Part 4

Aerylin berjalan pelan di trotoar, berharap ada angkot yang berhenti dan menawarkannya untuk naik. Namun, setelah hampir dua puluh menit waktu berlalu, tidak ada tanda-tanda datangnya angkot. Padahal perutnya sudah keroncongan minta diisi.

Kegelisahan mulai menghampiri cewek berkuncir kuda itu. Dia terus mengigit bibir bawah, dengan mata yang tidak henti menatap jalanan yang sedang lenggang. Sementara tubuhnya mondar-mandir tidak jelas.

Sebenarnya bisa saja Aerylin meminta Sang Ayah untuk menjemput, tapi sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berpihak padanya. Karena sehabis Sang Ibu menelpon, ponselnya mengalami lowbat dan mati. Jadi, tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu angkot datang.

"Please, angkotnya dateng, dong." Pinta Aerylin bermonolog.

"Jam segini angkot udah jarang lewat sini."

Refleks Aerylin memalingkan wajah ke sumber suara dan mendapati Sakha yang tengah bersandar di motor ninja hitamnya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Seketika, Aerylin menelan ludahnya susah payah. Astaga, dari sekian banyak murid di SMA Astraguna Garda, kenapa dia lagi-lagi harus berada di zona yang sama dengan cowok bermata almond itu?

Apa dia nggak cukup memalukan setelah kepergok memperhatikan Sakha secara sembunyi-sembunyi?

Apalagi, bukan kah dia seharusnya merasa kesal sama Sakha karena kesan pertama cowok itu yang sok akrab padanya?

Tapi, kenapa sekarang dia malah mendadak gugup begini?

Berdehem sejenak, guna menutupi kegugupan yang melanda, Aerylin pun menyahut. "Tau darimana lo?"

Sakha mengangkat bahu. "Gue udah hapal sama jadwal angkot yang sering narik di sini."

Aerylin hanya mengangguk pelan lalu kembali menatap jalanan, berharap tiba-tiba ada sebuah angkot yang lewat. Membiarkan Sakha yang kini tengah berjalan ke arahnya.

"Percuma kalau lo tungguin sampe malem juga. Angkotnya nggak bakal dateng." Ucap Sakha saat sudah berada di samping Aerylin.

"Nggak ada yang nggak mungkin. Siapa tau, ada angkot yang lewat di sekitar sini," Aerylin melirik Sakha sekilas. "Terus, lo ngapain masih di sini?"

"Lo ngusir gue?"

Aerylin menggeleng lalu menatap motor ninja hitam milik Sakha yang terparkir di pinggir jalan. "Gue kira lo mau naik angkot juga. Tapi, kayaknya nggak mungkin waktu gue ngeliat motor lo itu."

"Nggak ada yang nggak mungkin." Balas Sakha sambil tersenyum tipis.

Aerylin melotot kala mendengar ucapannya ditiru oleh Sakha. "Motor gue mogok. Kehabisan bensin." Lanjut cowok itu.

"Kalau mogok, kenapa nggak dibawa ke pom bensin?"

"Pom bensin jaraknya jauh dari sini. Emangnya gue nggak boleh istirahat sebentar?"

Aerylin mengulum bibir, kehabisan kata-kata. "Ya, terserah lo aja."

Kemudian mereka sama-sama terdiam. Beberapa kali Aerylin melirik arloji di pergelangan tangannya yang entah kenapa setiap menitnya terasa cepat. Hari sudah semakin sore. Dia tebak, pasti ponselnya sudah penuh dengan panggilan dari keluarganya.

Sakha yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Aerylin, menghela napas panjang. Cowok itu mengambil ponsel dari saku lalu menyodorkannya ke arah Aerylin yang dibalas kerutan bingung.

"Maksudnya apa nih?" Tanya Aerylin tanpa mengambil ponsel Sakha.

"Lo nggak ada niat buat telpon keluarga lo?" Tanya Sakha balik.

"Hape gue lowbat."

"Lo bisa telpon pake hape gue." Jawab Sakha sembari menarik  tangan Aerylin dan meletakkan ponselnya di telapak tangan cewek itu.

"Eh? Nggak usah," tolak Aerylin, merasa tidak enak. Ya, iyalah. Mereka belum pernah kenalan tapi Sakha mau minjemin dia hape? Siapa yang enggak nolak coba?

"Lo mau nggak pulang sampe malem dan bikin keluarga lo makin khawatir?" 

"Temen gue masih di sekolah. Jadi gue bisa bareng sama dia." Aerylin hendak mengembalikan ponsel Sakha namun dicegah oleh si pemiliknya.

"Temen lo udah pulang dari tadi."

Jawaban yang diberikan Sakha memunculkan kerutan dalam di kening Aerylin.

"Momo lewat jalur yang beda. Soalnya dia mau latihan basket. Persiapan turnamen satu bulan lagi." Cetus Sakha seakan tau apa yang ada di pikiran Aerylin.

Sementara Aerylin sendiri berdecak. Dia melihat ponsel milik Sakha ragu-ragu sebelum akhirnya cewek itu membuka lockscreen ponsel tersebut, yang langsung disambut oleh wallpaper sesekor singa. Lantas dia menekan menu telepon untuk mengetik nomor Sang Ayah lalu meneleponnya.

Selama beberapa detik dia menunggu hingga sebuah suara menyapa indra pendengarannya.

"Halo?"

Aerylin menatap Sakha sejenak sebelum menjawab.

"Pa, ini Ryli."

"Ryli? Ya Allah, kamu kemana aja? Ditelpon nggak dijawab. Di whatsapp nggak dibales. Mama kamu khawatir di rumah. Sekarang kamu dimana?"

"Ryli masih di sekolah, Pa. Hape Ryli lowbat. Terus nggak ada angkot yang lewat."

"Kamu pake hape siapa?"

"Hape temen, Pa."

"Ya, udah. Papa jemput kamu. Jangan kemana-mana lagi."

"Iya, Pa."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sambungan telepon pun terputus. Aerylin menyerahkan kembali ponsel tersebut kepada Sakha. "Makasih, ya."

Sakha mengangguk sambil memasukkan ponselnya ke saku celana. "Sama-sama."

"Lo nggak jadi ke pom bensin?" Tanya Aerylin, mencoba mencari topik pembicaraan supaya tidak terlalu canggung.

"Bentar lagi." Sahut Sakha dengan tatapan lurus ke depan.

"Lo suka singa?"

Sakha melirik Aerylin lewat ekor matanya dan tersenyum tipis. "Lumayan. Tapi nggak fanatik."

"Kalau gue lebih suka kartun."

"Oh, oke."

Aerylin sontak mengatupkan mulut, tidak bersuara lagi dan memilih untuk memandang dedaunan yang berserakan di trotoar. Sedangkan Sakha berdiri tegak di sampingnya. Mereka tetap berada di posisi seperti itu sampai sebuah motor matic berwarna merah berhenti di depan mereka.

Si pengendara membuka kaca helm, menampilkan wajah dengan kerutan di berbagai sudut mata dan bibir.

"Pa," raut wajah Aerylin menampakkan kesenangan. Dia menghampiri Sang Ayah lalu mengambil helm yang diberikan pria paruh baya itu dan memakainya.

"Itu temen kamu?" Tunjuk Sang Ayah dengan menggunakan dagunya ke arah Sakha, yang dibalas senyum sopan oleh cowok bermata almond itu.

Aerylin mengangguk kaku. Sebenarnya, kalau dibilang Sakha itu temannya juga bukan, sih. Tapi kalau dibilang nggak saling kenal, juga enggak mungkin. Mereka bahkan sudah pernah berbicara meski tidak intensif.

Jadi, sebutan untuk mereka, apa, dong?

"Saya Sakha, Om." Sakha bergerak maju, kemudian menyalami Ayah Aerylin.

"Heru. Papa Aerylin. Terimakasih, ya, sudah membantu anak Om."

Sakha tersenyum seraya menegakkan tubuh. "Nggak masalah buat saya, Om."

"Ya, udah. Om pulang dulu, kamu hati-hati." Ucap Heru setelah Aerylin duduk di bangku penumpang.

"Iya, Om."

"Gue duluan." Aerylin hanya tersenyum singkat ke arah Sakha.

Lantas, motor Heru mulai bergerak menjauh, meninggalkan Sakha yang tidak melepaskan tatapannya pada motor matic tersebut sampai tak terlihat lagi.

Menjilat bibir bawah, Sakha pun berderap menuju motor ninja hitamnya lalu naik. Memakai helm terlebih dahulu, kemudian Sakha menstater motor. Berikutnya, dia mulai melajukan motornya membelah jalanan yang lenggang.

~~~

Minggu, 07 Juni 2020

Happy weekend di rumah semuaa 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top