terbuka lebar, seiring dengan rasa sesak yang menghimpit dan serangan mual yang melonjak hingga ke tenggorokan.

Dalam gerakan cepat, Tan meraih Hana dan membungkukkan tubuhnya ke samping, menariknya sedikit hingga mengarah keluar dan lonjakan rasa mual itu naik, lalu mengeluarkan cairan asam bercampur rasa pahit dari mulut.

Rasa mual menggulung hebat dalam perutnya dan Hana mengeluarkan semua cairan asam yang terus mendesak keluar, seiring dengan tekanan keras yang Tan lakukan pada tengkuknya.

“Apa yang dia dapatkan, sama sekali tidak pantas,” ocehan Tan kembali terdengar. “Seharusnya aku melemparnya ke dalam kandang singa agar tubuhnya tercabik-cabik.”

Isi perutnya sudah terkuras habis dan membuat dirinya merasa lebih baik meski hanya sedikit. Kepalanya masih pening, tubuhnya lemas, dan hawa panas masih menjalar. Dia sudah tidak menggigil. Namun, rasa kantuk terasa hebat sehingga dia sudah menutup mata dan enggan untuk terbuka meski Tan masih mengumpat di sana.

Sandaran kursi seperti dimundurkan hingga dirinya terbaring dan sesuatu yang dingin menempel di dahi. Pintunya sudah ditutup, disusul dengan suara bagasi yang dibuka dan ditutup kembali, lalu pintu kemudi dibuka dan sepertinya Tan kembali di bangku kemudi.

“Hana, apa kau bisa mendengarku?” tanya Tan sambil membelai pipinya.

Dengan mata yang masih terpejam, Hana mengangguk sebagai jawaban karena tidak mampu membalas.

“Apa kau masih merasa sakit?” tanyanya lagi dan Hana menggeleng.

“Apa kau mengantuk sekali?” tanyanya lagi dan Hana mengangguk.

Hana mengeluh pelan ketika merasakan sebuah kecupan mendarat di lekuk lehernya dengan tangan besar yang masih membelai pipinya. Cukup lama dan memberi pengaruh pada hawa panas yang semakin menjalar di sekujur tubuh.

“Maaf sekali, Hana, kau tidak diperkenankan untuk tidur,” ucap Tan tepat di depan telinga. “Aku yakin kau masih bisa mendengarku dan tidak perlu membalas. Yang harus kau lakukan adalah tetap sadar, paham?”

Dengan mata yang masih terpejam, Hana mengangguk pelan. Matanya begitu berat dan sangat mengantuk, sekujur tubuhnya panas dan lemah, namun sudah tidak sesak. Perlahan, rasa sesak itu memudar. Energinya seperti tersedot hingga kepalanya terkulai tapi sebuah tangan besar sudah menahannya.

Lalu, Hana mengernyit dan merasa tidak nyaman ketika mendengar ada suara jangkrik yang mengganggu. Meski sudah hampir tertidur, tapi Hana mulai gelisah dengan suara yang entah kenapa seperti berada di sekelilingnya, di mobil itu.

“Apa kau masih mengantuk dan ingin tidur?” bisik Tan, kali ini tangannya sudah meremas telapak tangan Hana.

Hana bisa merasakan jika Tan sudah memakai sarung tangan kulit yang terasa kasar, lalu membalas dengan remasan pelan di sana. Dia mengangguk sebagai jawaban tanpa mampu membuka matanya lagi.

“Bertahan sebentar lagi, aku sedang mencari tahu,” bisiknya lagi.

Sentuhan Tan menghilang berganti suara-suara gerakan yang terjadi di sampingnya selain suara jangkrik yang membuatnya gelisah. Dengan sekuat tenaga, Hana mencoba membuka matanya dan hanya mampu terbuka sedikit. Dia bisa melihat Tan sedang mengetik sesuatu di layar monitor yang ada di dashboard dengan tatapan tajam dan begitu serius. Dengan cepat, dia mendekatkan ponselnya pada monitor itu.

Pria itu seperti sibuk di sisi pintu mobil, dan Hana kembali memejamkan matanya karena sudah terlalu lelah untuk membuka matanya. Dia tersentak ketika Tan kembali melakukan sesuatu, yaitu meraih satu telunjuk, lalu menekan bagian ujungnya, dan menusukkan sesuatu di sana.

Enggghhh,” rintih Hana pelan.

“Maaf, aku hanya ingin mengambil sedikit sample darahmu,” ucap Tan langsung, sambil terus menekan ujung telunjuk dan menggerus sisi ujung jarinya dengan sebuah alat kecil.

Tidak butuh waktu lama untuk Hana mendengar Tan kembali mengumpat kasar, dan sepertinya memukul setir mobilnya dengan keras.

“Terbuat dari apa manusia sampah itu?” maki Tan dengan geram, lalu kemudi mulai dijalankan, tapi seperti mengambil arah memutar.

Mobil itu dilaju dengan begitu cepat, Hana bisa merasakan adrenalinnya terpacu lewat kecepatan mobil yang tidak biasa. Dadanya sudah tidak terasa sesak dan rasa lelahnya mulai memudar, meski masih mengantuk. Perlahan namun pasti, ketidaknyamanan yang dirasakannya sedikit demi sedikit menghilang. Juga, suara jangkrik itu sudah tidak terdengar.

Entah sudah berapa lama mobil itu dilaju, Hana tidak tahu. Yang dia tahu adalah dia merasa lebih baik dan sudah mampu membuka matanya walau hanya setengah.

Sosok Tan yang sedang menyetir dengan ekspresi dingin dan tampak berang adalah pemandangan yang dilihatnya. Dia tampak begitu marah. Hana mengalihkan tatapan ke samping, lalu berusaha untuk beranjak dari rebahannya di sandaran kursi yang dimundurkan, dan mengerutkan alis ketika melihat jalan yang dilewatinya.

“Sudah merasa lebih baik?” tanya Tan dingin.

Hana menoleh padanya. “K-Kemana kau akan membawaku?”

“Menghindari pintu neraka,” jawab Tan ketus.

Alis Hana berkerut bingung dan masih menunggu kelanjutan jawaban Tan. Pria itu terlihat tidak menggubris tatapannya dengan terus melajukan kemudi melewati jalan panjang dengan hutan bambu di sekelilingnya.

“Apa aku sudah membuat kesalahan sehingga kau marah padaku?” tanya Hana lagi.

Tan melirik sinis dan kembali melihat ke arah depan. “Karena aku sudah membuat kesalahan besar! Tidak seharusnya aku datang dan bertemu denganmu! Juga tidak membawamu turut serta dalam kepergianku, sehingga aku harus merepotkan diri seperti ini!”

“Ada apa denganku, Oppa?” tanya Hana bingung.

“Tidak usah banyak bertanya! Ada banyak hal yang perlu kulakukan saat ini,” jawab Tan tegas, lalu membelokkan kemudi untuk memasuki perbatasan hutan bambu itu.

Hutan membuat Hana merasa takut. Tidak pernah keluar rumah sampai sedemikian jauh, membuat Hana merasa posisinya terancam jika berada di luar rumah. Spontan, dia beringsut mendekati Tan dan memeluk lengan pria itu.

Tan berdecak pelan sambil mendelik tajam padanya, tapi Hana menundukkan kepala tanpa melepas pelukannya. “Aku takut, Oppa.”

Tidak ada balasan atau larangan dari Tan, sebab pria itu hanya mendengus kasar. Tidak berapa lama kemudian, mobil itu berhenti tepat di tengah-tengah hutan.

“Dengarkan aku,” ujar Tan dan Hana segera mendongak untuk melihatnya. Pria itu menatapnya selama beberapa saat, menilai ekspresinya dengan seksaama, dan membelai pelan sisi wajahnya.

“Beri aku waktu dua hari untuk mencari jalan keluarnya, Hana. Selama pencarian itu, kita harus berada dalam ruang yang lembap dan jauh dari jangkauan luar. Katakanlah ruang bawah tanah,” lanjut Tan.

“A-Apa?”

“Tidak usah takut, karena sudah pasti tidak akan ada suara jangkrik.”

“Kata siapa? Saat di mobil, aku mendengar suara jangkrik.”

“Aku memutar suara jangkrik lewat player-ku, tujuannya agar kau tidak sampai tertidur.”

“Kenapa kau tidak membiarkanku tidur?”

“Dengan konsekuensi kau akan pingsan selama beberapa hari? Tidak, itu akan sangat merepotkan.”

“Apa maksudmu?”

“Aku memberimu morfin dengan dosis yang cukup tinggi, Hana. Apa yang kau rasakan tadi sudah seperti orang yang kecanduan dengan kondisi tubuh yang menurun drastis. Jangan bertanya dulu karena kau tidak akan mengerti. Pada intinya, kau membutuhkan pertolongan dan aku sedang berusaha untuk mencari jalan keluarnya. Salah satunya adalah berdiam diri di tempat yang lembap dan tertutup, tidak terkontaminasi dengan udara luar, supaya pencarianku tidak sia-sia.”

Hana tidak mengerti dengan semua penjelasan Tan. Yang dia tahu adalah pria itu serius dan tidak sedang bercanda. Dan merasa jika dirinya sedang dalam bahaya.

“Apa yang bisa kulakukan selain tidak bertanya apa pun, Oppa?” tanya Hana lagi.

“Kau cukup mendengarkan apa yang kukatakan. Itu saja,” jawab Tan kemudian.

Hana hendak bertanya dan Tan segera mengangkat tangan untuk memberi kode agar dirinya diam. Dia mengambil sesuatu dari bawah kursinya dan tampak sebuah alat komunikasi yang begitu kecil.

Tan melakukan panggilan, lalu bersuara dingin setelah mendapat respon. “Aku tahu kau sudah mengetahui ini semua, Bajingan Tengik! Tidak usah mengulur waktu. Beritahu apa yang perlu kulakukan saat ini!”

Hana menatap Tan yang sedang menggertakkan gigi dengan alat kecil yang masih menempel di telinga. Matanya menyipit tajam dengan tangan yang meremas kemudi erat-erat. Napasnya memburu kasar, sorot matanya semakin dingin, dan dia tampak menakutkan.

“Kalau begitu, alihkan perhatian mereka. Jika aku sudah sampai di batas ini, itu berarti Harabeoji ingin aku melakukan sesuatu.”

Tan memutuskan telepon itu, lalu segera mematahkan alat komunikasi itu menjadi dua bagian, dan membuangnya dengan sembarangan. Dia terdiam selama beberapa saat lalu menghela napas berat.

Hana tidak berani melihatnya lagi karena takut jika akan membuat pria itu marah padanya. Dia menoleh dengan gelisah ketika Tan tiba-tiba meraih satu tangannya dan menggenggamnya erat. Tanpa menoleh ke arahnya, Tan kembali melajukan kemudi untuk masuk lebih dalam pada hutan itu.

Semakin masuk ke dalam, maka sekelilingnya semakin gelap oleh karena tingginya pohon-pohon yang menutupi sinar matahari di atas sana. Hana mengerjap takut dan kembali memeluk lengan Tan untuk tidak melihat apa yang terjadi selanjutnya, sebab mobil itu memasuki sebuah terowongan tersembunyi dari dahan-dahan besar yang menutupi jalur masuk.

Jalur itu menurun, hingga membuat mobil yang dikendarai melaju cepat tanpa perlu menginjak pedal gas. Hana hanya bisa menahan napas sambil mengeratkan pelukan di lengan Tan yang tampak fokus dalam mengarahkan kemudi untuk menyusuri turunan.

“Kita sudah tiba, Hana,” ucap Tan sambil menghentikan kemudi, lalu melepas sabuk pengamannya. “Tunggu di sini dan jangan keluar. Aku akan menjemputmu nanti.”

Setelah mengatakan hal itu, Tan keluar dari mobil dan berjalan menuju ke depan untuk melakukan sesuatu di sana. Tampak seperti tembok basah dan Tan meraba-raba sisi kanan, lalu menekannya perlahan. Mata Hana melebar ketika tembok itu terbelah menjadi dua dan memperlihatkan ada ruang di dalam sana.

Oppa,” ucap Hana ketika Tan sudah membukakan pintu mobilnya.

“Keluarlah, dan bawa barangmu,” ujar Tan.

Hana segera meraih sekantung belanjaan yang sempat dibelikan Tan di tengah perjalanan mereka tadi pagi. Pria itu membelikan beberapa pakaian ganti untuknya. Hana mengikuti Tan untuk berjalan masuk pada ruang di balik tembok itu.

“Apakah ini adalah ruang bawah tanah?” tanya Hana kemudian.

Yeah. Ini adalah satu-satunya ruangan paling aman untukmu,” jawab Tan.

“Aman? Untukku?”

Tan mengangguk dan membawanya ke dalam sebuah ruangan seperti kamar. “Pada intinya, kita akan berada di sini selama yang kau butuhkan. Aku akan segera mencari cara untuk mendapatkan jawabannya.”

“Maaf, aku tahu jika aku tidak boleh bertanya, tapi bisakah kau menjelaskan padaku tentang tempat yang aman untukku seperti ini?” tanya Hana cemas.

Tan berbalik untuk menatapnya sambil memasukkan dua tangan ke dalam saku celana. Sorot matanya tampak begitu dalam dengan ekspresi tak terbaca. Setelahnya, dia menghela napas sambil menggelengkan kepala.

“Kau tidak bisa melewati perbatasan, Hana. Dalam tubuhmu, mengalir sejumlah senyawa yang terhubung pada satu signal tersembunyi yang bisa membuatmu mati. Satu-satunya cara adalah bersembunyi di tempat seperti ini, dimana tidak ada signal apapun yang mampu menembus ruang bawah tanah sedalam 50 meter.”

“Darimana kau tahu tentang tempat ini?” tanya Hana lirih.

Tan memejamkan mata dan membukanya kembali. Dia menatap Hana dengan tajam. “Harabeoji pernah memberitahuku tentang jalur rahasia yang harus kuketahui. Dia tahu kemampuanku dan itulah alasannya dia mengutusku untuk datang mengunjungimu. Tapi aku tidak menyangka jika ada hal yang seperti ini.”

Bibir Hana bergetar dan dia mulai menangis. Jika selama ini dia merasa tidak ada yang memberi perhatian, maka apa yang dipikirkannya adalah salah. Mendengar nama orang yang sangat dikagumi dan dipuji disebut oleh Tan, membuatnya mampu merasakan perhatian dan kasih sayang darinya. Harabeoji.

"K-Kau bisa membawaku melewati perbatasan sehingga aku bisa mati, Oppa," ucap Hana dengan suara tercekat, airmatanya sudah berlinang.

Tan masih menatapnya lekat, tidak teralihkan dan semakin menajam, namun tersirat kehangatan di sana.

"Jika kau mati, maka kami tidak mendapatkan apa yang kami perlukan untuk menghentikan kejahatan yang masih dilakukan. Ancaman bisa datang kapan saja, tapi Harabeoji tidak akan membiarkan hal itu terjadi," balas Tan kemudian.

"Kenapa kau berusaha mencari tahu tentang hal ini? Kenapa membantuku? Aku...,"

"Harabeoji sudah terlalu tua untuk terus merasa bersalah atas apa yang menimpa keluarga besar kami. Juga, aku masih tidak percaya dengan pengkhianatan orangtuamu yang sudah membunuh Noona. Dan aku tidak tahu kenapa aku bisa membencimu sedemikian besar atas apa yang sudah mereka lakukan pada keluargaku, Hana," sela Tan dengan nada pahit.

Hana terisak dan menatap Tan dengan seluruh kesedihannya. "Maafkan kami, Oppa. Jadikan aku bermanfaat untuk mendapatkan apapun yang kalian butuhkan. Aku akan bertanggung jawab."

Mata Tan sudah berkaca-kaca melihat Hana sekarang, tersirat kesedihan yang terpancar dari wajahnya yang seperti menahan emosi di sana.

"Aku tidak percaya dengan apa yang kau alami. Kau tahu? Kau tidak pantas untuk bertanggung jawab, tapi kau tidak mempunyai pilihan untuk mengemban beban itu. Tapi, aku akan berusaha untuk mencari tahu. Harabeoji menginginkanku untuk bekerja lebih keras dan berharap lebih padaku."

"Oppa...,"

"Kau bisa saja mati, sekalipun kami bisa mendapatkan apa yang kami inginkan," lanjut Tan dengan suara tercekat.

Airmata Hana semakin berlinang. Meski Tan tampak begitu sedih mengucapkan kalimat itu, namun ada kehangatan yang menyelubungi hatinya saat ini. Seorang kakak laki-laki favorit yang begitu mengasihinya, kini kembali dalam diri Tan.

Spontan, kaki Hana melangkah untuk menghampirinya dan memeluk dengan erat. "Tidak apa-apa, Oppa. Aku akan selalu mengingat kebaikanmu padaku. Aku akan baik-baik saja dan sudah seharusnya aku membalas semua kebaikan keluarga besar Kim selama ini. Jadikan aku berguna. Dengan begitu, aku merasa hidupku berarti dalam rasa syukur yang selalu kunaikkan. Mungkin, inilah cara ibuku untuk membalas semua budi yang kalian berikan baginya, lewat diriku."

Setelah itu, keduanya saling berpelukan dan berbagi tangis dalam perasaan yang sama. Bahwa ikatan kasih tidak hanya karena mengalir darah yang sama, melainkan hati yang sudah memilih dan menempati ruang di dalamnya.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Keruwetanku makin menjadi.
Ampe kek mumet gitu, tapi tanganku ngegas untuk ketik apa yang ada di otak.

Kim Seng-Hoo, papanya Adrian, memang nggak gitu banyak diceritain, yah.
Cuma muncul di kisah Hyun yang jadi perwakilan keluarga untuk melamar 😊

Nanti pelan2, kita kenalan sama buyutnya Hyuna ini, karena porsi beliau cukup banyak di sini.
Next part, ngegasnya yang lain aja buat cooling down, yes?
Kasih Babang deh utak-atik sbtr 🤣




15.03.2020 (21.17 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top