Part. 10 - A night to remember
WARNING : JANGAN KAMPRETIN AKU 🙈
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Seharusnya, Tan masih bisa berpikir jernih dan menyadari bahwa tidak seharusnya dia melakukan hal seperti ini. Merasakan desiran gairah yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuh, hanya karena dekapan erat dengan sepasang payudara yang terasa kenyal di lengan kekarnya.
Tidak bersenggama dengan wanita selama beberapa waktu, membuatnya merasa pening oleh gairah yang datang dari wanita yang tidak diinginkannya. Tapi sialnya, Hana tampak begitu cantik dalam tidurnya.
Kebiasaannya sejak lama tidak berubah sama sekali. Takut pada suara jangkrik dan akan terjaga semalaman, lalu terbiasa memakai earphone atau menyalakan player untuk memutar lagu sebagai pengalihan. Juga, kebiasaan yang harus memeluk boneka usang berbentuk panda yang sudah tidak layak untuk dipakai lagi. Dan yang terakhir adalah wanita itu akan terlelap seperti orang mati, karena tidak akan mudah terguncang dengan berbagai gerakan atau teriakan, selain siraman air dingin di wajahnya.
Dalam hati, Tan sudah mengumpat karena harus mengingat semua itu. Belum melakukan apa pun, tapi degup jantungnya sudah bergemuruh semakin keras. Dia memandang Hana cukup lama sambil memperhatikan kesan dewasa yang tampak lebih menarik. Sejak dulu, Hana adalah anak tercantik setelah kakak perempuannya.
Yun-Hee Noona selalu membawa Hana kecil pergi kemana saja, begitu juga dengan dua Hyeong-nya. Termasuk dirinya sendiri. Hana menjadi kesukaan bagi semua anggota keluarga, dan sering berbagi waktu dengannya. Si Kembar Zac dan Zayn tidak sering berkumpul karena menetap di Jakarta, sedangnya Kim bersaudara tinggal di komplek perumahan yang sama.
Tidak ada masalah pribadi dengan Hana, tapi semenjak kejadian yang menimpa keluarganya dimana Noona harus mati dan orangtua Hana sebagai dalangnya, di situ Tan menaruh dendam yang teramat dalam pada keluarga mereka.
Tan membenci pengkhianat. Kasih sayang yang pernah ada, kini sudah menjadi dingin. Tidak ada belas kasihan, selain keinginan untuk menghancurkan. Merasa sudah kembali menjadi dirinya yang seharusnya, Tan menyerinyai sinis sambil menautkan rambut Hana ke belakang telinganya.
Mendekatkan wajah untuk memberi kecupan di sisi telinga Hana. Damn! Hasratnya mulai bergejolak dan Tan sekuat tenaga menahannya. Berusaha mengabaikan desakan sambil mengumpat pelan, Tan kembali mengecup ringan di pipi Hana. Kecupan-kecupan ringan berpindah dari pipi, semakin menjorok ke hidung, lalu turun ke bibir, dan diakhiri dengan mengisap pelan bibir Hana.
Hana menggeliat pelan, seperti mengeluh tapi matanya masih terpejam. Tangannya mulai mencari dan menggapai sesuatu. Tan menangkap tangannya lalu menunduk untuk memberi kesempatan bagi Hana memeluknya.
Kepala Tan bersandar di dada Hana, dimana wanita sudah merangkul bahunya dengan kedua tangan. Menghela napas panjang, Tan mengeratkan pelukan dengan menenggelamkan kepalanya pada lekuk leher Hana, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang menyenangkan.
Tangannya mencoba meraba dan membelai payudara dari balik kemejanya. Tan memejamkan mata untuk merasakan kelembutan payudara Hana yang terasa penuh di telapak tangannya. Dia menarik napas dan mengembuskannya dengan berat, tampak bergumul seorang diri untuk melanjutkan atau menghentikan.
Akan tetapi, pikiran dan reaksi tubuh bertentangan. Pikirannya mengingatkan untuk berhenti, tapi tangannya meremas pelan dengan ketegangan yang kian menyiksa. Terus dan terus bergumul, sampai akhirnya, Tan menundukkan kepala hingga menghadap dada Hana, lalu membuka dua kancing teratas untuk memperlihatkan sebagian tubuhnya. Fuck, kulit Hana begitu putih dan sehat.
Tidak tergesa tapi pasti, Tan mengecup di tengah-tengah dada dengan begitu perlahan, mencoba meliukkan lidahnya sekali, lalu berpindah ke sisi kanan untuk mengisap pelan bagian terlembut di sana. Hisapan pelan, tapi dilakukan begitu dalam, cukup lama hingga terlepas, sampai meninggalkan jejak merah di kulit mulus itu.
Satu jejak ditinggalkan di sisi kanan, kemudian berlanjut menjadi kedua, ketiga, lalu beberapa. Tidak hanya di satu sisi, karena Tan sudah beralih ke sisi yang lain untuk memberikan banyak jejak. Pelan, teratur, dan tidak tergesa, meski napasnya sudah memburu kasar, berusaha untuk mengendalikan hasrat yang bergejolak dari dalam.
"Enggghh," terdengar gumaman Hana yang tidak terlalu jelas, tampak gelisah tapi tetap terlelap. Seolah apa yang dilakukan Tan hanyalah sedikit gangguan yang tidak mampu membuatnya terbangun.
Kedua tangan Hana mulai bergerak untuk mencari, berusaha menggapai dalam tidurnya. Melihat hal itu, Tan melepas jubah handuk yang masih melekat di tubuhnya karena rasa panas yang mulai mendera. Hanya mengenakan boxer dan itu sudah menjadi masalah baginya.
Satu tarikan napas panjang dilakukan, lalu kembali menangkap kedua tangan Hana yang berusaha menggapai dan mengumpulkannya dalam satu cengkeraman. Kembali pada sisi Hana untuk berbaring, dimana dia membetulkan posisi agar wanita itu mendapatkan kenyamanannya. Meski jantungnya masih berdentum keras, dan napas yang masih memberat, tapi Tan berusaha keras untuk menahan diri agar tidak terlewat batas.
Ingin menjauh, tapi Hana mendekat dan kembali memeluk lengannya dengan erat. Tan memejamkan matanya, menghitung dalam hati, lalu membukanya kembali, dan menoleh pada Hana yang masih terlelap dengan damai. Shit! Bagaimana mungkin ada wanita semacam ini? Tertidur seperti orang tak bernyawa, sehingga tidak merasakan apa yang terjadi dengannya. Bagaimana jika ada bajingan yang berusaha mencari keuntungan? Ingatan Tan langsung tertuju pada tunangan gadungan yang bernama Jung-Hwa itu.
Kembali tarikan napas panjang dilakukan, Tan berbaring untuk menenangkan diri dan mencoba tertidur. Dia yakin sudah mulai mengantuk, dan hampir tenggelam dalam lelapnya, sampai sebuah suara yang terdengar seperti memohon itu membuatnya terjaga.
"J-Jangan, Appa. Tidak! J-Jangan... Kumohon,"
Tubuh Hana terasa bergetar, dan semakin bergejolak seiring dengan rintihan yang keluar dari mulutnya. Kedua tangan yang memeluk lengan semakin kuat mencengkeram, dan kulitnya terasa dingin. Tan segera bergerak untuk membangunkan Hana, menepuk-nepukkan pipi Hana yang terasa panas, dan mengguncangkan tubuhnya.
Tidak langsung terbangun, shit! Tan menggeram karena harus segera melepas tangan Hana dari lengannya dan beringsut untuk turun dari ranjang, mengambil segelas air putih dari dapur dan segera kembali ke kamar untuk menumpahkannya tepat di wajah Hana.
Mata Hana terbuka lebar, lalu terbatuk-batuk sambil beranjak dari rebahannya. Kembali Tan menggeram melihat bagaimana kecerobohan soal Hana yang sulit untuk dibangunkan dari tidurnya.
"Lain kali, aku akan menendangmu dari ranjang, jika kau masih sulit untuk dibangunkan seperti ini! Wanita macam apa yang harus dibangunkan dengan siraman air dingin?" desis Tan geram.
Hana masih terlihat linglung tapi sudah tidak batuk. Dia menangkup dadanya sambil bernapas dengan tidak teratur, tampak berkeringat dan wajahnya memucat. Tan duduk di tepi ranjang dengan posisi duduk menghadap ke arahnya, memperhatikannya dengan seksama. Dia menangkup wajah Hana agar bisa mempelajari ekspresi yang ditampilkannya.
Sorot mata yang tidak terbaca, entah itu takut, sedih, atau sakit. Kedua pipinya memerah, bibirnya gemetar, dan bernapas dalam buruan kasar. Alunan lagu terdengar mengganggu sehingga Tan segera meraih ponselnya dan mematikannya. Kini, suasana kembali sunyi, begitu hening, dan itu memperjelas deruan napas Hana yang memburu.
"Apa yang kau mimpikan sampai harus ketakutan seperti ini? Kau memanggil ayahmu dan memohon padanya. Apa yang sudah dilakukan keparat itu padamu? Katakan padaku!" tanya Tan dengan sorot mata tajam dan penuh penekanan.
"Aku tidak tahu," jawab Hana dengan suara berbisik, lalu menggelengkan kepala sambil menunduk, dan mulai terisak. "Aku benar-benar tidak tahu. Mimpi itu berulang, seperti pernah mengalaminya, tapi aku tidak tahu."
"Kau tidak tahu? Apa mimpi itu terasa nyata bagimu?" tanya Tan.
Hana mengangguk.
Tan terdiam sambil mengingat kembali trauma yang pernah dialami kakak keduanya, Shin. Memiliki trauma hebat sampai melupakan masa lalunya, sebab Shin adalah saksi hidup yang menyaksikan pembunuhan kakak perempuan mereka.
"Apa yang kau lihat dalam mimpimu?" tanya Tan lagi.
Hana mengerjap bingung, lalu mengusap keningnya. Tatapannya menerawang seolah mengingat-ingat, tapi mengernyit setelahnya, dan menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Aku merasa bisa melihat dengan jelas saat sedang bermimpi, tapi ketika terbangun, aku lupa."
"Lupa?"
"Jung-Hwa Oppa pernah memintaku untuk mengingat dan mempelajari mimpiku. Setiap kali aku terbangun, aku harus menulis apa yang mampu kuingat."
Alis Tan terangkat setengah. "Dia tahu soal mimpimu? Apakah kalian sudah hidup bersama?"
Tan tidak sadar nada suaranya meninggi ketika mengucapkan pertanyaan terakhirnya. Hana pun demikian, karena ekspresi wanita itu masih mengernyit seolah berusaha mengingat.
"Tidak. Aku yang memberitahunya soal mimpi yang kudapatkan semenjak tinggal di Saejang," jawab Hana.
"Bagaimana kau bisa mengenalnya dan menerimanya sebagai tunangan? Apa kau tidak curiga padanya? Apa yang dia lakukan selama ini padamu?" tanya Tan dengan nada tidak suka.
"Saat aku dibawa ke Saejang, Eomma memberiku pesan agar menerima seseorang yang bernama Jung-Hwa, karena dia adalah pilihan Eomma. Tidak ada yang bisa kupercayai, selain Jung-Hwa Oppa. Selama aku tinggal di sana, dia memang menjagaku dan mengunjungiku sekali sampai dua kali dalam seminggu," jawab Hana pelan, lalu menarik napas dan mulai terlihat tenang.
"Menjagamu? Mengunjungimu untuk menanyakan mimpi atau...,"
"Memastikan diriku baik-baik saja," sela Hana cepat. "Dia adalah pria baik yang selalu mendampingiku dan menenangkanku dalam segala keadaan."
"Tapi dia tidak jujur soal keberadaan orangtuamu dan membohongimu," koreksi Tan tentang kata baik yang dikeluarkan dari mulut Hana tentang lelaki itu.
Hana tersenyum getir dan menundukkan kepala dengan ekspresi sedih. "Aku tidak mengerti kenapa semua orang menyembunyikan hal itu dariku. Apakah memang sejahat itu? Benarkah orangtuaku yang sudah membunuh Yun-Hee Eonnie?"
"Aku sudah menyampaikan semua itu padamu dan tidak ada yang perlu kau tanyakan! Jadi, kau sudah memahami posisimu sebagai keturunan pembunuh, bukan?" balas Tan sinis.
Hana mengangkat wajahnya untuk menatap Tan lirih. "Aku juga merasa posisiku terancam dan juga menjadi ancaman bagi keluarga kita."
"Keluargaku!" koreksi Tan dengan penuh penekanan. "Bukan keluarga kita!"
Sorot mata Hana semakin meredup. Bibirnya bergetar seolah ingin menangis, tapi dia menahannya dengan mengerjap cepat dan menarik napas panjang. "Maafkan aku."
Tan mendengus tidak suka mendengar ucapan maaf yang terdengar penuh penyesalan seperti itu. Masih menatap Hana dengan ekspresi menilai, dengan posisi dua tangan di sisi tubuh Hana yang sedang duduk di tepi ranjang.
"O-Oppa," panggil Hana bingung, lalu mendongak untuk menatapnya kembali. Kali ini sambil mencengkeram kemeja atasnya dengan erat.
"Apa?" tanya Tan acuh tak acuh.
"Kenapa kancing kemejaku terbuka?" tanya Hana yang terlihat semakin bingung, dan menunduk untuk membuka sedikit kemejanya, lalu menunjukkan satu dari sekian tanda yang ada di kulitnya. "Sepertinya ada serangga di ranjang ini. Lihat, ada tanda merah di tubuhku."
Tan tertegun. Dia mencoba mengalihkan tatapan ke arah lain sambil mengatupkan bibir. Meski sedikit geli, tapi ada rasa bangga dengan hasil pekerjaannya di sekitaran dada wanita itu.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Hana sambil mendaratkan satu tangan di dada Tan, lalu mengusapnya lembut.
Tan menahan napas dan langsung menoleh pada Hana dengan gelisah. Sentuhan singkat itu membuat degup jantungnya yang tadi sudah normal, kembali tidak teratur. Hana tampak memperhatikan tubuhnya dengan ekspresi cemas, lalu memeriksanya sampai beranjak dari posisi duduk untuk memastikan agar tidak ada yang terjadi padanya.
"Kau tidak usah mencemaskanku. Aku baik-baik saja," ucap Tan sambil menarik Hana agar menjauh darinya, karena wanita itu sudah memeriksa bagian punggungnya.
"Untunglah kau baik-baik saja, meski tubuhmu masih lebam," ujar Hana dengan sorot mata sedih, sambil memperhatikan wajahnya dengan seksama.
Tan hampir melupakan rasa sakit akibat pukulan dari dua kakaknya yang sukses membuatnya sesak. Melihat ekspresi cemas dan sedih dari Hana tentang lukanya, membuat degup jantung Tan semakin bergemuruh kencang di dalam. Kenapa wanita itu harus tetap begitu perhatian padanya, setelah mendapat perlakuan kasar dan ucapan jahat darinya? Tan sungguh tidak mengerti.
"Maafkan aku karena sudah membuatmu membenciku, Oppa," ujar Hana kemudian. "Aku tidak menyangka jika kebaikan keluarga Kim harus dibalas seperti itu oleh orangtuaku. Sungguh, aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi."
Hana terlihat sungguh-sungguh dalam mengucapkan kalimatnya, bahkan sampai menggenggam satu tangan Tan dengan kedua tangannya. Terlihat berharap untuk dimaafkan dan memohon akan belas kasihan. Ekspresinya begitu tulus dan memang seperti itulah Hana yang dikenalinya. Tulus, polos, dan tidak pernah berprasangka buruk. Tapi itu sudah tidak berarti bagi Tan.
"Kau tidak pernah merasakan bagaimana penderitaan yang kami alami. Bagaimana Abeoji menjadi asing dan menelantarkan tiga anak laki-lakinya. Bagaimana hubungan keluarga kami menjadi dingin setelahnya. Hyun yang pergi dari mansion, Shin yang begitu trauma hingga menutup diri, dan aku yang tidak pernah dianggap karena menjadi yang termuda. Ibuku yang menangis setiap malam, dan ayahku yang menjadi orang yang tidak berperasaan. Apa kau bisa memahami apa yang kami rasakan dan ...,"
Ucapan Tan terhenti ketika Hana tiba-tiba memeluknya dengan erat. Tubuhnya terguncang dan tidak sadar jika sudah menangis ketika mengucapkan semua itu. Tidak sadar jika dia sudah hilang kendali atas apa yang dipendamnya selama ini, sampai menangis di depan Hana sekarang.
Hana ikut menangis di dalam pelukan, berusaha menggapai tubuh besar Tan sebanyak yang dia mampu, tapi dua tangannya tidak mampu menggapainya. Sedikit linglung, juga bingung, Tan menerima pelukan itu tanpa mampu melakukan apapun. Dengan tangan gemetar, dia menyentuh wajahnya sendiri dan ternyata sudah basah karena airmata. Shit! Dia benci terlihat lemah seperti ini.
"Maafkan aku, Oppa. Maafkan aku. Jangan bersedih lagi, aku tidak sanggup. Maafkan aku yang tidak pernah mengalami penderitaan yang kalian alami. Kini, aku paham kenapa kau begitu membenciku. Hukum saja diriku, jika itu bisa mengambil sedikit beban yang kau pikul, Oppa. Maafkan aku," ucap Hana pilu, seiring dengan isakan tangis yang sudah mengudara.
Tan memejamkan matanya sambil merasakan ketidaknyamanan saat Hana mengucapkan permohonan seperti itu. Seharusnya, dia senang karena Hana begitu menyesal dan menyerahkan diri untuk dihukum. Tapi ternyata, yang dia rasakan justru sebaliknya.
Dengan perasaan yang entah datang darimana, Tan membalas pelukan Hana dengan merengkuhnya erat, sambil berbisik lembut di telinganya dalam nada yang begitu menenangkan. "Ssshhh, jangan menangis lagi. Aku baik-baik saja."
Hal itu justru membuat isak tangis Hana semakin terdengar dan pelukan mereka mengerat. Saling menenangkan dalam berbagi pelukan yang begitu hangat. Menikmati momen yang tidak pernah terencana dan diluar dari dugaan. Begitu tenang, begitu nyaman, dan begitu melegakan. Bahkan, Tan sudah melayangkan kecupan-kecupan lembut di pucuk kepala Hana, membelai lembut rambutnya, dan terus membisikkan kalimat seperti 'aku baik-baik saja' padanya.
Tak lama kemudian, isakan Hana mereda, dan keduanya hanyut dalam perasaan menyenangkan yang menguar dari keduanya. Rasa nyaman yang membuat mereka teringat dalam kasih sayang yang pernah terjalin diantara mereka. Kenangan indah saat menjalani masa kecilnya, bertumbuh bersama, dan bermain bersama.
Tan hanyut dalam perasaan yang semakin kuat dan merobohkan pertahanan dirinya. Dia menarik diri tanpa mengurai pelukan, menjepit dagu Hana untuk mengangkat wajahnya agar mereka saling bertatapan. Sorot mata keduanya sudah bertemu, hanya bertahan selama sepersekian detik saja, karena Tan sudah memiringkan wajah untuk mencium bibir Hana. Lembut dan sangat pelan.
Hana tidak menolak. Hanya terdiam, dan mungkin kebingungan, tapi Tan tidak berhenti. Meski sudut bibirnya terluka, atau lebam di pipi yang membuatnya harus meringis nyeri, tapi itu tidak menjadi hambatan untuk dirinya mengeksplorasi rongga mulut Hana saat wanita itu sudah membuka bibirnya.
"Oppa," panggil Hana susah payah, di sela-sela ciuman liar yang Tan lakukan.
"Sekali saja," balas Tan sambil mendesis pelan. "Biarkan aku hilang akal untuk sekali saja, karena aku tidak bisa menahan diri lagi, selain melakukan apa yang kuinginkan sekarang."
Seperti mengerti apa yang dibutuhkan Tan, Hana tidak lagi bertanya, selain memberikan apa yang Tan inginkan, dan mengeluarkan suara yang memang diharapkan Tan dengar darinya. Yaitu mengerang pelan sambil menyebut namanya dengan lirih.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Lalalalalalala...lalalalalala...
Timpuk jangan?
Jangan dong, sayangi aku, yah.
Intinya, lapak ini lapak suka2.
Kalo aku lagi sedih, jadinya melow.
Lagi bete, jadinya gemes.
Lagi marah, jadinya sadis.
Udah gak tahu lagi kudu gimana.
Ideku ngegas, smua lapak jadinya ngegas, cuma tangannya aja yang kurang ngegas.
Krn ngetik itu pegel, tahu.
Happy Weekend yah, and stay safe 💜
I purple you 💜💜💜
06.03.2020 (21.42 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top